• Tidak ada hasil yang ditemukan

9 DARI NADIRA KARYA LEILA S. CHUDORI

3.2 Dinamika Kepribadian Tokoh Nadira

Nadira Suwandi adalah karakter utama dalam 9 dari Nadira. Dia adalah anak ketiga dari pasangan Bramantio Suwandi dan Kemala Yunus. Nadira

48

kecil tinggal di apartemen kecil di Belanda bersama kedua orang tuanya dan kedua kakaknya, hingga kedua orangtuanya memutuskan untuk kembali ke Indonesia untuk tinggal bersama kakek dan nenek Nadira.

“Suara derit pintu apartemen menandakan bram sudah di dalam apartemen. Aku sudah tahu, pipinya yang dingin itu akan terasa tebal, empuk, dan berwarna biru kehitaman oleh janggutnya yang segera saja tumbuh bigutu pisau cukur menerabasnya setiap pagi. Bram menutup pintu. Dia tampak lelah. Tapi matanya tetap bersinar.” (Hal 8)

Keluarga Suwandi adalah keluarga yang pengetahuan agamanya kuat, namun ibu Nadira yaitu Kemala berasal dari keluarga moderen yang minim pengetahuan agamanya. Nadira kecil sangat dimanjakan oleh kakek dan neneknya dan juga sangat ketat didikan agamanya. Namun, pribadi Nadira sangat mirip dengan ibunya yang bebas dan merdeka. Nadira memilih untuk menjadi orang yang mengekpresikan dirinya melalui tulisan, hingga beberapakali karyanya dimuat di surat kabar.

Kejeniusan Nadira sangat dibangga-banggakan oleh ayahnya, sehingga terjadilah suatu peristiwa akibat dari kecemburuan Nina terhadap Nadira yang menyebabkan lemari kamar tempat Nadira menyimpan bingkai yang berisi karyanya itu hangus terbakar. Nadira tahu bahwa yang menyebabkan kebakaran adalah Nina. Nina menggunakan petasan milik Arya, sehingga ayahnya mengira bahwa Arya yang melakukannya. Ayah menghukum Arya dan melarang bermain petasan selamanya. Sebelumya Nina juga pernah menuduh

49

Nadira mencuri uang belanja Yu Nah hingga membuat suatu peristiwa yang sangat sulit dilupakan Nadira sampai ia dewasa, Nina menceburkan muka Nadira ke dalam jamban berisi kencing. Nina memaksa Nadira untuk mengaku bahwa ia mendapatkan banyak uang dari mencuri uang belanja Yu Nah. Peristiwa ini menjadi penyebab munculnya bentrokan antara Id dan Ego. Id adalah suatu yang subjektif yang terdiri dari naluri atau insting dan gudangnya energi psikis. Insting manusia merupakan kumpulan hasrat atau keinginan dan tujuan dari instink adalah mereduksi ketegangan yang terjadi. Hasrat manusia ada dua jenis, yaitu hasrat untuk hidup dan hasrat untuk mati. Hasrat ini adalah sumber dari id, id sama sekali tidak bersentuhan dengan dunia luar oleh karena itu, id menyalurkan energi psikis kepada ego atau kepada superego.

Sejak saat itu, ya sejak saat itu, Nadira tahu: dia tak akan pernah memaafkann kakak sulungnya. Ketika (tak boleh main petasan seumur hidup; tak boleh keluar pada hari Minggu; tak boleh main bola, membaca quran setiap hari di rumah kakek Suwandi; tak boleh nonton televisi; dan yang paling sulit, tak boleh bertemu dengan Iwan dan Mursyid untuk waktu yang lama), Nadira menyimpan kemarahan yang sungguh dalam. Dia tak mau lagi tidur satu kamar dengan Nina. Dan tak mau lagi melihat mata kakak sulungnya. (Hal. 117)

“Ngaku..., kamu mencuri uang belanja YU Nah? Iya? Kamu mencuri? Ngaku!!”

“Uangku, Yu!,” Nadira menjawab, air matanya berlinag-linang bercampur dengan air jammban dan kencing.

“Mana mungkin kamu punya uang sebanyak itu. Ibu tak pernah memberi uang saku sebanyak itu. Bohong! Bohong!”

