BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada hakekatnya, manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain yang biasa disebut dengan kebutuhan afiliasi. DeGenova dan Rice (2005) menyatakan bahwa kebutuhan berafiliasi memunculkan ketertarikan dan keinginan untuk menjalin hubungan serius dengan orang lain, yaitu berpacaran. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), berpacaran berarti bercintaan, berkasih-kasihan dengan seseorang yang disebut dengan kekasih. Ikhsan (2003) menyebutkan bahwa berpacaran (dating) dikenal sebagai suatu bentuk hubungan intim atau dekat antara laki-laki dan perempuan yang didasari dengan cinta yang menggebu-gebu, rasa saling percaya, rasa saling menghormati, dan rasa saling mengandalkan satu sama lain. Adi (2000) mengatakan bahwa pacaran merupakan proses pematangan yang melibatkan kedua pasangan untuk kehidupan selanjutnya, yaitu pernikahan.
Pacaran sebagai bentuk hubungan yang intim memiliki beberapa fungsi. Gambit (2000) menyatakan bahwa fungsi pacaran di antaranya adalah sarana belajar berkomunikasi secara heteroseksual, membangun kedekatan emosi, kedekatan fisik, dan sarana untuk mengalami proses pendewasaan kepribadian, serta sarana untuk mempersiapkan proses menuju jenjang pernikahan. Berdasarkan uraian mengenai berpacaran menunjukkan bahwa berpacaran memiliki perbedaan dengan pernikahan. Menurut Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau membangun rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan pernikahan diwujudkan dengan sikap saling membantu dan melangkapi antara suami dan istri supaya masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
Berdasarkan uraian mengenai proses pacaran dan pernikahan, dapat ditarik kesimpulan bahwa di antara keduanya memiliki perbedaan. Proses pacaran merupakan sarana awal pasangan dalam mempersiapkan hubungan sebelum ke tahap pernikahan, sementara pernikahan merupakan tujuan setelah pasangan menjalani proses pacaran atau relasi romantis.
Penelitian ini berfokus pada individu dewasa awal yang sedang menjalin relasi romantis. Pada proses relasi romantis, individu akan memberikan kesempatan dirinya untuk melebur bersama elemen-elemen emosional penting yang dapat mempengaruhi kepuasan hubungannya. Empat elemen penting tersebut adalah rasa kepercayaan satu sama lain, komunikasi, keintiman, dan komitmen yang disepakati bersama (Karsner, 2001). Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2001) mengemukakan bahwa keintiman adalah kemampuan untuk berhubungan dekat, menjalin kehangatan dan menjalin komunikasi dengan orang lain, seperti contohnya berinteraksi dengan teman, kekasih, dan orang lain yang baru ditemui. Erikson menjelaskan bahwa proses individu menjalin intimasi berlangsung pada tahap dewasa awal.
Arnett (2015) mengklasifikasikan masa dewasa awal pada rentang usia 18 sampai 29 tahun. Terdapat lima hal yang menjadi ciri khas perkembangan di masa dewasa awal, yaitu (1) eksplorasi identitas yang terlihat dari sikap individu untuk mencoba berbagai kesempatan dan pilihan hidup, khususnya dalam hal relasi romantis dan pekerjaan; (2) ketidakstabilan terkait relasi romantis, pekerjaan, tempat tinggal dan pendidikan; (3) fokus diri merujuk pada individu berfokus pada dirinya; (4) feeling in between yang merujuk pada masa transisi; (5) usia dengan berbagai kemungkinan, ketika individu memiliki peluang untuk mengubah kehidupan mereka. Arnett (2004) memaparkan bahwa individu dikatakan menjadi dewasa apabila berani menerima tanggung jawab atau akibat dari tindakan sendiri dan menentukan nilai serta keyakinan sendiri untuk menjalin relasi romantis dan bekerja. Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2001) mengungkapkan bahwa apabila individu tidak dapat memenuhi tugas perkembangan pada masa dewasa awal khususnya dalam menjalin komitmen dengan individu lainnya, maka akan terjadi krisis intimacy
vs isolation. Individu yang tidak dapat menjalin hubungan yang baik dengan
sesama akan terisolasi dari lingkungan sosialnya.
