BAB II TINJAUAN PUSTAKA
B. Perselingkuhan
1. Definisi Perselingkuhan
Perselingkuhan pada umumnya dipahami sebagai pelanggaran
terhadap perjanjian perkawinan, suatu pengkhianatan kepercayaan
seseorang, dan merupakan ancaman terhadap ikatan perkawinan (Mao &
Raguram, 2009).
Stephen (2005) menyebutkan bahwa perselingkuhan bertentangan
dengan aturan umum dasar perkawinan. Perselingkuhan melibatkan
pengkhianatan terhadap pasangan dan sumpah atau janji perkawinan.
Secara umum, perselingkuhan dianggap sebagai tanda bahwa ada
sesuatu yang salah dalam hubungan perkawinan. Perselingkuhan
menunjukkan bahwa tidak ada kasih dan kebahagiaan dalam hubungan
perkawinan (Kristee, 2011).
Then (2008, terj.) dalam buku yang berjudul Kisah-kisah Perempuan
yang Bertahan dalam Perkawinan menjelaskan perselingkuhan sebagai
suatu bentuk pelanggaran terhadap eksklusifitas hubungan seks antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah menikah.
Perselingkuhan terjadi ketika seorang yang telah menikah melakukan
hubungan seks dengan seseorang yang bukan pasangannya.
Hackathorn et al. (2011) dalam artikel Practicing What You Preach:
Infidelity Attitudes as a Predictor of Fidelity menjelaskan bahwa
perselingkuhan secara umum dikenal sebagai setiap tindakan seksual yang
pelanggaran perjanjian yang telah dibuat. Namun, definisi tersebut tidak
selalu tepat untuk digunakan, karena ada banyak cara di mana seseorang
mungkin melakukan perselingkuhan tanpa melibatkan tindakan seksual.
Seseorang dapat melakukan perselingkuhan dengan melibatkan interaksi
seksual dan atau dengan membentuk hubungan emosional yang dalam dan
bermakna dengan pasangan selingkuh.
Definisi mengenai perselingkuhan terkadang masih cukup ambigu,
dengan melihat perilaku yang dilakukan dalam perselingkuhan. Weis dan
Felton (dalam Hackathorn et al., 2011) mengemukakan bahwa, meskipun
ada anggapan umum bahwa aktivitas seksual yang dilakukan dengan
pasangan di luar pernikahan adalah perselingkuhan, ada ketidaksetujuan
tentang apakah perilaku ambigu (misalnya pergi ke bioskop dengan orang
lain yang bukan pasangan) juga dapat dianggap sebagai perselingkuhan.
Feldman dan Cauffman (dalam Hackathorn et al., 2011) mengemukakan
bahwa perilaku perselingkuhan yang ambigu seperti minum kopi dan pergi
ke bioskop dengan orang lain yang bukan pasangan merupakan perilaku
yang dapat diterima dan dipertimbangkan. Di sisi lain, perilaku seperti
menggoda dan berfantasi tentang orang lain yang bukan pasangan
merupakan perilaku yang kurang dapat diterima. Hackathorn (dalam
Hackathorn et al., 2011) menunjukkan bahwa perilaku online, seperti
chatting, dapat dianggap sebagai perselingkuhan dengan konsekuensi yang
Dari definisi di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa
perselingkuhan dapat diartikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap janji
dan komitmen perkawinan yang dilakukan oleh salah satu atau kedua
orang dari pasangan tersebut, dimana pelanggaran yang dilakukan
melibatkan perilaku seksual dan atau perasaan emosional yang mendalam
dengan orang lain.
2. Penyebab Perselingkuhan
Shackelford et al. (2008) dalam penelitian yang mereka lakukan
menunjukkan bahwa perselingkuhan terjadi dikarenakan faktor
kepribadian dan kepuasan perkawinan. Dalam penelitian mereka
menunjukkan bahwa orang dengan pasangan yang tidak menyenangkan
dan tidak bisa diandalkan akan cenderung merasa kurang puas dengan
pernikahan mereka. Hal tersebut yang pada akhirnya menjadi faktor yang
berpotensi seseorang melakukan perselingkuhan.
