• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Hubungan Pemerintahan Desa Dengan Kecamatan Pada Masa Otonomi Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Implementasi Hubungan Pemerintahan Desa Dengan Kecamatan Pada Masa Otonomi Daerah"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI HUBUNGAN PEMERINTAHAN DESA DENGAN KECAMATAN PADA MASA OTONOMI DAERAH

(Studi Tentang Kekuasaan Pemerintahan Kecamatan Terhadap Desa

Di Desa Laut Dendang Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang)

DI S U S U N OLEH :

060906002

MUCHDA SOESILO

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah hirabbil ’alamin, segala puji kita panjatkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan karunian-Nya sehingga skripsi ini dapat dirampungkan. Dengan segenap kerendahan hati akhirnya skripsi ini penulis persembahkan kehadapan para pembaca yang budiman.

Adapun skripsi yang sedang anda baca ini merupakan serangkaian penelitian yang dilakukan penulis terhadap “Implementasi Hubungan Pemerintahan Desa Dengan Kecamatan Pada Masa Otonomi Daerah” yaitu studi tentang kekuasaan Pemerintahan Kecamatan terhadap Desa di Desa Laut Dendang Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.

Di era otonomi daerah saat ini yang juga memberikan otonomi sampai ke level desa menjadi menarik, penting dan sangat relevan untuk dikaji dalam rangka mendorong transformasi politik, ekonomi, budaya dan lainnya. Dimana Pemerintahan Desa sebagai ujung tombak dari keberhasilan pemerintahan secara umum, selain itu Pemeritah Desa secara nyata berhadapan langsung dengan rakyat. Di sisi lain seiring dengan bergulirnya otonomi daerah saat ini telah berimplkasi terhadap redefinisi dan restrukturisasi Camat dan Pemerintah Kecamatan.

(3)

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari masih memiliki berbagai kekurangan disana-sini. Sebagaimana manusia biasa tentu penulis juga mempunyai berbagai keterbatasan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya.

Selain dari pada itu banyak pihak yang telah berperan memberikan kontribusinya baik materi maupun imateril kepada penulis selama penelitian ini dilakukan. Maka melalui kesempatan ini pula penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga terkhusus bagi kedua orang tua tercinta Ayahanda “Muhammad Ali” dan Ibunda “Khairani” yang terus-menerus berdo’a dan dengan penuh kasih sayang, dengan hati suci tulus ikhlas, dengan semangat, keberanian dan kerja keras serta dengan pemikiran yang maju mendidik, membimbing bahkan mendukung penuh anak-anaknya. Apa yang penulis rasakan saat ini bahwa orang tua adalah pahlawan sejati bagi anak-anaknya. Orang tua adalah inspirasi yang berarti bagi penulis dalam menjalani kehidupan.

Terima kasih kepada Ibu Dra.T.Irmayani, M.Si selaku ketua Departemen Ilmu Politik, Bapak Drs. Heri Kusmanto, MA selaku dosen Penasehat Akademik penulis sekaligus sebagai Dosen Pembaca dalam skripsi ini, Bapak Drs. Zakaria Taher, M.SP selaku Pembantu Dekan I Bidang Akademik sekaligus Dosen Pembimbing dalam skripsi ini dan kepada seluruh staf pengajar maupun staf administrasi di FISIP USU yang telah banyak membantu dalam segala hal terutama dalam memberikan segudang ilmunya dengan penuh keuletan dan kesabaran.

Terima kasih kepada Abangda Wien Jaya Rahmad, S.Sos.i yang selama ini telah banyak mencurahkan perhatian kepada Ayahanda dan Ibunda di kampung halaman, Adinda Adha Saputera dalam pandangan penulis merupakan sosok anak muda yang mau berbakti kepada orang tua dan adinda Fathia Azzahra. MA yang selalu memberikan kehangatan di ruang keluarga.

(4)

Terima kasih kepada Bapak Adi dan Ibu Sumanti yang telah sudi menerima penulis menjadi bagian dalam keluarga dengan penuh kasih sayang dan perhatiannya, bagi penulis Bapak dan Ibu adalah orang tua penulis dalam menimba ilmu di perantauan. Terima kasih kepada kawan-kawan Departemen Ilmu Politik saudara Ahmad Afif Azhari Rangkuti, saudara Abi Rekso Panggalih, S. Sos, saudara Rifki Ananda, Fany Daulat Siregar, Nurman Fakhreza Nasution, Wahyu Irwansyah Tambunan, Ardiansyah H. Nasution, S.Sos, Reno Sugiarto, S.Sos, R. Rizki Tiertayasa Daulay, Amardin Harahap, Vira Gitra Rorit, Ulfa Rahmailis, Adelita Lubis, M.Si, Aditya Fiesta, S. Sos, Nadia Fadila, S.Sos, Teuku Asril dan masih banyak kawan-kawan yang lain; suatu kebanggaan dan kehormatan dapat bertemu dan belajar bersama, dan masih banyak Lagi pihak-pihak dari berbagai kalangan yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, kebaikan selalu menjadi kesan yang indah dalam setiap sejarah. semoga segala kebaikan tersebut dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT. Amiin.

Akhirnya harapan penulis semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Ilmu Politik.

Selamat Membaca, Medan, 02/06/2012

Muhda Soesilo

(5)

ABSTRAK

Peneliti Muhda Soesilo

Judul penelitian

IMPLEMENTASI HUBUNGAN PEMERINTAHAN DESA DENGAN KECAMATAN PADA MASA

OTONOMI DAERAH

Studi Tentang Kekuasaan Pemerintahan Kecamatan Terhadap Desa Di Desa Laut Dendang Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

Dalam rangka reformasi politik yang tengah berlansung saat ini yang ditandai dengan pemberian otonomi kepada daerah untuk mendorong terjadinya proses demokratisasi dengan tujuan agar terjadi akselerasi pembangunan, efektivitas dan efisiensi pelayanan publik serta memberdayakan masyarakat ke arah yang lebih mandiri dan sejahtera.

Melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah berupaya menggeser dominasi pemerintahan yang sentralistik, dimana dalam penerapannya selama berpuluh tahun lamanya telah membentuk perspektif kekuasaan yang “menguasai” dan terbukti telah berimplikasi terhadap sumbatnya aspirasi dan partisipasi rakyat dengan signifikansi yang tergolong cukup tinggi.

Perspektif kekuasaan yang demikian ternyata masih dapat dirasakan pada saat ini, di zaman reformasi ini, sekalipun dengan pola pemerintahan yang telah di rubah dari sebagai “penguasa” kepada sebagai “pelayan”. Desentralisasi belum mampu memberikan makna yang berarti di tengah masyarakat tanpa di ikuti dengan political will kepala daerah, begitu juga Pemerintah Kecamatan ternyata harus lebih memahami makna dari desentralisasi bahwa kecamatan merupakan mata rantai keberhasilan pemerintahan daerah yang menjembatani antara pemerintah desa dengan kabupaten/kota.

Pemerintah desa yang dekat di hadapan rakyat tampak kesulitan tanpa adanya kerja sama yang baik dan positif dengan pemerintah kecamatan untuk memberdayakan masyarakat desa sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta kewenangan kecamatan dalam konstruksi otonomi daerah saat ini. Kita juga menyadari bahwa dalam era otonomi daerah saat ini yang memberikan kewenangan yang begitu luas kepada daerah yaitu kabupaten/kota belum serius dalam memberdayakan pemerintahan kecamatan. Pemerintah kecamatan dalam posisinya yang dapat didelegasikan sebagian kewenangan dari Bupati/Walikota masih mengalami kendala.

(6)

ABSTRACT

Researcher Muhda Soesilo

Title of research

GOVERNMENT RELATIONS WITH THE IMPLEMENTATION OF THE VILLAGE ON THE SUB REGIONAL AUTONOMY

Studies District Executive Power Of Village In the Village District Laut Dendang Percut Sei Tuan Deli Serdang regency

In the framework of the political reforms that occurred at this time was marked by the granting of autonomy to the regions to encourage the democratization process in order to enable the acceleration of development, effectiveness and efficiency of public services and empowering communities towards a more self-reliant and prosperous.

Through Law Number 32 Year 2004 regarding Regional Government, the government attempted to shift the dominance of a centralized government, which in its application for tens of years has formed a power perspective the "master" and proved to have implications on the stopper aspirations and participation of people with a significance that is quite high.

Such a power perspective it can still be felt today, in this reform era, although the pattern of governance that has been in change of a "ruler" to a "servant". Decentralization has not been able to provide a meaningful sense in the community without the political will to follow the head region, as well as the District government turned out to be a better understanding of the meaning of decentralization that the district is a chain of successful local government is bridged between the village and district/city.

