• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Hubungan Dyadic Coping dan Kepuasan Relasi Romantis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D. Dinamika Hubungan Dyadic Coping dan Kepuasan Relasi Romantis

Dewasa Awal yang Sedang Menjalin Relasi Romantis.

Kepuasan relasi romantis didefinisikan sebagai evaluasi subjektif individu terhadap hubungan dan pasangannya, meliputi penilaian terhadap perasaan, pikiran dan perilaku dalam suatu relasi romantis (Hendrick, 1988). Kepuasan relasi romantis berperan penting bagi dewasa awal untuk dapat membina relasi romantis yang stabil dan langgeng demi memenuhi tuntutan masyarakat untuk menikah pada usia 30 tahun (Gottman & Levenson, 1992; Santrock, 2011; Wildsmith et al., 2013).

Kepuasan relasi romantis memiliki beberapa faktor yang dapat memengaruhinya, yaitu strategi komunikasi, keintiman, tipe kepribadian, tipe kelekatan, self esteem, komponen cinta, dan harapan. Faktor lain yang dapat memengaruhi kepuasan relasi romantis adalah penyelesaian masalah. Pengelolaan masalah dapat dilakukan secara individu yang sering disebut dengan individual coping (Bodennmann, 2005). Namun, individual coping dirasa kurang dalam meningkatkan kepuasan relasi romantis (Setyorini, 2012). Hal tersebut dikarenakan individual coping tidak dapat menjamin kesejahteraan

pasangan, kesejahteraan pasangan dapat diperoleh dari kedua pasangan dalam mengelola permasalahan bersama (Bodennman, 2005).

Bodenmann (2008) memaparkan salah satu bentuk coping yaitu dyadic

coping. Dyadic coping merupakan kualitas upaya bersama untuk

menyelesaikan masalah sejauh yang dipersepsikan individu. Dyadic coping memiliki empat dimensi yang terdiri dari positif dan negatif, yaitu supportive

dyadic coping, common dyadic coping, delegate dyadic coping, dan negative dyadic coping. Dimensi-dimensi positif dari dyadic coping memiliki hubungan

yang positif dengan kepuasan relasi romantis.

Dimensi pertama yaitu supportive dyadic coping terjadi ketika salah satu pasangan bersedia membantu yang lain dalam upaya copingnya. Hal tersebut dapat diekspresikan dengan cara memberikan empati, mendukung satu sama lain, dan mengkomunikasikan kepercayaan pada kemampuan pasangan (Bodenmann, 2005). Supportive dyadic coping tidak hanya seputar perilaku altruistik, namun juga melibatkan upaya untuk mendukung pasangan yang memiliki keinginan dalam mengurangi stres seorang diri (Bodenmann, 1995).

Masalah yang dirasakan oleh salah satu pasangan dan belum terselesaikan secara tidak efektif akan memengaruhi kondisi dan situasi lainnya baik itu secara pribadi maupun dalam relasinya dengan pasangan. Oleh karena itu, kedua pasangan memiliki kepentingan vital dalam memberikan dukungan kepada pasangan dapat menjadi penentu dalam menjamin kesejahteraan dan stabilitas hubungan mereka. Selain itu, ketika seorang pasangan mampu untuk mengurangi stres yang sedang dialami pasangan lain, hal tersebut akan

mengurangi pengaruh negatif dan dapat meningkatkan kepuasan dalam relasi yang dijalinnya (Bodenmann, 2005).

Dimensi kedua yaitu common dyadic coping terjadi ketika kedua pasangan memberikan partisipasi dalam proses coping yang saling melengkapi satu sama lain untuk menangani masalah dengan menggunakan strategi seperti memecahkan masalah bersama, mencari informasi bersama, saling berbagi perasaan, memunculkan komitmen timbal balik, dan bersantai bersama (Bodenmann, 2005).

