PADA PENGGUNA TINDER
Tema 2: Dinamika Online Interaction
Preferensi bagi pengguna untuk swipe kanan dapat ditentukan oleh beberapa pertimbangan. Status sosial menjadi aspek yang cukup signifikan dalam presentasi diri pada partner yang diinginkan, yang ditunjukkan dari status kampus yang dijalani oleh partner Tinder. Partner dari universitas negeri favorit akan lebih besar kemungkinannya untuk di swipe kanan. Begitu
sebaliknya, pada universitas non-unggulan maka partner akan memandang rendah dan kecil intensinya untuk melakukan swipe kanan. seperti yang diungkapkan dalam kutipan 4.
“Yaa Universitasnya. Ya kayak kalau UGM, gitu-gitu tuh aku swipe-right. Ee soalnya ya buat kan awal pertamanya kan buat temen buat ngopi kan buat jadi ngobrolnya juga enak. Maksudnya kayak kalau dari Universitas kan keliatan kualitasnya UGM kan pasti hahahaha kayak ngomongnya itu yaa wawasannya luas, ya jadi kayak banyak wawasan yang Nina dapetin lagi…” (S2, W1. 73-80)
“sampe sekarang dia enggak kontak-kontak lagi. Saya juga udah enggak. Soalnya dia anak univ swasta, kalo UGM, mungkin saya masih kontak sama dia. Mungkin lo…” (S1, W2. 215-218)
“syarat utama saya dia harus dari PTN. Saya gatau kenapa, ee saya ngerasa kalau dari ee PTS kenapa yaa saya ngerasa kayak ee …” (S1, W2. 12-15)
Dalam mempresentasikan dirinya di Tinder, ada perbedaan antara subjek laki-laki dan perempuan. Subjek laki-laki memasang 8 foto profil dengan latar belakang gambar mobil dan pose yang menunjukkan kemapanannya sebagai laki-laki.
Bio yang digambarkan oleh Anton pun merupakan Bio yang sengaja dibuat secara tersirat bahwa dia memang menginginkan adanya hook-up atau mencari pasangan seks. Hal ini memang berkaitan juga dengan motivasi. Ketika motivasinya menarik lawan jenis untuk sex-fulfillment maka semaksimal mungkin subjek akan mempresentasikan dirinya sebaik mungkin agar di swipe kanan (disukai) oleh pengguna Tinder wanita, seperti yang disampaikan dalam kutipan 5.
“Apa yaa, ya pake bio, foto, foto-foto keren gitu. Yaa foto – foto kayak pejabat gitu lo. Anda tau kan kalau pejabat foto gimana, kayak lagi main golf, abis itu lagi di mobil, tipe-tipe kayak gitu lah..” (S1, W2. 276-279)
Berbeda dengan yang ditemukan pada 2 subjek perempuan dengan motivasi untuk mencari platonic relationship. Nina yang merupakan seorang model, justru tidak menampilkan dirinya sebagai seorang model. Ia takut apabila nantinya akan terjadi hal-hal yang bersifat sexual harassment. Dalam kaitannya dengan presentasi diri di dunia online, hampir sebagian besar tidak dilakukan secara jujur (Branscombe & Baron, 2016).
Setiap individu akan menyesuaikan presentasi diri yang mereka tampilkan sesuai dengan motivasi-motivasi tertentu. Untuk alasan kenyamanan, maka Nina pun hanya menampilkan 6 foto yang dianggap paling baik gayanya. Di sisi lain, Susi hanya menampilkan gambar pantai di bagian depan profilnya, kemudian ada foto setengah badan pada slide kedua fotonya. Susi mengaku tidak terlalu mempersiapkan apa-apa pada fotonya. Ia hanya menggunakan foto seadanya.