Near the village government before the people seem difficult in the absence of good cooperation and positive with the district government to empower rural communities in accordance with the duties and functions and authority of the district in the current construction of regional autonomy. We also realize that in the current era of regional autonomy which gives broad powers to the regions so that the district/city government not serious about empowering the district. District government in place that can be delegated some authority of the Regent/Mayor are still having problems.

(7)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar... i

Abstrak.... iv

Daftar isi... v

Daftar Tabel... viii

Daftar Bagan... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang masalah……….... 1

1.2Rumusan Masalah………. 7

1.3Batasan Masalah……… 7

1.4Tujuan Penelitian………... 7

1.5Manfaat Penelitian……….……….. 8

1.6Kerangka Teoritis ……….………. 8

1.6.1 Pemerintah dan Pemerintahan... 8 1.6.2 Good Governance... 10 1.6.2.1Pengertian Good Governance... 10

1.6.2.2Prinsip-Prinsip Good Governance... 12

1.6.2.3Good Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah... 14

1.6.3 Teori Otonomi Daerah... 15 1.6.3.1Pengertian Otonomi Daerah... 15

(8)

1.6.4 Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah... 23

1.6.4.1Umum... 23

1.6.4.2Filosofi UU No. 32 Tahun 2004... 26

1.7Metodologi Penelitian... 28

1.7.1 Jenis dan Sifat Penelitian... 28

1.7.2 Responden Penelitian... 29

1.7.3 Sumber Data... 29

1.7.4 Metode Pengumpulan Data... 29

1.7.5 Analisis Data... 30

1.8Sistematika Penulisan... 30

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 2.1Desa Laut Dendang...……….………... 32

2.2Keadaan Geografis... 32

2.3Sosial... 34

2.4Data Pemerintahan... 35 BAB III PENYAJIAN DATA DAN ANALISA DATA 3.1Penyajian Data Hasil Penelitian...………... 37

3.1.1 Hasil Penelitian Lapangan... 37

3.1.2 Pelaksanaan Pelimpahan Sebagian Kewenangan Pemerintahan Dari Bupati Kepada Camat Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Deli Serdang... 47

3.1.3 Inventarisasi Regulasi Tentang Kewenangan Pemerintahan Kecamatan dan Desa... 51

3.2Analisa Data... 55

3.2.1 Posisi Pemerintah Kecamatan Dalam Otonomi Daerah... 55 3.2.1.1Kedudukan Kecamatan... 55

3.2.1.2Tugas, Fungsi dan Kewenangan Camat... 59

(9)

3.2.2 Posisi Pemerintah Desa Pada Masa Otonomi Daerah

(Pemerintah Desa Dalam Pengaturan UU No. 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah)... 65

3.2.2.1Nomenklatur dan Status Desa... 65

3.2.2.2Kewenangan Desa... 66

3.2.2.2.1 Kewenangan Yang Sudah Ada Berdasarkan Hak Asal Usul Desa... 66 3.2.2.2.2 Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Kabupaten/Kota Yang Diserahkan Pengaturannya Kepada Desa... 68

3.2.2.2.3 Tugas Pembantuan Dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota... 70

3.2.2.2.4 Urusan Pemerintahan Lainnya Yang Oleh Peraturan Perundang-Undangan Diserahkan Kepada Desa... 71

3.2.2.3Penyelenggaraan Pemerintahan Desa... 71

3.2.2.3.1 Pemerintah Desa... 71

3.2.2.3.2 Badan Permusyawaratan Desa (BPD)... 76

3.2.3 Hubungan Pemerintahan Kecamatan Dan Desa Pada Masa Otonomi Daerah... 79

BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENELITIAN 4.1Kesimpulan Penelitian... 88

4.2Rekomendasi Penelitian... 89

Daftar Pustaka... 90

(10)

ABSTRAK

Peneliti Muhda Soesilo

Judul penelitian

IMPLEMENTASI HUBUNGAN PEMERINTAHAN DESA DENGAN KECAMATAN PADA MASA

OTONOMI DAERAH

Studi Tentang Kekuasaan Pemerintahan Kecamatan Terhadap Desa Di Desa Laut Dendang Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

Dalam rangka reformasi politik yang tengah berlansung saat ini yang ditandai dengan pemberian otonomi kepada daerah untuk mendorong terjadinya proses demokratisasi dengan tujuan agar terjadi akselerasi pembangunan, efektivitas dan efisiensi pelayanan publik serta memberdayakan masyarakat ke arah yang lebih mandiri dan sejahtera.

Melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah berupaya menggeser dominasi pemerintahan yang sentralistik, dimana dalam penerapannya selama berpuluh tahun lamanya telah membentuk perspektif kekuasaan yang “menguasai” dan terbukti telah berimplikasi terhadap sumbatnya aspirasi dan partisipasi rakyat dengan signifikansi yang tergolong cukup tinggi.

Perspektif kekuasaan yang demikian ternyata masih dapat dirasakan pada saat ini, di zaman reformasi ini, sekalipun dengan pola pemerintahan yang telah di rubah dari sebagai “penguasa” kepada sebagai “pelayan”. Desentralisasi belum mampu memberikan makna yang berarti di tengah masyarakat tanpa di ikuti dengan political will kepala daerah, begitu juga Pemerintah Kecamatan ternyata harus lebih memahami makna dari desentralisasi bahwa kecamatan merupakan mata rantai keberhasilan pemerintahan daerah yang menjembatani antara pemerintah desa dengan kabupaten/kota.

Pemerintah desa yang dekat di hadapan rakyat tampak kesulitan tanpa adanya kerja sama yang baik dan positif dengan pemerintah kecamatan untuk memberdayakan masyarakat desa sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta kewenangan kecamatan dalam konstruksi otonomi daerah saat ini. Kita juga menyadari bahwa dalam era otonomi daerah saat ini yang memberikan kewenangan yang begitu luas kepada daerah yaitu kabupaten/kota belum serius dalam memberdayakan pemerintahan kecamatan. Pemerintah kecamatan dalam posisinya yang dapat didelegasikan sebagian kewenangan dari Bupati/Walikota masih mengalami kendala.

(11)

ABSTRACT

Researcher Muhda Soesilo

Title of research

GOVERNMENT RELATIONS WITH THE IMPLEMENTATION OF THE VILLAGE ON THE SUB REGIONAL AUTONOMY

Studies District Executive Power Of Village In the Village District Laut Dendang Percut Sei Tuan Deli Serdang regency

In the framework of the political reforms that occurred at this time was marked by the granting of autonomy to the regions to encourage the democratization process in order to enable the acceleration of development, effectiveness and efficiency of public services and empowering communities towards a more self-reliant and prosperous.

Through Law Number 32 Year 2004 regarding Regional Government, the government attempted to shift the dominance of a centralized government, which in its application for tens of years has formed a power perspective the "master" and proved to have implications on the stopper aspirations and participation of people with a significance that is quite high.

Such a power perspective it can still be felt today, in this reform era, although the pattern of governance that has been in change of a "ruler" to a "servant". Decentralization has not been able to provide a meaningful sense in the community without the political will to follow the head region, as well as the District government turned out to be a better understanding of the meaning of decentralization that the district is a chain of successful local government is bridged between the village and district/city.

Near the village government before the people seem difficult in the absence of good cooperation and positive with the district government to empower rural communities in accordance with the duties and functions and authority of the district in the current construction of regional autonomy. We also realize that in the current era of regional autonomy which gives broad powers to the regions so that the district/city government not serious about empowering the district. District government in place that can be delegated some authority of the Regent/Mayor are still having problems.

(12)

BAB I

IMPLEMENTASI HUBUNGAN PEMERINTAHAN DESA DENGAN KECAMATAN

PADA MASA OTONOMI DAERAH

(Studi Tentang Kekuasaan Pemerintahan Kecamatan Terhadap Desa

Di Desa Laut Dendang Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang)

1.1Latar Belakang Masalah

Perkembangan pemerintahan daerah di Indonesia sejak awal Orde Baru tumbuh sejalan dengan kebijakan yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Selanjutnya proses kebijakan ini diwarnai oleh konfigurasi politik dengan latar belakang gejolak politik keamanan daerah.

Kebijakan otonomi daerah selama pelaksanaan UU. No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, secara kontekstual selama penerapannya memperkenalkan dimensi baru menyangkut otonomi daerah, yaitu otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.1

Deviasi dan distorsi tersebut tidak hanya berimplikasi pada ketidakjelasan arah otonomi melainkan telah menciptakan ketergantungan daerah yang makin hari makin besar

UU ini juga sebenarnya telah mengatur hubungan kekuasaan pusat dan daerah pada bobot yang seimbang dalam arti kekuasaan yang dimiliki pusat dan daerah berada dalam titik keseimbangan (balance power sharing).

Penyusunan UU tersebut sadar untuk meletakkan bobot kekuasaan pada posisi yang berimbang yang dirumuskan dalam kalimat bahwa “asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi dan memberi kemungkinan pula bagi pelaksanaan asas tugas pembantuan”.