Arnett dan Erikson (dalam Demir, 2007) mengemukakan bahwa relasi romantis merupakan tugas inti perkembangan pada tahap transisi menuju dewasa awal untuk membentuk dan mempertahankan relasi dengan pasangannya. Relasi romantis juga diperlukan oleh dewasa awal untuk membantu terbebas dari isolasi emosional yang dapat mengakibatkan seseorang takut memiliki hubungan dengan orang lain karena tidak ingin
terlibat dalam suatu hubungan intim (Erikson, dalam Hall & Lindzey, 1993). Argumen tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Berscheid, Synder, dan Omoto (dalam Demir, 2008) yang menjelaskan bahwa relasi romantis merupakan relasi dekat yang dimiliki oleh dewasa muda. Hal tersebut selaras dengan penelitian lain yang mengungkapkan bahwa terdapat 70% individu usia 18 tahun menjalin relasi romantis. Fakta lain mengungkapkan bahwa relasi romantis juga menjadi status bagi dewasa muda dalam lingkup pertemanan mereka (Collins, 2003).
Uraian terkait teori perkembangan menekankan betapa pentingnya bagi dewasa awal untuk menjalin relasi romantis dengan orang lain. Argumen lain mengenai pentingnya relasi romantis bagi dewasa awal adalah relasi romantis yang dijalin dengan baik dapat meningkatkan kesejahteraan (Demir, 2008), konsep diri romantis, dan self-worth (Collins, 2003). Penelitian tersebut didukung oleh penelitian lain yang membuktikan bahwa relasi romantis yang dijalin dengan baik dapat berkontribusi terhadap kebahagiaan ((Demir, 2008; Kawamichi, Sugawara, Hamano, Makita, Matsunaga, Tanabe, Ogino, Salto, & Sadato, 2016) dan kepuasan relasi romantis (Collibe & Furman, 2015; Hassebrauck & Fehr, 2002; Sánchez, Muñoz-Fernández, & Ortega-Ruiz, 2017). Relasi romantis yang dijalin dengan baik dapat terlihat dari dukungan pasangan, afeksi dan pengasuhan yang terdapat di dalam relasi romantis, sehingga meminimalisir potensi salah seorang dari pasangan terlibat dalam kasus kriminalitas (Collibee & Furman, 2015).
Pada kenyataannya dalam proses membina relasi romantis pada dewasa awal ini sering kali ditemukan ketidakpuasan dalam hubungan romantis. Ketidakpuasan dalam hubungan romantis seringkali disebabkan karena adanya ketidakseimbangan antara input dan output tiap pasangan, perbedaan pendapat atau opini dan pola pikir yang menyebabkan konflik, kecemburuan terhadap pasangan, dan komunikasi yang tidak tersampaikan dengan lancar (Regan, 2003), dan tingginya persepsi dominasi dari pasangan (Yu, Branje, Keijsers, & Meeus, 2014). Contoh konkretnya ketika seseorang bertengkar dengan pasangannya karena salah satu persoalan, maka hal tersebut kemungkinan besar akan memengaruhi mood yang kemudian akan terbawa dalam pikiran. Sehingga hal tersebut dapat mengganggu kegiatan sehari-harinya. Persoalan dapat muncul akibat sering terjadinya ketidakcocokan dalam penyampaian sebuah pendapat ataupun komunikasi yang terjalin dalam relasi romantis kurang begitu baik yang beberapa di antaranya berakhir pada perselingkuhan dan berakhirnya sebuah hubungan (Haber & Runyon, 1984). Relasi romantis yang terjalin tidak lancar memiliki dampak pada kecemasan dan depresi yang memengaruhi individu dalam mempertahankan relasi romantis, serta dapat berdampak pada penggunaan obat-obatan terlarang yang dilakukan sebagai bentuk coping untuk mengatasi ketidakpuasan dalam relasi romantis yang dijalin (Collibe & Furman, 2015).