Ginanjar (2009) menyimpulkan sejumlah alasan perselingkuhan dari
berbagai sumber (contoh, Blow, 2008; Eaves & Robertson-Smith, 2007;
Subotnik & Harris, 2005; Weiner-Davis, 1992) yaitu:
1. Perselingkuhan terjadi karena ada kesempatan untuk melakukan
perselingkuhan, seperti kemudahan bertemu dengan lawan jenis di
tempat kerja, ada sarana hotel dan apartemen yang dapat dijadikan
sebagai tempat pertemuan rahasia, dan tersedianya sarana komunikasi
2. Ketidakharmonisan rumah tangga yaitu ditunjukkan dengan tidak
tercapainya harapan-harapan perkawinan yang justru harapan-harapan
tersebut diperoleh dari pasangan selingkuh.
3. Kebutuhan seks yang tidak terpenuhi dalam perkawinan.
4. Kebutuhan yang besar akan perhatian yang tidak dapat diperoleh dari
pasangan perkawinan, kebutuhan akan perhatian justru dapat diperoleh
dari pasangan selingkuh.
5. Hubungan jarak jauh dengan pasangan, misal pasangan memiliki
pekerjaan yang mengharuskan selalu keluar kota. Hal ini yang juga
akan memunculkan perasaan kesepian pada pasangan yang ditinggal
pergi untuk pekerjaan.
Layton (dalam Zaka al Farisi, 2008), seorang ahli psikologi meneliti
mengenai alasan seseorang melakukan perselingkuhan. Dalam penelitian
Layton terhadap pasangan yang melakukan perselingkuhan disebutkan
beberapa alasan yang selalu diungkapkan seseorang ketika mereka terlibat
perselingkuhan. Alasan-alasan tersebut, yaitu:
1. merasakan ketidakpuasan dalam kehidupan perkawinan
2. adanya kekosongan emosional dalam kehidupan pasangan tersebut
3. problem pribadi di masa lalu
4. kebutuhan untuk mencari variasi dalam kehidupan seksual
5. sulit untuk menolak “godaan”
6. marah terhadap pasangan
8. kecanduan alkohol atau pun obat-obatan
9. seringnya hidup berpisah lokasi
10. ingin membuat pasangan menjadi cemburu
Dari penyebab perselingkuhan yang telah dijabarkan di atas peneliti
menyimpulkan bahwa terdapat 2 (dua) faktor yang menyebabkan
seseorang berselingkuh, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal
dapat berupa kepribadian dan kondisi dalam hubungan perkawinan,
sedangkan faktor eksternal dapat berupa kesempatan untuk bertemu
dengan pasangan selingkuh.
3. Jenis-jenis Perselingkuhan
Perselingkuhan pada umumnya dipahami sebagai suatu pelanggaran
terhadap perjanjian perkawinan, suatu pengkhianatan kepercayaan
seseorang, dan merupakan ancaman terhadap ikatan perkawinan.
Penelitian mengenai perselingkuhan telah menjawab terdapat 3 (tiga) jenis
pengkhianatan yang terjadi, yatu: perselingkuhan seksual, emosional, dan
perselingkuhan secara online yang merupakan penelitian terbaru.
a. Perselingkuhan seksual
Perselingkuhan seksual, dapat didefinisikan sebagai hubungan
seks yang dilakukan bukan dengan pasangan dalam perkawinan. Pada
konteks hubungan monogami, perselingkuhan seksual dianggap
menjadi salah satu ancaman yang paling signifikan terhadap stabilitas
Milhausen, 2009). Perselingkuhan seksual cenderung dilakukan oleh
pria (Atkins, Baucom, & Jacobson, 2001). Alasan yang dikemukanan
pria ketika melakukan perselingkuhan, yaitu ketidakpuasan hubungan
seksual dengan istri dan keinginan untuk mencari variasi kehidupan
seksual (Cann & Baucom, 2004).