Berdasarkan kedua contoh ini, dapat terlihat bahwa tanpa sadar individu akan menampilkan citra yang ideal dibandingkan dengan kondisi mereka yang sesungguhnya. Hal ini ditekankan pula oleh Branscombe & Baron (2016) yang menyatakan bahwa dalam dunia online, profil yang ditampilkan merefleksikan “ideal self” daripada “actual self”. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang tetap ditampilkan sesuai keadaan sesungguhnya, seperti nama universitas pada bagian biodata, seperti yang dinyatakan dalam kutipan 6:
“Emm ya aku masang 8 foto sih. Aku pilih yang paling jelas sih.
Tapi Nina justru enggak pasang foto waktu modelling, karena banyak yang kenalan sama Nina itu minder sama followers Nina yang 10K itu. Karena banyak banget orang yang berniat jahat gitu kalau Nina pasang foto yang modeling gitu kan. Semua orientasinya aneh pasti, itu pasti yang Nina menghindari itu aja sih…” (S2, W1. 419-425)
“Ee terakhir itu aku cuma pake foto, kan itu bisa di swipe yah, fotonya ada 2. Satu foto tuh foto pantai, satunya lagi foto aku…”
(S3, W1. 263-266)
Kemudian untuk preferensi usia dari lawan jenis yang diminati masing-masing subjek adalah yang berusia kurang lebih 3-5 tahun di atas mereka. Mereka memiliki argumen jika berusia lebih dari rentang itu, topik pembicaraan kepada partnernya menjadi tidak komunikatif. Topiknya sudah tidak sesuai dengan mereka.
Sedangkan salah satu hal yang paling diperhatikan dalam melakukan swipe kanan di aplikasi Tinder adalah foto profil dan bio yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Model fotonya sesuai dengan yang diinginkan. Kejelasan foto, dan ketika nampak rapi akan lebih mudah menarik partner untuk melakukan swipe kanan. Subjek laki-laki lebih menyukai wanita yang secara tampang terlihat cantik, kemudian memakai pakaian yang modis, serta dari cara partner mempresentasikan bio terlihat kalau ia cerdas. Sedangkan pada 2 subjek perempuan mereka menginginkan pasangan dengan foto yang menurut subjek tampak
“rapi”. Tidak menyukai laki-laki dengan foto yang menurut mereka alay. Alay di sini dicontohkan seperti ber swafoto dengan gaya yang berlebihan. Selain itu, kesamaan minat pada musik
dan kesamaan minat lainnya juga cenderung memungkinkan untuk terjadi swipe kanan. Hal ini menunjukkan bahwa konsep homophily dapat menjadi pertimbangan dalam membangun relasi secara online. Seperti yang disampaikan Atrill (2015) bahwa homophily dilakukan untuk mempermudah perkenalan dan meningkatkan kemungkinan untuk berinteraksi dalam setting online. Kesamaan individu dapat teridentifikasi melalui biodata yang ditampilkan, mulai dari penampilan melalui foto, musik dan juga minat lainnya yang diutarakan dalam biodata, seperti yang tertulis dalam kutipan sebagai berikut:
“Ya itu tadi kan penampilan, terus foto kan. Jadi dari foto.
Udah itu aja sih hehe. Emm ya tapi kalau yang juga mendukung Nina untuk swipe-right itu ee ya playlist nya sih. Karena kalau menurut Nina tuh kalau misalkan playlistnya nyambung sama Nina gitu ya pasti nanti satu frekuensi juga omongannya sama Nina itu. Hehe..” (S2, W1. 88-94)
“Kalau mukanya kurang cakep gitu enggak saya chat. Tapi tetep saya match kan tapi enggak saya chat. Cuma match aja. Kalau cakep gitu langsung saya chat duluan. Hai dulu gitu, abis itu tanya kuliah dimana, abis itu jurusan apa, biasa basa-basi gitu.
Abis itu nanya eh minggu ini bebas gak, mau ajak jalan…” (S1, W2. 72-78)
Tahapan selanjutnya mengenai bagaimana subjek menjalin relasi ketika di dunia online atau ketika subjek melakukan online dating. Dinamika apa saja yang terjadi sehingga mereka memutuskan untuk bertemu secara offline atau secara langsung.