Sayangnya gerak penyelenggaraan pemerintahan daerah yang telah ditata secara seimbang antara kekuasaan pusat dan daerah, pada awal pelaksanaanya berjalan dengan baik, namun lambat laun mengalami deviasi dan distorsi akibat paradigma dan cara pandang rezim Orde Baru yang menjadikan kebijakan otonomi daerah sebagai instrumen sentralisasi, eksploitasi dan penyeragaman bagi daerah yang sangat beragam.

1

(13)

terhadap pemerintah pusat. Hal ini terjadi akibat penafsiran yang keliru maupun yang sengaja disalahtafsirkan terhadap UU Nomor 5 Tahun 1974 untuk memperkuat dominasi Pemerintah Pusat.

Dengan begitu daerah kehilangan ruang gerak dalam melaksanakan otonominya bahkan sampai ke level desa melalui UU No. 5 Tahun 1979 tentang desa, diikuti oleh beberapa tindakan yang jelas semakin memperlemah kedudukan desa. Adapun tindakan tersebut diantaranya menempatkan kecamatan sebagai kekuasaan langsung di atas desa, sehingga gerak langkah desa tidak mungkin bisa independen dari kecamatan. Malah yang kemudian berlangsung adalah adanya intervensi berlebihan dari kecamatan. Kondisi ini pula yang dinyatakan sebagai penanggung jawab adanya loyalitas tinggi pada institusi di atas desa, ketimbang pada rakyat desa itu sendiri.

Pada UU Nomor 5 Tahun 1974, kecamatan didefinisikan sebagai wilayah administratif pemerintahan dalam rangka dekonsentrasi. Definisi ini bermakna bahwa kecamatan adalah lingkungan kerja perangkat pemerintah pusat yang menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintahan umum di daerah (Maksum, 2007).

Pada masa berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974 tersebut, camat merupakan kepala wilayah. Sebagaimana pada pasal 76 dinyatakan setiap wilayah dipimpin oleh seorang kepala wilayah. Dalam pasal 77 dinyatakan bahwa kepala wilayah kecamatan disebut camat. Dalam pasal 80 dinyatakan kepala wilayah sebagai wakil pemerintah adalah penguasa tunggal di bidang pemerintahan dalam wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan mengoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyarakat di segala bidang. Wewenang, tugas, dan kewajiban camat selaku kepala wilayah kecamatan sama dengan wewenang, tugas, dan kewajiban kepala wilayah lainnya, yakni gubernur, bupati, dan walikota.

(14)

heran pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, camat dapat memutuskan segala sesuatu tanpa perlu mengkonsultasikannya dengan bupati.2

Kelembagaan politik non-formal seperti rembug desa (berinug-Kalimantan Timur) menjadi hilang digantikan institusi instan buatan Negara (LKMD/LMD). Hal ini membawa pengaruh yang luar biasa, terutama dalam menjaga keberlangsungan system social di tingkat local. Indikasi yang gampang dilihat secara vulgar di masyarakat adalah ketergantungan dan kecenderungan untuk apolitis serta penyelesaian sengketa secara pintas dengan kekerasan. Nilai-nilai yang dipegang teguh secara turun-temurun digantikan dengan nilai yang mengedepankan corak individual/pragmatis. Demokrasi menjadi macet digantikan dengan system politik yang hirarkhis/refresif.

Di sisi yang lain, konsekuensi dari pola kebijakan UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 5 Tahun 1979 telah membawa pengaruh yang luar biasa besar terhadap kehidupan masyarakat di pedesaan. Hilangnya tradisi local, terutama yang terkait dengan adat-istiadat telah membawa pengaruh yang luar biasa terhadap pola-pola kehidupan secara komunal. Tingginya intensitas konflik ditengarai sebagai akibat dari pudarnya legitimasi kekuasaan local yang digantikan dengan kekuasaan top-down, serta pudarnya hubungan-hubungan komunal diantara masyarakat.

3

Proses reformasi politik dan penggantian pemerintahan yang terjadi pada tahun 1998, telah diikuti dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang secara otomatis mencabut UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Selanjutnya sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 dalam BAB XI Pasal 93-111 tentang penyelenggaraan pemerintahan desa dan PP No. 76 Tahun 2001 tentang pedoman umum pengaturan mengenai Selain itu kita mengetahui bahwa sejak kehadiran Negara modern, kemandirian dan kemampuan masyarakat desapun mulai berkurang. Berbagai peraturan ataupun undang-undang yang sengaja di buat jelas-jelas semakin menunjukkan kedudukan desa yang lemah sementara kekuasaan Negara di desa melalui penetrasi kekuasaan justru semakin kuat.

2

Moh. Ilham. A. Hamudy. Jan-Apr 2009. “Peran Camat di Era Otonomi Daerah”. Jurnal Ilmu Administrasi dan organisasi. Vol 16. No. 1. Hal 1.

3

(15)

desa menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.4

Keadaan semacam ini berlangsung sudah cukup lama sehingga muncul sikap dan prilaku dari penyelenggara pemerintah yang melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja. Kondisi yang telah berlangsung lama seperti saat ini ternyata ikut menghambat pelaksanaan UU. No 22 Tahun 1999, karena ternyata prilaku-prilaku lama masih tampak dan hal ini jelas tidak kondusif untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal terutama menghadapi tantangan global yang memiliki daya penetrasi yang kuat di dalam masyarakat serta punya sistem nilai dan melembaga dalam lingkup mondial (mendunia).

Sejak otonomi daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 ini dilaksanakan dan memberi otonomi pada desa dengan format demokrasi delegatif yang diwujudkan dalam pembentukan BPD (Badan Perwakilan Desa), maka peranan camat dimarjinalkan. Dimana UU tersebut telah menghapuskan camat sebagai penguasa tunggal diwilayahnya. Kecamatan tidak lagi berperan sebagai perangkat pemerintah nasional di wilayah kecamatan, melainkan sebagai staf bupati dalam yurisdiksinya. Sehingga ketentuan ini pada saat itu telah membuat mengambang pemerintahan kecamatan. Di sisi lain pemerintah desa dapat secara langsung berhubungan dengan pemerintahan kabupaten dan kecenderungan seperti itu telah muncul di berbagai provinsi, tentunya hal ini akan menguras energi desa bila banyak persoalan mesti diselesaikan di kabupaten, padahal persoalan tersebut dapat diselesaikan di tingkat kecamatan.

Selama proses ini bergulir, para Camat pada umumnya masih berusaha melakukan sesuatu guna “memulihkan” peranannya seperti semula walaupun sebenarnya mereka bingung untuk melakukan sesuatu, karena landasan tindakan mereka tidak lagi ditopang oleh hukum positif. Namun pada beberapa kecamatan proses pemerintahan pada umumnya masih berjalan seperti biasa dan bahkan para Camat berupaya menunjukkan sikap bahwa mereka masih “menguasai” pemerintahan desa.

5

Posisi Camat menurut UU No. 22 Tahun 1999 tergantung pada “seni memimpin” demikian pernah diungkapkan oleh salah satu Camat. Artinya upaya menegakkan wibawa (kekuasaan) Camat sangat tergantung pada kemampuan pendekatan Camat secara informal

4

Prof. Drs. HAW. Widjaja. 2003. Otonomi Desa; Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat dan Utuh. Jakarta: Rajawali Pers. Hal 5.

5

(16)

untuk menghadirkan eksistensinya dengan memanfaatkan kekurangpengetahuan aparat desa dan masyarakatnya tentang otonomi desa.

Namun keadaan ini tentu akan bersifat temporer dan keberhasilannya sangat tergantung pada kemampuan individual Camat. Oleh karena itu nasib Camat sangat tergantung kepada bupatinya, dalam hal ini banyak bupati di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki pemikiran untuk menguatkan posisi para Camatnya dengan alasan bahwa kemampuan pemerintahan desa masih perlu dibina, sehingga Bupati memposisikan Camat sebagai Pembina Pemerintahan Desa.

Oleh karena itu penempatan camat sebagai Pembina sebenarnya lebih banyak dimaknai bahwa Camat merupakan kepanjangan tangan dari Bupati, bahkan pada praktek masa lalu Camat menjadi kepentingan berbagai kekuatan sosial-politik maupun sosial ekonomi. UU No. 32 Tahun 2004 agaknya sangat tanggap terhadap posisi Camat yang serba mengambang itu, sehingga pada pasal 126 ditegaskan kewenangan Camat selain sebagai koordinator pemerintahan juga merupakan Pembina Desa.

Sebenarnya peran Camat sebagai mediator antara “pihak luar” dengan desa tidak bersifat buruk, namun seringkali peran tersebut menjadi buruk ketika Camat lebih mengedepankan kepentingan para penguasa daripada masyarakat desa, atau bahkan karena terlalu berpihak maka Camat berfungsi “meredam” kepentingan rakyat desa.