50

Nina kembali memasukkan kepala adik bungsunya itu. Lagi,lagi dan lagi... hingga akhirnya nadira ingin sekali tenggelam selama-lamanya ke dalam jamban.(Hal. 36,37)

Kejadian ini membuat perilaku Nadira ketika ia merasa cemas dan sulit untuk berpikir jernih, Nadira berusaha menenangkan diri dengan menceburkan kepalanya kedalam air, hal ini bertujuan untuk mengurangi kecemasan atau mereduksi ketegangan, sehingga mencapai ketenangan, kesenangan dan terhindar dari rasa sakit atau yang disebut Ego. Ego terbentuk pada struktur kepribadian Nadira sebagai hasil dari kontak dengan dunia luar

Nadira meletakkan gagang itu perlahan-lahan. Ketika telepon berdering-dering kembali, Nadira mematikan lampu kamarnya. Dan dering telepon itu pun berhenti. Keheningan malam itu hanya diganggu suara bakiak ayahnya mondar-mandir di dapur. Nadira keluar dari kamarnya dan menyeret kakinya ke kamar mandi. Dicelupkannya seluruh kepalanya yang kuyup dipandangnya tembok putih kamar mandi itu. Semuanya kelihatan kelabu. Berulang-ulang dia mencelupkan kepalanya ke bak mandi dan mengangkatnya kembali. Sementara jam dinding milik kakeknya mengumumkan waktu pukul tiga pagi. (hal. 77)

Nadira berlari ke kamar mandi. Dicelupkannya kepalanya ke dalam bak mandi. Lantas diangkatnya. Kali ini dia baru menyadari, ini kebiasaan yang terjadi karena dia terbiasa dihukum dengan menceluppkan kepalanya ke jamban berisi kencing.

Dia mencelupkan kepalanya. Semua gelap-gulita seperti tinta gurita. Dicelupkannya kepalanya. Lagi. Lagi. Berkali-kali. (hal 91)

51

Setelah kematian ibunya, Nadira tinggal di rumah bersama Ayahnya. Kedua kakaknya tidak lagi ingin tinggal di rumah itu, karena kenangan ibunya masih sangat terasa di rumah itu. Arya lebih memilih berada di hutan dengan alasan tenaga dan pikirannya lebih dibutuhkan disana. Sedangkan Nina tentunya lebih memilih untuk tidak berada dirumah, ia memilih tinggal di New York, Amerika.

Nadira semakin lama semakin terpuruk kondisi psikisnya. Ayahnya mengalami insomnia yang parah karena kesedihan yang mendalam, dan Nadira tidak sanggup melihat ayahnya yang seperti itu. Ego dalam diri Nadira mengambil energi dari id untuk memutuskan apa yang lebih baik ia lakukan, akhirnya ego Nadira memutuskan untuk tidak pulang ke rumah dan meringkuk di bawah kolong meja kantornya. Kondisi terpuruk Nadira yang berkepanjagan membuat Utara bayu selaku atasannya yang juga menaruh hati pada Nadira, menyarankan untuk mengambil cuti dari pekerjaan untuk mengistirahatkan dirinya. Saat itu superego Nadira muncul dan berperan dominan dalam mengambil keputusan, Nadira memilih untuk fokus dengan pekerjaannya sebagai seorang jurnalis. Nadira pun mengambil sebuah tugas yang dianggapnya tidak terlalu berat baginya yaitu mewawancarai Bapak X. Dalam tugasnya tersebut Nadira menerima banyak sekali serangan-serangan psikis. Nadira justru dicecar berbagai pertanyaan seputar hubungannya dengan kakaknya, Bapak X juga sebagai sorang pskiater jenius, memberitahu sebab

52

seseorang memilih untuk mengakhiri hidupnya, termasuk sebab Kemala bunuh diri. Nadira mengalami perkembangan ego, yang tadi superegonya berbicara untuk bersikap baik sebagai seorang wartawan, kini egonya berkembang dan meluapkan isi hatinya dengan menonjok hidung Bapak X. Lalu Nadira pergi meninggalkan ruangan wawancara.

“Kematian ibunya yang mendadak membuat Nadira begitu tua. Sejak penguburan ibunya setahun silam lingkar hitam di bawah kedua matanya tak pernah hilan. Dan sejak saat itu pula, Nadira memandang sesuati di mukanya tanpa warna. Semuanya tampak kusam dan kelabu. Dan tidur, bangun, dan menunggu di kolong meja kerjanya. Setiap hari. Dia hanya pulang sesekali menjenguk ayahnya, tidur semalam dua malam di rumah untuk kembali lagi merangsek kolong meja iti.” (Hal 73)

“Semua tugas investiasi dan tugas-tugas peliputan ke luar negeri dilahapnya sigap; dan begitu pekerjaan selesai Nadira tak sehera pulang. Dia terlelap bergulung dibawah mejanya hingga, hingga Pak Satimin yang bebersih di pagi hari terpaksa membiarkan kawasan meja Nadira dibersihkan siang hari, setelah si Non berangkat liputan” (Hal 97)

Nadira terdiam menahan air matanya yang nyaris tumpah. Suara Bapak X meniup-niup luka hantinya yang tengah menganga.

“Bunga sedap malam terlalu mistis..,” Bapak X mengucapkan itu seperti menyanyi.

“Nadira, memang bunga seruni cocok untuk seorang yang...” Nadira seperti tersentak.

