• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA CITRA DIRI GENITAL DAN KEPUASAN SEKSUAL PADA PEREMPUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA CITRA DIRI GENITAL DAN KEPUASAN SEKSUAL PADA PEREMPUAN"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA CITRA DIRI GENITAL DAN KEPUASAN SEKSUAL PADA PEREMPUAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Putriyani Setiabudi

139114066

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

The sun will rise and you’ll be okay – anonymous

When it gets hard I get a little stronger now

I get a little braver now – New Empire (A Little Braver) –

Dipersembahkan untuk : Tuhan

(5)
(6)

vi

HUBUNGAN ANTARA CITRA DIRI GENITAL DAN KEPUASAN SEKSUAL PADA PEREMPUAN

Putriyani Setiabudi ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara citra diri genital dan kepuasan seksual pada perempuan. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara citra diri genital dan kepuasan seksual. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 111 perempuan yang telah melakukan hubungan seksual. Citra diri genital dan kepuasan seksual diukur dengan skala Female Genital Self-Image Scale (FGSIS) yang dikembangkan oleh Herbenick, Schick, Recee, Sanders, Dodge, dan Fortenberry (2011) dan New Sexual Saisfaction Scale (NSSS) yang dikembangkan oleh Stulhofer, Busko, dan Brouillard (2010) dalam bentuk skala likert. Skala penelitian telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia oleh peneliti dengan panduan dari Guideline for The Cross-Cultural Adaptation Process oleh Beaton, Bombardier, Guillemin, dan Ferraz (2000). Skala FGSIS memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,623 dan skala NSSS memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,975. Teknik analisis data menggunakan uji korelasi Product Moment Pearson. Hasil penelitian diperoleh nilai korelasi sebesar 0,419 (p < 0,05) yang artinya ada hubungan yang cukup kuat antara citra diri genital dan kepuasan seksual.

(7)

vii

THE CORRELATION BETWEEN GENITAL SELF-IMAGE AND SEXUAL SATISFACTION IN WOMEN

Putriyani Setiabudi ABSTRACT

This study aims to determine the correlation between genital self-image and sexual satisfaction in women. The hypothesis of this study is that there is a correlation between genital self-image and sexual satisfaction. The subjects of this study amounted to 111 women who have had sexual intercourse. Genital self-image and sexual satisfaction are measured by the Female Genital Self-Image Scale (FGSIS) scale developed by Herbenick, Schick, Recee, Sanders, Dodge, and Fortenberry (2011) and New Sexual Saisfaction Scale (NSSS) developed by Stulhofer, Busko , and Brouillard (2010) in the form of a Likert scale. The research scale has been adapted into Indonesian by the researcher with guidance from the Guidelines for the Cross-Cultural Adaptation Process by Beaton, Bombardier, Guillemin, and Ferraz (2000). The FGSIS scale has a reliability coefficient of 0.623 and the NSSS scale has a reliability coefficient of 0.975. The data analysis technique applies Pearson Product Moment correlation test. The result of the study is obtained a correlation value of 0.419 (p <0.05) which means that there is a fairly strong corellation between genital self-image and sexual satisfaction.

(8)
(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai saya

selama proses penelitian skripsi ini. Terima kasih karena Engkau memberikan

jalan dan kekuatan sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dengan lancar.

Terima kasih untuk pengalaman-pengalaman selama proses pembuatan skipsi ini

yang menambah wawasan dan pengetahuan saya.

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya saya berikan kepada keluarga saya.

Kepada Bapak Siwa Matari Setiabudi dan Ibu Rahaju Anggorowati sebagai

orangtua yang selalu mendukung dan menyemangati saya selama proses ini

hingga akhir. Terima kasih atas segala perhatian dan motivasi yang diberikan.

Terima kasih karena selalu mendukung saya dan memmenuhi seluruh kebutuhan

saya. Terima kasih pula untuk kedua kakak saya Sutopo Juwono Setiabudi dan

Indra Hernawan Setiabudi yang selalu menasehati saya untuk hidup mandiri dan

bertanggung jawab. Saya selalu bersyukur memiliki kalian.

Terima kasih kepada bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku dosen

pembimbing skripsi. Terima kasih untuk segala bimbingan, masukan, saran, dan

pengalaman yang diberikan kepada saya. Terima kasih karena Bapak mau menjadi

pendengar saat saya mengalami beberapa kesulitan dalam proses pembuatan

skripsi ini. Terima kasih karena bapak memberikan pengalaman baru dan

membuat saya menjadi lebih tangguh.

Terima kasih sebanyak-banyaknya untuk Krispinus Yoga Prasetya yang

sangat istimewa. Terima kasih karena mas Yoga tidak pernah lelah mendengar

(10)

x

saya. Terima kasih karena selalu siap siaga menjadi teman begadang saya untuk

menyelesaikan skripsi ini dan teman jalan-jalan disaat saya membutuhkan waktu

istirahat. Terima kasih karena mas Yoga selalu ada di sisi saya dan di hati saya.

Terima kasih banyak juga untuk Betsyeba Irene Augustina Roest Tahalele

selaku teman seperjuangan selama masa kuliah hingga proses penyelesaian

skripsi. Semoga segala permasalahan yang pernah ada di antara kita berdua dan

masalah yang kita alami bersama dapat mendewasakan kita. Terima kasih atas

dukungan, saran, bantuan, pertengkaran, dan canda tawa yang membuat

pertemanan serta proses penyelesaian skripsi ini menjadi tak terlupakan. Tidak

lupa, terima kasih untuk Monica Yuka yang saya rindukan atas segala

kebersamaan dan dukungannya. Semoga persahabatan kita bertiga tidak lekang

oleh waktu.

Terima kasih untuk Mas Engger yang telah meluangkan waktunya untuk

membantu saya dan Irene dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih karena

selalu menerima segala pertanyaan dan kesulitan saya. Terima kasih karena mas

Engger telah menjadi penerang dan pemberi secercah harapan untuk skripsi ini.

Terima kasih untuk Kinanti Sekar Rahina telah menjadi idola bagi saya.

Bunda selalu menyemangati dan membuat saya rindu untuk menari. Terima kasih

atas kesempatannya menari lagi di pertengahan pembuatan skripsi ini sehingga

saya memperoleh semangat yang baru. Terima kasih juga untuk aak Bagas atas

segala pengalaman dan obrolan santai yang memberikan berbagai pengetahuan.

Teruntuk semua yang tidak pernah lelah mendukung dan mendoakan saya,

(11)

xi

selalu menanyakan kabar dan membuat saya rindu untuk segera kembali. Terima

kasih untuk anak asisten ceria, Pao dan Jenny, karena selalu membawa tawa

dalam segala suasana. Terima kasih untuk mbah-mbah nginang karo ngilo, mbak

nata, widha, dita, monik, niken, vera, atas dinamika kita bersama dan semangat

perjuangan mengejar kalian yang sudah lulus duluan. Terima kasih untuk Ojek,

Luky, dan Eddy atas dukungan, bantuan, dan telepatinya saat saya mengalami

kesulitan.

Terakhir, saya berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak

yang membaca dan membutuhkan. Saya menyadari bahwa penulisan skripsi ini

masih memiliki banyak kekurangan sehingga saya mengharapkan kritik dan saran

(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………..…… i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ……….… ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….…. iii

HALAMAN MOTTO ……….….. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ………..…….. v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………..… vi

ABSTRAK ……….….. vii

ABSTRACT ……….. viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ……….…... ix

KATA PENGANTAR ………..…. x

DAFTAR ISI ……… xii

DAFTAR TABEL ………... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ………. xviii