Kepuasan relasi romantis diartikan sebagai evaluasi subjektif individu terhadap dimensi-dimensi relasi romantis bersama pasangan yang melibatkan penilaian terkait perasaan, pikiran, dan perilaku (Hendrick, 1988a; Rusbult,
1983). Dimensi-dimensi relasi romantis tersebut, yaitu cinta, masalah, dan harapan (Hendrick, 1988a). Namun, pada kenyataannya kepuasan relasi romantis dapat berubah menjadi sebuah ketidakpuasan yang dirasakan individu maupun pasangan dalam relasi romantisnya.
Ketidakpuasan dalam relasi romantis memiliki berbagai dampak pada individu atau kedua pasangan. Dampak pertama, yaitu secara aspek emosional individu yang digambarkan dengan tingginya konflik yang bersifat destruktif, kereaktifan psikologis, kesedihan, dan hilangnya motivasi untuk melakukan hubungan seksual (Beach, Katz, Kim, Brody, 2003). Dampak kedua, yaitu individu yang merasa tidak puas dengan relasi romantis bersama pasangan memiliki potensi yang tinggi dalam mengalami gejala depresi yang muncul dalam waktu dekat maupun dikemudian hari (Beach et al., 2003; DiBello, Preddy, Øverup, Neighbors, 2017).
Dampak lain dari ketidakpuasan yang dirasakan individu dalam relasi romantisnya adalah terkait kesehatan fisik individu. Hal ini didukung oleh penelitian yang menunjukkan adanya penurunan sistem imun (Beach et al., 2003; Kiecolt-Glaser & Wilson, 2017). Penelitian lain menyebutkan bahwa rendahnya kepuasan relasi romantis berkaitan dengan tingginya individu untuk mengkonsumsi alkohol dan perilaku tidak menyehatkan lainnya dibandingkan dengan individu yang merasa puas dengan relasi romantis yang dijalin bersama pasangan (Khaddouma, Shorey, Brasfield, Febres, Zapor, Elmquist, & Stuart, 2016).
Uraian mengenai respons dan dampak dari ketidakpuasan relasi romantis diperkuat dengan hasil temuan lapangan yang dilakukan oleh peneliti dengan metode wawancara pada empat responden dewasa awal. Empat responden tersebut terdiri dari mahasiswa dari Universitas A yang mengatakan bahwa relasi romantis yang dijalin dengan pasangannya dulu mengalami krisis komunikasi. Ia menyatakan bahwa komunikasi yang dijalin dengan pasangannya tidak intens karena keduanya sibuk dengan kegiatan kampus, sehingga hal tersebut menyebabkan pasangannya berselingkuh dengan orang lain karena pasangannya merasa tidak bahagia dengan mahasiswa dari Universitas A ini. Selanjutnya, dua mahasiswa dari Universitas B yang memiliki pengalaman yang sama terkait relasi romantisnya. Mereka mengatakan bahwa merasa tidak puas dengan relasi romantisnya karena pasangan tidak hadir ketika mereka sedang memiliki masalah, sehingga merasa tidak ada dukungan dari pasangan. Hal tersebut yang menyebabkan mereka untuk mengakhiri relasi romantis yang dijalin bersama pasangan. Mahasiswa dari Universitas D menceritakan alasan merasa tidak puas dengan relasi romantisnya karena ia merasa kontribusi yang diberikan kepada pasangan tidak seimbang dengan apa yang ia dapatkan dari pasangan. Hal tersebut berdampak pada pengakhiran relasi romantis yang dijalin bersama pasangannya. Hasil wawancara menunjukkan bahwa persoalan yang menyebabkan munculnya ketidakpuasan antara lain (1) komunikasi yang kurang intens; (2) tidak hadirnya pasangan ketika individu mengalami masalah; (3) ketidakseimbangan antara kontribusi yang diberikan dengan timbal balik yang diterima. Dampak
dari ketidakpuasan menurut pengalaman relasi romantis dari narasumber antara lain perselingkuhan dan pengakhiran hubungan.
