• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1.

Mengetahui lebih mendalam tentang teori al-qabḍ wa al-basṭ Abdulkarim Soroush.

2.

Mengetahui bagaimana implementasi teori al-qabḍ wa al-basṭ terhadap „ulūm al-Qur‟ān.

3.

Mengetahui bagaimana implikasi teori al-qabḍ wa al-basṭ terhadap „ulūm al-Qur‟ān.

Adapun manfaat teoritis-akademis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Menambah literatur, wawasan dan khazanah keilmuan akademis dalam bidang ilmu al-Qur‟an dan tafsir, khususnya tentang pemikiran Abdul Karim Soroush.

2. Hasil penelitian ini bisa digunakan rujukan dari akademisi tafsir yang ingin mengupas lebih dalam tentang pemikiran Abdulkarim Soroush terutama wacana „ulūm al-Qur‟ān-nya. D. Kerangka Teori

1. ‘Ulūm al-Qur’ān Sebagai Produk Pemikiran

Istilah „ulūm al-Qur‟ān sekilas hampir sama dengan ilmu tafsir. Istilah ilmu tafsir akan langsung mengarah pada metodologi untuk menggali makna yang terkandung dalam al-Qur‟an. Sementara „ulūm al-Qur‟ān mempunyai cakupan lebih luas dari metodologi menafsirkan ayat.

Dalam Manahil „Irfān fi „Ulūm Qur‟ān al-Zarqani menjelaskan definisi „ulūm al-Qur‟an secara iḍāfīy adalah ilmu-ilmu yang menunjukkan segala sesuatu yang berhubungan dengan al-Qur‟an baik itu yang berupa diskripsi ataupun konfirmasi apa yang telah menjadi pilihannya untuk menunjukkan lafal ilmu dalam pengetahuan publik yang telah mapan. Sehingga ilmu-ilmu tersebut tidak bisa hanya berupa satu ilmu saja, tetapi harus berupa sekumpulan ilmu–ilmu yang digunakan dalam proses memahami al-Qur‟an dan juga yang disandarkan kepadanya. Nashrudin Baidan (2000) mengartikan „ulūm al-Qur‟ān adalah ilmu-ilmu Allah yang tertuang di dalam mushaf. Akan tetapi dalam prosesnya pemahamannya kemudian dibutuhkanilmu-ilmu lain, seperti: asbāb al-nuzūl, ilmu qira‟at, ilmu muḥkam-mutasyābīh, ilmu munāsabāt, ilmu makky-madany dan lain-lain. Karena banyak kajian ilmu yang dibahas itulah para ulama kemudian menggunakan lafal jamak dari „ilm yaitu „ulūm.

Sayyid Thanthawi (2013) berpendapat bahwa tema pokok „ulūm al-Qur‟ān adalah al-Qur‟an itu sendiri dilihat dari berbagai macam aspek yakni uraian yang terkait dengan ayat dan surat al-Qur‟an, makky-madany, asbāb al-nuzūl dan lain sebagainya.

Dengan demikian maka cakupan „ulūm al-Qur‟an menjadi sangat luas. Al-Zarkasyi (1957) dalam al-Burhān fī

„Ulūm al-Qur‟ān mengatakan bahwa „ulūm al-Qur‟ān mempunyai makna yang tidak berbatas dan tidak berujung, hanya bisa dicapai sebatas kemampuan manusia saja. Menurut Abu Bakar ibn „Arabi, sebagaimana yang dikutip oleh Zarkasyi, berpendapat bahwa jumlah „ulūm al-Qur‟ān adalah 77.450, dimana jumlah itu adalah hasil dari jumlah kosakata dalam al-Qur‟an yang dikalikan empat, karena setiap kata dalam al-Qur‟an mempunya empat dimensi; ẓāhir, bāṭin, hadd dan maqṭa‟. Karena cabang-cabang „ulūm al-Qur‟ān yang begitu banyak, kemudian Ibnu „Arabi mengklasifikasikannya menjadi tidak; tauḥīd, al-tażkīr. Al-tauhīd adalah kajian „ulūm al-Qur‟ān yang membahas tentang pengetahuan-pengetahuan ilahiah beserta ciptaan, sifat, nama-nama dan perbuatan-Nya. Al-tażkīr adalah kajian „ulūm al-Qur‟ān yang membahas tentang janji dan ancaman (al-wa‟d wa al-wa‟īd ), surga, neraka, dan sifat ẓāhir dan bāṭin dan penjelasan hukum-hukum taklifiy seluruhnya dan penjelasan tentang manfaat dan maḍārat-nya serta perintah, larangan serta anjurannya.