BAB I. PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang ………... 1

B. Rumusan Masalah ……….. 7

C. Tujuan Penelitian ………... 8

D. Manfaat Penelitian ………...……….. 8

1. Manfaat Teoritis ………... 8

2. Manfaat Praktis ……… 8

BAB II. LANDASAN TEORI ……….….. 9

(13)

xiii

1. Definisi Citra Diri Genital ……… 9

2. Faktor yang Memengaruhi Citra Diri Genital ……… 10

3. Manfaat Citra Diri Genital ………. 15

4. Dampak Citra Diri Genital Negatif ……… 18

5. Pengukuran Citra Diri Genital ………... 19

B. Kepuasan Seksual (Sexual Satisfaction) ……….. 20

1. Definisi Kepuasan Seksual ………. 20

2. Aspek Kepuasan Seksual ………... 22

3. Faktor yang Memengaruhi Kepuasan Seksual ………... 24

4. Pengukuran Kepuasan Seksual ……….. 28

C. Dinamika antara Citra Diri Genital dan Kepuasan Seksual ………. 29

D. Kerangka Berpikir ……….... 35

E. Hipotesis ………... 35

BAB III. METODE PENELITIAN ………. 36

A. Jenis Penelitian ………. 36

B. Identifikasi Variabel Penelitian ……… 36

1. Variabel Bebas ………... 36

2. Variabel Terikat ………. 37

C. Defisini Operasional ………. 37

1. Citra Diri Genital ……… 37

2. Kepuasan Seksual ………... 38

D. Subjek Penelitian ……….. 38

(14)

xiv

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ………...…… 41

1. Metode ……….……….. 41

2. Alat Pengumpulan Data ………. 41

G. Validitas dan Reliabilitas ………. 43

1. Validitas Alat Ukur ……… 43

2. Reliabilitas Alat Ukur ………...……. 47

H. Metode Analisis Data ………..…. 49

1. Uji Asumsi ………. 49

2. Uji Hipotesis ………... 50

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 51

A. Pelaksanaan Penelitian……….. 51

B. Deskripsi Subjek Penelitian ………. 53

C. Deskripsi Data Penelitian ………. 55

D. Hasil Penelitian ……… 58

1. Uji Asumsi ………. 58

2. Uji Hipotesis ………... 60

E. Pembahasan ……….. 60

F. Keterbatasan Penelitian ……… 64

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 66

A. Kesimpulan ……….. 66

B. Saran ………. 66

(15)

xv

3. Bagi Penelitian Selanjutnya ………. 67

DAFTAR PUSTAKA ……….. 68

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan Mean Kepuasan Seksual 3 Kelompok Negara ………... 2

Tabel 2. Perbandingan Mean Kepuasan Seksual Pada Kelompok 3 …………... 2

Tabel 3. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ………... 53

Tabel 4. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ……... 54

Tabel 5. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Frekuensi Berhubungan

Seksual……… 54

Tabel 6. Deskripsi Data Penelitian ………... 55

Tabel 7. Deskripsi Rata-rata Data Penelitian ………... 56

Tabel 8. Uji One Sample T-test Citra Diri Genital dan Kepuasan Seksual …….. 57

Tabel 9. Kategorisasi Tingkat Citra Diri Genital dan Kepuasan Seksual ……… 57

Tabel 10. Uji Normalitas Citra Diri Genital dan Kepuasan Seksual ……… 58

Tabel 11. Uji Linearitas ……… 59

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Uji Reliabilitas ………. 78

Lampiran 2. One Sample T-test ……… 78

Lampiran 3. Uji Normalitas ………. 78

Lampiran 4. Uji Linearitas ………... 79

Lampiran 5. Uji Korelasi Pearson ……… 79

Lampiran 6. Skala Citra Diri Genital ………... 80

Lampiran 7. Skala Kepuasan Seksual ……….. 81

Lampiran 8. Identitas Subjek ………... 83

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepuasan seksual merupakan hal yang penting bagi banyak

pasangan karena dapat memberikan dampak bagi kualitas hidup seseorang.

Secara seksual, banyak pasangan yang ingin memenuhi harapannya dan

menjadi puas agar dapat memeroleh kebahagiaan dan kesejahteraan diri

(Byers & Demon, 1999; Laumann dkk., 2006; Penhollow & Young, 2008;

Rosen & Bachman, 2008). Memiliki kehidupan seksual yang

menyenangkan juga merupakan tujuan umum dalam suatu hubungan

(Hurlbert, Carol, & Rabehl, 1993). Ketika seseorang memiliki kehidupan

seksual yang menyenangkan dan puas secara seksual, maka dirinya

memiliki komunikasi dengan pasangan yang lebih baik, kepuasan relasi

yang lebih baik, terhindar dari kebosanan seksual, dan dapat mencapai

pelepasan seksual (Ashdown, Hackathorn & Clark, 2011; Byers, 2005;

Haavio-Mannila & Kontula, 1997; Stulhofer, Busko & Brouillard, 2010).

Sayangnya, Indonesia termasuk dalam lima negara dengan

kepuasan seksual terendah, bersama dengan Cina, Jepang, Taiwan, dan

Thailand (Laumann dkk., 2006). Kelima negara tersebut memiliki tingkat

paling rendah dari empat aspek kesejahteraan seksual (kesenangan fisik,

kesenangan emosional, kepuasan dengan fungsi seksual, dan pentingnya

(20)

kepuasan seksual perempuan lebih rendah dari laki-laki pada seluruh

negara yang diteliti.

Tabel 1

Perbandingan mean kepuasan seksual 3 kelompok negara (Laumann dkk, 2006) *Australia, Austria, Belgia, Kanada, Prancis, Meksiko, Selandia Baru, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Jerman, Inggris, Amerika Serikat

**Algeria, Brazil, Mesir, Israel, Italia, Korea, Malaysia, Moroko, Filipina, Singapura, Turki

***Cina, Indonesia, Jepang, Taiwan, Thailand

Tabel 2

Perbandingan mean kepuasan seksual pada kelompok 3 (Laumann dkk, 2006)

Kepuasan seksual merupakan respon afektif dari evaluasi

seseorang tentang hubungan seksualnya, termasuk persepsi tentang

(21)

dan evaluasi positif dari keseluruhan hubungan seksual (Offman &

Mattheson, 2005). Kepuasan seksual juga mencakup sensasi seksual,

kesadaran seksual, pertukaran seksual, kedekatan emosional, dan aktivitas

seksual (Stulhofer dkk., 2010).

Tingkat kepuasan seksual seseorang dapat dipengaruhi oleh

komponen seksual dan non-seksual (Barrientos & Paez, 2006). Komponen

seksual, seperti frekuensi sanggama dan frekuensi orgasme berhubungan

positif dengan kepuasan seksual. Sedangkan komponen non-seksual,

seperti tingkat edukasi dan status ekonomi yang tinggi juga

memrediksikan terciptanya kepuasan seksual. Selain itu, terdapat berbagai

faktor lain yang memengaruhi kepuasan seksual, seperti usia, harga diri,

citra diri, dukungan pasangan, pertukaran seksual, dukungan sosial, dan

budaya (Sanchez-Fuentes, Santos-Iglesias & Sierra, 2014). Selanjutnya,

bila ditinjau dari komponen non-seksual, perempuan memiliki

kecenderungan kepuasan seksual yang rendah jika dihubungkan dengan

aspek fisik (Laumann dkk., 2006; Sanchez-Fuentes dkk., 2014;).

Penampilan fisik merupakan komponen penting dari pengalaman

seksual perempuan (McClintock, 2011). Penampilan fisik juga

memengaruhi penilaian perempuan terhadap dirinya sebagai pasangan

seksual. Perempuan muda yang menganggap dirinya sebagai pasangan

seksual yang baik, paling tidak juga mengalami kekuatiran tentang

penampilan tubuhnya selama aktivitas seksual (Wiederman, 2000).

(22)

lebih cantik maka mereka akan memiliki harga diri dan memiliki

pengalaman seksual yang lebih memuaskan (Goodman, Fashler, Miklos,

Moore & Brotto, 2011).

Penilaian pada tubuh perempuan juga dipengaruhi oleh budaya

yang memberikan berbagai penilaian tentang tubuh dan seksualitas

perempuan, serta membuat perempuan khawatir tentang bagaimana

penampilannya di mata orang lain, terlebih lagi di mata laki-laki

(Wiederman, 2000). Selain itu, peran media juga penting dalam

membentuk penampilan ‘ideal’ anak muda dan memromosikan tubuh yang

sempurna sebagai tujuan untuk meraih kesuksesan dalam hal seksualitas

(Penhollow & Young, 2008; Schick, Calabrese, Rima & Zucker, 2010;

Simeon, 2018). Tampilan ideal yang digambarkan dalam media

mengarahkan perempuan pada pemantauan tubuh yang terus-menerus dan

meningkatkan rasa malu terhadap tubuh (Calogero & Thompson, 2009).

Perempuan mungkin memertimbangkan penampilan yang

menawan sama dengan menjadi bagus dalam urusan seksual (Meana &

Nunnik, 2006). Laki-laki dan perempuan yakin bahwa penampilan genital

penting untuk meningkatkan kemampuan perempuan dalam memuaskan

pasangan (Amos & McCabe, 2016). Hal ini ditunjukkan oleh beberapa

responden yang memberikan respon di media sosial twitter saat diberi

pertanyaan tentang pentingnya genital (twitter.com, 2019). Genital

dianggap sebagai sesuatu yang penting untuk dijaga kebersihan dan

(23)

Terlebih lagi, terdapat pemikiran bahwa gairah laki-laki bergantung pada

bagaimana tampilan perempuan daripada apa yang mereka lakukan. Hal

tersebut berakibat pada gangguan kognitif dan gangguan pemikiran

tentang penampilan yang dialami perempuan selama aktivitas seksual

(Meana & Nunnik, 2006; Pujols, Meston & Seal, 2010).

Algars dkk. (2011) menemukan bahwa citra tubuh positif pada

perempuan berhubungan dengan rasa puas terhadap vaginanya.