Padahal Camat sebagai mediator atau intermediary institutions (lembaga yang berperan sebagai jembatan kepentingan Pemerintahan Desa dengan Pemerintahan Kabupaten) dapat berperan lebih positif dengan mengembangkan sinergi Pemerintahan Desa dengan Pemerintahan Kabupaten, tentunya bila ada pendelegasian kewenangan Bupati kepada Pemerintah Kecamatan.6

6

Heri Kusmanto, Rustam Ependi, Harmaini El Harmawan, Listiani. 2007. Desa Tertekan kekuasaan. Medan: BITRA Indonesia. Hal 36-39

(17)

Setelah beberapa kali mengalami perubahan dasar hukum tersebut yang menjadi dasar pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, baik itu UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan telah dirubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan daerah, dari perubahan dasar hukum tersebut tersirat adanya momentum strategis dalam rangka redefinisi dan restrukturisasi tugas pokok serta fungsi kecamatan khusnya dalam hubungannya dengan desa.

Dalam pasal 126 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa : “kecamatan dipimpin oleh Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian kewenangan dari Bupati/Walikota untuk menangani sebahagian urusan otonomi daerah”.

Ketetapan sebagaimana bunyi pasal 126 ayat (2) di atas, telah mengubah kedudukan kecamatan dari kedudukan sebelumnya bahwa kecamatan merupakan perangkat dekonsentrasi (perangakat wilayah), menjadi sebagai perangkat desentralisasi (perangkat daerah), yang dalam pelaksanaan tugas-tugasnya menerima sebagian pelimpahan kewenangan dari Bupati/Walikota. Ketetapan demikian mau tidak mau akan memaksa dan mendorong Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota untuk memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada kecamatan melalui upaya pemberdayaan Kecamatan.

Dalam upaya pemberdayaan Kecamatan, Pemerintah Kecamatan harus lebih akomodatif dan fleksibel artinya dengan kewenangannya Camat diharapkan mampu menyelesaikan sendiri berbagai masalah yang timbul dan berkembang di masyarakat serta mampu melahirkan kebijakan positif yang menyentuh langsung kepada penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan yang sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat desa.

Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini berusaha mengkaji ulang peran camat dan kecamatan dalam hubungannya dengan pemerintahan desa yang telah banyak megalami perubahan di berbagai dimensi, khususnya terkait dengan pengelolaan kekuasaan seiring dengan bergulirnya era otonomi daerah.

(18)

implementasi otonomi daerah dapat dikurangi, sehingga apa yang menjadi cita-cita dasar dari otonomi daerah dapat terwujud.7

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut:

a) Bagaimana efektifitas penyelenggaraan pemerintahan kecamatan Percut Sei Tuan terhadap desa Laut Dendang pada masa otonomi daerah?

b) Apa sajakah kewenangan Bupati Deli Serdang yang sudah didelegasikan kepada pemerintah Kecamatan Percut Sei Tuan?

1.3Batasan Masalah

Batasan masalah diperlukan dalam penelitian agar focus penelitian dapat dilakukan secara sistematis dan uraian yang di buat tidak melebar. Maka masalah dalam penelitian ini adalah:

Implementasi Hubungan Pemerintahan Desa Dengan Kecamatan Pada Masa Otonomi Daerah. (Studi Tentang Kekuasaan Pemerintahan Kecamatan Terhadap Desa Di Desa Laut Dendang Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang), dengan melihat bagaimana pola hubungan kekuasaan yang dilakukan pemerintahan Kecamatan Percut Sei Tuan terhadap desa Laut Dendang dengan memperhatikan kewenangannya masing-masing, sehingga menemukan sebuah bangunan relasi kekuasaan serta bagaimana relasi kekuasaan ini menemukan relevansi dalam konteks otonomi daerah di Indonesia.

1.4Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :

a) Untuk mengetahui efektifitas pemerintahan Kecamatan Percut Sei Tuan terhadap desa Laut dendang.

b) Untuk mengetahui pendelegasian Kewenangan bupati Deli Serdang terhadap Camat Percut Sei Tuan.

7

(19)

1.5Manfaat Penelitian

Peneliitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terutama terhadap perkembangan ilmu pengetahuan baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

a) Manfaat bagi penulis, melalui penelitian ini semoga menambah pengetahuan dan pemahaman serta meningkatkkan kreativitas penulis dalam membuat suatu karya ilmiah khususnya dalam bidang ilmu politik.

b) Manfaat akademis, Peneliti berharap rangkaian dan hasil penelitian ini nantinya dapat bermanfaat dalam memberikan kontribusi pemikiran dan menambah khazanah ilmu pengetahuan serta memperbanyak referensi bagi ilmu politik sendiri maupun proses pendidikan lainnya secara lebih komprehensif.

1.6Kerangka Teoritis

Bagian ini adalah unsur yang paling penting dalam penelitian, karena pada bagian ini peneliti mencoba menjelaskan objek kajian yang sedang diamatinya, dengan menggunakan teori-teori yang relevan dalam penelitiannya, teori dapat diartikan sebagai serangkaian asumsi, konsep, definisi untuk menerangkan suatu fenomena yang tengah diteliti.8

1.6.1 Pemerintah dan Pemerintahan

Adapun beberapa pendekatan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Pemerintah secara etimologi berasal dari bahasa yunani, Kubernan atau Nahkoda Kapal. Artinya menatap ke depan. Lalu memerintah berarti melihat kedepan menentukan berbagai kebijakan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan masyarakat-negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat pada masa yang akan datang dan mengelola tujuan yang akan dicapai (Ramlan Surbakti, 1999:168).9

Pemerintah dan pemerintahan mempunyai pengertian yang berbeda. Pemerintah merujuk kepada organ atau alat perlengkapan, sedangkan pemerintahan menunjukkan bidang tugas atau fungsi. Dalam arti sempit pemerintah hanyalah lembaga eksekutif saja. Sedangkan dalam arti luas, pemerintah mencakup aparatur negara yang meliputi semua organ-organ, badan-badan atau lembaga-lembaga, alat

8

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi. 1988. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: LP3S. Hal 37

9

(20)

perlengkapan negara yang melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan negara. Dengan demikian pemerintah dalam arti luas adalah semua lembaga negara yang terdiri dari lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Dalam arti sempit pemerintahan adalah segala kegiatan, fungsi, tugas dan kewajiban yang dijalankan oleh lembaga eksekutif untuk mencapai tujuan negara. Pemerintahan dalam arti luas adalah segala kegiatan yang terorganisir yang bersumber pada kedaulatan dan kemerdekaan, berlandaskan pada dasar negara, rakyat atau penduduk dan wilayah negara itu demi tercapainya tujuan negara. Di samping itu dari segi struktural fungsional pemerintahan dapat didefinisikan pula sebagai suatu sistem struktur dan organisasi dari berbagai macam fungsi yang dilaksanakan atas dasar-dasar tertentu untuk mewujudkan tujuan negara. (Haryanto dkk, 1997 : 2-3).10

a) Pembentukan Undang-Undang. (Legislative Power=Wetgeving).

Untuk menyelenggarakan dan melaksanakan tujuan negara tersebut pemerintah melakukan kegiatan-kegiatan pemerintahan dalam suatu negara. Pemerintah dalam arti yang luas di indonesia sekarang dilakukan menurut cara-cara yang banyak berasal dari cara-cara barat karena sejarahnya.

Pemerintahan dalam arti yang luas terbagi berdasarkan ajaran trias politica dari Montesquieu atas :

b) Pelaksanaan. (Executive Power=Uitvoering). c) Peradilan. (Judical Power=Rechtsprak).

C. Van Vollenhoeven menambahkan bagian ke-4, yaitu kepolisian pada bagian dari Montesquieu tersebut, sedang pembagian yang terakhir sekali dalam ilmu pengetahuan tentang Administrasi Negara telah melepaskan tripraja dari Montesquieu dan catur praja C. Van Vollenhoeven, tetapi memakai pembahagian yang termodern dalam ilmu administrasi, yaitu :

a) Penentuan tugas dan tujuan negara, (policy making = taak en doelstelling). b) Melaksanakan tugas negara. (Executing = uitvoering).

10

(21)

Atas dasar uraian tersebut maka dengan pengertian ‘pemerintah‘ dalam arti yang luas dimaksud dalam rangka ajaran tentang :

Tripraja Montesquieu meliputi :

a) Badan Perundang-undangan b) Badan Pelaksana

c) Badan Peradilan.

Caturpraja C. Van Vollenhoeven meliputi :

a) Bestuur, atau pemerintahan yaitu kekuasaan untuk melaksanakan tujuan negara.

b) Politie, adalah kekuasaan kepolisian untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum negara

c) Rechtspraak, atau peradilan adalah kekuasaan untuk menjamin keadilan di dalam negara.

d) Regeling, atau pengaturan Perundang-undangan yaitu kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan umum dalam negara.

