• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6 Kerangka Teoritis

1.6.3 Teori Otonomi Daerah

1.6.3.2 Dimulainya Reformasi Otonomi Daerah

Refornasi yang ada saat ini di bidang politik dan pemerintahan melahirkan agenda dan kesepakatan naional baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini kemudian menerbitkan TAP MPR No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan; dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka NKRI, mengawali paradigma baru tatanan pemerintahan daerah. Dari semangat TAP MPR No. XV/1998 tersebut dapat dilihat beberapa aspek penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu : a) Pembangunan daerah sebagai bagian integral pembangunan nasional,

melalui otonomi daerah, pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

b) Otonomi daerah diberikan dengan prinsip kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional. Dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasioanal yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

c) Penyelengaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip demokrasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah.

d) Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional antara pusat dan daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa secara keseluruhan.

e) Pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara efektif dan efisien, bertanggung jawab, transparan, terbuka, dan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang luas kepada usaha kecil, menengah, dan koperasi.

f) Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilaksanakan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah.

g) Pemerintah daerah berwenang mengelola sumber daya nasional dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan.

h) Penyelenggaraan otonomi daerah dalam kerangka mempertahankan dan memperkokoh NKRI, dilaksanakan berdasarkan asas kerakyatan dan

berkesinambungan yang diperkuat dengan pengawasan DPRD dan masyarakat.

Dimensi otonomi daerah sedemikian ini memberika suatu harapan bagi tercipta dan terlaksananya keadilan, demokratisasi dan transparansi kehidupan sektor publik. Hal ini tentunya suatu lompatan jauh bagi tertatanya masyarakat sipil yang dicita-citakan.

Paradigma baru pemerintahan daerah memberikan kewenangan luas bagi daerah, bahkan dari kewenangan yang ada tersebut terdapat kewenangan wajib yang merupakan bagian dari tanggung jawab publik pemerintah daerah dalam pemenuhan kebutuhan rakyat (public goods). Kesemuannya ini dilaksanakan secara demokratis, transparan dan egaliter, yang berarti menempatkan prioritas keragaman daerah sebagai manifestasi dari Bhineka Tunggal Ika. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang menyangkut program yang bersifat massal, uniform dan sentralistis harus dieliminasi. Di samping hal tersebut, daerah menjadi titik sentral awal gagasan dan perencanaan berbagai kegiatan pemerintahan.

Penyelenggaraan pemerintahan di daerah merupakan manifestasi dari pemerintahaan seluruh wilayah negara. Untuk itu segala aspek menyangkut konfigurasi kegiatan, dan karakter yang berkembang. Hal ini akan mewarnai penyelengaraan pemerintahan secara nasional. Dengan jelas dapat dikatakan bahwa peran dan kedudukan pemerintahan daerah sangat strategis dan sangat menentukan secara nasional sehingga paradigma baru pemerintahan yang terselenggara adalah berbasis daerah. Dengan berbasis daerah, pemerintah pusat menyelenggarakan fungsi pengarah dan penanggung jawab segala kegiatan di daerah dengan kepercayaan sepenuhnya, sehingga persepsi lama yang sering di dengar menyangkut egoisme sektoral akan terhapus.

Seiring dengan penyelenggaraan pemerntahan yang semakin demokratis, di pihak lain hal ini memberikan tantangan terhadap berbagai stakeholder di daerah. Karena konteks mengatur rumah tangga daerah, maka daerah harus mampu merespons tugas dan perannya. Peran besar yang diikuti oleh komitmen yang kuat, keberadaan aparatur, kekuatan sosial politik, dan

semua komponen daerah akan memberikan sinergi bagi mantapnya keberhasilan pembangunan di daerah.

Peran besar dan perubahan konstelasi yang sangat mendasar ini harus dipahami oleh segenap stakeholder yang meliputi jajaran aparatur, kekuatan sosial dan kemasyarakatan, DPRD dan semua komponen daerah. Semua ini telah menjadi tekad nasional; oleh karena itu, semangat penyelenggara pemerintahan, respons publik, dan faktor psikologis menyangkut sense of crisis dan sense of urgency harus ditumbuhkan dan dipelihara bagi terlaksananya hakikat dari reformasi.

Persoalan kelembagaan pemerintah daerah terkait dengan persoalan yang terus berlangsung yang merupakan akumulasi dari gejala sebelumnya. Tuntutan reformasi adalah dimaksudkan untuk mengoptimalkan kelembagaan yang ada yang pada prinsipnya mengedepankan aspek-aspek :

a) Kerangka pemerintahan negara sebagai satu sistem, bermakna suatu kesadaran akan keterkaitan.

b) Pengembangan visi dan misi daerah, dalam kerangka visi dan misi bangsa, dalam wadah negara kesatuan, sebagai arah yangg jelas.

c) Paradigma tatanan pemerintahan daerah, yang mewujudkan tanggung jawab, hak dan kewajiban, kewenangan dan tugas.

d) Adanya kondisi yang berasal dari periode sebelumnya, bermakna kesadaran akan keterhubungan.

e) Kondisi nyata dan kondisi spesifik daerah.

f) Adanya aspek-aspek yuridis, politis, sosiologis, ekonomis, pragmatis, empiris dan historis serta aspek strategis.

g) Perhatian pada aspek kemanusiaan, berkaitan dengan optimalisasi dan keseimbangan peranan sumber daya.