Sebaliknya, perempuan dengan rasa tidak puas terhadap tubuh (khususnya

genital) memiliki kemungkinan yang lebih besar melakukan operasi

vagina untuk memeroleh kepuasan atau peningkatan dalam hal seksual

(Goodman dkk., 2016). Berbagai iklan produk susu pelangsing, perawatan

kecantikan vagina, dan pembersih organ kewanitaan mengungkapkan

bahwa produk-produk tersebut membuat pasangan (laki-laki) bangga,

memikat pasangan dengan kecantikan, dan dapat memenuhi selera

pasangan (Simeon, 2018; Wiratmo & Gifari, 2008). Selain itu, genital

merupakan salah satu bagian tubuh yang sering dicela karena bau dan

tampilannya, terlebih lagi dalam kaitannya dengan aktivitas seksual

(Fudge & Byers, 2016; Morrison, Bearden, Ellis & Harriman, 2005;

Schick dkk., 2010). Hal-hal tersebut di atas menimbulkan persepsi negatif

perempuan terhadap bagian-bagian tubuh, khususnya genital. Akibatnya,

perempuan tidak puas dengan tampilan genitalnya sehingga memiliki citra

(24)

Persepsi terhadap genital dikenal dengan sebutan citra diri genital

(genital self image). Citra diri genital merupakan perasaan dan

kepercayaan perempuan terkait genital yang memengaruhi pengalaman

seksualnya (Herbenick, Schick, Recee, Sanders, Dodge & Fortenberry,

2011). Perempuan dengan citra diri genital positif akan merasa puas

dengan tampilan genitalnya. Hal tersebut berhubungan positif dengan rasa

nyaman dan puas dengan pengalaman seksual dan berhubungan negatif

dengan kegelisahan seksual dan rasa tidak puas terhadap tubuh (Morrison

dkk., 2005). Cara perempuan menilai dirinya juga berpengaruh pada

pikiran perempuan tentang penilaian orang lain. Jika perempuan berfikir

bahwa pasangan tidak memeroleh kepuasan dari tubuhnya maka

perempuan akan mengalami ketidakpuasan seksual (Holt & Lyness, 2007).

Oleh karena itu, fokus untuk tampil menarik secara seksual dapat

mengganggu kepuasan seksual perempuan dalam pengalaman seksualnya

bersama pasangan (Calogero & Thompson, 2009).

Pikiran yang tertuju pada tampilan fisik terbukti memengaruhi

berbagai hal dalam kehidupan perempuan. Perempuan menjadi resah

tentang penampilannya secara keseluruhan maupun pada bagian-bagian

tertentu. Peneliti berasumsi bahwa pikiran yang terfokus pada tampilan

ideal genital membentuk keyakinan bahwa perempuan memiliki genital

yang buruk, dengan kata lain memiliki citra diri genital negatif.

Selanjutnya, perempuan perlu menggunakan genitalnya untuk

(25)

percaya diri dan tidak nyaman dengan situasi tersebut. Perempuan tidak

mampu fokus pada aktivitas seksual, namun terfokus pada tampilan genital

sehingga terjadi distraksi kognitif yang mengarahkan pada tidak

tercapainya kepuasan seksual. Selain itu, perempuan juga memiliki

kepuasan seksual yang lebih rendah dibandingkan laki-laki karena

pengaruh dari penilaian terhadap tampilan fisiknya.

Penelitian tentang citra tubuh dan kepuasan seksual telah banyak

dilakukan (Algars dkk., 2011; Goodman dkk, 2016; Holt & Lyness, 2007;

Penhollow & Young, 2008; Pujols dkk., 2010; Woertman & Brink, 2012),

namun penelitian tentang citra diri genital dan kepuasan seksual masih

sedikit dilakukan (Herbenick & Recee, 2010; Herbenick dkk., 2011;

Reinholtz & Muehlenhard, 1995; Schick dkk., 2010). Sejauh pencarian

peneliti, peneliti juga belum menemukan penelitian tentang citra diri

genital di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti

hubungan atara citra diri genital dan kepuasan seksual pada perempuan

yang telah berhubungan seksual.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka peneliti

merumuskan pertanyaan dari penelitian ini, yaitu:

Apakah terdapat hubungan antara citra diri genital dan kepuasan

(26)

C. Tujuan

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menguji hubungan antara citra

diri genital dan kepuasan seksual pada perempuan.

D. Manfaat

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pengetahuan pada bidang psikologi, khususnya psikologi seksual,

mengenai citra diri genital dan kepuasan seksual. Penelitian ini juga

diharapkan dapat menambah pemahaman tentang hubungan citra diri

genital dengan kepuasan seksual pada perempuan yang telah

berhubungan seksual.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

bagi para perempuan mengenai seksualitas dalam kaitannya dengan

citra diri genital dan kepuasan seksual. Pemahaman lebih akan citra

diri genital diharapkan dapat meningkatkan pengalaman seksual yang

lebih baik, sehingga kepuasan seksual tercapai. Penelitian ini juga

diharapkan dapat menambah wawasan dan pengalaman peneliti untuk

(27)

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Citra Diri Genital (Genital Self Image)

1. Definisi Citra Diri Genital

Pembahasan tentang citra diri genital masih jarang (Berman,

Berman, Miles, Polets & Powell, 2003; Herbenick & Recee, 2010)

sehingga ditemukan berbagai sebutan yang memiliki makna selaras

dengan citra diri genital, seperti genital perception (Morrison dkk.,

2005; Reinholtz & Muehlenhard, 1995), genital body-image (Zielinski,

Low, Miller & Sampselle, 2012), vaginal self-image (Fahs, 2014), dan

women’s genital self perception (Fudge & Byers, 2016). Berbagai

sebutan ini mengarah pada satu pemahaman, yaitu persepsi dan

penilaian seseorang yang ditujukan pada genitalnya.

Konsep citra diri genital (genital self-image) pertama kali

dikenalkan oleh Waltner (1986) sebagai genital identity. Definisi

genital identity adalah self-definition, self-attitudes, dan perasaan

selanjutnya yang muncul dari interaksi spesifik dan pengalaman secara

langsung atau tidak langsung yang melibatkan genital (Waltner, 1986).

Genital identity dipandang oleh Waltner (1986) sebagai salah satu

bagian dari diri yang merupakan produk sosial dan dipengaruhi oleh

(28)

Selanjutnya, citra diri genital menurut Berman dkk. (2003)

adalah pengalaman dan persepsi seseorang terhadap genital yang

dipengaruhi oleh nilai sosial dan budaya. Citra diri genital juga

diartikan sebagai perasaan dan kepercayaan seseorang terkait alat

kelamin yang memengaruhi pengalaman seksualnya (Herbenick &

Reece, 2010; Herbenick dkk., 2011). Terdapat kemungkinan lain

bahwa ada pengaruh evaluasi positif dari pengalaman seksual terhadap

citra diri genital. Hal ini berarti, citra diri genital dapat muncul dari

interaksi seksual dan memengaruhi interaksi seksual (Herbenick &

Reece, 2010; Herbenick dkk., 2011; Waltner, 1986).

Sikap, persepsi, dan citra diri perempuan yang ditujukan pada

genital memengaruhi bagaimana perempuan berinteraksi dan

menentukan pilihan terhadap genitalnya secara pribadi maupun genital

orang lain (Herbenick dkk., 2011). Dengan demikian, citra diri genital

dapat diartikan sebagai persepsi dan keyakinan yang muncul dari

pengalaman seseorang terhadap genital, melalui pengalaman langsung

dan pengalaman tidak langsung yang melibatkan genital, yang

memengaruhi pengalaman seksual.

2. Faktor yang Memengaruhi Citra Diri Genital

Persepsi perempuan terhadap genitalnya dipengaruhi oleh

pengalaman seseorang yang melibatkan genital (Waltner, 1986).

(29)

melibatkan genital, seperti menilai genital kotor, memersilakan orang

lain melihat genital, dan menganggap genital cantik atau menarik.

Sedangkan pengalaman secara tidak langsung, seperti edukasi dan

informasi tentang seksualitas atau terkhusus pada genital saja.

a. Pengalaman tidak langsung

Persepsi terhadap genital secara tidak langsung dapat

muncul dari nilai sosial dan budaya serta visualisasi media (Fahs,

2014; Schick dkk., 2010).

1) Nilai sosial dan budaya

Tubuh perempuan seringkali dilihat, dievaluasi, dan

dipandang secara seksual, akibatnya perempuan cenderung

meningkatkan kewaspadaan akan tampilan tubuhnya dihadapan

orang lain, terutama dihadapan laki-laki (Penhollow & Young,

2008). Pandangan secara seksual biasanya dilakukan laki-laki

dalam bentuk tatapan dan inspeksi secara visual pada tubuh

perempuan.

