• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

F. Dinamika Hubungan

Perkawinan merupakan tahap dalam kehidupan manusia. Kehidupan

perkawinan dapat berjalan langgeng, apabila pasangan suami istri telah mencapai

kematangan baik secara fisik maupun psikologis. Dalam membina kehidupan

berumah tangga hendaknya keduanya memiliki emosi yang matang. Hal ini

dikarenakan pasangan suami istri dapat lebih stabil dalam mengendalikan

emosinya, mampu bertanggungjawab serta dapat bersikap mandiri (Walgito,

2004). Dengan demikian, penting sekali bahwa kehidupan perkawinan

memerlukan kematangan emosi.

Kematangan emosi tercapai apabila individu telah dewasa secara

29

menghadapi permasalahan dan mengambil keputusan secara objektif. Individu

yang telah matang emosinya juga tidak akan bersikap kekanak-kanakan (Chaplin,

2006). Perkembangan emosi akan semakin matang ketika individu memasuki

masa dewasa.

Pada masa dewasa, individu tidak lagi dianggap sebagai seorang remaja

dan diharapkan memiliki emosi yang matang serta tentunya akan lebih optimal

ketika masa dewasa madya. Hal ini dikarenakan individu pada masa dewasa

madya mencirikan adanya bentuk dan sifat yang relatif stabil terhadap

perkembangan emosinya (Hurlock, 1990; Kartono, 1992). Adanya kestabilan diri

ini menggiring kestabilan terhadap pekerjaan, bidang studi, relasi sosial, termasuk

relasi perkawinan.

Dalam perkawinan, setiap pasangan suami istri berharap agar

pernikahannya dapat mencapai kebahagiaan. Meski demikian, tidak dapat

dipungkiri bahwa seringkali timbul masalah dalam perkawinan. Permasalahan

yang sering timbul disebabkan adanya kesenjangan-kesenjangan komunikasi,

gaya hidup hingga kesenjangan seksual (Hastuti & dkk, dalam Utami, 2007).

Berbagai kesenjangan yang menumpuk ini membuka kesempatan munculnya

kecenderungan berselingkuh pada pasangan yang sudah menikah.

Terdapat berbagai faktor yang mendorong terjadinya keinginan

berselingkuh, di antaranya ketidakpuasan hubungan (Neuman, 2008), adanya

kesempatan (Atkins et al., 2001), dan ketidakpuasan seksual (Mark, Jenssen, &

Millahusen, 2011). Selain itu, Buss dan Shackelford (1997) juga menemukan

30

disebabkan oleh karakteristik kepribadian individu. Dalam penelitiannya

memaparkan bahwa individu yang berselingkuh adalah individu yang cenderung

memiliki kepribadian Conscientiousness rendah yakni kurang bertanggung jawab,

terburu-buru, mengambil keputusan tanpa pertimbangan serta individu yang juga

memiliki kepribadian Psikotisme yakni agresif, impulsif, dingin dan egosentris.

Individu yang memilki kepribadian tersebut hampir serupa dengan individu yang

belum matang emosinya. Individu yang matang emosi memiliki empat aspek

antara lain, kontrol emosi, tanggung jawab, penerimaan diri, serta pengambilan

keputusan.

Aspek pertama dari kematangan emosi yang tinggi ditandai dengan

individu mampu mengelola emosinya agar tidak impulsif dalam menghadapi

masalah misalnya, konflik dalam rumah tangganya. Walgito (2004) menjelaskan

bahwa individu yang memiliki kematangan emosi tinggi dapat mengekspresikan

dan memiliki kontrol emosi secara tepat kemungkinan lebih besar untuk diterima

oleh pasangannya. Sedangkan, individu yang memiliki kematangan emosi rendah

cenderung bersikap impusif dan tidak stabil. Terkait dengan hubungan

perkawinan, apabila muncul stimulus yang mengganggu keharmonisan hubungan

maka pasangan emosi yang matang emosinya akan berusaha mengendalikan

emosi sehingga dapat berpikir secara objektif dan penuh pertimbangan sebelum

bertindak agar tidak memunculkan permasalahan baru dengan pasangannya,

sedangkan individu yang tidak matang emosinya memilih untuk langsung

31

menyertakan tindakan agresi yang mengakibatkan pasangan merasa tidak dihargai

lalu akhirnya muncul keinginan untuk berselingkuh.