Pada umumnya common dyadic coping menekankan situasi kedua pasangan sama-sama mengalami masalah dan kemudian mereka mencoba untuk mengelola kondisi dan situasi dengan mengatasi masalah bersama. Upaya yang mereka lakukan salah satunya dengan menerapkan strategi yang berfokus pada saling membantu mengurangi dampak emosional yang kemungkinan besar akan muncul ketika mereka menghadapi masalah. Salah satu penelitian memaparkan bahwa pasangan yang saling berbagi ketertarikan, melakukan kegiatan bersama-sama, dan memiliki teman yang sama, memiliki kemungkinan besar untuk lebih merasa terpuaskan dalam hubungannya dibandingkan dengan pasangan yang jarang menjalani kegiatan secara bersama-sama (DeGenova & Rice, 2005).

Dimensi ketiga yaitu delegate dyadic coping terjadi ketika salah satu pasangan mengambil alih tanggung jawab untuk mengurangi stres yang dialami pasangannya yang lain. Dimensi ini secara eksplisit meminta pasangan

untuk memberikan dukungan dan kontribusi dalam proses coping pasangan lain.

Contoh delegate dyadic coping seperti, ketika pasangan sedang mendapat banyak pesanan dalam bisnis usahanya dan tidak dapat menanganinya sendiri. Sehingga, pasangannya mengambil alih tugas lain yang tidak dapat ditangani oleh pasangan. Situasi seperti ini dapat menumbuhkan rasa percaya, rasa saling mengandalkan, komitmen, dan persepsi bahwa hubungan adalah sumber daya yang mendukung dalam keadaan sulit yang dapat meningkatkan kepuasan relasi romantis yang sedang dijalin (Bodenmann, 2005).

Dimensi keempat yaitu negative dyadic coping, yaitu dimensi yang memberikan bantuan, namun disertai dengan perilaku yang negatif. Perilaku negatif ini dapat berupa verbal maupun nonverbal. Dalam situasi stres, tidak menutup kemungkinan seseorang akan memunculkan bentuk negatif dari

dyadic coping.

Contoh negative dyadic coping seperti, pasangan meremehkan pasangan yang lain ketika tidak dapat menyelesaikan permasalahan secara efektif atau ketika pasangan tidak tulus membantu pasangan yang lain untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi. Tentu situasi ini sangat tidak nyaman bagi kedua pasangan. Dimensi ini sebagai bentuk negatif dari

dyadic coping yang dalam beberapa penelitian menunjukan bahwa dimensi ini

memiliki hubungan yang negatif dengan kepuasan relasi karena dapat menurunkan kesejahteraan relasi antar pasangan.

Uraian mengenai dinamika hubungan dyadic coping dan kepuasan relasi romantis pada dewasa awal diperkuat oleh beberapa penelitian terdahulu, di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Bodenmann (2005) mengenai hubungan dyadic coping dan kepuasan fungsi pernikahan dengan subjek pasangan suami istri. Penelitian tersebut menunjukkan hasil yang signifikan antara dyadic coping dan kepuasan fungsi pernikahan pada pasangan suami istri. Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Setyorini (2012) di Indonesia terkait dengan hubungan antara dyadic coping dan kepuasan pernikahan pada pasien penderita penyakit kronis. Penelitian tersebut memaparkan hasil bahwa dyadic coping memiliki hubungan signifikan yang positif terhadap kepuasan pernikahan pada pasien penderita penyakit kronis dibandingkan dengan individual coping yang dilakukan sendiri oleh pasien.

Hasil lain dari penelitian yang dilakukan Setyorini (2012) menunjukkan bahwa common dyadic coping memiliki kontribusi yang paling besar terhadap kepuasan pernikahan pada penderita penyakit kronis. Hal tersebut selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Badr et. al (2010) yang menunjukkan bahwa common dyadic coping memiliki hubungan signifikan yang berbeda antara pasien penderita kanker payudara dan pasangannya terkait dengan kepuasan pernikahan. Upaya penggunaan common dyadic coping memberikan manfaat bagi pasien dan pasangan dalam hal penyesuaian dyadic coping yang lebih besar.

Dokumen terkait