Penilaian pada bagian tubuh perempuan, tidak

terkecuali pada genital yang merupakan salah satu bagian tubuh

pada area seksual. Sejak kecil perempuan telah

mengembangkan perasaan malu, jijik, dan terhina karena

stereotip sosial yang mendefinisikan genital perempuan sebagai

bagian tubuh yang tidak menyenangkan, berbau, dan kurang

(30)

tersembunyi dianggap jorok dan tidak perlu dibicarakan oleh

orangtua kepada anak (Braun & Wilkinson, 2001; Hammers,

2006; Puspitaningrum, Suryoputro, & Widagdo, 2012).

Ketika beranjak dewasa, perempuan berhadapan dengan

nilai dan norma sosial yang mengharuskan perempuan menjadi

istri yang baik dan mampu memberikan kepuasan seksual pada

suami. Di Afrika Selatan, perempuan diharuskan untuk

menjaga dan merawat genital agar dapat memuaskan pasangan

dan diri sendiri selama aktivitas seksual (Scorgie dkk., 2009;

Hull dkk., 2011). Akibatnya perempuan berusaha untuk

melakukan berbagai macam praktik kevaginaan untuk

memberikan dan meningkatkan kepuasan seksual pasangan. Di

Indonesia, praktik kevaginaan juga digunakan secara turun

temurun dengan motif seksual, seperti menjaga kebersihan

genital untuk memuaskan pasangan dan diri sendiri (Hull dkk.,

2011). Akibatnya, persepsi perempuan terhadap genital dapat

terganggu karena adanya gangguan pikiran yang tertuju pada

tampilan selama aktivitas seksual (Meana & Nunnik, 2006;

Pujols dkk., 2010).

2) Visualisasi media

Media memberikan sumbangan besar pada sikap

(31)

(Braun, 2005; Koning, Zeijlmans, Bouman, & Lei, 2009).

Selanjutnya, gambaran yang diperoleh dari media diproses

hingga memengaruhi keputusan atau pilihan perempuan

terhadap genital.

Sayangnya, media menunjukkan berbagai informasi

tentang genital yang tidak realistis. Iklan berbagai produk

kecantikan, video porno, hingga operasi genital mengisyaratkan

bahwa terdapat standar tertentu bagi genital perempuan, mulai

dari bentuk, bau, warna, dan sebagainya (Fudge & Byers, 2016;

Koning dkk., 2009; Schick dkk., 2010; Llyod, Crouch, Minto,

Liao, & Creighton, 2005). Bentuk-bentuk tertentu dari genital,

seperti kencang, tidak berambut, tidak berbau, berwarna terang,

simetris, dan sebagainya dianggap normal dan ideal (Fahs,

2014). Pandangan tersebut membuat perempuan memberikan

evaluasi terhadap genitalnya (Schick dkk., 2011) dan

membentuk persepsi bahwa genital yang tidak sesuai

merupakan genital yang buruk dan tidak normal (Fahs, 2014;

Fudge & Byers, 2016; Lloyd dkk., 2005; Shaw dkk., 2013;

Smith dkk, 2017).

Meningkatnya akses pornografi (menunjukkan bentuk

genital yang tidak realistis) dan popularitas operasi genital

(mempromosikan modifikasi genital untuk mencapai bentuk

(32)

akan tampilan genitalnya (Schick dkk., 2010). Para perempuan

tidak jarang membandingkan genitalnya dengan genital

perempuan lain di dalam video porno, sehingga mereka merasa

memiliki genital yang buruk (Fahs, 2014). Akan tetapi,

perempuan mengabaikan fakta bahwa mayoritas konten

pornografi menyajikan orang-orang pilihan yang memiliki ciri

genital tertentu dan gambar yang diperlihatkan merupakan hasil

manipulasi data yang tidak realistis (Laan, Martoredjo,

Hesselink, Snijders & Lunsen, 2016).

Penampilan genital menjadi salah satu hal penting yang

menarik perhatian perempuan karena pengaruh media. Bentuk,

ukuran, bau, warna dan hal lain yang disajikan membentuk

persepsi perempuan bahwa hal tersebut adalah normal atau

ideal. Akibatnya, banyak perempuan merasa tidak puas dan

tidak percaya diri dengan genitalnya karena pengaruh informasi

dari media sehingga memiliki citra diri genital negatif (Fudge

& Byers, 2016; Schick dkk., 2010; Smith dkk., 2017).

b. Pengalaman langsung

Perempuan menilai secara langsung apakah genitalnya baik

atau buruk, membandingkan dengan genital orang lain, dan

mempertanyakan apakah genitalnya layak dilihat oleh orang lain

(33)

tentang seksualitas, terutama genital, memengaruhi pendapat

pribadi perempuan dalam memberikan penilaian terhadap genital.

Persepsi perempuan terhadap genital juga dipengaruhi oleh

relasi dan pendapat orang yang melihat genitalnya secara langsung

(tenaga medis atau pasangan) (Fahs, 2014; Fudge & Byers, 2016).

Pasangan turut memberikan sumbangan pada persepsi negatif

perempuan dengan membandingkan genital perempuan dengan

gambar dalam konten pornografi (Lloyd dkk., 2005) dan

menginginkan perempuan untuk selalu membersihkan genitalnya

sebelum dan sesudah berhubungan seksual (Fahs, 2014). Hal

tersebut menunjukkan penilaian negatif yang tertuju langsung pada

genital perempuan. Perempuan percaya dengan penilaian pasangan

terhadap penampilannya dan kepercayaan tersebut memengaruhi

persepsi perempuan terhadap dirinya (Fudge & Byers, 2016).

3. Manfaat Citra Diri Genital

Citra diri genital penting untuk dipahami karena merupakan

salah satu faktor signifikan yang berhubungan dengan kesehatan

genital perempuan dan kesejahteraan seksual (Fudge & Byers, 2016).

Hal ini didukung oleh berbagai penelitian yang menemukan bahwa

persepsi terhadap genital memengaruhi seksualitas perempuan dan

(34)

Herbenick dkk., 2011; Reinholtz & Muehlenhard, 1995; Schick dkk.,

2010).

Citra diri genital positif terbukti memberi pengaruh pada

banyak hal, terutama pengalaman seksual. Berbagai penelitian

menemukan hubungan citra diri genital dengan pengalaman seksual,

yaitu:

a. Harga diri seksual (sexual esteem)

Morrison dkk. (2005) menemukan bahwa persepsi terhadap

genital berhubungan positif dengan harga diri seksual, yaitu

semakin seseorang merasa puas dengan penampilan genital dan

merasa genitalnya menarik maka semakin puas dan nyaman pula

seseorang dengan pengalaman seksualnya. Hal ini didukung oleh

hasil penelitian Schick dkk. (2010) yang menemukan bahwa

persepsi negatif terhadap genital akan mengurangi harga diri

seksual perempuan. Oleh karena itu, peningkatan persepsi terhadap

tampilan genital dapat meningkatkan harga diri seksual dan

perasaan menarik secara seksual (Amos & McCabe, 2015).

b. Kepuasan seksual (sexual satisfaction)

Reinholtz dan Muehlenhard (1995) menemukan bahwa

persepsi positif terhadap genital berhubungan dengan peningkatan

pengalaman seksual dan kenikmatan seksual. Selaras dengan hasil

(35)

negatif terhadap genital berhubungan dengan penurunan

kenikmatan atau kepuasan dalam aktivitas seksual. Selanjutnya,

Herbenick dkk. (2011) menemukan bahwa citra diri genital

berhubungan dengan peningkatan kepuasan seksual, yang

merupakan bagian dari fungsi seksual.

c. Fungsi seksual (sexual function)

Berman dkk. (2003) menemukan bahwa citra diri genital

positif berhubungan dengan peningkatan gairah seksual. Selain itu,

citra diri genital positif dapat melindungi perempuan dari disfungsi

seksual sehingga mengalami sedikit depresi dan sexual distress.

Selanjutnya, Herbenick dan Recee (2010) menemukan bahwa citra

diri genital berhubungan secara signifikan dengan seluruh domain

fungsi seksual perempuan kecuali domain gairah seksual.

Sedangkan penelitian Herbenick dkk. (2011) menemukan data

bahwa citra diri genital berhubungan secara signifikan dengan

keseluruhan fungsi seksual perempuan, yaitu keterangsangan

seksual yang lebih tinggi, menjadi berhasrat secara seksual,

lubrikasi/ perlendiran vagina yang terkontrol, berkurangnya

masalah orgasme, menjadi lebih puas secara seksual, dan

berkurangnya kondisi tidak nyaman secara seksual. Hal ini

didukung oleh hasil penelitian Fudge dan Byers (2016) yang

(36)

memengaruhi keputusan perempuan tentang genitalnya dan

menyebabkan penurunan fungsi seksual.