Selain itu, ketidakpuasan dalam hubungan perkawinan juga menjadi faktor

munculnya keinginan berselingkuh. Hal ini diperkuat karena adanya

dorongan-dorongan seksual maupun emosional individu yang tidak terpenuhi oleh

pasangannya. Penyaluran dorongan seksual dan emosional tersebut dibutuhkan

agar individu mendapat kepuasan akan tetapi, terkadang individu menikah yang

tidak memiliki kematangan emosi akan melakukan penyaluran dorongan tersebut

secara tidak tepat akibat dari ketidakpuasan hubungan perkawinanya sehingga

kecenderungan untuk berselingkuh lebih tinggi.

Aspek kedua dari kematangan emosi adalah bertanggung jawab. Goleman

(2003) menjelaskan bahwa pada dasarnya emosi merupakan dorongan untuk

bertindak yang memunculkan dorongan baik seksual maupun emosional. Emosi

yang mengakibatkan dorongan-dorongan tersebut perlu dikontrol oleh pasangan

suami istri, artinya suami istri memerlukan kematangan emosi dalam menanggapi

berbagai dorongan emosional maupun seksualnya. Pasangan yang telah mencapai

kematangan emosi lebih tinggi akan mampu bertanggungjawab dalam bertindak

dan memikirkan konsekuensinya apabila berselingkuh sehingga hal ini

mempersempit peluang individu memiliki kecenderungan berselingkuh

sedangkan, individu dengan kematangan emosi yang rendah menolak untuk

mengingat komitmen yang telah diucapkan di pernikahan sehingga ia mudah

32

terpenuhi kepada pihak ketiga di luar perkawinannya. Hal ini membuka peluang

individu memilki kecenderungan untuk berselingkuh.

Selanjutnya, aspek ketiga yakni penerimaan diri mencirikan individu

matang emosinya. Individu akan menerima dirinya dan orang lain dengan baik

dan secara objektif (Walgito, 2004). Artinya, pasangan suami istri mau menerima

segala kondisi baik kelebihan kekurangan pasangannya tanpa menuntut diri dan

pasangan menjadi sempurna. Pasangan suami istri akan saling mencintai dengan

tulus sehingga sedikit alasan individu yang matang emosinya untuk melakukan

perselingkuhan. Sebaliknya, individu yang belum matang emosinya masih

berusaha keras menjadikan dirinya atau pasangan untuk sempurna dan cenderung

berkeinginan mendapatkan seseorang yang dapat memuaskan dirinya sehingga

kecenderungan berselingkuh akan lebih tinggi.

Aspek keempat yang menandakan individu memiliki kematangan emosi

yakni pengambilan keputusan. Individu yang memiliki kematangan emosi akan

mengambil keputusan dengan berpikir kritis dan objektif (Walgito, 2004). Terkait

dengan kehidupan perkawinan, individu yang matang emosinya akan melibatkan

pasangannya dalam pengambilan keputusan. apabila terjadi masalah, dengan

melibatkan pasangan maka permasalah tersebut cepat terselesaikan. Selain itu,

bila muncul ketidakpuasan hubungan maka pasangan tidak mencari pemenuhan

kebutuhan dengan pihak lain diluar perkawinannya melainkan memutuskan untuk

mencari solusi. Hal ini dilakukan sebagai usaha mewujudkan tujuan pernikahan

yang harmonis. Sebaliknya, individu yang tidak matang emosinya cenderung akan

33

awal perkawinannya. Hal ini meningkatkan kecenderungan untuk berselingkuh

dan menyebabkan terjadinya penyelewengan dalam perkawinan

Berdasarkan uraian di atas, peneliti berasumsi bahwa ada hubungan antara

kecenderungan perilaku berselingkuh dan kematangan emosi pada individu

menikah.

Dokumen terkait