b. Perselingkuhan emosional
Brase et al. (dalam Atkins, Baucom, & Jacobson, 2001)
menjelaskan bahwa perselingkuhan emosional terjadi ketika seseorang
yang berada dalam hubungan berkomitmen (perkawinan) menjadi
terlibat secara emosional (misalnya, perasaan cinta romantis) dengan
orang lain selain pasangan mereka. Perselingkuhan emosional
cenderung dilakukan oleh perempuan (Atkins, Baucom, & Jacobson,
2001). Alasan yang sering diungkapkan oleh istri ketika berselingkuh
yaitu karena merasa kurang adanya perhatian dari suami mereka
(Kristee, 2011).
c. Perselingkuhan secara online
Penelitian yang dilakukan oleh Mao dan Raguram (2009)
menjelaskan bahwa dengan perkembangan internet saat ini,
perselingkuhan yang merupakan hubungan romantis, seksual, dan
perasaan emosional dengan orang lain selain pasangan, dapat dilakukan
melalui kontak online dan percakapan elektronik yang terjadi melalui
email dan chat room. Perselingkuhan melalui media elektornik
interaktif dengan anggota lawan jenis melalui media tersebut.
Hubungan melalui dunia maya dapat menjadi suatu hubungan yang
berkelanjutan khususnya bagi seseorang yang bekerja menggunakan
media online atau chat room.
Terdapat perdebatan tentang apakah chatting merupakan
perselingkuhan. Perdebatan yang muncul adalah melihat sifat dari
media chatting yang bersifat pribadi dan rahasia. Mileham (dalam Mao
& Raguram, 2009) telah mendefinisikan bahwa sebagian besar
perselingkuhan terjadi berdasarkan tiga faktor: Pertama, lembaga
perkawinan yang melibatkan keberadaan ikatan emosional dan seksual,
ketika terjadi hubungan yang melibatkan perilaku seksual dengan orang
lain selain pasangan tersebut dianggap sebagai perselingkuhan. Kedua,
perselingkuhan biasanya terjadi secara rahasia, dan disembunyikan dari
pasangannya. Ketiga, sifat dari penghubung chat room yang pribadi
dapat menyebabkan terjadi perselingkuhan. Kebanyakan pasangan
merasa dikhianati, marah, dan sakit hati dengan perselingkuhan online
karena mereka mengganggap bahwa aktivitas online yang dilakukan
secara pribadi dan sembunyi-sembunyi menandakan telah terjadi
perselingkuhan. Mileham juga menetapkan bahwa dalam kasus ketika
kegiatan chat room dilakukan tidak tersembunyi dari pasangan, maka
4. Dampak Perselingkuhan
Perselingkuhan kebanyakan pada akhirnya berujung pada perceraian
pasangan suami istri. Selain itu, Spring (2006) dalam bukunya After the
Affair menjelaskan bahwa perselingkuhan yang terjadi akan membawa
dampak psikologis bagi pasangan yang telah dikhianati. Dampak
psikologis tersebut, adalah:
a. Kehilangan identitas diri
Seseorang yang mengetahui pasangannya telah berselingkuh
dapat mengalami perubahan konsep terhadap diri sendiri. Seseorang
akan mengganggap dirinya sebagai orang yang telah hancur dan
dilecehkan. Seseorang yang pada awalnya mengganggap bahwa dirinya
adalah orang yang punya kemampuan, baik, bersahabat, mandiri,
humoris, dan menarik, ketika mengetahui pasangannya telah
berselingkuh dapat seketika berubah pandangan terhadap diri sendiri.
Seseorang yang mengetahui pasangannya telah berselingkuh akan
memiliki gambaran negatif terhadap diri sendiri. Seseorang akan
menggaggap dirinya sebagai seseorang yang pencemburu, pemarah,
pendedam, tidak dapat mengendalikan diri, terlecehkan, penakut,
kesepian, terhina, buruk, curiga, dan telah dipermalukan secara sosial.
