• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Skema 4. Dinamika Memaafkan Subjek ES dan DN

Penilaian positif kedua subjek terhadap istri

Akitivitas keseharian dalam berumah tangga yang terpola

PERSELINGKUHAN

TAHAP TERLUKA:  Perasaan terluka/ dampak

psikologis

 Perubahan penilaian terhadap istri AWAL

SITUASI PERKAWINAN

Respon spontan yang muncul: - Membenci perbuatan istri karena telah

menyepelekan subjek sebagai suami - Membenci istri dan perbuatannya sehingga

muncul keinginan untuk menceraikan TENGAH

Dinamika Subjek Saat

Terjadi Perselingkuhan

TAHAP KEMBALI BERSAMA

Perubahan aktivitas:

- Subjek dan istri saat ini lebih banyak mempunyai waktu untuk bersama

- Ada waktu di malam hari untuk doa bersama dan sharing mengenai perasaan masing-masing - Ada waktu untuk nonton film berdua

- Kalau hari libur sering keluar untuk makan malam berdua

AKHIR Proses Subjek

dalam Memaafkan

Perasaan terluka/ dampak psikologis: marah, kecewa, sedih, bingung, marah, disepelekan oleh istri, sulit melupakan perselingkuhan, tidak mempercayai istrinya lagi

Perubahan penilaian terhadap istri:

- Istri menyepelekan subjek sebagai suami

- Istrinya telah menyakiti dan mengecewakan dirinya

TAHAP PENYEMBUHAN  Tindakan yang dilakukan:

-Berdoa

-Meminta nasihat pada ibu dan ulama

 Respon istri: meminta maaf pada subjek

 Perubahan pikiran:

-Menyadari bahwa ada kekurangan sebagai suami -Menyadari bahwa istri memerlukan perhatian -Menyadari bahwa istri butuh dijaga dan

D.Pembahasan

Kisah mengenai pengalaman dalam mempertahankan perkawinan yang

disampaikan oleh kedua subjek merupakan narasi personal dengan struktur

atau alur yang progresif. Narasi bertujuan untuk memahami ketidakberaturan

yang dalam hal ini proses subjek penelitian dalam menghadapi permasalahan

rumah tangga. Narasi menjadi alat untuk menghadirkan keteraturan dan

memberikan makna terhadap peristiwa yang terjadi. Narasi yang disampaikan

oleh subjek ES dan DN menunjukkan proses mereka dalam mengatasi

permasalahan perselingkuhan yang dilakukan oleh istri mereka. Berbagai

perasaan negatif yang dirasakan oleh subjek ES dan DN hingga timbul

keinginan untuk menceraikan istri menunjukkan struktur yang regresif. Namun,

struktur regresif tersebut berubah menjadi struktur progresif ketika subjek ES

dan DN dapat merefleksikan peristiwa yang dialami dan membuka pandangan

terhadap kekurangan mereka serta kebutuhan-kebutuhan istri.

Pandangan positif kedua subjek terhadap istri dan kehidupan perkawinan

membuat mereka tidak pernah menduga akan mengalami permasalahan

perselingkuhan. Situasi perkawinan dapat menjadi faktor penyebab istri subjek

ES dan DN melakukan perselingkuhan. Walaupun subjek ES dan DN

menggambarkan bahwa kehidupan rumah tangga mereka baik-baik saja

sebelum terjadi perselingkuhan (ES, pp 39-44; DN, pp 64-72), namun yang

menjadi permasalahan bukan tidak ada masalah yang muncul dalam

perkawinan, tetapi melihat akitivitas keseharian subjek ES dan DN dengan istri

kebutuhan rumah tangga dan anak-anak. Subjek ES dalam narasinya juga

menyampaikan bahwa subjek tidak pernah menunjukkan perasaan sayang

dengan kata-kata verbal terhadap istrinya. Subjek ES merasa bahwa tindakan

nyata yang dilakukan sudah cukup untuk menunjukkan perasaan sayangnya

terhadap istri (ES, pp 503-513; ES, pp 522-528). Berbeda dengan subjek ES,

subjek DN dapat menunjukkan perasaan sayang terhadap istri dengan kata-kata

verbal dan juga tindakan nyata (DN, pp 451-460). Hal yang menjadi kendala

adalah subjek tidak pernah melibatkan istrinya dalam pengambilan keputusan

untuk menyelesaikan permasalahan rumah tangga (DN, pp 442-445).

