• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI AL-QABḌ WA AL-BASṬ ABDUL KARIM SOROUSH

B. Dinamika Pemikiran Soroush

Dalam berbagai karya-karyanya, terlihat bahwa pemikiran Soroush tidak hanya terfokus pada satu tema. Berangkat dari penjabaran pemahaman naskah-naskah keagamaan yang fleksibel dan interpretatif, Soroush beralih pada komentar-komentar politik yang tajam tentang peran agama dalam pemerintahan negara. John Cooper mengatakan bahwa pemikiran Soroush bergeser dari pemikiran epistemologis kepada wacana yang lebih bersifat politis, seperti pemerintahan dalam masyarakat Islam atau masyarakat religius pada umumnya.22 Tulisan-tulisan dan pidatonya mengkombinasikan pengetahuannya tentang Islam yang mendalam dengan penguasaan puisi Persia yang hebat, yang menciptakan ilmu yang ditekuninya selama akhir 1970-an di Inggris memberikan kelokan analitis pada corak yang diciptakannya.23

Pergeseran pemikiran Soroush dari isu-isu teoritis menuju hal-hal yang bersifat praktis didorong oleh meletusnya Revolusi Iran. Menurut Soroush saat itu para pemimpin revolusi Iran belum benar-benar memikirkan apa yang hendak dilakukan pasca jatuhnya rezim Syah. Hal ini menyebabkan mereka pasif dalam merespon isu-isu global: ekonomi global, modernitas dan pemerintahan yang berbasis informasi dan lain-lain. Karena para pemimpin dan pendiri Iran masih percaya bahwa pemimpin yang adil dan bermaksud baik, masyarakat

22

Cooper, Batas-batas yang Sakral, 32 23 Valla Vakili, Abdul Karim, 183.

akan mengikuti jalannya secara alamiah. Sedangkan bagi Soroush hal tersebut tidak menambah kemajuan substantif. Sehingga yang dibutuhkan umat Islam Iran saat itu bukan hanya dasar-dasar teoritis melainkan juga pemecahan masalah praktis.24

Soroush mengawali pemikiran kritisnya melalui pintu epistemologi, penafsiran dan sejarah. Pemikiran Soroush bergerak dari filsafat sains (naturwissenschaften) menuju filsafat ilmu kemanusiaan (geisteswissenschaften), lalu menuju filsafat sejarah, kemudian diterapkannya dalam filsafat agama. Aplikasi filsafat sejarah terhadap ilmu-ilmu keagamaan yang dilakukan oleh Soroush bisa dilihat dari bagaimana ia menyamakan epistemologi ilmu sejarah dan ilmu keagamaan. Diantaranya :

1. Dalam lingkup / konteks pembukuan sejarah, tidak mungkin menulis sejarah secara komprehensif dan finis untuk semua zaman 2. Sejarawan dalam kerjanya memahami sejarah, ia mempengaruhi

dan terpengaruh sejarah. Sehingga ilmu sejarah adalah hasil interaksi antara sejarawan dengan riwayat sejarah. Demikian juga ilmu agama adalah hasil dari interaksi ulama agama dengan nāṣ agama.

3. Untuk mencapai al-haqīqah, ulama agama dan sejarawan sama-sama mengandalkan kemampuan kognitif.

4. Tidak semua yang diketahui oleh sejarawan dan yang didengarkan merupakan sejarah. Realita hanya akan berubah menjadi sejarah

jika sejarawan memilihnya untuk dicatat dalam ilmu sejarah. Sejarawan memasukkan sebagian dan membuang sebagian yang lain. Meskipun demikian sejarah tidaklah diciptakan oleh sejarawan. Tapi ilmu sejarahlah yang ditulis oleh sejarawan dan dipilihnya. Demikian juga ilmu agama.

5. Dalam ilmu sejarah ada 2 rukun

a. Internal : riwayat atau sanad sejarah

b. Eksternal:pengetahuan sejarawan tentang filsafat kemasyarakatan atau ilmu-ilmu lainnya yang mempengaruhi penafsiran sejarawan.