Pintu gerbang pembuka dari semua itu adalah match. Ketika sudah match, pengguna Tinder dan/atau partner lah yang memutuskan apakah akan dilanjutkan menjadi sebuah percakapan via chatting
atau tidak. Sapaan awal via chat ini menjadi hal yang sangat penting. Karena dari sinilah semuanya berawal.
Subjek laki-laki mengaku bahwa hampir di setiap chat, selalu dia yang mengawali chatting. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh 2 subjek wanita yang menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak pernah memulai chatting terlebih dahulu.
Sehingga dapat dikatakan bahwa laki-laki cenderung memulai chat terlebih dahulu, sedangkan wanita menunggu untuk di chat.
Setelah sapaan awal, percakapan biasanya berkembang ke basa-basi seputar pertanyaan tentang kesibukan terkini yang sedang dijalani oleh partner, hingga akhirnya melakukan ajakan untuk bertemu. seperti yang dinyatakan dalam kutipan 8.
“Yaa awalnya say hi. Abis itu nanya kuliah dimana, jurusan apa, asli mana, abis itu ya basa-basi model pertanyaan kayak gitu.
Abis itu langsung ditembak hari minggu ini kosong gak, free ndak hari apa, gitu abis itu mau nonton gak atau mau makan gak gitu..” (S1, W2. 142-146)
“Sampe chat. Ada yang numpang lewat Hi doang haha. Nge chat di luar Tinder. Em Nina ga pernah ngechat duluan yang pasti hahaha. Di chat duluan haha…” (S2, W1. 98-103)
Ketika sudah match di Tinder, untuk melakukan komunikasi lebih lanjut biasanya para pengguna Tinder menggunakan media sosial lainnya. Dalam hal ini, subjek menggunakan aplikasi khusus chatting seperti Whatsapp (WA) dan Line. Melalui kedua aplikasi ini subjek melanjutkan komunikasi yang lebih intens.
pernyataan berikut adalah kutipan 9
“…Orang – orang yang nge chat aku tuh biasanya nanyain Instagram, terus line kan. Line atau wa tapi aku biasanya kasih
iniin ke line soalnya aku lebih suka chat di line gitu. Emotnya lebih banyak hehe. Makannya aku kasih line aja..” (S2, W1.
108-113)
“Ada chat-nya dulu. Trus biasanya itu ga sih, mereka kalau ga minta Line, WA kayak gitu2. Biasanya yang aku kasih Line sih..” (S3, W1. 85-87)
Intensitas dalam melakukan kontak secara online berbeda antara yang memiliki motivasi sex fulfilment dengan yang mencari platonic friendship. Bagi Anton, yang memiliki motivasi untuk sex fulfilment, ia mengatakan bahwa dirinya tidak terlalu banyak melakukan chat yang intensif akan tetapi ia langsung melakukan approach untuk mengajak bertemu secara langsung. Ia sengaja tidak terlalu intens di online agar ketika bertemu secara langsung akan banyak hal yang bisa dibicarakan karena kehabisan topik.
Lain lagi dengan subjek perempuan dengan motivasi untuk mencari platonic relationship. Ia tidak terlalu nyaman ketika baru melakukan sedikit chat kemudian tiba-tiba langsung diajak bertemu secara langsung. Butuh waktu sekitar 1-2 minggu untuk akhirnya ia mantap untuk diajak bertemu secara langsung, seperti yang dinyatakan dalam kutipan ini:
“…proses dari ngrencanain nonton sampe nontonnya itu saya jarang ngechat yang intens gitu lo. Jadi saya yang nge chat jarang-jarang. Pas nonton, baru banyak hal yang diomongin.
Kalau nge chat duluan kan saya habis bahan obrolan ntar nanti pas ketemu..” (S1, W1. 152-159)
“..Kan ada yang kalo nge-chat pertama kali trus mereka ngajakin ketemu itu kayak apa banget sih bahkan kita belum ngobrol, lo gatau gue siapa lo siapa gitu kan. Itu pasti nggak sih, langsung di unmatched…” (S3, W1. 274-278)