Komunikasi merupakan hal yang penting dalam hubungan perkawinan dan

keluarga. Pasangan suami istri memerlukan komunikasi, baik itu komunikasi

verbal maupun nonverbal, dalam menjalani hidup bersama sehari-hari.

Penggunaan komunikasi verbal dan nonverbal serta pola komunikasi berperan

penting dalam menjaga kestabilan suatu keluarga. Galvin dan Brommel (1982)

menjelaskan bahwa dalam keluarga memiliki karakteristik yaitu saling

bergantung, ada aturan, penyesuaian dan keterbukaan. Cara berkomunikasi

subjek ES dan DN dengan istri mereka belum menunjukkan ada keterbukaan

satu dengan yang lain. Sikap subjek ES dan DN menjadi faktor penyebab istri

mereka melakukan perselingkuhan.

Shackelford et al. (2008) menunjukkan bahwa perselingkuhan terjadi

dikarenakan faktor kepribadian dan kepuasan perkawinan. Berdasarkan narasi

yang telah disampaikan oleh subjek ES dan DN menunjukkan bahwa istri

subjek ES dan DN yang dirasa tidak menyenangkan dan tidak dapat diandalkan

oleh istri membuat istri berpaling kepada laki-laki lain. Ginanjar (2009)

menjelaskan bahwa perselingkuhan dapat terjadi karena pasangan yang

selingkuh memiliki kebutuhan yang besar akan perhatian. Subjek ES yang

cenderung tidak dapat menunjukkan perhatian terhadap istrinya, membuat istri

mencari laki-laki lain yang dapat memberikan perhatian yang lebih. Sama

halnya, dengan subjek DN yang tidak melibatkan istrinya dalam pengambilan

keputusan membuat istrinya juga cenderung mencari perhatian dari laki-laki

lain. Selain itu, perselingkuhan terjadi juga karena ada kesempatan untuk

melakukan perselingkuhan tersebut. Ketidakpuasan istri subjek ES dan DN

terhadap suami mereka, membuat mereka mencari kesempatan untuk bertemu

dengan laki-laki lain. Kesempatan itu didukung dengan adanya sarana seperti

tempat kerja, hotel, restoran hingga tersedianya alat komunikasi modern saat

ini.

Berdasarkan situasi di atas, dapat dilihat bahwa perempuan lebih

cenderung melakukan perselingkuhan emosional (Atkins, Baucom, &

Jacobson, 2001). Brase et al. (2004) menjelaskan bahwa perselingkuhan

emosional terjadi ketika seseorang yang berada dalam hubungan berkomitmen

(perkawinan) menjadi terlibat secara emosional (misalnya, perasaan cinta

romantis) dengan orang lain selain pasangan mereka. Kristee (2011)

menjelaskan bahwa perempuan yang selingkuh beralasan merasa kurang ada

Terungkapnya perselingkuhan yang dilakukan oleh istri subjek ES dan

DN, menempatkan kedua subjek pada tahap pertama yaitu tahap terluka atau

merasa disakiti. Smedes (1991, terj.) menjelaskan bahwa rasa sakit yang

mendalam sehingga tidak dapat dilupakan menempatkan seseorang pada tahap

krisis pemberian maaf. Smedes (1991, terj.) menyebutkan terdapat 3 (tiga)

