• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika antara Citra Diri Genital dan Kepuasan Seksual

BAB II. LANDASAN TEORI

C. Dinamika antara Citra Diri Genital dan Kepuasan Seksual

Kepuasan seksual merupakan hal yang penting karena dapat memengaruhi kesejahteraan diri dan kebahagiaan seseorang (Laumann dkk., 2006; Rosen & Bachman, 2008). Seseorang dengan kehidupan seksual yang menyenangkan dan memeroleh kepuasan secara seksual akan memiliki komunikasi yang baik dengan pasangan, puas dengan relasinya bersama pasangan, terhindar dari kebosanan seksual, dan mampu mencapai kepuasan seksual (Ashdown dkk., 2011; Byers, 2005; Haavio-Manilla & Kontula, 1997; Stulhofer dkk., 2010).

Sementara itu, hasil penelitian Lauman dkk. (2006) menemukan lima negara dengan kepuasan seksual terendah dan Indonesia termasuk di dalamnya. Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa kepuasan seksual

pada perempuan lebih rendah daripada laki-laki pada seluruh negara yang diteliti. Selaras dengan penelitian tersebut, penelitian lain juga menemukan kepuasan seksual yang rendah pada perempuan (Sanchez-Fuentes dkk., 2014).

Kepuasan seksual merupakan respon afektif dari evaluasi seseorang tentang hubungan seksualnya, termasuk persepsi tentang pemenuhan kebutuhan seksual, pemenuhan ekspektasi diri dan pasangan, dan evaluasi positif dari keseluruhan hubungan seksual (Offman & Mattheson, 2005). Kepuasan seksual juga mencakup sensasi seksual, kesadaran seksual, pertukaran seksual, kedekatan emosional, dan aktivitas seksual (Stulhofer dkk., 2010).

Kepuasan seksual dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, harga diri, citra diri, dukungan pasangan, pertukaran seksual, dukungan sosial, dan budaya (Sanchez-Fuentes dkk., 2014). Faktor-faktor tersebut terbagi dalam dua komponen, yaitu seksual dan non-seksual (Barientos & Paez, 2006). Komponen seksual mencakup hal-hal yang berhubungan langsung dengan aktivitas seksual sedangkan komponen non-seksual mencakup hal-hal lain di luar aktivitas seksual yang dapat memengaruhi kepuasan seksual. Komponen seksual menjadi hal yang paling sering ditonjolkan dan diperhatikan, padahal komponen non-seksual juga memberikan kontribusi yang penting bagi kepuasan seksual seseorang. Salah satu contoh komponen non-seksual adalah tampilan fisik perempuan. Pikiran yang tertuju pada penampilan selama aktivitas seksual

memberikan pengaruh yang signifikan pada kepuasan seksual perempuan (Pujols dkk., 2010).

Jika dihubungkan dengan aspek fisik, perempuan memiliki kecenderungan kepuasan seksual yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki (Laumann dkk., 2006; Sanchez-Fuentes dkk., 2014). Perempuan mungkin memertimbangkan penampilan yang menawan sama dengan menjadi bagus dalam urusan seksual (Meana & Nunnik, 2006). Selain itu, budaya dan media menunjukkan standar kecantikan dan perilaku yang tidak realistis, sehingga perempuan melakukan pemantauan terhadap tubuh dan merasa malu (Calogero & Thompson, 2009; Daniluk, 1993; Fredrickson & Roberts, 1997).

Peninjauan penampilan tubuh tidak hanya pada bagian-bagian yang terlihat, melainkan juga genital yang merupakan alat langsung untuk berhubungan seksual. Citra tubuh yang positif pada perempuan berhubungan dengan rasa puas terhadap vaginanya (Algars dkk, 2011). Sayangnya, genital seringkali dicela karena bau dan tampilannya, terlebih lagi dalam kaitannya dengan aktivitas seksual (Fudge & Byers, 2016; Morrison dkk., 2005; Schick dkk., 2010).

Penampilan genital juga menjadi hal penting bagi perempuan di Indonesia. Media memberikan sumbangan besar dengan berbagai iklan yang menawarkan produk-produk kecantikan untuk memperbaiki tampilan diri dan genital agar dapat memikat pasangan atau laki-laki (Simeon, 2018; Wiratmo & Gifari, 2008). Akibatnya, perempuan menilai genital secara

negatif dan merasa tidak puas dengan tampilan genitalnya. Persepsi terhadap genital yang negatif dapat mengarahkan perempuan pada citra diri genital negatif.