Seseorang yang telah dibutakan oleh pengkhianatan pasangannya akan
kehilangan diri yang dikenalnya, dia menjadi meragukan kebaikan yang
dilakukkannya, serta kehilangan kemampuan untuk memahami
b. Kehilangan rasa keistimewaan dalam diri
Pada awalnya seseorang merasa bahwa dia adalah orang yang
paling berarti bagi pasangannya. Tetapi, ketika seseorang mengetahui
bahwa pasangannya telah mengkhianatinya dengan melakukan
perselingkuhan, maka munculah perasaan tidak berguna dalam diri
orang tersebut. Seseorang akan merasa bahwa dirinya tidak ada artinya
lagi. Salah satu klien dari Spring (2006) mengungkapkan bahwa ketika
dia mengetahui bahwa suaminya telah berselingkuh dengan sekretaris,
dia merasa telah kehilangan orang yang selama ini dicintai dan
dipercayai. Klien dari Spring (2006) merasa bahwa dia tidak berguna
lagi, kehilangan semangat dalam menjalani hidup dan seperti “sampah”.
c. Hilangnya harga diri karena telah mengorbankan nilai-nilai yang
dipercayai
Seseorang yang mengetahui bahwa pasangannya telah
berselingkuh akan muncul perasaan tak berdaya dalam diri. Ada
beberapa orang yang berusaha untuk tetap mempertahankan pasangan
dengan merebut kembali pasangan dari teman berselingkuh. Banyak
cara yang dilakukan seseorang untuk merebut kembali pasangan mereka
hingga mengorbankan nilai-nilai yang mereka percayai. Spring (2006)
menjelaskan lebih lanjut bahwa kebanyakan klien yang datang
kepadanya merasa putus asa setelah mengetahui pasangan mereka telah
berselingkuh. Kebanyakan klien merasa bahwa suami mereka yang
perkawinan yang mereka jalani. Salah seorang klien mengatakan bahwa
dia mengalami depresi yang berat ketika mengetahui suaminya
berselingkuh. Klien tersebut kehilangan napsu makan dan mengalami
penurunan berat badan sampai 10 (sepuluh) kilogram.
d. Hilangnya harga diri karena gagal menyadari kekeliruan yang telah
terjadi
Pada saat kasus perselingkuhan belum terungkap jelas dalam
perkawinan, tetapi seseorang mengetahui bahwa pasangannya telah
berselingkuh mengganggap harga dirinya akan hancur, sehingga
terkadang mereka berusaha untuk menyembunyikan kecurigaan mereka
dan menyimpan di dalam hati.
Salah seorang klien dari Spring (2006) bernama Tom
mengungkapkan bahwa sebelum dia pada akhirnya bercerai dengan
istrinya, suatu waktu dia pernah memergoki istrinya berpelukan dengan
atasan. Tom berusaha untuk tidak mempercayai pengelihatannya dan
membuang pikiran negatif mengenai ada kemungkinan istrinya
berselingkuh dengan atasan. Tom kemudian mencoba menanyakan hal
tersebut kepada istrinya, tetapi istrinya menjawabnya dengan nada
mengejek. Perilaku yang ditunjukkan istri Tom, membuat dia menjadi
percaya bahwa memang benar istrinya telah berselingkuh. Pada saat
suatu perselingkuhan terungkap, seseorang berharap untuk tidak
menjadi terlalu waspada terhadap pasangannya. Kecurigaan yang
dan tajam. Apa pun yang dikatakan dan dilakukan oleh pasangan
menjadi sulit dibedakan antara yang merupakan kebenaran atau hanya
karangan saja. Seseorang menjadi tidak mempercayai pasangan dan
juga tidak mempercayai kebenaran kecurigaannya selama ini.
e. Kehilangan kontrol atas pikiran dan perasaan
Setelah perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangan terungkap,
seberapa pun besar usaha seseorang untuk mengurai apa yang telah
terjadi, baik pikiran mau pun perilaku yang ditunjukkan menjadi di luar
kontrol diri seseorang. Seseorang akan menjadi lebih obsesif terhadap
kebohongan pasangannya, detail perselingkuhan, dan peristiwa yang
menyebabkan perselingkuhan. Seseorang menjadi lebih bekerja keras
untuk menekan kecemasan yang muncul akibat perselingkuhan.
f. Kehilangan perasaan aman dan keadilan
Seseorang mungkin mengganggap bahwa dirinya dapat
memahami bagaimana dunia bekerja, dan merasa dapat mengendalikan
kehidupan yang dijalani. Namun, ketika seseorang mengetahui
pasangannya telah berselingkuh, dia menjadi memiliki kayakinan dan
mengganggap bahwa dunia akan berakhir. Asumsi yang dimiliki
seseorang terhadap perkawinannya akan langgeng menjadi hancur.