karakteristik rasa sakit yang menimbulkan krisis kesedian memberikan maaf,

yaitu: menyangkut pribadi manusia, perlakuan tidak adil, dan sangat menikam

perasaan. Dalam hal ini, perselingkuhan termasuk rasa sakit yang sangat

menikam perasaan. Perselingkuhan merupakan suatu bentuk ketidaksetiaan dan

pengkhianatan. Pada saat subjek ES dan DN dengan istri yang saling mencintai

mengikat janji setia dalam suatu perkawinan, mereka mempunyai kepercayaan

satu dengan yang lain. Namun, ketidaksetiaan yang dilakukan oleh istri subjek

ES dan DN, menjadikan kepercayaan tersebut hancur. Ketidaksetiaan yang

terjadi akan menimbulkan dua pilihan yaitu berpisah dengan perasaan terluka

atau memaafkan pasangan yang telah tidak setia. Hubungan suami istri yang

telah didasarkan pada saling percaya dapat menjadi hancur ketika terjadi

pengkhianatan. Subjek ES dan DN yang telah mengalami pengkhianatan akan

sulit untuk menerima kembali istri yang telah mengkhianati mereka.

Dampak psikologis atau perasaan terluka yang dirasakan oleh subjek ES

dan DN merupakan faktor yang menyebabkan mereka sulit untuk memaafkan

perbuatan yang dilakukan oleh istri mereka. Spring (2006) menjelaskan bahwa

perselingkuhan yang terjadi akan membawa dampak psikologis bagi pasangan

DN seperti kehilangan indentitas diri. Subjek ES merasa bahwa dirinya telah

hancur dan dilecehkan sebagai seorang kepala rumah tangga (ES, pp 161-164).

Hal yang sama juga dirasakan oleh subjek DN yaitu subjek DN merasa telah

diremehkan dan ditipu oleh istrinya (DN, pp 232-233). Subjek ES dan DN yang

awalnya menganggap bahwa diri mereka adalah kepala rumah tangga yang

baik berubah menjadi seseorang yang terlecehkan karena perbuatan istri

mereka. Selain itu, dampak psikologis yang juga dirasakan oleh subjek ES dan

DN berupa perasaan kehilangan keistimewaan diri. Subjek ES merasa bahwa

dirinya tidak pernah menyangka akan mengalami permasalahan tersebut.

Penilaian subjek ES terhadap istrinya yang selama ini baik berubah menjadi

perasaan kecewa dengan perbuatan istrinya yang telah mengkhianatinya (ES,

pp 153-158). Hal yang sama juga dirasakan oleh subjek DN. Subjek DN

merasa telah gagal sebagai imam dalam mendampingi keluarganya (DN, pp

222-224). Subjek DN merasa bahwa sebagai seorang suami tidak ada artinya

lagi dimata istrinya.

Tahap kedua, yaitu tahap membenci. Pada saat subjek ES dan DN

menyadari bahwa mereka telah terluka karena perselingkuhan istri, maka akan

muncul perasaan membenci. Smedes menjelaskan bahwa perasaan membenci

merupakan tanggapan spontan terhadap perasaan terluka yang dialami

seseorang. Dalam narasi yang telah disampaikan oleh subjek ES dan DN,

perasaan benci yang ditunjukkan oleh subjek ES dan DN terlihat berbeda. Pada

tahap membenci ini, subjek ES tidak menyampaikan secara jelas bahwa beliau

dan kecewa terhadap perbuatan istrinya (ES, pp 160-162). Hal ini menunjukkan

bahwa subjek ES mempunyai kebencian yang pasif. Sedangkan subjek DN

menyampaikan secara jelas bahwa beliau begitu membenci istrinya setelah

mengetahui perselingkuhan tersebut (DN, pp 520-521). Perasaan benci

terhadap istri membuat subjek DN mempunyai keinginan untuk menceraikan

istrinya (DN, pp 166-171). Hal ini menunjukkan bahwa subjek DN mempunyai

kebencian yang agresif. Smedes menjelaskan bahwa ada dua rasa benci yaitu

yang sifatnya pasif dan agresif. Rasa benci yang pasif adalah ketika seseorang

kehilangan dorongan cinta untuk mengharapkan keberhasilan orang yang

dibenci. Sedangkan, rasa benci yang agresif adalah ketika rasa benci tersebut

bersifat menghukum. Dalam hal ini, subjek DN ingin menghukum istrinya

dengan cara bercerai. Rasa benci yang dimiliki menunjukkan bahwa subjek ES

dan DN sedang sakit dan memerlukan pengobatan atau penyembuhan.