Pemerintah dalam arti yang luas menurut A.M Donner meliputi :

a) Badan-badan pemerintahan di pusat, yang menentukan haluan negara b) Instansi yang melaksanakan keputusan badan-badan tersebut.11

1.6.2 Good Governance

1.6.2.1Pengertian Good Governance

Istilah “Good Governance” mulai muncul dan populer di Indonesia sekitar tahun 1990-an. Dalam penyelenggaraan pemerintahan kita “Good

Governance” menjadi sangat penting dan strategis, mengingat kemunculannya

disaat penyelenggaraan pemerintahan indonesia sedang mengalami distorsi terhadap efektivitas pelayanan kepada publik.

Dalam konsep “Good Governance” atau sering disebut sebagai “tatakelola kepemerintahan yang baik” untuk membedakan dengan

11

(22)

“pemerintahan yang bersih dan berwibawa” (clean government), maka “tatakelola kepemerintahan yang baik”, sebagai kata sifat adalah “cara-cara penyelenggaraan pemerintahan secara efisien dan efektif12

Pengertian “Good Governance” menurut Healy dan Robinson (1992: 64) yang di kutip Hamdi,

.

13

Adapun pengertian “Good Governance” menurut UNDP dalam sedarmayanti,

mengatakan bahwa “good governance” bermakna tingkat efektivitas organisasi yang tinggi dalam hubungan dengan formulasi kebijakan dan kebijakan yang senyatanya dilaksanakan, khususnya dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi dan kontribusinya pada pertumbuhan, stabilitas dan kesejahteraan rakyat. Pemerintahan yang baik juga bermakna akuntabilitas transparansi, partisipasi dan keterbukaan.

14

Dalam memahami tentang pengertian “Good Governance” patut menjadi catatan bagi kita agar tidak salah pengertian terhadap istilah “Good

Governance” seperti yang disampaikan oleh Tjokroamidjojo

“Good Governance” merupakan proses penyelenggaraan

kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and service

disebut governance (pemerintah atau kepemerintahan), sedangkan istilah yang lebih populer disebut “Good Governance” (kepemerintahan yang baik). Agar good governance dapat menjadi kenyataan dan berjalan dengan baik, maka dibutuhkan komitmen dan keterlibatan semua pihak yaitu pemerintah dan masyarakat. “Good governance” yang efektif menuntut adanya “aligment”

(koordinasi) yang baik dan integritas, profesional serta etos kerja dan moral yang tinggi. Dengan demikian penerapan konsep good governance dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintah negara merupakan tantangan tersendiri.

15

12

DR. Bambang Istianto. 2011. Demokratisasi Birokrasi. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media. H. 183.

13

Muchlis Hamdi. 2003. Bunga Rampai Pemerintahan. Jakarta: Yarsif Watampone. H. 54

14

Sedarmayanti. 2003. Good Governance; Kepemerintahan Yang Baik Dalam Rangka Otonomi Daerah. Bandung: CV. Mandar Maju. H.2

15

Bintoro Tjokroamidjojo. 2001. Good Governance, Paradigma Baru Ilmu Pemerintahan. Jakarta:ISBM. H 13.

yaitu sebagai berikut: sebagai suatu pemikiran kontemporer banyak kesalahmengertian,

Good Governance” sering di artikan sebagai “Clean Government”, Good

(23)

difungkiri “good governance” mulai berkembang dari perhatian terhadap

Clean Government” dan “Good Government”.

Dari beberapa pengertian mengenai “Good Governance” dan juga karakteristik Good Governance”, terdapat beberapa kesamaan dalam tuntutan serta sistem politik demokratis terutama yang meliputi; rule of law,

transparansi, accountability, konsensus. Dari segi masing-masing tersebut

adalah seiring dengan arti dan makna demokrasi sehingga sistem politik yang demokratis dapat terwujud maka akan membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memiliki tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik, teratur dan tertib.

1.6.2.2Prinsip-prinsip Good Governance

Menurut Tamim16

a) Competence, artinya bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah harus

dilakukan dengan mengedepankan profesionalitas dan kompetensi birokrasi. Untuk itu, setiap pejabat yang dipilih dan ditunjuk untuk menduduki suatu jabatan pemerintahan daerah harus benar-benar orang yang memiliki kompetensi dilihat dari semua aspek penilaian, baik dari segi pendidikan/keahlian, pengalaman, moralitas, dedikasi, maupun aspek-aspek lainnya.

terdapat enam hal yang menunjukkan bahwa suatu pemerintahan memenuhi kriteria Good Governance, sebagai berikut:

b) Transparancy, artinya setiap proses pengambilan kebijakan publik dan

pelaksanaan seluruh fungsi pemerintahan harus diimplementasikan dengan mengacu pada prinsip keterbukaan. Kemudahan akses terhadap informasi yang benar, jujur, dan tidak deskriminatif mengenai penyelenggaraan pemerintahan oleh birokrasi daerah merupakan hak yang harus dijunjung tinggi.

c) Accountability, artinya bahwa setiap tugas dan tanggug jawab

pemerintahan daerah harus diselenggarakan dengan cara yang terbaik dengan pemanfaatan sumber daya yang efisien demi keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, karena setiap kebijakan dan

16

(24)

tindakan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan ke hadapan publik maupun dari kacamata hukum.

d) Participation, artinya dengan adanya otonomi daerah, maka magnitude

dan intensitas kegiatan pada masing-masing daerah menjadi sedemikian besar. Apabila hal tersebut dihadapkan pada kemampuan sumber daya masing-masing daerah, maka mau tidak mau harus ada perpaduan antara upaya pemerintah daerah dengan masyarakat. Dengan demikian pemerintah daerah harus mampu mendorong prakarsa, kreativitas, dan peran serta masyarakat dalam setiap upaya yang dilakukan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan keberhasilan pembangunan daerah.

e) Rule of Law, artinya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah harus

disandarkan pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang jelas. Untuk itu perlu dijamin adanya kepastian dan penegakan hukum yang merupakan prasyarat keberhasilan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

f) Social Justice, artinya penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam

implementasinya harus menjamin penerapan prinsip kesetaraan dan keadilan bagi setiap anggota masyarakat. Tanpa adanya hal tersebut, masyarakat tidak akan turut mendukung kebijakan dan program pemerintah daerah.

Sedangkan prinsip-prinsip Good Governance versi UNDP yang saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri, sebagaimana dikutip Sedarmayanti17

a) Participation; setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan

keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi ini di bangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.

, adalah sebagai berikut:

b) Rule of Law; kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa

perbedaan, terutama hukum hak azasi manusia.

17

(25)

c) Transparansi, transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses lembaga dan informal secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan informasi dapat dipahami dan dapat dipantau.

d) Responsiveness, lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani setiap

stakeholder.

e) Consensus orientation, Good Governance” menjadi perantara

kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.

f) Effektiveness and efficiency; proses dan lembaga menghasilkan sesuai

dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin.

g) Accountability; para pembuat keputusan dalam pemerintahan sektor

swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada pihak publik dan lembaga stakeholder.

h) Strategy vision; para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif

good Governance” dan pengembangan manusia yang luas serta jauh

kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan yang semacam ini.

1.6.2.3Good Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Dalam perkembangan dewasa ini kebijakan pemerintah ke arah penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik sudah mulai dilakukan dengan diawali dengan desentralisasi kewenangan kepada daerah kabupaten/kota melalui UU No. 22 Tahun 1999 juga UU No. 32 Tahun 2004 beserta peraturan pemerintahannya.

Oleh karena itu dalam perspektif penyelenggaraan pemerintahan terjadi perubahan yang cukup signifikan menuju terwujudnya “Good

Governance”. Demikian pula tujuan kebijakan otonomi daerah di Indonesia

(26)

pemerintahan yang efektif; meningkatkan efisiensi pelayanan publik di daerah, serta meningkatkan transparansi pengambilan kebijakan dan akuntabilitas publik, pada akhirnya diharapkan terciptanya kepemerintahan yang baik (Good Governance).

1.6.3 Teori Otonomi Daerah

1.6.3.1Pengertian Otonomi Daerah

Seperti dikatakan oleh Mark Turner (1999:4), ‘desentralisasi merupakan salah satu konsep di dalam ilmu sosial yang memiliki banyak makna disepanjang waktu’. Pemaknaan yang beragam ini tidak lepas dari banyaknya aplikasi disiplin dan perspektif di dalam ilmu sosial yang concern terhadap studi mengenai desentralisasi. (Conyers, 1984: 190-191).18

Sementara istilah “daerah” itu memiliki arti yang cukup luas yakni sebagai “bagian permukaan bumi dalam kaitannya dengan keadaan alam dan sebagainya yang khusus; Lingkungan pemerintahan; Wilayah; selingkungan kawasan, tempat-tempat sekeliling atau yang termasuk dalam lingkukangan suatu kota (wilayah dan sebagainya); tempat-tempat dalam suatu lingkungan yang sama keadaannya (iklimnya, hasilnya dan sebagainya); tempat-tempat yang terkena peristiwa yang sama; bagian permukaan tubuh”.