Selain itu, Pakpour, Zeidi, Ziaeiha, dan Burri (2014)

menemukan bahwa citra diri genital berhubungan dengan peningkatan

kepercayaan diri dan apresiasi diri yang lebih baik. Persepsi yang baik

terhadap genital juga meningkatkan perasaan menarik secara seksual

sehingga perempuan merasa nyaman dengan tubuhnya dan bersedia

memersilakan orang lain untuk melihat genitalnya (pasangan dan

tenaga medis) (Herbenick dkk., 2011; Smith dkk, 2017). Citra diri

genital yang tinggi juga berhubungan dengan kesediaan untuk

memberi dan menerima seks oral (Morisson dkk., 2005; Reinholtz &

Muehlenhard, 1995; Smith dkk, 2017).

4. Dampak Citra Diri Genital Negatif

Rasa tidak puas terhadap tampilan genital memengaruhi aspek

fisik dan psikologis dari kesejahteraan seksual (Schick dkk., 2010).

Pengaruh tersebut, seperti peningkatan genital self-consciousness,

penurunan kenikmatan/ kepuasan seksual, penurunan kepercayaan diri

seksual, penurunan fungsi seksual, dan penurunan pengalaman dengan

variasi aktivitas seksual (Herbenick & Recee, 2010; Herbenick dkk.,

2011; Morrison dkk., 2005; Reinholtz & Muehlenhard, 1995; Schick

(37)

memengaruhi perasaan perempuan terhadap genitalnya secara pribadi

tetapi juga persepsi perempuan tentang bagaimana pasangan menilai

genitalnya (Fahs, 2014; Schick dkk., 2010).

Pikiran dan perasaan negatif perempuan terhadap genital juga

berhubungan dengan berbagai konsekuensi dalam hidup, seperti

perilaku konformitas dengan norma sosial (mencukur rambut

kemaluan), menyembunyikan genital dari publik maupun dalam situasi

seksual, membatasi aktivitas seksual, dan melakukan praktik

perawatan kebersihan (Fudge & Byers, 2016). Selanjutnya, persepsi

negatif terhadap genital memengaruhi pengambilan keputusan

perempuan terkait kesehatan genital, seperti kurangnya motivasi untuk

menghindari perilaku seksual beresiko, jarang atau tidak melakukan

pemeriksaan ginekologi atau pemeriksaan genital secara mandiri, dan

berusaha memberikan alasan rasional untuk operasi genital yang tidak

dibutuhkan (bukan keperluan medis) (Braun, 2010; DeMaria dkk.,

2012; Herbenick dkk., 2011; Koning dkk., 2009; Smith dkk., 2017).

5. Pengukuran Citra Diri Genital

Penelitian ini mengadaptasi skala Female Genital Self-Image

Scale 4 item (FGSIS-4) yang dikembangkan oleh Debra Herbenick,

Vanessa Schick, Michael Reece, Stephanie Sanders, Brian Dodge, dan

(38)

yang memiliki validitas dan reliabilitas baik pada perempuan berusia

18-60 di Amerika Serikat (Herbenick & Reece, 2010).

Penelitian selanjutnya oleh Herbenick dkk. (2011) dilakukan

pada perempuan berusia 18-60 di Amerika Serikat dengan jumlah

subjek yang lebih besar. Hasil penelitian ini menemukan skala FGSIS

dalam versi lebih singkat yang terdiri dari 4 item. Hasil penelitian

tersebut menemukan bahwa FGSIS 4 item merupakan skala yang lebih

baik dari versi 7 item, karena memiliki item yang lebih singkat,

memiliki validitas dan reliabilitas yang lebih baik, berhubungan

dengan seluruh aspek fungsi seksual, dan berhubungan dengan

berbagai perilaku seksual perempuan.

B. Kepuasan Seksual (Sexual Satisfaction)

1. Definisi Kepuasan Seksual

Kepuasan seksual didefinisikan secara konseptual sebagai

tingkat rasa puas yang dialami seseorang dengan pengalaman seks

dalam hidupnya (Pinney, Gerrard, & Denney, 1987 dalam Lawrance &

Byers, 1995). Lawrance dan Byers (1995) memperbaharui definisi

kepuasan seksual sebagai respon afektif yang muncul dari evaluasi

subjektif seseorang, baik positif maupun negatif, dalam hubungan

seksualnya. Selaras dengan definisi tersebut, Offman dan Mattheson

(2005) mendefinisikan kepuasan seksual sebagai respon afektif dari

(39)

tentang pemenuhan kebutuhan seksual, pemenuhan ekspektasi diri dan

pasangan, dan evaluasi positif dari keseluruhan hubungan seksual.

Kepuasan seksual tidak hanya dilihat dari aspek biologis

melainkan juga aspek psikologis, yang berhubungan dengan perasaan

dan curahan hati yang dinyatakan saat berhubungan seksual (Walgito,

2010). Kepuasan seksual juga dipahami dalam dua komponen, yaitu

fisik dan afek/emosional (Haavio-Manila & Kontula, 1997). Kepuasan

seksual secara fisik berhubungan dengan kepuasan atau kesenangan

dari hubungan seks. Sedangkan kepuasan seksual secara emosional

berhubungan dengan rasa bahagia dengan hubungan yang tetap dan

tenang.

Komponen seksual dan non-seksual memainkan peran penting

dalam kepuasan seksual seseorang. Barrientos dan Paez (2006)

menemukan bahwa tingkat edukasi dan status ekonomi yang tinggi

lebih kuat berhubungan dengan kepuasan seksual dibandingkan

dengan frekuensi sanggama dan orgasme. Stulhofer, Busko, dan

Brouillard (2010) juga menjelaskan berbagai komponen dalam

kepuasan seksual yang merupakan komponen seksual dan non-seksual,

yaitu sensasi seksual, kesadaran seksual, pertukaran seksual, kedekatan

emosional, dan aktivitas seksual.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, peneliti menyimpulkan

bahwa kepuasan seksual diartikan sebagai respon afektif dari evaluasi

(40)

dan kebutuhan, baik secara seksual maupun non-seksual, dari

hubungan seksual seseorang dengan pasangannya.

2. Aspek Kepuasan Seksual

Kepuasan seksual dibentuk oleh 3 aspek, yaitu aspek individual

(fokus pada kepuasan pribadi), aspek interpersonal (fokus pada

interaksi dengan pasangan), dan aspek behavioral (fokus pada

perilaku-perilaku khusus yang memberi kepuasan). Selanjutnya, ketiga

aspek tersebut digunakan untuk memperoleh lima dimensi kepuasan

seksual, yaitu

a. Aspek individual

1) Sensasi seksual (sexual sensations)

Sensasi seksual berkaitan dengan kesenangan seksual

karena sensasi seksual yang menyenangkan merupakan dasar

dari ‘trance’ seksual dan menjadi motivasi utama dibalik

pengulangan kontak seksual. Hal tersebut merupakan virtuous

circle, yaitu kesenangan membawa lebih banyak seks dan seks

yang lebih banyak membawa kesenangan yang lebih pula

(Hubert & Apt, 1994 dalam Stulhofer dkk., 2010).

2) Kesadaran seksual (sexual presence/ awareness)

Pentingnya kesadaran seksual telah terbukti dalam

(41)

untuk fokus pada sensasi erotis dan seksual penting bagi

sensasi seksual yang menyenangkan. Sedangkan, kurangnya

kesadaran diri dapat berakibat pada monitor diri yang

berlebihan selama aktivitas seksual (Zilbergeld, 1992 dalam

Stulhofer dkk., 2010) atau tingginya tingkat distraksi (Heiman

& LoPiccolo, 1998 dalam Stulhofer dkk., 2010).

b. Aspek interpersonal

1) Pertukaran seksual (sexual exchange)

Dimensi pertukaran seksual menekankan pada

pentingnya hubungan timbal balik dalam kontak seksual.

Perbedaan antara memberi dan menerima atensi seksual dan

kesenangan seksual dapat menyebabkan ketidakpuasan seksual.

2) Kedekatan emosional (emotional connection/closeness)

Ikatan emosional dan keintiman yang kuat dapat

menghasilkan ketertarikan seksual dalam jangka panjang

(Ellison, 2001; Schnarch, 1991 dalam Stulhofer dkk., 2010).

Mekanisme dibalik kepuasan seksual adalah hubungan antara

kedekatan emosi dan kepercayaan serta dengan pelepasan

seksual (sexual letting go) (Heiman & LoPiccolo, 1988 dalam

(42)

c. Aspek behavioral

1) Aktivitas seksual (sexual activity)

Dimensi aktivitas seksual mencakup frekuensi, durasi,

variasi, dan intensitas dari aktivitas seksual untuk memeroleh

kepuasan seksual bagi perempuan maupun laki-laki. Meskipun

kualitas kontak seksual dinilai lebih penting dari kuantitas,

namun frekuensi sebagai bentuk kuantitas dari kepuasan

seksual telah banyak diuji oleh berbagai penelitian. Selain itu,

kurangnya variasi juga menyebabkan kebosanan seksual dan

durasi aktivitas seksual berhubungan dengan terjadinya

orgasme (Heiman & LoPiccolo, 1998 dalam Stulhofer dkk.,

2010).