Uraian mengenai wawancara narasumber di atas didukung oleh beberapa berita yang telah melakukan survei di Indonesia menyatakan bahwa sebanyak 40 % laki-laki dan perempuan di Indonesia pernah melakukan perselingkuhan. Hasil tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat kedua sebagai negara dengan kasus perselingkuhan terbanyak. Salah satu kasus perselingkuhan yang terjadi di Indonesia baru-baru ini adalah kasus seorang wanita di Bogor yang diselingkuhi hingga mendapatkan kekerasan fisik yang dilakukan oleh suaminya. Kasus-kasus perselingkuhan yang terjadi mayoritas karena munculnya rasa bahagia dan ketidakpuasan dalam relasi yang dijalin bersama pasangannya.
Secara konseptual, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi kepuasan relasi romantis pada individu dewasa awal. Faktor pertama yang dapat memengaruhi kepuasan relasi romantis adalah komponen cinta. De Andrade et al. (2015) menjelaskan hasil penelitiannya bahwa komponen cinta merupakan salah satu prediktor dalam kepuasan hubungan yang menunjukkan perbedaan terkait jenis kelamin. Bagi perempuan, komponen gairah, keintiman, dan komitmen menunjukkan hubungan yang signifikan. Namun, bagi laki-laki, komponen komitmen tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Meski demikian, penelitian ini dilakukan di negara bagian Barat tepatnya di Brazil yang secara konseptual memiliki perbedaan budaya dengan Indonesia terkait relasi romantis.
Perbedaan budaya dapat mempengaruhi seseorang dalam menjalin relasi romantis dengan pasangannya (Kim & Hatfield, 2004). Hal tersebut berpengaruh terhadap perilaku dalam cara individu mengekspresikan cinta dan bagaimana individu memaknai cinta pada relasi romantis dengan pasangannya (Braudel, Fehr, Hatfield, & Rapson, Hong, dalam Kim & Hatfield, 2004; Hatfield, Rapson, & Martel, dalam Karandashev, 2015). Orang-orang dengan budaya barat cenderung mengekspresikan perasaan cinta kepada pasangannya secara eksplisit, yaitu dengan cara mengungkapkan secara langsung melalui kata-kata sementara orang-orang dengan budaya timur cenderung mengungkapkan perasaan cinta kepada pasangannya secara implisit, yaitu melalui tindakan (Nadal, dalam Karandashev, 2015).
Faktor kedua yang memengaruhi kepuasan relasi romantis adalah efikasi diri. Weiser dan Weigel (2016) menyebutkan bahwa individu yang memiliki kemampuan efikasi diri yang baik cenderung memperlihatkan perilaku yang dapat mempertahankan keutuhan relasi romantis yang berfungsi meningkatkan kepuasan relasi romantis. Meskipun demikian, penelitian ini memiliki keterbatasan, yaitu tidak memperhitungkan faktor-faktor lain yang kemungkinan terkait dengan efikasi diri dan kepuasan relasi romantis, seperti konflik, self-esteem, dan kelekatan.
Faktor ketiga yang dapat memengaruhi kepuasan relasi romantis adalah tipe kepribadian. Malouff, Thorsteinsson, Schutte, Bhullar, dan Rooke (2010) menyebutkan bahwa individu dengan tipe kepribadian agreeableness,
terhadap relasi romantisnya apabila dibandingkan dengan individu yang memiliki tipe kepribadian neuroticism. Terdapat keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu tipe kepribadian extraversion memengaruhi kepuasan relasi romantis secara signifikan hanya pada beberapa budaya saja.