Demikian juga ilmu agama mempunyai 2 rukun; 1) Internal : al-Qur‟an dan sunnah

2) Eksternal : pengetahuan kemanusiaan25

Sedangkan penerapan filsafat sains ke dalam ilmu-ilmu keagamaan dalam pemikiran Soroush sangat terlihat dalam format teori al-qabḍ wa al-basṭ. Soroush membangun teorinya di atas landasan wāqi‟iyyah (realisme) atau aṣālah al-wāqi‟ (kemendasaran realita).26 Dimana setiap teori epistemologi realisme selalu membedakan “sesuatu” dan “ilmu tentang sesuatu” itu.27 Sehingga berbeda “agama” dengan “ilmu tentang agama” dan “ilmu agama”

25 Soroush, al-Qabḍ wa al-Basṭ, 34. 26

Soroush, al-Qabḍ wa al-Basṭ, 28. 27 Soroush, al-Qabḍ wa al-Basṭ, 29.

bukanlah “agama” itu sendiri. Poin inilah yang ditekankan Soroush dalam penggunaan logika realisme dalam ilmu agama.

Penerapan teori al-qabḍ wa al-basṭ berlanjut pada karya-karya berikutnya diantaranya: Text in Context yang diterbitkan pada tahun dalam buku bunga rampai Liberal Islam dengan judul The Evolution adn Devolution Knowledge (1999) yang diedit oleh Charles Kurzman. Kemudian buku The Expansion of Prophetic Experience. Buku ini dianggap sebagai Text in Context volume kedua. Lalu kemudian buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Nilou Mobasser dan diterbitkan pada tahun 2009 bersama tulisannya yang lain, Seratha-ye Mostaqim (Straight Paths) (1998) dan Akhlaq-e Khodayan (The Ethics of Gods) (2001), menjadi sebuah buku dengan judul The Expansion of Prophetic Experience: Essyas on Historicity, Contingency and Plurality in Religion.28 Dalam buku inilah Soroush banyak membahas tentang tema-tema yang bersinggungan dengan „ulūm al-Qur‟ān yang akan banyak diulas dalam penelitian ini. Pemikiran-pemikirannya yang teoritis dan epistemologis masih terus berlanjut hingga Iran dipimpin oleh seorang penguasa yang reformis barulah terlihat perubahan pada orientasi pemikirannya.29

28

Abdul Karim Soroush, The Expansion of Prophetic Experience:

Essyas on Historicity, Contingency and Plurality in Religion, terj. Nilou

Mobasser, (Boston: Brill, 2009), xii. 29

Karya-karya Soroush yang lain bisa diakses di official website Soroush, drsoroush.com.

Dalam beberapa tahun terakhir setelah terpilihnya Presiden Mohammad Khatami30 tahun 1997, orientasi kritik Soroush mulai bergeser. Ruang dialog menjadi lebih terbuka dengan mulai diperkenalkannya konsep-konsep kritis seperti pluralisme, demokrasi, aspirasi masyarakat, aturan hukum, dan masyarakat sipil oleh Presiden Khatami.31 Naiknya Presiden Khatami menandai dibukanya ruang diskursif yang baru, panggung kritis menjadi lebih terbuka, lugas dan berani menggantikan kepelikan dan kekaburan yang terjadi sebelumnya. Masa pemerintahan Khatami menjadi angin segar bagi Soroush untuk menyebarkan pemikirannya. Periode inilah yang menjadi titik pangkal pergeseran pemikiran Soroush, dari teoretis menuju praksis. Dimana Soroush sangat menyadari bahwa gagasannya tentang demokrasi beragama dan pluralisme pemahaman harus “difasilitasi” oleh negara dan yang paling ideal untuk mewujudkannya adalah negara dengan sistem pemerintahan demokrasi.32

30

Mohammad Khatami adalah presiden Iran yang kelima, terpilih pada pemilu 23 Mei 1997 kemudian terpilih kembali pada pemilu 8 Juni 2001. Setelah itu ia digantikan oleh Mahmud Ahmadinejad. Khatami dikenal sebagai presiden reformis pertama di Iran karena dalam kampanyenya yang memfokuskan pada penegakan hukum, demokrasi dan pencakupan seluruh rakyat Iran dalam perencanaan politik. Selain itu Khatami juga menjanjikan peningkatan status perempuan Iran dan menerima aspirasi para pemuda Iran. https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Khatami diakses tanggal 12 April 2017 jam 12.22.

31 Valla Vakili, Abdul Karim, 184. 32

Dalam buku Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, Soroush menjelaskan bahwa syarat utama untuk merealisasikan demokrasi adalah pembebasan manusia dari kebutuhan elementer hidup. Demokrasi bisa