3. Faktor yang Memengaruhi Kepuasan Seksual

Sanchez-Fuentes, Santos-Iglesias, dan Sierra (2014)

mengadaptasi teori ekologi dari Bronfenbrenner (1994) untuk

menjelaskan berbagai faktor yang memengaruhi kepuasan seksual.

Teori ekologi menjelaskan bahwa perkembangan individu dipengaruhi

oleh interaksi antara karakteristik individu, kondisi lingkungan, dan

kondisi sosial. Interaksi tersebut terorganisir dalam empat level yang

saling berhubungan, yaitu mikrosistem, mesosistem, eksosistem, dan

makrosistem. Di dalam setiap level terdapat berbagai variabel yang

(43)

a. Usia dan menopause (mikrosistem)

Memasuki usia paruh baya, kepuasan seksual perempuan

menjadi hal yang rumit karena pengaruh penuaan dan menopause.

Hal tersebut berpengaruh pada turunnya hasrat, gairah, orgasme,

dan dinamika hubungan dengan pasangan (Dundon & Rellini,

2010). Beberapa penelitian juga menemukan bahwa seiring

bertambahnya usia, individu akan mengalami penurunan gairah

seksual (DeLamater & Sill, 2005) dan merasa kurang puas secara

seksual (Ashdown, Hackathorn, & Clark, 2011). Selanjutnya,

kesejahteraan psikologis dan gejala-gejala saat perempuan

mengalami menopause dapat secara kuat memprediksikan

kepuasan seksual dengan keseluruhan kehidupan seksual (Dundon

& Rellini, 2010).

b. Harga diri, citra tubuh, dan citra diri genital (mikrosistem)

Perempuan yang merasa positif dalam pengalamannya

dengan tubuh akan merasa lebih puas dalam aktivitas seksual

(Woertman & Brink, 2012). Citra tubuh berhubungan dengan harga

diri dalam situasi seksual. Rendahnya citra tubuh berpengaruh pada

rasa tidak puas terhadap bagian-bagian tubuh sehingga individu

memiliki harga diri yang rendah dan mengalami ketidakpuasan

seksual (Dove & Wiederman, 2000; Pujols dkk., 2010). Fokus

(44)

memengaruhi kepuasan seksual perempuan (Calogero &

Thompson, 2009).

Bagi perempuan, kepuasan terhadap genital yang tinggi

berhubungan dengan fungsi seksual yang lebih baik (Algars dkk.,

2011). Selain itu, kepuasan terhadap genital berhubungan dengan

frekuensi perilaku seksual. Ketika genital menjadi perhatian utama,

peningkatan citra tubuh (khususnya genital) akan meningkatkan

kepuasan seksual perempuan (Goodman dkk., 2016). Dengan

demikian, citra diri genital merupakan bagian dari citra tubuh dan

keduanya berhubungan dengan harga diri dalam situasi seksual

dengan pasangan serta berhubungan dengan kepuasan seksual.

c. Dukungan pasangan dan komunikasi (mesosistem)

Perempuan seringkali berpikir bahwa pasangan tidak

memeroleh kepuasan dari tubuhnya sehingga perempuan akan

mengalami ketidakpuasan seksual (Holt & Lyness, 2007).

Sementara itu, percakapan seksual yang intim meningkatkan

kepuasan seksual perempuan (Ashdown, dkk., 2011; Byers, 2005;

Barrientos & Paez, 2006). Komunikasi yang efektif dengan

pasangan berhubungan dengan pencapaian kepuasan seksual yang

tinggi karena masing-masing dapat saling mengerti kebutuhan

(45)

d. Sexual reward and cost (mesosistem)

Kepuasan seksual dipengaruhi oleh persepsi seseorang

tentang keseimbangan antara sesuatu yang diterima dan dilakukan

oleh dirinya dan sesuatu yang diterima dan dilakukan oleh

pasangan (Byers, 1999). Keseimbangan tersebut tidak hanya

dihitung dari aktivitas seksual tetapi juga perilaku non-seksual

dalam suatu hubungan (Barrientos & Paez, 2006).

Persepsi seseorang tentang bagaimana pendapat pasangan

akan dirinya dapat memengaruhi kepuasan seksual orang tersebut

(Holt & Lyness, 2007). Kondisi ini juga menciptakan adanya

hubungan yang tidak seimbang karena perempuan hanya

memikirkan pendapat laki-laki tanpa memikirkan pencapaian

kepuasan bagi dirinya. Akibatnya, penurunan kepuasan seksual

terjadi karena adanya ketidaksetaraan antara usaha yang dilakukan

dan hasil yang diterima.

e. Dukungan sosial dan diskriminasi (eksosistem)

Lingkungan sosial yang suportif akan meningkatkan

kualitas hubungan dengan pasangan. Orangtua, teman, dan

pasangan yang memberikan komentar negatif dan ekspektasi

tentang bentuk tubuh akan memengaruhi harga diri perempuan

(46)

Lyness, 2007). Hal tersebut berakibat pada rendahnya kepuasan

seksual.

f. Budaya (makrosistem)

Budaya memberikan berbagai penilaian tentang tubuh dan

seksualitas perempuan yang membuat perempuan khawatir tentang

bagaimana penampilannya di mata orang lain, terlebih lagi di mata

laki-laki (Wiederman, 2000). Perempuan berusaha meningkatkan

kualitas fisiknya untuk meraih kesuksesan dalam hubungan seksual

karena mereka memertimbangkan penampilan yang menawan

sama dengan menjadi bagus dalam urusan seksual (Meana &

Nunnik, 2006). Hal tersebut meningkatkan evaluasi perempuan

terhadap diri sendiri sehingga perempuan tidak memeroleh tempat

untuk memenuhi keinginan pribadi dan tidak mampu mencapai

kepuasan seksual.

4. Pengukuran Kepuasan Seksual

Penelitian ini mengadaptasi skala New Sexual Satisfaction

Scale 20 item (NSSS) yang dikembangkan oleh Aleksandar Stulhofer,

Vesna Busko, dan Pamela Brouillard. Skala NSSS awalnya terdiri dari

35 item dengan tiga aspek dan lima dimensi. Selanjutnya, dilakukan

pengembangan pengukuran dengan tujuan untuk mengukur kepuasan

(47)

kelas-kelas tertentu, seperti orientasi, gender, atau latar belakang budaya

(Stulhofer dkk., 2010). Pengembangan ini dilakukan pada subjek

dengan dua budaya yang berbeda, yaitu Amerika Serikat dan Kroasia.

Skala NSSS 20 item terbukti memiliki struktur yang lebih baik

dan dasar umum yang lebih luas. NSSS 20 item terdiri dari dua

sub-skala, yaitu ego-centered subscale dan partner/ sexual activity

centered subscale. Kedua sub-skala tersebut tetap mencakup tiga aspek

(individual, interpersonal, dan behavioral) dan lima dimensi (sensasi

seksual, kesadaran seksual, pertukaran seksual, kedekatan emosional,

dan aktivitas seksual) sebagai dasar terbentuknya skala NSSS.

C. Dinamika antara Citra Diri Genital dan Kepuasan Seksual

Kepuasan seksual merupakan hal yang penting karena dapat

memengaruhi kesejahteraan diri dan kebahagiaan seseorang (Laumann

dkk., 2006; Rosen & Bachman, 2008). Seseorang dengan kehidupan

seksual yang menyenangkan dan memeroleh kepuasan secara seksual akan

memiliki komunikasi yang baik dengan pasangan, puas dengan relasinya

bersama pasangan, terhindar dari kebosanan seksual, dan mampu

mencapai kepuasan seksual (Ashdown dkk., 2011; Byers, 2005;

Haavio-Manilla & Kontula, 1997; Stulhofer dkk., 2010).

Sementara itu, hasil penelitian Lauman dkk. (2006) menemukan

lima negara dengan kepuasan seksual terendah dan Indonesia termasuk di

(48)

pada perempuan lebih rendah daripada laki-laki pada seluruh negara yang

diteliti. Selaras dengan penelitian tersebut, penelitian lain juga menemukan

kepuasan seksual yang rendah pada perempuan (Sanchez-Fuentes dkk.,

2014).

Kepuasan seksual merupakan respon afektif dari evaluasi

seseorang tentang hubungan seksualnya, termasuk persepsi tentang

pemenuhan kebutuhan seksual, pemenuhan ekspektasi diri dan pasangan,

dan evaluasi positif dari keseluruhan hubungan seksual (Offman &

Mattheson, 2005). Kepuasan seksual juga mencakup sensasi seksual,

kesadaran seksual, pertukaran seksual, kedekatan emosional, dan aktivitas

seksual (Stulhofer dkk., 2010).