Tahap ketiga, yaitu tahap penyembuhan. Pada tahap ini subjek ES dan

DN menunjukkan bahwa mereka berupaya untuk menyelesaikan permasalahan

yang mereka alami. Subjek ES dan DN berupaya untuk menyembuhkan

perasaan terluka yang dialami akibat perselingkuhan istri mereka. Hal yang

dilakukan oleh subjek ES yaitu dengan berdoa (ES, pp 245-253; ES, pp 334-

335; ES, pp 339-341). Subjek ES menyampaikan bahwa dengan berdoa beliau

mendapatkan kekuatan untuk menyembuhkan perasaan terluka akibat

perselingkuhan yang dilakukan oleh istrinya (ES, pp 248-250). Kekuatan doa

membantu subjek ES lebih tenang dalam menghadapi permasalahan yang

menyadari segala kekurangan istrinya dan menerima kekurangan istrinya

tersebut (ES, pp 251-253). Sedangkan subjek DN berupaya untuk meminta

nasihat terlebih dahulu kepada salah seorang ulama (DN, pp 263-269). Subjek

DN berpikir dengan menemui ulama beliau dapat menemukan solusi

mengobati rasa sakit hatinya (DN, pp 321-325). Pada saat mendapatkan nasihat

dari ulama, subjek DN menyadari bahwa beliau belum menjadi kepala rumah

tangga yang baik (DN, pp 292-309). Setelah subjek DN mendapatkan nasihat

dari ulama tersebut, subjek DN mencoba merefleksikan kembali peristiwa yang

dialaminya (DN, pp 500-502). Pada masa merefleksikan diri ini, subjek DN

menyampaikan bahwa beliau sempat pisah ranjang dengan istrinya (DN, pp

504-508). Pada waktu itu, subjek DN mencoba merefleksikan diri dengan

sholat dan bercerita kepada ibunya mengenai perasaan-perasaan yang

dirasakan (DN, pp 522-524). Dalam masa merefleksikan diri tersebut, subjek

DN merasa dapat berpikiran jernih dan menyadari bahwa dirinya selama ini

adalah orang yang keras dan otoriter. Subjek DN menjadi sadar bahwa

sikapnya selama ini menjadi penyebab istrinya berpaling (DN, pp 526-528).

Setelah subjek DN menyadari kekurangan yang ada pada dirinya, subjek

menjadi dapat melihat bahwa istrinya adalah seseorang yang butuh

didengarkan dan diperhatikan (DN, pp 529-532).

Smedes menjelaskan bahwa untuk memaafkan orang yang telah

menyakiti diperlukan bedah spiritual dalam jiwa seseorang yang tersakiti.

Bedah spiritual dilakukan dengan cara membatasi diri dengan mengatur pikiran

menjadi jernih maka seseorang dapat terbebas dari perasaan sakit dan terluka.

Hal tersebut, telah dilakukan oleh subjek ES dan DN dengan merefleksikan

peristiwa yang mereka alami. Morin (dalam Anantasari, tanpa tahun)

menyebutkan bahwa refleksi merupakan kemampuan manusia untuk

melakukan introspeksi dan kemauan untuk belajar lebih dalam mengenai sifat

dasar manusia, tujuan dan esensi hidup. Dengan melakukan refleksi diri

seseorang dapat memperoleh pemahaman diri yang lebih baik guna

memecahkan persoalan kehidupannya. Refleksi juga didasari oleh niat murni

untuk menganalisis diri demi peningkatan diri. Seseorang yang dapat

melakukan refleksi, dia akan mendapatkan pemahaman diri yang baik dan

secara otomatis akan membawa orang tersebut pada tindakan nyata yang lebih

positif (Anantasari, tanpa tahun).