Seseorang menjadi merasa tidak nyaman lagi dengan perkawinan yang
g. Kehilangan kepercayaan akan Tuhan
Setelah perselingkuhan yang telah dilakukan oleh pasangan
seseorang terkuak, seseorang berusaha untuk mencoba memahami
penderitaan yang dialami. Beberapa orang yang menjadi korban
perselingkuhan oleh pasangannya merasa seperti telah dihukum dan
ditinggalkan oleh Tuhan. Seseorang menjadi memiliki anggapan bahwa
Tuhan itu kejam. Seseorang menjadi meragukan kepercayaannya akan
Tuhan.
h. Kehilangan keterikatan dengan orang lain atau orang disekitar
Setelah perselingkuhan yang dilakukkan oleh pasangan seseorang
terkuak di muka umum, seseorang akan menjadi malu dan merasa
rendah diri. Seseorang merasa bahwa orang-orang disekitarnya akan
menjadi membicarakan dan menghindarinya karena aib yang dialami.
Pada saat seseorang ingin mengungkapkan perasaan yang dideritanya,
seseorang tidak dapat melakukan karena merasa sendiri. Seseorang
menjadi merasa ditinggalkan oleh orang-orang di sekitarnya.
i. Kehilangan tujuan dan kemauan untuk hidup
Seseorang yang menjadi korban perselingkuhan menjadi tidak
dapat menggambarkan bagaimana dia harus mencintai dan dicintai lagi.
Seseorang menjadi kehilangan kemampuan untuk menilai diri sendiri
dan memaknai kehidupan yang dijalani. Seseorang menjadi merasa
bahwa hidup lebih menyakitkan daripada tidak hidup. Respon yang
Seseorang merasa tidak mempunyai keinginan untuk menjalani hidup
lagi karena pengkhianatan yang dilami.
Satiadarma dalam buku Menyikapi Perselingkuhan (2001)
menjelaskan bahwa dampak negatif sebenarnya juga dirasakan oleh
pasangan yang melakukan perselingkuhan berupa tekanan dari kesadaran
moral yang membuatnya sangat bersalah, dan berdampak pada fisik serta
tekanan psikologis. Dampak psikologis yang dirasakan oleh pasangan
yang melakukan perselingkuhan biasanya berupa perasaan malu dan
tersisih, sehingga seringkali muncul upaya untuk melarikan diri dan
rasionalisasi terhadap kesalahan yang dilakukan. Dampak perselingkuhan
dalam perkawinan juga akan dirasakan oleh anak dalam keluarga. Anak
akan mengalami konflik dalam diri melihat kedua orangtua yang
mengalami perselingkuhan. Anak menjadi merasa terbebani dan memiliki
perasaan yang tidak menentu. Di sisi lain, anak membutuhkan kedua
orangtua mereka sebagai figur panutan, tetapi ketika mereka mengetahui
permasalahan perselingkuhan pada orangtua mereka menjadi meragukan
apakah kedua orangtua mereka dapat dijadikan figur panutan.
Jadi, selain memiliki potensi untuk mengakhiri suatu hubungan
perkawinan, perselingkuhan juga membawa dampak negatif pada
psikologis pasangan yang disakiti, terhadap pelaku perselingkuhan yang
berupa perasaan bersalah, dan juga dampak negatif pada anak-anak
pasangan yang mengalami perselingkuhan berupa pikiran yang terbebani
C.Memaafkan
1. Definsi Memaafkan
Memaafkan merupakan suatu konsep yang sebelumnya selalu
dikaitkan dengan agama dan praktek keimanan seseorang. Seiring
berjalannya waktu konsep mengenai memaafkan kemudian diterima dalam
studi empiris di luar literatur agama, dalam hal ini literatur psikologi
(Idemudia & Mahri, 2011).