Citra diri genital merupakan perasaan dan kepercayaan perempuan terkait genital yang memengaruhi pengalaman seksualnya (Herbenick dkk., 2011). Persepsi yang positif dapat menimbulkan rasa puas terhadap genital dan berhubungan positif dengan rasa nyaman dan puas dengan pengalaman seksual, serta berhubungan negatif dengan kegelisahan seksual dan rasa tidak puas terhadap tubuh (Morrison dkk., 2005). Perempuan dengan citra diri genital yang positif dapat memaksimalkan fungsi seksualnya, sehingga memeroleh kepuasan seksual (Herbenick dkk., 2011).

Sebaliknya, rasa tidak puas terhadap tampilan genital dapat memengaruhi kesejahteraan seksual seseorang, terutama dalam hal psikologis karena perhatian berlebihan pada aspek fisik (Schick dkk., 2010). Bila dijabarkan, pengaruh tersebut termasuk peningkatan genital self-consciousness, penurunan kenikmatan/ kepuasan seksual, penurunan kepercayaan diri seksual, penurunan fungsi seksual, dan penurunan pengalaman dengan variasi aktivitas seksual (Morrison dkk., 2005; Herbenick & Recee, 2010; Herbenick dkk., 2011; Reinholtz & Muehlenhard, 1995; Schick dkk., 2010).

Perhatian yang berlebihan terhadap tampilan fisik berakibat pada gangguan kognitif atau gangguan pemikiran tentang penampilan yang

dialami perempuan selama aktivitas seksual (Meana & Nunnik, 2006; Pujols, Meston & Seal, 2010). Peneliti berasumsi bahwa gangguan kognitif terjadi karena seseorang kurang mampu fokus pada aktivitas seksual yang sedang dilakukan. Kelly (1963, dalam Burger, 2011) mengungkapkan bahwa terdapat variabel kognitif-afektif yang merupakan bagian dari sistem kompleks yang menghubungkan suatu situasi yang dijumpai dengan perilaku selanjutnya atau respon. Variabel tersebut meliputi berbagai representasi mental, seperti harapan, nilai, dan tujuan yang berinteraksi satu dengan yang lain untuk menentukan bagaimana seseorang akan memberikan respon pada suatu situasi. Selaras dengan teori kognitif-afektif dari Kelly (1963, dalam Burger, 2011) peneliti menggabungkan mekanisme antara citra diri genital dan kepuasan seksual sehingga terjadi distraksi kognitif. Pikiran yang terfokus pada tampilan ideal genital membentuk keyakinan bahwa perempuan memiliki genital yang buruk, dengan kata lain memiliki citra diri genital negatif. Beberapa penelitian menemukan bahwa perempuan berusaha menjaga dan merawat genital untuk meningkatkan kepuasan pasangan dan diri sendiri (Scorgie dkk., 2009; Hull dkk., 2011). Hal ini berarti baik buruknya genital diasumsikan berhubungan dengan kepuasan seksual. Oleh karena itu, citra diri genital yang negatif diyakini dapat mengurangi kepuasan seksual.

Selanjutnya, perempuan perlu menggunakan genitalnya untuk berhubungan seksual bersama pasangan sehingga berakibat pada timbulnya rasa tidak percaya diri dan tidak nyaman dengan situasi

tersebut. Perempuan tidak mampu fokus pada aktivitas seksual, namun terfokus pada tampilan genital yang dianggap buruk dan tidak mampu memuaskan pasangan. Oleh karena itu, perempuan tidak mampu mencapai tujuannya untuk mencapai kepuasan seksual.

Sementara itu, menurut teori mindfulness perempuan dengan citra diri genital negatif cenderung berfokus pada penilaian negatif tentang genitalnya. Padahal, menurut teori mindfulness kesadaran saat ini dapat dicapai jika setiap pikiran, perasaan, atau sensasi yang muncul tidak dinilai dan ditambah-tambahkan tetapi diterima dan diakui (Bishop dkk., 2004 dalam Brown, Creswell & Ryan, 2015). Pada perempuan dengan citra diri genital negatif maka ia cenderung fokus pada penilaian negatifnya sehingga kurang bisa merasakan sensasi-sensasi ketika melakukan aktifitas seksual yang berhubungan dengan tercapainya kepuasan seksual.

Penampilan fisik termasuk dalam perhatian utama perempuan. Penampilan genital dianggap penting karena genital merupakan alat langsung untuk berhubungan seksual dan mendukung tercapainya kepuasan seksual. Selain itu, banyak penelitian tentang citra tubuh dan kepuasan seksual tetapi masih sedikit penelitian tentang citra diri genital dan kepuasan seksual. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini ingin menguji seberapa besar hubungan antara citra diri genital dan kepuasan seksual pada wanita.

Dokumen terkait