Dalam merefleksikan peristiwa yang dialami, subjek ES dan DN telah

memotong bagian yang sakit sehingga dapat melihat istri mereka dengan cara

pandang yang baru. Memaafkan berarti dapat memisahkan orang yang bersalah

dengan perbuatan yang dilakukan. Subjek ES dan DN melihat istri mereka

adalah orang yang masih mereka cintai. Selain itu, subjek ES dan DN juga

melihat istrinya sebagai orang yang membutuhkan perhatian, dukungan dan

perlindungan dari mereka (ES, pp 592-595; DN, pp 529-532; DN, pp 547-549).

Pandangan baru subjek ES dan DN terhadap istri mereka juga melahirkan

perasaan baru. Setelah subjek ES dan DN mempunyai pandangan baru

terhadap istri mereka, perasaan baru juga akan dirasakan. Keputusan untuk

lega dan lebih ringan dalam memulai kehidupan kembali bersama dengan istri

mereka (ES, pp 307-311; DN, pp 361-363).

Tahap keempat, yaitu tahap kembali bersama. Pada tahap ini subjek ES

dan DN kembali mengundang istri mereka untuk memperbaiki hubungan

mereka. Subjek ES mulai memperbaiki hubungan dengan meluangkan waktu

setiap malam untuk sharing dan berdoa bersama (ES, pp 595-602). Selain itu,

subjek ES dan istrinya mulai sering menyediakan waktu untuk berdua dan

melakukan kegiatan kerohanian bersama-sama (ES, pp 389-395; ES, pp 611-

620). Hal yang sama juga terjadi pada subjek DN, pada awalnya subjek DN

mengajak istrinya untuk saling berjanji kembali memperbaiki sikap dan saling

mengingatkan satu sama lain dalam memperbaiki hubungan mereka (DN, pp

540-547). Subjek DN dan istrinya juga menjadi memiliki kegiatan yang

dilakukan bersama seperti menonton film dan makan malam berdua (DN, pp

410-412; DN, pp 418-423; DN, pp 599-602; DN, pp 606-610; DN, pp 611-

614).

Smedes menjelaskan bahwa keinginan untuk membangun kembali

hubungan bersama (kehidupan perkawinan) bukan saja berasal dari seseorang

yang telah terluka (subjek ES dan DN), tetapi orang yang melukai (istri) juga

menyambut penerimaan subjek kembali. Hal tersebut didasari oleh kejujuran

dan ketulusan hati untuk kembali bersama membangun kehidupan rumah

tangga yang baru dengan harapan-harapan yang lebih baik.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat dilihat bahwa bagi suami

Abraham Lloyd menjelaskan lebih lanjut bahwa para suami beranggapan

perselingkuhan seksual lebih dirasa menyakitkan daripada perselingkuhan

emosional yang dilakukan oleh istri mereka. Hal ini berkaitan dengan saluran

reproduksi atau pemenuhan kebutuhan seksual sebagai suami istri. Para suami

akan cenderung lebih posesif dan protektif berkenaan dengan saluran

reproduksi pada istri mereka. Para suami tidak akan keberatan jika istri mereka

pergi dengan laki-laki lain untuk sekedar mengobrol dan berbelanja, walaupun

itu dilakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan mereka. Sebagian suami