Dalam literatur psikologis, memaafkan bukanlah kondisi yang
mengarah pada melupakan peristiwa yang telah terjadi pada seseorang.
Sebaliknya, memaafkan adalah suatu bentuk tanggapan terhadap
ketidaksesuaian yang menyebabkan berkurangnya perasaan dendam dan
marah terhadap pelaku dan peristiwa, serta memunculkan perasaan,
pemikiran dan perilaku yang lebih positif (Worthington, 2001).
Yamhure Thompson et al. (dalam Lopez & Synder, 2003)
mendefinisikan memaafkan sebagai proses reframing atau pemaknaan
kembali suatu pelanggaran yang dapat bersumber dari diri sendiri, orang
lain atau, situasi diluar kendali yang dirasakan seseorang, sehingga respon
yang diberikan terhadap pelanggar, pelanggaran, dan dampak dari
pelanggaran tersebut berubah dari negatif menjadi netral atau positif.
Mereka juga menjelaskan bahwa memaafkan merupakan proses
intrapersonal.
Enright et al. (dalam Lopez & Synder, 2003) mendefinisikan
judgment yang negatif, dan perilaku menarik diri terhadap seseorang yang
telah melukai perasaan, ketika seseorang tidak seharusnya memberikan
rasa kasihan, kemurahan hati, dan juga cinta terhadap orang yang telah
menyakiti. Mereka juga merumuskan bahwa memaafkan merupakan
perbuatan baik terhadap pelaku sebagai kebutuhan bagian dalam
memaafkan.
Younger et al. (dalam Sharon, 2009) menyebutkan bahwa
memaafkan sebagai proses relasional yaitu melepaskan dampak negatif
dengan tujuan untuk tetap mempertahankan hubungan.
Tsarenko dan Toijib (dalam Kymenlaakso, 2012) mendefinisikan
memaafkan sebagai proses berkembangnya emosional dan kognitif
seseorang yang membutuhkan usaha pada setiap tahap. Setelah emosi
negatif sudah dilepas dan kemauan untuk menghukum atau membalas
dendam kepada pelaku telah diselesaikan, maka proses memaafkan dari
mengubah ke dalam bentuk tindakan dikatakan bahwa memaafkan telah
diberikan kepada pelaku.
Dari definisi mengenai memaafkan di atas, peneliti menarik
kesimpulan bahwa memaafkan merupakan proses pengolahan emosional
dan kognitif seseorang setelah orang tersebut mengalami suatu
pelanggaran (dalam hal ini perselingkuhan), sehingga emosi negatif yang
muncul dapat diubah dalam bentuk perilaku yang positif, kebencian dan
keinginan untuk tetap mempertahankan hubungan dengan orang yang telah
melukai.
2. Proses Memaafkan
Gani (2011) dalam buku yang berjudul Forgiveness Therapy
menyebutkan bahwa beberapa ahli yang meneliti mengenai memaafkan
juga telah menuliskan tahapan untuk memaafkan. Jika diamati lebih lanjut,
setiap proses yang dilakukan pada dasarnya sama, tetapi para ahli
memutuskan untuk memisahkannya menjadi satu proses yang juga
menjadi bagian proses yang lain.
Fred Luskin (dalam Gani, 2011) menjelaskan terdapat 4 (empat)
tahap dalam memaafkan, yaitu:
Tahap 1: Seseorang menyadari emosi kemarahan yang ada dalam diri
Tahap 2: Seseorang menyadari perasaan negatif yang dimiliki dapat
berbahaya bagi diri
Tahap 3: Seseorang kemudian memilih untuk bertindak lebih bermanfaat
Tahap 4: Seseorang memutuskan untuk mengambil tindakan proaktif
Enright (dalam Gani, 2011) juga menjelaskan bahwa untuk dapat
memaafkan, seseorang akan melalui 4 (empat) tahapan, yaitu:
Tahap 1: Seseorang dapat mengungkap apa yang menjadi sumber
kemarahan, bagaimana menghindari dan menghadapi kemarahan,
kesadaran bahwa kemarahan berpengaruh pada kesehatan, bagaimana
yang dialami pelaku, serta melihat apakah luka yang ditimbulkan
mempengaruhi perubahan kehidupan dan cara pandang terhadap dunia.