Kepuasan seksual dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti

usia, harga diri, citra diri, dukungan pasangan, pertukaran seksual,

dukungan sosial, dan budaya (Sanchez-Fuentes dkk., 2014). Faktor-faktor

tersebut terbagi dalam dua komponen, yaitu seksual dan non-seksual

(Barientos & Paez, 2006). Komponen seksual mencakup hal-hal yang

berhubungan langsung dengan aktivitas seksual sedangkan komponen

non-seksual mencakup hal-hal lain di luar aktivitas seksual yang dapat

memengaruhi kepuasan seksual. Komponen seksual menjadi hal yang

paling sering ditonjolkan dan diperhatikan, padahal komponen non-seksual

juga memberikan kontribusi yang penting bagi kepuasan seksual

seseorang. Salah satu contoh komponen non-seksual adalah tampilan fisik

(49)

memberikan pengaruh yang signifikan pada kepuasan seksual perempuan

(Pujols dkk., 2010).

Jika dihubungkan dengan aspek fisik, perempuan memiliki

kecenderungan kepuasan seksual yang lebih rendah dibandingkan dengan

laki-laki (Laumann dkk., 2006; Sanchez-Fuentes dkk., 2014). Perempuan

mungkin memertimbangkan penampilan yang menawan sama dengan

menjadi bagus dalam urusan seksual (Meana & Nunnik, 2006). Selain itu,

budaya dan media menunjukkan standar kecantikan dan perilaku yang

tidak realistis, sehingga perempuan melakukan pemantauan terhadap tubuh

dan merasa malu (Calogero & Thompson, 2009; Daniluk, 1993;

Fredrickson & Roberts, 1997).

Peninjauan penampilan tubuh tidak hanya pada bagian-bagian yang

terlihat, melainkan juga genital yang merupakan alat langsung untuk

berhubungan seksual. Citra tubuh yang positif pada perempuan

berhubungan dengan rasa puas terhadap vaginanya (Algars dkk, 2011).

Sayangnya, genital seringkali dicela karena bau dan tampilannya, terlebih

lagi dalam kaitannya dengan aktivitas seksual (Fudge & Byers, 2016;

Morrison dkk., 2005; Schick dkk., 2010).

Penampilan genital juga menjadi hal penting bagi perempuan di

Indonesia. Media memberikan sumbangan besar dengan berbagai iklan

yang menawarkan produk-produk kecantikan untuk memperbaiki tampilan

diri dan genital agar dapat memikat pasangan atau laki-laki (Simeon, 2018;

(50)

negatif dan merasa tidak puas dengan tampilan genitalnya. Persepsi

terhadap genital yang negatif dapat mengarahkan perempuan pada citra

diri genital negatif.

Citra diri genital merupakan perasaan dan kepercayaan perempuan

terkait genital yang memengaruhi pengalaman seksualnya (Herbenick

dkk., 2011). Persepsi yang positif dapat menimbulkan rasa puas terhadap

genital dan berhubungan positif dengan rasa nyaman dan puas dengan

pengalaman seksual, serta berhubungan negatif dengan kegelisahan

seksual dan rasa tidak puas terhadap tubuh (Morrison dkk., 2005).

Perempuan dengan citra diri genital yang positif dapat memaksimalkan

fungsi seksualnya, sehingga memeroleh kepuasan seksual (Herbenick

dkk., 2011).

Sebaliknya, rasa tidak puas terhadap tampilan genital dapat

memengaruhi kesejahteraan seksual seseorang, terutama dalam hal

psikologis karena perhatian berlebihan pada aspek fisik (Schick dkk.,

2010). Bila dijabarkan, pengaruh tersebut termasuk peningkatan genital

self-consciousness, penurunan kenikmatan/ kepuasan seksual, penurunan

kepercayaan diri seksual, penurunan fungsi seksual, dan penurunan

pengalaman dengan variasi aktivitas seksual (Morrison dkk., 2005;

Herbenick & Recee, 2010; Herbenick dkk., 2011; Reinholtz &

Muehlenhard, 1995; Schick dkk., 2010).

Perhatian yang berlebihan terhadap tampilan fisik berakibat pada

(51)

dialami perempuan selama aktivitas seksual (Meana & Nunnik, 2006;

Pujols, Meston & Seal, 2010). Peneliti berasumsi bahwa gangguan

kognitif terjadi karena seseorang kurang mampu fokus pada aktivitas

seksual yang sedang dilakukan. Kelly (1963, dalam Burger, 2011)

mengungkapkan bahwa terdapat variabel kognitif-afektif yang merupakan

bagian dari sistem kompleks yang menghubungkan suatu situasi yang

dijumpai dengan perilaku selanjutnya atau respon. Variabel tersebut

meliputi berbagai representasi mental, seperti harapan, nilai, dan tujuan

yang berinteraksi satu dengan yang lain untuk menentukan bagaimana

seseorang akan memberikan respon pada suatu situasi. Selaras dengan

teori kognitif-afektif dari Kelly (1963, dalam Burger, 2011) peneliti

menggabungkan mekanisme antara citra diri genital dan kepuasan seksual

sehingga terjadi distraksi kognitif. Pikiran yang terfokus pada tampilan

ideal genital membentuk keyakinan bahwa perempuan memiliki genital

yang buruk, dengan kata lain memiliki citra diri genital negatif. Beberapa

penelitian menemukan bahwa perempuan berusaha menjaga dan merawat

genital untuk meningkatkan kepuasan pasangan dan diri sendiri (Scorgie

dkk., 2009; Hull dkk., 2011). Hal ini berarti baik buruknya genital

diasumsikan berhubungan dengan kepuasan seksual. Oleh karena itu, citra

diri genital yang negatif diyakini dapat mengurangi kepuasan seksual.

Selanjutnya, perempuan perlu menggunakan genitalnya untuk

berhubungan seksual bersama pasangan sehingga berakibat pada

(52)

tersebut. Perempuan tidak mampu fokus pada aktivitas seksual, namun

terfokus pada tampilan genital yang dianggap buruk dan tidak mampu

memuaskan pasangan. Oleh karena itu, perempuan tidak mampu mencapai

tujuannya untuk mencapai kepuasan seksual.

Sementara itu, menurut teori mindfulness perempuan dengan citra

diri genital negatif cenderung berfokus pada penilaian negatif tentang

genitalnya. Padahal, menurut teori mindfulness kesadaran saat ini dapat

dicapai jika setiap pikiran, perasaan, atau sensasi yang muncul tidak dinilai

dan ditambah-tambahkan tetapi diterima dan diakui (Bishop dkk., 2004

dalam Brown, Creswell & Ryan, 2015). Pada perempuan dengan citra diri

genital negatif maka ia cenderung fokus pada penilaian negatifnya

sehingga kurang bisa merasakan sensasi-sensasi ketika melakukan aktifitas

seksual yang berhubungan dengan tercapainya kepuasan seksual.

Penampilan fisik termasuk dalam perhatian utama perempuan.

Penampilan genital dianggap penting karena genital merupakan alat

langsung untuk berhubungan seksual dan mendukung tercapainya

kepuasan seksual. Selain itu, banyak penelitian tentang citra tubuh dan

kepuasan seksual tetapi masih sedikit penelitian tentang citra diri genital

dan kepuasan seksual. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini ingin

menguji seberapa besar hubungan antara citra diri genital dan kepuasan

(53)

D. Kerangka Berpikir

E. Hipotesis

Hipotesis penelitian yang diujikan dalam penelitian ini adalah

terdapat hubungan antara citra diri genital dan kepuasan seksual. Citra diri genital negatif

Persepsi dan evaluasi negatif terhadap genital

Pikiran tertuju pada tampilan genital selama

aktivitas seksual

Tidak mampu mencapai kepuasan seksual

Kepuasan seksual rendah

Citra diri genital positif

Persepsi dan evaluasi positif terhadap genital

Pikiran fokus pada aktivitas seksual dan berbagai

variasinya

Mampu mencapai kepuasan seksual

(54)

36

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan metode penelitian yang menekankan analisisnya pada data-data kuantitatif (angka) yang dikumpulkan melalui prosedur pengukuran dan diolah dengan metode analisis statistika (Azwar, 2017). Penelitian kuantitatif bertujuan untuk menguji teori secara objektif dengan memeriksa atau meneliti hubungan antar variabel (Supratiknya, 2015).

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian korelasi untuk mencari apakah ada hubungan atau kaitan antara dua variabel (Suparno, 2011). Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui hubungan antara citra diri genital dan kepuasan seksual pada perempuan.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas

(55)

2. Variabel Terikat

Variabel terikat adalah variabel penelitian yang diukur untuk mengetahui besarnya efek atau pengaruh dari variabel lain (Azwar, 2017). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kepuasan seksual.