cenderung berterima kasih karena perhatian yang tidak dapat mereka berikan

dapat diperoleh oleh istri mereka melalui laki-laki lain. Di lain pihak, para

suami akan merasa sakit hati ketika perselingkuhan yang dilakukan istri telah

melibatkan hubungan seksual. Para suami, mungkin tidak peduli dengan siapa

istri mereka pergi, mengobrol, berbelanja atau makan, tetapi para suami sangat

peduli mengenai cara istri mereka berdandan, harum badan istri, memegang

tangan istri dan membawa mereka ke tempat tidur. Bagi para pria

permasalahan yang paling penting adalah hubungan seksual, ketika istri mereka

telah berhubungan seksual dengan laki-laki lain, hal tersebut akan

memunculkan penolakan dan perasaan sakit hati yang mendalam

BAB V

PENUTUP

A.Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua subjek mempunyai

pengalaman dalam berproses memaafkan istri mereka yang pernah melakukan

perselingkuhan. Narasi yang disampaikan oleh kedua subjek memiliki struktur

atau alur progresif sesuai dengan tahapan memaafkan menurut Smedes yang

menunjukkan bahwa pada akhirnya kedua subjek dapat menjalani hidup

perkawinan kembali bersama dengan istri mereka. Proses memaafkan yang

dilalui oleh kedua subjek ada 4 (empat) tahap, yaitu: 1) Tahap terluka atau

merasa disakiti, 2) Tahap membenci, 3) Tahap penyembuhan, dan 4) Tahap

kembali bersama. Keempat tahap yang dilalui oleh kedua subjek menunjukkan

bahwa mereka telah berhasil merefleksikan peristiwa yang dialami. Dalam

struktur narasi dikenal dengan istilah redefinisi tujuan, yaitu ketika kedua

subjek dapat melihat dunia dengan cara yang berbeda. Hal ini dilihat dari

upaya kedua subjek dalam merefleksikan peristiwa yang mereka alami

sehingga dapat melihat istri mereka dengan cara pandang yang baru dan

menerima istri mereka kembali. Upaya refleksi diri yang dilakukan kedua

subjek oleh Smedes disebut sebagai bedah spritual membuat mereka pada

akhirnya dapat memaafkan dan tetap mempertahankan perkawinan dengan

istri.

B.Saran

1. Bagi Pasangan Suami-Istri

Perselingkuhan memang sesuatu pengkhianatan yang menyakitkan

dalam hubungan perkawinan. Terkadang perceraian dianggap sebagai

suatu solusi seseorang untuk menyembuhkan perasaan terluka akibat

perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangannya. Bagi suami yang

mengalami permasalahan perselingkuhan ini, sebaiknya dapat melakukan

refleksi diri atau bedah spiritual sehingga dapat melihat permasalahan

secara lebih positif. Dengan refleksi diri atau bedah spiritual yang

dilakukan dapat melihat hal yang menjadi penyebab perselingkuhan terjadi

dan membuka pemahaman baru terhadap istri yang telah melakukan

perselingkuhan. Bedah spiritual yang dilakukan juga membantu untuk

memaafkan istri yang melakukan perselingkuhan dan menerima kembali

istri dalam menjalani kembali kehidupan perkawinan.

2. Bagi Penelitian Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk meneliti topik yang

sama dapat meneliti lebih dalam mengenai faktor-faktor yang memberikan

kontribusi kepada suami sehingga tetap mempertahankan perkawinan

walaupun istri telah berselingkuh. Selain itu, peneliti selanjutnya dapat

meneliti mengenai topik yang sama dengan variasi subjek yang berbeda

DAFTAR PUSTAKA

Anantasari, Maria Laksmi. (tanpa tahun). Mencari Kawruh Jiwa: Refleksi Diri pada Remaja, Langkah Menuju Pribadi Sejahtera. Faculty of Psychology,

Sanata Dharma University Yogyakarta.

Atkins, D., Baucom, D., & Jacobson, N. (2001). Understanding Infidelity: Correlates in a National Random Sample. Journal of Family Psychology,

15(4), 735-749.

Atkins, David & Kessel, Deborah. (2008). Religiousness and Infidelity:

Attendance, but not Faith and Prayer, Predict Marital Fidelity. Journal of

Marriage and Family, 70, 407-418.

Beno Junianto. (2009). Aurel Cerita Miminya Selingkuh di Bali. http://life.viva.co.id/news/read/86811aurel_cerita_miminya_selingkuh_di _bali. (diunduh Sabtu, 10 Februari 2013).

Bird, Butler, & Fife. (2007). The Process of Couple Healing Following Infidelity: A Qualitative Study. Journal of Couple & Relationship

Therapy, 6(4), 1-25.