Tahap 2: Seseorang berkeinginan untuk melakukan proses memaafkan,
kemudian memutuskan memilih untuk memaafkan.
Tahap 3: Seseorang melakukan pemaafan dengan mencoba memahami,
melakukan hal yang baik, menerima rasa sakit dengan hati yang tulus, dan
memberikan hadiah kepada pelaku berupa pemaafan tersebut.
Tahap 4: Seseorang melakukan pendalaman dengan menemukan makna
penderitaan, menemukan kebutuhan untuk memaafkan, menemukan
bahwa seseorang yang merupakan korban tidak sendirian, menemukan
tujuan hidup, dan menemukan kebebebasan memaafkan.
Smedes juga menyebutkan dalam buku Forgive and Foget (1996)
bahwa perilaku memaafkan berasal dari diri sendiri. Perilaku memaafkan
merupakan tindakan yang sangat sederhana, tetapi juga akan melibatkan
pergolakan emosi yang sangat dalam. Hal ini merupakan cara yang tersulit
dalam semua hubungan personal. Menurut Smedes (1996) untuk dapat
memaafkan orang harus dapat jujur satu dengan yang lainnya. Seseorang
harus dapat menurunkan ego masing-masing, berbicara satu dengan yang
lain dengan tenang dan dapat melihat permasalahan dengan bijak. Lewis
menambahkan terdapat 4 (empat) tahapan memaafkan, yaitu:
Tahap 1: Tahap terluka. Seseorang merasa telah terluka sangat dalam
melupakan perilaku orang tersebut. Pada situasi seperti ini seseorang
berada pada masa krisis untuk memaafkan.
Tahap 2: Tahap membenci. Seseorang tidak dapat menghilangkan ingatan
mengenai seberapa dalam dia sangat terluka. Seseorang yang telah terluka
berharap orang yang melukainya tidak dapat hidup dengan baik. Seseorang
yang telah terluka terkadang berharap orang yang telah melukainya juga
merasakaan penderitaan yang sama.
Tahap 3: Tahap penyembuhan. Seseorang dapat melihat permasalahan
yang diahadapi dengan bijak. Seseorang dapat melihat permasalahan
dengan cara dan sudut pandang yang baru. Seseorang dapat melihat
seseorang yang telah melukainya dengan sudut pandang yang lebih positif.
Ingatan seseorang mengenai rasa sakit yang dideritanya akan hilang dan
akan terbebas. Pada tahap ini seseorang memutuskan untuk memaafkan
pelanggaran yang terjadi.
Tahap 4: Tahap kembali bersama. Seseorang yang telah melalui tahap
penyembuhan, dia sudah terlepas dari rasa sakit hati dan tidak ada dendam
lagi kepada orang yang telah menyakitinya. Seseorang dapat mengundang
kembali orang yang telah menyakitinya untuk bersama-sama lagi
membangun hubungan dan rasa cinta yang baru.
Jadi, memaafkan tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi memaafkan
memiliki proses yang cukup panjang dan bertahap. Dalam penelitian ini,
peneliti akan menggunakan tahapan memaafkan menurut Smedes.
menggambarkan proses terluka ketika salah satu pasangan dalam
perkawinan mengetahui adanya perselingkuhan hingga keinginannya
untuk memaafkan dan kembali menjalani hidup bersama dengan
pasangannya.
3. Manfaat Memaafkan
Penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa memaafkan
berkaitan dengan kesehatan fisik dan kesejahteraan psikologis (Mauger et
al., 1992; Witvliet, 2001). Para peneliti membuktikan bahwa terdapat
hubungan antara memaafkan dengan kesehatan fisik. World Health
Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan
kesejahteraan antara aspek fisik, mental, dan sosial individu. Hal tersebut