Berbagai tantangan dan hambatan bagi terwujudnya pemerintahan daerah yang akomodatif terhadap kebutuhan dalam berbagai dimensi apapun, akan melahirkan suatu bentuk organisasi pemerintah daerah yang kenyal dan fleksibel. Oleh karena itu, objek bagi tercapainya pemerintahan daerah yang

dapat menjawab berbagai tuntutan zaman adalah kembali kepada semangat penyelenggara pemerintahan di daerah.21

Ketiga, demokrasi di daerah dianggap mampu menyuguhkan kualitas partisipasi yang lebih baik dibandingkan kalau terjadi di tingkat nasional. Fakta bahwa komunitas di daerah relatif terbatas dan masyarakatnya lebih tahu diantara satu dengan lainnya dianggap sebagai dasar argumen bahwa partisipasi masyarakat di daerah itu lebih bermakna apabila di bandingkan di tingkat nasional. Partisipasi politik di daerah lebih memungkinkan adanya

Selain dari pada itu, menurut Brian C. Smith, munculnya perhatian terhadap transisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu keyakinan bahwa adanya demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional (1998:85-86). Pandangan yang bercorak fungsional ini berangkat dari asumsi bahwa ketika terdapat perbaikan kualitas demokrasi di daerah, secara otomatis bisa diartikan sebagai adanya perbaikan kualitas di tingkat nasional. Berdasarkan studi-studi yang pernah dilakukan di sejumlah negara di berbagai belahan dunia, Smith mengemukakan empat alasan untuk memperkuat pandangannya tersebut.

Pertama, demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang pendidikan politik yang relevan bagi warga negara di dalam suatu masyarakat yang demokratis (free societies). Hal ini tidak lepas dari tingkat proximity dari pemerintah daerah dengan masyarakat. Pemerintah daerah merupakan bagian dari pemerintah yang langsung berinteraksi dengan masyarakat ketika proses demokratisasi itu berlangsung.

Kedua, pemerintah daerah dipandang sebagai pengontrol bagi perilaku pemerintah pusat yang berlebihan dan kecenderungan anti demokratis di dalam suatu pemerintahan yang sentralistis. Kecenderungan seperti ini, khususnya, terjadi di masa transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju pemerintahan yang demokratis. Dalam masa transisi ini pemerintah daerah memiliki posisi tawar-menawar yang lebih tinggi atas kekuasaan dan otoritas dengan pemerintah pusat.

21

DR. J. Kaloh. Mencari bentuk otonomi daerah; suatu solusi dalam menjawab kebutuhan local dan tantangan global. Rineka Cipta, 2007. Hal 57-61.

deliberative democracy, yakni adanya komunikasi yang lebih langsung di dalam berdemokrasi.

Keempat, kasus kolumbia menunjukkan bahwa legitimasi pemerintah pusat akan mengalami penguatan manakala pemerintah pusat itu melakukan reformasi di tingkat lokal. Penguatan legitimasi ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan daerah kepada pemerintah pusat.

Munculnya perhatian yang lebih serius terhadap proses demokratisasi di daerah juga berkaitan dengan semakin menguatnya secara massive kebijakan desentralisasi di negara-negara sedang berkembang sejak 1990-an. Sebagaimana dikemukakan oleh Delinger (1994: 1), yang membuat laporan untuk Bank Dunia, ‘kecuali 12 negara, dari 75 negara-negara sedang berkembang dan negara-negara yang sedang mengalami transisi dengan penduduk lebih dari lima juta, semuanya mengklaim sedang melakukan transfer kekuasaan politik ke unit-unit pemerintahan di daerah’. Berbeda dengan implementasi kebijakan desentralisasi pada 1960-1970-an yang lebih menekankan pada kebijakan desentralisasi administrasi, implementasi kebijakan desentralisasi pada 1990-an didesain untuk melaksanakan kebijakan desentralisasi yang lebih komprehensif. Kebijakan itu tidak hanya difokuskan pada desentralisasi administrasi, melainkan juga desentralisasi politik dan desentralisasi fiskal.

Menguatnya perspektif politik mengenai desentralisasi tidak hanya menarik para ilmuan politik untuk menganalisis relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Para ilmuan politik juga mulai tertarik untuk menganalisis relasi kekuasaan yang ada di daerah. Misalnya saja, apakah transfer kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah itu diiringi oleh alokasi dan distribusi sumber-sumber kekuasaan kepada berbagai komunitas atau kelompok yang ada di daerah, khususnya kelompok-kelompok yang sebelumnya termarginalisasi atau dalam posisi oposisi? Atau sebaliknya, apakah kekuasaan itu tetap saja tersentralisasi pada kelompok kecil elite, yang pada akhirnya desentralisasi politik itu hanya dinikmati oleh kelompok-kelompok tertentu saja.

Di Indonesia, salah satu faktor utama pendorong munculnya kebijakan desentralisasi pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru (sebagaimana tertuang di dalam UU No. 22 dan 25 tahun 1999) adalah untuk mempercepat proses demokratisasi dan memperbaiki kualitas demokrasi di daerah (Rasyid, 2003; Turner et al., 2003). Melalui transfer kekuasaan dan otoritas ke daerah, diharapkan bisa membuat daerah memiliki bargaining position yang lebih besar kepada pemerintah pusat. Dengan demikian daerah tidak hanya berfungsi untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah pusat. Lebih dari itu, daerah memiliki kekuasaan dan otoritas untuk merumuskan kebijakan-kebijakan untuk diri mereka sendiri. Pandanagan seperti ini di dasari oleh pemikiran bahwa para pemegang kekuasaan di daerah lebih tahu selera masyarakat di daerah daripada pemegang kekuasaan di pusat.22

1.6.4 Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah (sebuah penyempurnaan terhadap uu no. 22 tahun 1999).

Dokumen terkait