Otonomi bila kita tinjau dari segi etimologisnya berasal dari dua kata dalam bahasa yunani, yakni kata “auto” yang berarti sendiri dan “nomos” yang berarti undang-undang atau peraturan. Selanjutnya istilah ini berkembang menjadi terminology “pemerintahan sendiri” atau mengatur dengan “undang-undang sendiri”. Lalu beberapa ahli mencoba menarik sebuah definisi otonomi yang diartikan sebagai “pemberian hak dan kekuasaan perundang-undangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri kepada instansi, perusahaan, daerah atau “kebebasan atas kemandirian, bukan kemerdekaan”.

19

18

Ibid, hal 138.

19

(27)

Lalu keterkaitan antara kedua kata tersebut yakni otonomi dan daerah adalah merupakan dua buah kata yang sering dipakai secara bersamaan. Ini disebabkan karena menurut Sumitro Maskun:

“pengertian otonomi dalam lingkup suatu Negara selalu dikaitkan dengan daerah atau pemerintahan daerah (local government). Otonomi dalam pengertian ini, selain berarti mengalihkan kewenangan dari pusat (central government) ke daearah, juga berarti menghargai atau mengefektifkan daerah kewenangan asli yang sejak semula tumbuh dan hidup di daerah untuk melengkapi system prosedur pemerintahan Negara di daerah”.

Dengan demikian otonomi daerah secara istilah dapat dirumuskan sebagai sebuah kondisi dimana kewenangan daerah dijunjung tinggi dan mendapat tempat yang strategis dalam arti pemerintah daerah sama sekali tidak mengalami proses intervensi yang dapat mengganggu kewenangannya tersebut dan untuk mengatur wilayahnya dalam lingkup kewenangannya itu.20

Dalam kaitannya dengan kewajiban untuk memikirkan dan menetapkan sendiri bagaimana penyelesaian tugas penyelenggaraan pemerintahan, Sinindhia dalam Suryawikarta (1995:35), mengemukakan batasan otonomi sebagai “…kebebasan bergerak yang diberikan kepada daerah otomom dan memberikan kesempatan kepadanya untuk mempergunakan prakarsanya sendiri dari segala macam keputusannya, untuk mengurus kepentingan-kepentingan umum.”

Syafrudin (1991:23) misalnya, mengatakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Menurutnya Kebebasan terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Secara implisit definisi otonomi tersebut mengandung dua unsur, yaitu : Adanya pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta kewenangan untuk melaksanakannya; dan Adanya pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri berbagai penyelesaian tugas itu.

20

(28)

Dari berbagai batasan tentang otonomi daerah tersebut diatas, dapat dipahami bahwa sesungguhnya otonomi merupakan realisasi dari pengakuan pemerintah bahwa kepentingan dan kehendak rakyatlah yang menjadi satu-satunya sumber untuk menentukan pemerintahan negara. Dengan kata lain otonomi menurut Magnar (1991: 22),”… memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi rakyat untuk turut serta dalam mengambil bagian dan tanggung jawab dalam proses pemerintahan”. Manan (dalam Magnar, 1991:23) menjelaskan bahwa otonomi mengandung tujuan-tujuan,yaitu:

Pembagian dan pembatasan kekuasaan.Salah satu persoalan pokok dalam negara hukum yang demokratik, adalah bagaimana disatu pihak menjamin dan melindungi hak-hak pribadi rakyat dari kemungkinan terjadinya hal-hal yang sewenang-wenang. Dengan memberi wewenang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, berarti pemerintah pusat membagi kekuasaan yang dimiliki dan sekaligus membatasi kekuasaanya terhadap urusan-urusan yang dilimpahkan kepada kepala daerah.

Efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Adalah terlalu sulit bahkan tidak mungkin untuk meletakkan dan mengharapkan Pemerintah Pusat dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya terhadap segala persoalan apabila hal tersebut bersifat kedaerahan yang beraneka ragam coraknya. Oleh sebab itu untuk menjamin efisiensi dan efektivitas dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, kepada daerah perlu diberi wewenang untuk turut serta mengatur dan mengurus pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam lingkungan rumah tangganya, diharapkan masalah-masalah yang bersifat lokal akan mendapat perhatian dan pelayanan yang wajar dan baik.

(29)

1.6.3.2Dimulainya Reformasi Otonomi Daerah

Refornasi yang ada saat ini di bidang politik dan pemerintahan melahirkan agenda dan kesepakatan naional baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini kemudian menerbitkan TAP MPR No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan; dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka NKRI, mengawali paradigma baru tatanan pemerintahan daerah. Dari semangat TAP MPR No. XV/1998 tersebut dapat dilihat beberapa aspek penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu :

a) Pembangunan daerah sebagai bagian integral pembangunan nasional, melalui otonomi daerah, pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

b) Otonomi daerah diberikan dengan prinsip kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional. Dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasioanal yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

c) Penyelengaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip demokrasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah.

d) Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional antara pusat dan daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa secara keseluruhan.

e) Pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara efektif dan efisien, bertanggung jawab, transparan, terbuka, dan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang luas kepada usaha kecil, menengah, dan koperasi.

f) Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilaksanakan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah.

g) Pemerintah daerah berwenang mengelola sumber daya nasional dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan.

(30)

berkesinambungan yang diperkuat dengan pengawasan DPRD dan masyarakat.

Dimensi otonomi daerah sedemikian ini memberika suatu harapan bagi tercipta dan terlaksananya keadilan, demokratisasi dan transparansi kehidupan sektor publik. Hal ini tentunya suatu lompatan jauh bagi tertatanya masyarakat sipil yang dicita-citakan.

Paradigma baru pemerintahan daerah memberikan kewenangan luas bagi daerah, bahkan dari kewenangan yang ada tersebut terdapat kewenangan wajib yang merupakan bagian dari tanggung jawab publik pemerintah daerah dalam pemenuhan kebutuhan rakyat (public goods). Kesemuannya ini dilaksanakan secara demokratis, transparan dan egaliter, yang berarti menempatkan prioritas keragaman daerah sebagai manifestasi dari Bhineka Tunggal Ika. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang menyangkut program yang bersifat massal, uniform dan sentralistis harus dieliminasi. Di samping hal tersebut, daerah menjadi titik sentral awal gagasan dan perencanaan berbagai kegiatan pemerintahan.

Penyelenggaraan pemerintahan di daerah merupakan manifestasi dari pemerintahaan seluruh wilayah negara. Untuk itu segala aspek menyangkut konfigurasi kegiatan, dan karakter yang berkembang. Hal ini akan mewarnai penyelengaraan pemerintahan secara nasional. Dengan jelas dapat dikatakan bahwa peran dan kedudukan pemerintahan daerah sangat strategis dan sangat menentukan secara nasional sehingga paradigma baru pemerintahan yang terselenggara adalah berbasis daerah. Dengan berbasis daerah, pemerintah pusat menyelenggarakan fungsi pengarah dan penanggung jawab segala kegiatan di daerah dengan kepercayaan sepenuhnya, sehingga persepsi lama yang sering di dengar menyangkut egoisme sektoral akan terhapus.

(31)

semua komponen daerah akan memberikan sinergi bagi mantapnya keberhasilan pembangunan di daerah.

Peran besar dan perubahan konstelasi yang sangat mendasar ini harus dipahami oleh segenap stakeholder yang meliputi jajaran aparatur, kekuatan sosial dan kemasyarakatan, DPRD dan semua komponen daerah. Semua ini telah menjadi tekad nasional; oleh karena itu, semangat penyelenggara pemerintahan, respons publik, dan faktor psikologis menyangkut sense of crisis dan sense of urgency harus ditumbuhkan dan dipelihara bagi terlaksananya hakikat dari reformasi.

Persoalan kelembagaan pemerintah daerah terkait dengan persoalan yang terus berlangsung yang merupakan akumulasi dari gejala sebelumnya. Tuntutan reformasi adalah dimaksudkan untuk mengoptimalkan kelembagaan yang ada yang pada prinsipnya mengedepankan aspek-aspek :

a) Kerangka pemerintahan negara sebagai satu sistem, bermakna suatu kesadaran akan keterkaitan.

b) Pengembangan visi dan misi daerah, dalam kerangka visi dan misi bangsa, dalam wadah negara kesatuan, sebagai arah yangg jelas.

c) Paradigma tatanan pemerintahan daerah, yang mewujudkan tanggung jawab, hak dan kewajiban, kewenangan dan tugas.

d) Adanya kondisi yang berasal dari periode sebelumnya, bermakna kesadaran akan keterhubungan.

e) Kondisi nyata dan kondisi spesifik daerah.

f) Adanya aspek-aspek yuridis, politis, sosiologis, ekonomis, pragmatis, empiris dan historis serta aspek strategis.

g) Perhatian pada aspek kemanusiaan, berkaitan dengan optimalisasi dan keseimbangan peranan sumber daya.