C. Definisi Operasional

1. Citra Diri Genital

Citra diri genital diartikan sebagai perasaan dan kepercayaan seseorang terkait alat kelamin yang memengaruhi pengalaman seksualnya (Herbenick, & Reece, 2010; Herbenick dkk., 2011). Persepsi tersebut mencakup rasa puas terhadap tampilan genital, bau genital, rasa nyaman saat genital dilihat oleh orang lain, dan tidak malu pada genitalnya sendiri. Persepsi tersebut dipengaruhi oleh pengalaman seseorang dengan genitalnya, secara langsung dan tidak langsung, dan memengaruhi pengalaman seksualnya.

Citra diri genital pada perempuan diukur menggunakan skala Female Genital Self-Image Scale (FGSIS-4). Semakin tinggi skor

(56)

2. Kepuasan Seksual

Kepuasan seksual adalah respon afektif dari evaluasi positif seseorang terhadap pengalaman seksual dalam kaitannya dengan pemenuhan harapan dan kebutuhan, baik secara seksual maupun non-seksual, dari hubungan seksual seseorang dengan pasangannya. Kepuasan seksual mencakup sensasi seksual, kesadaran seksual, pertukaran seksual, kedekatan emosional, dan aktivitas seksual (Stulhofer dkk., 2010).

Kepuasan seksual pada subjek diukur menggunakan skala New Sexual Satisfation Scale (NSSS). Semakin tinggi skor subjek pada skala NSSS maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan seksual yang dimiliki oleh subjek. Sebaliknya, jika skor subjek pada skala NSSS rendah maka tingkat kepuasan yang dimiliki oleh subjek juga rendah.

D. Subjek Penelitian

(57)

usia perempuan belum mengalami menopause untuk menghindari terjadinya perubahan suasana hati, penurunan aktivitas seksual, dan gejala-gejala lain pada perempuan yang telah atau sedang mengalami menopause (Brown, Gallicchio, Flaws, & Tracy, 2009; DeLamater & Friedrich, 2002; Spencer, Godsland, & Stevenson, 1997; Williams, Kalilani, DiBenedetti, Zhou, Fehnel, & Clark, 2007;). Subjek dalam penelitian ini ditentukan dengan mengunakan teknik convenience sample, yaitu pemilihan subjek berdasarkan kemudahan atau ketersediaan untuk mengakses (Supratiknya, 2015).

E. Prosedur Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian payung yang dilakukan bersama rekan serta dosen yang memiliki ketertarikan yang sama. Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti terlebih dahulu meminta izin kepada pemilik skala untuk memakai dan mengadaptasi skala Female Genital Self-Image Scale (FGSIS) dan skala New Sexual Satisfaction Scale

(58)

Skala penelitian disebar pada perempuan yang telah berhubungan seksual dan bersedia mengisi skala. Peneliti membagikan skala penelitian yang dikemas dalam sebuah amplop. Skala penelitian memuat informed consent dan data demografi. Selain itu, terdapat pula surat pengantar

penelitian yang disediakan di dalam amplop. Pembagian skala dilakukan melalui beberapa cara. Pertama, peneliti mengunggah skala penelitian ke dalam satu situs survey online di internet lalu menyebarluaskan melalui media sosial, seperti whatsapp dan line. Subjek dapat mengisi skala tersebut melalui komputer atau smartphone yang dimilikinya kapan saja dan di mana saja tanpa menyebutkan identitas diri sehingga data tetap bersifat rahasia. Kedua, tim peneliti menyebarkan skala secara personal kepada setiap orang. Selanjutnya, tim peneliti menjelaskan prosedur pengisian skala, seperti pengisian skala dapat dilakukan di rumah agar subjek merasa lebih nyaman dan santai, kemudian skala yang terisi dapat dimasukkan kembali ke dalam amplop dan diberikan kepada peneliti. Ketiga, peneliti memilih beberapa orang yang disebut dengan key person. Tim peneliti menitipkan skala kepada beberapa key person dan menjelaskan prosedur pengisian skala untuk diteruskan pada subjek di berbagai daerah. Salah satu key person merupakan orang tua peneliti yang bekerja di bidang medis.

(59)

peneliti akan memberikan reward. Reward berupa pulsa sejumlah Rp20.000,- diberikan pada seluruh subjek yang memberikan jawaban dengan lengkap tanpa melewati satu nomor dan instruksi.

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data

1. Metode

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara menyebarkan skala penelitian kepada subjek. Skala adalah alat ukur psikologi yang digunakan untuk mengungkap data mengenai variabel psikologi (Azwar, 2017).

2. Alat Pengumpulan Data

a. Female Genital Self-Image Scale (FGSIS)

Penelitian ini mengadaptasi skala Female Genital Self-Image Scale 4 item (FGSIS-4) yang dikembangkan oleh Debra

Herbenick, Vanessa Schick, Michael Reece, Stephanie Sanders, Brian Dodge, dan J. Dennis Fortenberry. Skala Female Genital Self-Image (FGSIS) pertama terdiri dari tujuh item yang memiliki

validitas dan reliabilitas baik pada perempuan berusia 18-60 di Amerika Serikat (Herbenick & Reece, 2010).

(60)

menemukan skala FGSIS dalam versi lebih singkat, yaitu terdiri dari 4 item. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa FGSIS 4-item merupakan skala yang lebih baik dari versi 7 4-item, memiliki item yang lebih singkat, serta memiliki reliabilitas dan validitas baik.

Skala FGSIS-4 merupakan skala Likert yang terdiri dari empat respon jawaban. Respon jawaban tersebut adalah Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S), Sangat Setuju

(SS). Respon netral ditiadakan untuk meminimalisir kecenderungan

subjek memilih respon ditengah. Rentang skor pada skala FGSIS mulai dari 4-16, skor tinggi mengindikasikan citra diri genital yang positif.

b. New Sexual Satisfaction Scale (NSSS)

Penelitian ini mengadaptasi skala New Sexual Satisfaction Scale (NSSS) yang terdiri dari 20 item. Skala NSSS dikembangkan

oleh Dr. Alexandar Stulhofer, Vesna Busko, dan Pamela Brouillard. Skala NSSS bertujuan untuk mengukur kepuasan seksual dengan dasar konsep yang jelas dan tidak dibatasi oleh kelas-kelas tertentu, seperti orientasi, gender, atau latar belakang budaya (Stulhofer dkk., 2010).

(61)

sensasi seksual pribadi dan partner/ sexual activity centered subscale yang mengukur kepuasan seksual dari persepsi individu tentang perilaku dan reaksi seksual pasangan dan keragaman dan/atau frekuensi aktivitas seksual. Skala NSSS terdiri dari tiga aspek yang dikembangkan menjadi 5 dimensi kepuasan seksual, yaitu aspek individual yang terdiri dari dimensi sensasi seksual dan kesadaran seksual, aspek interpersonal yang terdiri dari dimensi pertukaran seksual dan kedekatan emosional, dan aspek behavioral yang terdiri dari aspek aktivitas seksual.

Skala NSSS berjumlah 20 item dan merupakan skala Likert yang terdiri dari lima respon jawaban. Respon jawaban tersebut adalah Sama Sekali Tidak Puas, Sedikit Puas, Cukup Puas, Sangat Puas, Amat Sangat Puas. Rentang skor pada skala NSSS mulai

dari 20-100, skor tinggi mengindikasikan adanya kepuasan seksual.

G. Validitas dan Reliabilitas

1. Validitas Alat Ukur

Validitas adalah ketepatan atau kecermatan suatu instrumen dalam mengukur apa yang ingin diukur (Priyatno, 2008).

a. Female Genital Self-Image Scale (FGSIS)

Gambar

Gambar 1. Kerangka Berpikir ………………………………………………….. 35
Tabel 1 Perbandingan mean kepuasan seksual 3 kelompok negara (Laumann dkk,
gambar dalam konten pornografi (Lloyd dkk., 2005) dan
Tabel 3 Deskripsi subjek penelitian berdasarkan usia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Judul Skripsi : Analisis Spasial Kandungan Bakteri Coliform Pada Air Tanah Dangkal Di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar (sebagai Bahan Ajar Geografi SMA Kelas

Sribhawono, merupakan bagian dari program Hospital Network, di mana Dompet Dhuafa ingin membangun banyak rumah sakit di daerah agar akses fasilitas kesehatan yang baik semakin

Karena sensus penduduk dilakukan sekali dalam 10 tahun, maka untuk mengetahui perkiraan jumlah penduduk pada suatu masa dapat dilakukan dengan proyeksi penduduk.. Proyeksi

Berdasarkan pohon regresi yang terbentuk, peubah penjelas yang muncul dalam pohon regresi adalah status penggunaan KB, pengeluaran per kapita per bulan, dan penggunaan

[r]

Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru

Oleh karena itu, pasir sungai Cikapundung tidak dapat digunakan sebagai bahan pengganti agregat halus, walaupun dari hasil uji statistik dengan menggunakan Anova tidak

Adapun hasil penelitian adalah terdapat 80% responden (4 dari 5 orang) mengalami penurunan yang bervariasi yang dimulai dari 4 hingga 9 poin, sedangkan 1 responen