Faktor keempat adalah penyelesaian masalah. Kurdek (1994) seorang peneliti gaya konflik yang menunjukkan bahwa pemecahan masalah secara positif yang melibatkan perilaku aktif dan konstruktif merupakan prediktor yang baik untuk kualitas dan stabilitas relasi. Meski demikian, penelitian ini memiliki keterbatasan, yaitu tidak memberikan indikator perilaku secara jelas terkait menyelesaikan masalah dengan perilaku aktif dan konstrutif. Keterbatasan lain dari penelitian ini adalah hasil temuan hanya berhenti pada menyelesaikan permasalahan yang diungkap dengan gaya manajemen konflik dan dengan subjek yang sangat bervariasi, mulai dari gay, lesbi, dan couples
non parent. Sementara, apabila permasalahan yang muncul di antara kedua
pasangan atau suatu hubungan, hal tersebut dapat memunculkan situasi stres yang membuat individu atau kedua pasangan merasa tidak nyaman (Murdiyana & Haryo, 2012). Oleh sebab itu, ketika permasalahan muncul, individu akan melakukan upaya untuk mengelola situasi tidak nyaman atau stres tersebut dengan caranya masing-masing atau biasa dikenal dengan coping (Murdiyana & Haryo, 2012). Individu penting untuk melakukan coping terhadap persoalan dalam situasi stres yang sedang dihadapi supaya tidak mengganggu kesejahteraan individu dan dapat mempertahankan relasi yang sedang dijalin (Haber & Ruyon, 1984).
Murdiyana dan Haryo (2012) menyebutkan pada penelitiannya dengan subjek remaja putri yang memutuskan untuk menikah di usia muda dan kemudian mengalami situasi tidak nyaman serta stres. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa remaja putri yang tertekan cenderung tidak mengungkapkan perasaannya kepada suami supaya pernikahannya baik-baik saja. Alhasil, mayoritas remaja putri memilih coping dengan menangis dan berdoa kepada Tuhan supaya masalahnya cepat selesai tanpa mendiskusikan solusi terbaik dengan pasangan.
Coping merupakan kemampuan yang dilakukan individu dalam
mengatasi perbedaan yang ada antara tuntutan situasi dan sumber daya yang dimiliki dalam persoalan yang sedang terjadi (Sarafino, 2012) dan proses ini melibatkan upaya kognitif serta tingkah laku yang terus berubah untuk mengelola perbedaan tersebut (Lazarus & Folkman, 1984). Bodenmann mengklasifikasikan coping dalam suatu hubungan interpersonal (misalnya berpacaran) menjadi tiga, yaitu individual coping yang menggunakan sumber daya personal, meliputi kognitif, tingkah laku, dan emosi, dyadic coping yang menggunakan keterlibatan kedua pasangan dalam mengatasi stres atau konflik yang terjadi pada proses hubungan interpersonal, dan mencari dukungan sosial dari lingkungan sekitar, seperti teman, kerabat, anggota keluarga yang lain (Bodenmann, 2005; Bodenmann, Jenewein, Meier, & Morgeli, 2011).
Menurut Bodenmann (2005), individual coping merupakan salah satu jenis coping yang menggunakan sumber daya individu untuk mengelola permasalahan yang sedang dialami. Lazarus dan Folkman (1984) membagi
coping menjadi dua menurut fungsinya, yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problem-focused coping adalah usaha coping yang
dilakukan langsung mengarah pada sumber masalah dan menghilangkan masalah dengan cara melakukan tindakan aktif yang berkaitan dengan situasi masalah yang dihadapi. Sementara emotion-focused coping adalah usaha coping yang diarahkan pada emosi-emosi negatif yang berhubungan dengan sumber masalah.
Bodenmann (2000) menjelaskan bahwa saat berhadapan dengan situasi
stressful, pertama kali individu akan melakukan coping secara individual, baik
langsung menyelesaikan masalahnya (problem-focused) atau melakukan
coping terhadap emosi negatif yang muncul (emotion-focused). Bodenmann
(2005) menyatakan bahwa apabila proses individual coping dianggap kurang berhasil dalam mengatasi masalah, maka kemudian dyadic coping akan berperan dengan adanya keterlibatan pasangan dalam menghadapi masalah yang dihadapi.