“Seorang yang apa..?”

“seorang yang..” Bapak X sengaja memotong kalimatnya; sengaja membuat Nadira semakin masuk kedalam kamar tidur imajinatifnya.

53

“Apa?” Nadira hampir meledak.

“seseorang yang telah lelah dengan dunianya.. seseorang yang ingin pensiun dari hidupnya...”

Suara Bapak X sangat lembut diatur seperti satu bait lagu. Dia mengucapkan itu sembari memejamkan matanya. Dia sudah mencpai tingkat ektase yang diinginkannya.

Hanya dalam waktu dua detik, wajah Bapak X dihajar sebuah tonjokan yang luar biasa keras. (Hal 119-120)

Setelah bertahun-tahun Nadira terpuruk di bawah meja kerjanya, akhirnya seseorang muncul dan menyodorkan tangannya menarik Nadira dari kuburan itu. Lelaki itu membuat badan Nadira hidup kembali. Dia adalah Niko Yuliar. Niko adalah seorang aktivis terkemuka di zamannya. Dia ikut berdemonstrasi menentang NKK dan BKK dia akhir 1970-an. Nadira bertemu Niko pada saat Jamuan makan malam dirumah Niko, Nadira diutus kantor untuk membuat laporan mengenai Niko. Nadira selalu memandangi Niko pada saat dia membaca puisi di jamuan makan tersebut, jantung Nadira langsung bergolak.

“Tara melongok ke kolong meja Nadira. Ajaib. Bersih. Licin. Tak ada sebutir debu pun yang berani bertengger di situ. Satimin pasti bahagia sekali karena dia bisa menyapu dan mengepel kolong meja itu dengan baik, tanpa harus mengusir empunya meja.” (Hal

141)

Beberapa kali bertemu dan berbincang akhirnya Nadira menjadi pengunjung tetap kantor Niko, Lembaga Survei Ekonomi Nusantara. Hingga suatu malam, tepat empat tahun setelah kematian ibu Nadira, Niko menggenggam tangan Nadira dan membisikkan sebuah puisi, di situlah jantung

54

Nadiri mulai bergejolak kembali. Ego Nadira lalu diambil alih oleh superegonya, sejak saat itu Nadira tidak lagi murung. Wajahnya berseri-seri, dan bedak rias telah menempel di wajah itu lagi. Nadira merasa laki-laki inilah yang menghidupkan hidupnya yang sudah mati.

Hanya satu lelaki yang bisa membuat badan ini hidup kembali. Dia tidak hanya memandang aku di permukaan liang kubur seperti yang dilakukan Utara Bayu, tetapi dia langsung mengguncang aku, menyadarkan aku, bahwa aku seorang perempuan yang bisa hidup bahagia. Dialah yang menghidupkan hidupku yang sudah mati. Dan lelaki itu bernama Niko... (hal 150)

Pilihan Nadira untuk menikah juga merupakan sebuah perubahan besar bagi dirinya. Nadira semenjak itu menjadi sosok wanita yang bersih, berdandan, dan murah senyum. Akan tetapi seiring berjalannya hubungan pernikahan mereka yang sudah dikarunia anak berumur tiga tahun bernama Jodi harus berakhir. Nadira mengasingkan diri ke Kanada, disana Ia mulai mengajar di tempat dia kuliah dulu. Nadira sering memandang langit Kanada di saat dia tidak mengajar. Suatu hari Nadira mendapat email dari Arya berisi undangan pernikahan dan ucapan permintaan maaf dari Arya. Arya sangat menyesal karena baru bisa memberitahukan kabar gembira itu sekarang. Setelah Nadira mencurahkan keluh kesahnya selama ia di Indonesia dengan March, kekasihnya dulu waktu kuliah. Nadira mengabil keputusan.

55

“Eh, ada apa, Nad. Aku sudah terima kok emailmu, Sayang. Tidak apa. Aku paham kalau kamu tidak bisa datang. Ayah juga paham,” kalimat Arya meluncur begitu saja.

“Kang, aku berubah pikiran, Kang. Aku sudah izin dengan kampus, aku bisa ke Jakarta...” (hal. 266)

Nadira menyangkal egonya, keputusan tersebut mengubah diri Nadira lagi dan lagi. Setelah banyaknya perubahan kepribadian Nadira, dari sering mencelupkan kepalanya kedalam bak mandi, mengurung diri di bawah meja kantornya, lalu sikap arogannya kepada Bapak X dan yang terakhir mengasingkan diri ke Kanada, Kini Nadira sudah dapat memutuskan pilihan hidupnya yang selama ini dia lewati begitu saja. Nadira baru menyadari dimanapun ia berada, dalam hatinya selalu ada sosok orang yang begitu perhatian padanya yaitu, Tara.

Dokumen terkait