Berry, J. W., & Worthington, E. L. Jr. (2001). Forgiveness, relationship quality, stress while imagining relationship events, and physical and mental health. Journal of Counseling Psychology, 48, 447–455.

Cann, A., Baucom, T. (2004). Former partners and new rivals as threats to a relationship: Infidelity type, gender, and commitment as factors related to distress and forgiveness. Personal Relationships, 11, 305-318.

Fatima, Maria & Ajmal, M. Asir. (2012). Happy Marriage: A Qualitative study. Journal of Social and Clinical Psychology, 9(2), 37-42.

Fife, Weeks, & Gambescia. (2008). Treating Infidelity: An Integrative Approach. The Family Journal: Counseling and Therapy for Couples

and Families, 16(4), 316-323.

Fisher, Voracek, Rekkas, & Cox. (2008). Sex Differences in Feelings of Guilt Arising from Infidelity. Evolutionary Psychology, 6(3), 436-446.

Galvin, Kathleen M. & Brommel, Bernard J. (1982). Family Communication:

Cohesion and Change. America: Scott, Foresman and Company.

Gani, A.H. (2011). Forgiveness Therapy. Yogyakarta: Kanisius.

Ginanjar. (2009). Proses Healing Pada Istri Yang Mengalami Perselingkuhan Suami. Sosial Humaniora, 13(1), 66-76.

Hackathorn, J., Mattingly, B., Clark, E., & Mattingly, M. (2011). Practicing What You Preach: Infidelity Attitudes as a Predictor of Fidelity. Curr

Psychol, 30, 299–311.

Idemudia, Erhabor S. & Mahri, Saajida. (2011). Can Gender, Religion, Education, Age and Personality Predict Willingness to Forgive? Gender

& Behaviour, 9(1), 3765-3779.

Jayaprawira. (2005). Coping Stress Pada Perempuan Dalam Proses Pemulihan Hubungan Pasca Perselingkuhan Suami. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Kertamuda, Fatchiah. (2009). Konseling Pernikahan untuk Keluarga

Indonesia. Jakarta: Salemba Humanika.

Kodrati, Finalia. (2010). Perjalanan Kisah Cinta Maia & Ahmad Dhani. http://life.viva.co.id/news/read/175810-perjalanan-kisah-cinta-maia--- ahmad-dhani. (diunduh Sabtu, 10 Februari 2013).

Kristee. (2011). A Socio-Emotional Relational Framework for Infidelity: The Relational Justice Approach. Family Process, 50(4), 516-528.

Kymenlaakso, Ilkka Virolainen. Forgiveness as a Leadership Tool. Global

Conference on Business and Finance Proceedings, 7(1), 432-445.

Lindsay. (2008). http://genkeis.multiply.com/journal/item/2 68?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem. (diunduh Jumat, 15 Februari 2013).

Lodro, Wawan. (2012). Perceraian Selalu Berdampak Negatif Bagi Anak. http://www.kainsutera.com/info-remaja/perceraian-selalu-berdampak- negatif-bagi-anak.html. (diunduh Sabtu, 10 Februari 2013).

Lopez, S., & Synder, C. (2003). Positive Psychological Assessment. Washington: World Composition Services, Inc.

Mao, Angelina & Raguram, Ahalya. (2009). Online infidelity: The new challenge to marriages. Indian J Psychiatry, 51(4), 302-304.

Maltby, J., Macaskill, A., & Day, L. (2001). Failure to forgive self and others: A replication and extension of the relationship between forgiveness, personality, social desirability and general health. Personality and

Mark, Janssen, & Milhausen. (2009). Infidelity in Heterosexual Couples: Demographic, Interpersonal, and Personality-Related Predictors of Extradyadic Sex. Archives of Sexual Behavior, 40, 971-982.

Mauger, P. A., Perry, J. E., Freeman, T., Grove, D. C., McBride, A. G., & McKinney, K. E. (1992). The measurement of forgiveness: Preliminary research. Journal of Psychology and Christianity, 11, 170–180.

Dokumen terkait