Berdasarkan uraian mengenai coping dan individual coping tampak bahwa upaya coping yang lebih kongruen terjadi ketika kedua pasangan terlibat dalam mengatasi permasalahan dalam situasi stres dengan cara yang sama atau saling melengkapi (Bodenmann, 2005). Oleh sebab itu, muncul konsep coping lain yang disebut dengan dyadic coping yang didasarkan pada kualitas upaya bersama dalam menyelesaikan masalah sejauh yang dipersepsikan individu yang dapat meningkatkan kepuasan relasi romantis yang sedang dijalin (Bodenmann, 2005).
Dyadic coping diartikan sebagai kualitas upaya bersama dalam
menyelesaikan masalah sejauh yang dipersepsikan individu. Upaya bersama yang dimaksud meliputi interaksi, timbak balik, dan keterlibatan kedua pasangan. Dyadic coping terdiri dari positif dyadic coping, yaitu supportive
dyadic coping, common dyadic coping, delegate dyadic coping dan negative dyadic coping. Negative dyadic coping terdiri dari hostile dyadic coping, ambivalent dyadic coping dan superficial dyadic coping. Pertimbangan dyadic coping sangat penting karena mengingat bahwa perilaku pasangan yang
terampil dapat dialami oleh pasangan yang stres sebagai hal yang mengganggu dan kontraproduktif, sementara pasangan yang tidak terampil dalam perilaku yang menenangkan saat sedang stres mungkin memperburuk daripada mengurangi frustasi dan kemarahan.
Dyadic coping memiliki tujuan utama yaitu mengatasi permasalahan
dalam situasi stres dan meningkatkan kepuasan suatu hubungan. Selain itu,
dyadic coping juga bertujuan untuk menyeimbangkan well-being secara
individu atau pasangan. Pasangan yang memiliki hubungan dyadic coping yang baik akan memperoleh keuntungan dalam suatu hubungan. Selain itu, dyadic
coping dapat meningkatkan rasa percaya diri, rasa aman dan kedekatan antar
pasangan (Bodenmann, 2005).
Terkait dengan kepuasan relasi romantis, beberapa peneliti terdahulu sudah meneliti topik ini dengan subjek dewasa yang sedang menjalin relasi romantis. Partisipan yang diteliti merupakan mahasiswa dan mahasiswi perguruan tinggi yang belum menikah (DiBello et al., 2017; Khaddouma et al.,
2016; Sánchez, et al., 2017; Weiser & Weigel, 2016). Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepuasan relasi romantis didukung oleh efikasi diri (Weiser & Weigel, 2016), komponen cinta (De Andrade et. al., 2015), dan kelekatan (Renada, 2018). Hasil penelitian tersebut diperoleh melalui metode kuantitatif korelasional.
Kepuasan relasi romantis juga pernah diteliti sebagai variabel bebas yang memengaruhi motivasi individu untuk mengubah kebiasaan buruk yang tidak menyehatkan, seperti mengurangi konsumsi minuman beralkohol (Khaddouma et al., 2016). Kepuasan relasi romantis juga memengaruhi kesehatan mental dan fisik (Beach et. al., 2003; Kiecolt-Glaser & Wilson, 2017).
Berdasarkan dengan karakteristik hubungan, mayoritas penelitian terdahulu meneliti kepuasan relasi romantis memiliki implikasi pada konteks pernikahan (Aron & Henkemeyer, 1995; Beach & Katz, 2003; Gottman & Levenson, 1992; Sakinah & Kinanthi, 2018). Kepuasan relasi romantis juga diteliti dalam konteks berpacaran, namun hanya terbatas pada mahasiswa (Khaddouma et al., 2016; Öner, 2000; Weiser & Weigel, 2016).