(32)

dapat menjawab berbagai tuntutan zaman adalah kembali kepada semangat penyelenggara pemerintahan di daerah.21

Ketiga, demokrasi di daerah dianggap mampu menyuguhkan kualitas partisipasi yang lebih baik dibandingkan kalau terjadi di tingkat nasional. Fakta bahwa komunitas di daerah relatif terbatas dan masyarakatnya lebih tahu diantara satu dengan lainnya dianggap sebagai dasar argumen bahwa partisipasi masyarakat di daerah itu lebih bermakna apabila di bandingkan di tingkat nasional. Partisipasi politik di daerah lebih memungkinkan adanya

Selain dari pada itu, menurut Brian C. Smith, munculnya perhatian terhadap transisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu keyakinan bahwa adanya demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional (1998:85-86). Pandangan yang bercorak fungsional ini berangkat dari asumsi bahwa ketika terdapat perbaikan kualitas demokrasi di daerah, secara otomatis bisa diartikan sebagai adanya perbaikan kualitas di tingkat nasional. Berdasarkan studi-studi yang pernah dilakukan di sejumlah negara di berbagai belahan dunia, Smith mengemukakan empat alasan untuk memperkuat pandangannya tersebut.

Pertama, demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang pendidikan politik yang relevan bagi warga negara di dalam suatu masyarakat yang demokratis (free societies). Hal ini tidak lepas dari tingkat proximity dari pemerintah daerah dengan masyarakat. Pemerintah daerah merupakan bagian dari pemerintah yang langsung berinteraksi dengan masyarakat ketika proses demokratisasi itu berlangsung.

Kedua, pemerintah daerah dipandang sebagai pengontrol bagi perilaku pemerintah pusat yang berlebihan dan kecenderungan anti demokratis di dalam suatu pemerintahan yang sentralistis. Kecenderungan seperti ini, khususnya, terjadi di masa transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju pemerintahan yang demokratis. Dalam masa transisi ini pemerintah daerah memiliki posisi tawar-menawar yang lebih tinggi atas kekuasaan dan otoritas dengan pemerintah pusat.

21

(33)

deliberative democracy, yakni adanya komunikasi yang lebih langsung di dalam berdemokrasi.

Keempat, kasus kolumbia menunjukkan bahwa legitimasi pemerintah pusat akan mengalami penguatan manakala pemerintah pusat itu melakukan reformasi di tingkat lokal. Penguatan legitimasi ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan daerah kepada pemerintah pusat.

Munculnya perhatian yang lebih serius terhadap proses demokratisasi di daerah juga berkaitan dengan semakin menguatnya secara massive kebijakan desentralisasi di negara-negara sedang berkembang sejak 1990-an. Sebagaimana dikemukakan oleh Delinger (1994: 1), yang membuat laporan untuk Bank Dunia, ‘kecuali 12 negara, dari 75 negara-negara sedang berkembang dan negara-negara yang sedang mengalami transisi dengan penduduk lebih dari lima juta, semuanya mengklaim sedang melakukan transfer kekuasaan politik ke unit-unit pemerintahan di daerah’. Berbeda dengan implementasi kebijakan desentralisasi pada 1960-1970-an yang lebih menekankan pada kebijakan desentralisasi administrasi, implementasi kebijakan desentralisasi pada 1990-an didesain untuk melaksanakan kebijakan desentralisasi yang lebih komprehensif. Kebijakan itu tidak hanya difokuskan pada desentralisasi administrasi, melainkan juga desentralisasi politik dan desentralisasi fiskal.

(34)

Di Indonesia, salah satu faktor utama pendorong munculnya kebijakan desentralisasi pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru (sebagaimana tertuang di dalam UU No. 22 dan 25 tahun 1999) adalah untuk mempercepat proses demokratisasi dan memperbaiki kualitas demokrasi di daerah (Rasyid, 2003; Turner et al., 2003). Melalui transfer kekuasaan dan otoritas ke daerah, diharapkan bisa membuat daerah memiliki bargaining position yang lebih besar kepada pemerintah pusat. Dengan demikian daerah tidak hanya berfungsi untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah pusat. Lebih dari itu, daerah memiliki kekuasaan dan otoritas untuk merumuskan kebijakan-kebijakan untuk diri mereka sendiri. Pandanagan seperti ini di dasari oleh pemikiran bahwa para pemegang kekuasaan di daerah lebih tahu selera masyarakat di daerah daripada pemegang kekuasaan di pusat.22

1.6.4 Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah (sebuah penyempurnaan terhadap uu no. 22 tahun

1999).

1.6.4.1Umum

Pada tahun kelima implementasi UU No. 22 Tahun 1999, tepatnya tahun 2004 dengan berbagai latar belakang pertimbangan sebagai akibat dari dampak implementasi UU tersebut, muncul kehendak dari pemerintah untuk mengadakan revisi terhadap UU tersebut, yang pada akhirnya memunculkan UU pemerintahan daerah yang baru, yaitu UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Banyak evaluasi dari berbagai kalangan yang dialamatkan pada implementasi UU No. 22 tahun 1999 ini, sehingga perlu direvisi, khususnya yang beraroma negative antara lain bahwa demokrasi yang dikembangkan oleh jiwa UU ini kurang begitu mendukung terciptanya demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi itu sendiri. UU ini cenderung menghasilkan demokrasi yang ‘kebablasan’, dan memunculkan raja-raja kecil di daerah.

22

(35)

Dari perspektif para pembuat kebijakan (pemerintah), evaluasi terhadap UU No. 22 tahun 1999 ini menghasilkan beberapa hal penting dan mendasar. Pertama, pada tataran konsep UU ini kurang komprehensif dalam pengaturan terhadap konsep dasarnya, seperti pembagian kewenangan, hubungan antarstrata pemerintahan dan perimbangan keuangan. Di samping itu ada beberapa pengaturan yang kurang sinkron diantara beberapa pasal, seperti dalam pasal tertentu ada wewenang yang ditetapkan sebagai wewenang pusat, tetapi di pasal yang lain ditetapkan sebagai wewenang daerah. Dalam pasal-pasal tertentu pengaturan lebih lanjut dikuasakan kepada peraturan lain tanpa ada rambu-rambunya dan ada pengaturan dalam pasal yang memberi peluang timbulnya multitafsir, seperti tidak ada hubungan hierarki, seluruh kewenangan daerah berlaku dikawasan tertentu. Di samping itu pula telah ada perubahan konsepsi otonomi daerah baik berdasarkan amandemen UUD RI 1945 maupun dalam ketetapan MPR, seperti penggunaan azas otonomi dan tugas pembantuan, otonomi seluas-luasnya, pembagian NKRI atas daerah-daerah provinsi, desentralisasi fiscal dan otonomi bertingkat.

Kedua, pada tataran instrumen. UU No. 22 tahun 1999 memberi kuasa kepada pemerintah untuk mengatur tindak lanjut kebijakan desentralisasi tanpa memberikan rambu-rambu, sehingga menimbulkan peluang munculnya kebijakan yang tidak mendorong otonomi daerah. Selanjutnya penyusunan peraturan perundang-undangan sebagai tindak lanjut penyesuaian dengan UU No. 22 tahun 1999 belum dapat dilakukan sepenuhnya, sehingga daerah berprakarsa membuat peraturan sendiri dengan wewenang yang diberikan Tap MPR No. IV/2000 tentang rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Di samping itu, karena belum harmonisnya berbagai peraturan perundang-undangan, baik yang diterbitkan pemerintah maupun daerah sehingga sering menimbulkan penafsiran yang berbeda.

(36)

etnosentrisme dan terbatasnya mobilitas pegawai dalam pengembangan karier. Di samping itu penggunaan APBD lebih banyak untuk menutup belanja aparat perangkat daerah dan DPRD, sehingga peluang untuk pelayanan public menjadi kecil. Pada tataran implementasi ini pula hubungan kemitrasejajaran antara kepala daerah dan DPRD kurang dapat berlangsung dengan baik, karena dalam prakteknya DPRD sering mendominasi, sehingga berpeluang memunculkan ketidakstabilan pemerintahan daerah. Di samping itu pelayanan umum oleh pemerintah daerah cenderung menurun dan timbulnya kebijakan sektoral di daerah yang tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah akibat belum memadainya pedoman yang diperlukan (tindak lanjut pasal 112) dan adanya berbagai peraturan perundangan “sektoral” yang belum disesuaikan (pasal 113).