Berkenaan dengan pemilahan kajian-kajian „ulūm al-Qur‟ān Aksin Wijaya (2009) mengutip dari Amin Khulli (2002) mengklasifikannya menjadi dua bagian: pertama, hhal “sekitar” Qur‟an, kedua, hhal “seputar” al-Qur‟an. Bagian pertama terbagi dua bagian. pertama khusus, yang mempunyai hubungan dekat dengan al-Qur‟an dalam

rentang sejarahnya yang panjang selama 23 tahun, pembahasan tentang asbāb al-nuzūlinya, pengumpulan dan pembukuannya, qira‟ahnya, berikut istilah-istilah yang berkembang sekitar abad keenam hijriah, yang dikenal dengan „ulūm al-Qurān dan sebagainya; kedua umum yang mempunyai hubungan agak jauh dengan al-Qur‟an. Kemudian yang umum ini terbagi lagi menjadi dua bagian: material dan maknawi, yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan dengan kehidupan masyarakat Arab. Bagian kedua, terbagi menjadi tiga bagian lagi: pertama, kosakata (mufradāt); ia menyangkut makna awal dan makna perkembangan, kedua, maknanya dalam al-Qur‟an; ketiga, struktur (tarkīb ), gramatika (naḥwu ) dan retorika (balāgah).

Sedangkan Subhi Sholih (2000) dalam kitabnya Mabāḥīṡ fī „Ulūm al-Qur‟ān menempatkan „ulūm al-Qur‟an menjadi satu bab pembahasan tersendiri, terpisah dari bab Qurān wa waḥyu dan tārīkh Qur‟ān. Bab „ulūm Qur‟ān berisi tentang sejarah „ulūm Qur‟ān, asbāb al-nuzūl, fawātih al-suwār, ilmu qirā‟ah, nāsikh-mansūkh, rasm uṡmāni, makky-madany dan muḥkam-mutasyābih. Kemudian Subhi Sholih menempatkan al-tafsīr wa al-i‟jāz pada bab berikutnya. Dari ini bisa disimpulkan bahwa yang dimasukkan dalam bab „ulūm al-Qur‟ān adalah yang ilmu-ilmu yang berhubungan dengan internal teks.

Dari berbagai perbedaan ulama dalam klasifikasi „ulūm al-Qur‟ān nampak sebagai produk pemikiran „ulūm al-Qur‟an tidak memiliki batasan konkret. „Ulūm al-Qur‟an tidak selalu berkaitan metode penafsiran atau pemaknaan teks. Bisa jadi ilmu-ilmu itu bukanlah metode penafsiran akan tetapi secara epistemologi mempengaruhi pemahaman terhadap teks. salah satunya adalah tentang pemahaman ontologi al-Qur‟an. Pemahaman Nasr Hamid Abu Zaid bahwa al-Qur‟an adalah muntāj al-ṡaqafiy akan mempengaruhi bagaimana ia memaknai teks al-Qur‟an. Demikian juga kesimpulan Amin Khulli bahwa al-Qur‟an adalah kitab sastra terbesar33 juga mempengaruhi pemilihan pendekatan yang digunakan untuk mengungkap makna teks.

2.

‘Ulūm al-Qur’ān Sebagai Ilmu Tafsir

„Ulūm al-Qur‟ān sebagai ilmu tafsir berarti telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang tersendiri, yang mempunyai kaidah-kaidah tersendiri yang berbeda dari disiplin-disiplin ilmu yang lainnya. Dalam konteks ini, pengertian „ulūm al-Qur‟ān tidak lagi terbatas sebagai yang terkandung dalam istilah di atas, tetapi mempunyai batasan yang jelas dan tegas serta kaedah metodologi tertentu yang dapat membedakannya dari disiplin ilmu yang lain. „Ulūm al-Qur‟ān dalam pengertian kedua inilah yang dimaksud

33

Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur‟an Ibnu Rusyd: Kritik

dengan ilmu tafsir atau sekarang lebih sering dikenal sebagai hermeneutika al-Qur‟an, yakni sebuah disiplin ilmu yang dibutuhkan seseorang dalam proses penafsiran kitab suci al-Qur‟an.