Terkait dengan lokasi penelitian, penelitian terdahulu mengenai kepuasan relasi romantis umumnya dilakukan di negara bagian Barat (Chonody, Gabb, & Killian, 2016; Dandurand, 2013; Demir, 2008; Hassebrauck & Fehr, 2002; Khaddouma, et al., 2016; Sánchez, et al., 2017; Weiser & Weigel, 2016; Yoo, 2013). Beberapa penelitian terkait kepuasan relasi romantis dilakukan di Indonesia. Penelitian tersebut mengkaji keterkaitan kepuasan relasi romantis dengan kelekatan pada mahasiswa (Renada, 2018). Penelitian lain yang
dilakukan di Indonesia mengkaji mengenai hubungan antara pengungkapan diri dan kepuasan relasi romantis pada individu yang menikah melalui proses
ta’aruf (Sakinah & Kinanthi, 2018). Terkait dengan dyadic coping, mayoritas
penelitian terdahulu juga dilakukan di negara bagian Barat (Bodenmann, 2005; Papp dan Witt, 2010; Badr, Cindy, Deborah, Massimo, & Tracey, 2010).
Penelitian terdahulu terkait dyadic coping menunjukkan bahwa dyadic
coping penting dilakukan dalam mengelola persoalan dan situasi stres dalam
sebuah hubungan romantis mengingat dyadic coping dapat memengaruhi kesejahteraan kedua pasangan terhadap jalinan relasi romantis yang pada penelitian ini fokus pada pasangan yang sudah menikah (Bodenmann, 2005). Penelitian lain terkait dyadic coping menunjukkan bahwa dyadic coping dianggap sebagai prediktor utama untuk menghadapi salah satu pasangan dengan penyakit kronis menular dalam lingkup kesehatan, psikososial dan
relation outcomes (Berg & Upchurch, 2007). Penelitian terdahulu mengenai dyadic coping menunjukkan bahwa common dyadic coping memiliki hubungan
signifikan yang berbeda antara pasien penderita kanker payudara dan pasangannya terkait dengan kepuasan pernikahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya penggunaan common dyadic coping memberikan manfaat bagi pasien dan pasangan dalam hal penyesuaian dyadic coping yang lebih besar (Badr et. al., 2010). Terdapat penelitian terdahulu terkait dyadic
coping yang dilakukan di Indonesia dengan partisipan pasien dengan penyakit
kronis dan pasangannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dyadic coping berkorelasi positif dengan pasien penyakit kronis dan pasangannya daripada
individual coping yang dilakukan sendiri oleh pasien (Setyorini, 2012). Uraian
di atas menunjukkan adanya keterkaitan antara dyadic coping dan kepuasan relasi romantis.
Terdapat penelitian mengenai hubungan antara dyadic coping dan kepuasan relasi romantis, namun dengan subjek individu separuh baya dengan rentang usia 40-44 tahun dan dilakukan di negara bagian Barat (Bodenmann, 2006). Peneliti lain meneliti tentang hubungan individual coping, dyadic
coping dengan kepuasan relasi romantis, namun dengan subjek yang sudah
menikah dan salah satu pasangan menderita penyakit kronis (Berg & Upchurch, 2007; Badr, Cindy, Deborah, Massimo, & Tracey, 2010; Setyorini, 2012).
Uraian mengenai penelitian-penelitian terdahulu terkait dyadic coping dan kepuasan relasi romantis menunjukkan adanya beberapa defisiensi dalam penelitian yang telah dilakukan, yaitu (1) penelitian dilakukan di negara-negara Barat; (2) penelitian terkait dyadic coping yang di lakukan di Indonesia menggunakan partisipan pasien penderita penyakit kronis, seperti kanker dan jantung; (3) partisipan yang digunakan terlalu bervariasi, yaitu gay, lesbian, dan couples non parent; (4) konteks yang diteliti adalah individu menikah yang memiliki dinamika berbeda dengan individu yang berpacaran; (5) penelitian dengan konteks pacaran dibatasi oleh subjek yang memiliki status sebagai