Hal lain yang menjadi dasar pemikiran direvisinya UU No. 22 tahun 1999 yaitu adanya keputusan politik di dalam ketetapan MPR yang memberi kuasa kepada daerah untuk membuat Perda dalam pelaksanaan otonomi tanpa menunggu pedoman yang diperlukan, telah berakibat munculnya berbagai kebijakan daerah (Perda dan Keputusan Kepala Daerah) yang tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di samping itu pula aspek SDM yang belum cukup memadai baik dalam jumlah, kompetensi dan penyebarannya.

(37)

Perkembangan tuntutan demokratisasi dan transparansi yang meningkat, memerlukan landasan peran serta dan mekanisme penyaluran aspirasi masyarakat. Di samping itu tuntutan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang semakin menonjol dalam berbagai aspek kehidupan, memerlukan adanya jaminan kepastian hukum terhadap persamaan kedudukan seluruh warga Negara di depan pemerintah.

1.6.4.2Filosofi UU No. 32 Tahun 2004

Pada dasarnya latar belakang perubahan UU No. 22 tahun 1999 sebagaimana dikemukakan di atas, memberikan feed back pada filosofi UU No. 32 tahun 2004. Dari aspek dasar hukum tata Negara, karena UUD RI Tahun 1945 telah mengalami amandemen, khususnya pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan system pemerintahan daerah, yaitu pasal 1, 5, 18 (a,b), 20, 21, 22 (d), 23 (e ayat 2), 24 (ayat 1), 31 (ayat 1), 33 dan 34, maka undang-undang pemerintahan daerah perlu disesuaikan. Di samping itu perubahan UU No. 22 tahun 1999 , didasarkan pada pemikiran bahwa sesuai dengan amanat UUD 1945 (hasil amandemen), pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pemberiaan otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

(38)

rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antar daerah dan daerah lainnya. Artinya, mampu membangun kerja sama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah harus juga mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya NKRI.

(39)

Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent, artinya urusan pemerintahan yang penangananya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sedangkan urusan yang menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan dasar, pemenuhan kebutuhan hidup minimal dan prasarana lingkungan dasar. Sedangkan urusan pilihan adalah urusan yang terkait dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.23

1.7Metodologi Penelitian

1.7.1 Jenis dan Sifat Penelitian

Di dalam penelitian ini adapun jenis penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian kualitatif, yaitu metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme yang digunakan untuk meneliti kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci, analisis data bersifat induktif yang lebih menekankan makna daripada generalisasi.

Filsafat postpositivisme sering juga disebut paradigma interpretasi dan konstruktif yang memandang realita sosial sebagai sesuatu yang utuh, kompleks, dinamis dan penuh makna. Penelitian dilakukan pada objek yang alamiah. Objek alamiah adalah objek yang berkembang apa adanya tidak dimanipulasi dan kehadiran peneliti tidak mempengaruhi objek tersebut.

Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam yang mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya. Oleh karena itu, dalam penelitian kualitatif tidak menekankan pada generalisasi tetapi lebih menekankan pada makna.

Sedangkan dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, dimana penelitian ini bermaksud menggambarkan bagaimana fenomena-fenomena kekuasaan yang terjadi dalam hubungan pemerintahan kecamatan dan desa pada masa otonomi daerah.

23

(40)

1.7.2 Responden Penelitian

Adapun yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah pimpinan/pejabat yang berwenang untuk memberikan informasi dalam penelitian ini. Disamping itu juga digali informasi dari berbagai elemen masyarakat lainnya seperti kalangan akademisi (perguruan tinggi) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang konsern terhadap masalah-masalah otonomi daerah.

Dalam penelitian ini penarikan/pemilihan responden dilakukan secara purpossive sampling yaitu terdiri dari :

a) Camat Percut Sei Tuan/pejabat yang ditunjuk. b) Kepala Desa Laut Dendang /pejabat yang ditunjuk

c) Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD)/pejabat yang ditunjuk. d) Satu (1) orang akademisi yang dianggap punya kompetensi keilmuan

bidang politik.

e) Satu (1) orang unsur LSM (NGO) yang konsern terhadap masalah-masalah otonomi daerah.

1.7.3 Sumber Data

Salah satu yang diperlukan dalam persiapan penelitian adalah mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia. Dalam penelitian skripsi ini, peneliti menggunakan data primer dan data sekunder.

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari aktor atau informan yang di anggap mampu memberikan deskripsi tentang kondisi objek yang akan diteliti. Selain itu dapat juga berupa data-data yang tertulis mengenai objek tersebut.

Data sekunder dapat diklasifikasikan yaitu data yang diperoleh dari buku, artikel, jurnal dan sebagainya juga data yang dapat diakses melalui internet yang tentu berhubungan dengan penelitian.

(41)

Pada setiap pembicaraan mengenai metodologi penelitian persoalan metode pengumpulan data menjadi amat penting. Metode pengumpulan data adalah bagian instrumen pengumpulan data yang menentukan berhasil atau tidak suatu penelitian. Kesalahan penggunaan metode pengumpulan data atau metode pengumpulan data tidak digunakan semestinya, berakibat fatal terhadap hasil-hasil penelitian yang dilakukan.

Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini adalah metode wawancara mendalam. Wawancara mendalam adalah wawancara yang dilakukan secara informal.24

1.7.5 Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini bertumpu pada strategi deskriptif kualitatif yang berintikan cara berpikir induktif. Penggunaan strategi deskriptif kualitatif dimulai dari analisis berbagai data yang terhimpun dari suatu penelitian, kemudian bergerak ke arah pembentukan kesimpulan kategoris atau ciri-ciri umum tertentu. Oleh karenanya, strategi ini dimulai dari pekerjaan klasifikasi data.25

1.8 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

BAB ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian yang digunakan, analisis data dan sistematika penulisan.

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

BAB ini memberikan uraian Mengenai kondisi politik, demografis, potensi desa serta lembaga-lembaga desa laut dendang.

BAB III PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA

24

Burhan Bungin. 2001. Metodologi Penelitian Sosial; Forma-format Kuantitatif Dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 133-136

25

(42)

BAB ini akan memberikan analisis terhadap hubungan antara pemerintahan kecamatan dengan pemerintahan desa serta melihat peluang dan tantangan dalam hubungan kedua organisasi tersebut.

BAB IV PENUTUP

(43)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

2.1 Desa Laut Dendang

Studi tentang kekuasaan pemerintahan kecamatan terhadap pemerintahan desa tidak hanya menarik, tapi juga relevan dan penting untuk diteliti pada masa otonomi daerah yang tengah berlangsung saat ini. Penelitian lapangan ini akan dilakukan di desa Laut Dendang Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Pemilihan daerah penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran untuk menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan dan mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan.

Setelah melakukan berbagai pertimbangan, maka dipilihlah desa laut dendang yang secara administrative berada dalam wilayah kecamatan percut sei tuan. Desa ini dipilih karena berbatasan langsung dengan kota Medan dan merupakan desa yang memiliki karakter masyarakat kota. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 14.797 jiwa, desa laut dendang sangat berpotensi untuk menjadi desa yang otonom, akses ke kota yang demikian dekat telah menjadikan rakyat di desa ini begitu mudah memperoleh berbagai arus informasi.

2.2Keadaan Geografis

Desa laut dendang merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Percut Sei Tuan dan terletak di wilayah Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Desa laut dendang memiliki batas wilayah sebagai berikut :

Gambar

Tabel. 1
Tabel. 2
Tabel. 3
Tabel. 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan yang diikuti siswa dalam pembelajaran tindakan pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam tentang materi Perubahan wujud benda dengan mengunakan metode

Hoteng merupakan pohon penghasil buah yang juga merupakan pakan orangutan dan hewan lain, menurut Rijksen (1978) bahwa orangutan tidak membuat sarang pada pohon

Sehubungan dengan itu, dalam kajian ini selain mengkaji kesan kaedah Model Pembelajaran 5E dengan Pembelajaran Kontekstual (MOPEK) terhadap motivasi murid, kaedah MOPEK

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan kondisi pemisahan yang optimum pemisahan radioisotop I-123 dari target padat telurium pasca iradiasi dengan

Tepung daun jarak yang diekstraksi dengan air atau metanol mengandung senyawa fi tokimia saponin dan tanin yang dapat digunakan sebagai anticacing alami.. Tepung daun jarak

Case.. Setelah mengeklik Respone Spectrum Spectra, kemudian akan muncul kotak dialog Define Respone Spectra lalu klik Add New Spectrum untuk membuat pengaturan baru

Parameter tersebut dapat bervariasi mulai dari kenaikan tingkat bunga ( misal naik 30% dalam satu hari ), penurunan harga saham yang ekstrim ( misal 20 dalam satu hari ),