• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI AL-QABḌ WA AL-BASṬ ABDUL KARIM SOROUSH

C. Teori al-Qabḍ wa al-Basṭ (The Contraction and Expansion

3. Muḥkam-Mutasyābih

Secara jelas Al-Qur‟an menyebutkan bahwa diantara ayat-ayatnya ada yang muḥkam dan ada pula yang mutasyābih dalam surat Ali Imron [3]: 7;

“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muḥkamāt, itulah pokok-pokok isi Al qur´an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyābihāt” (QS: Ali Imran [3]: 7)

Keberadaan keduanya jelas, namun menurut Soroush tidak pernah tercapai kesepakatan mana sajakah muḥkam dan yang mutasyābih. Beberapa kalangan berpendapat bahwa huruf-huruf yang menjadi pembukaan surat itulah ayat-ayat mutasyābih, sedang lainnya muḥkam. Sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa

hanya ayat-ayat mengenai praktek ibadah dan mu‟āmalah yang muḥkam. Ada juga yang berpendapat bahwa hanya ayat-ayat mansūkh saja yang mutasyābihāt dan masih ada pendapat lainnya. Tidak ada perbedaan bahwa dalam al-Qur‟an terdapat ayat-ayat muḥkam-mutasyābih, namun perbedaan itu muncul ketika menentukan ayat-ayat manakah yang muḥkam dan manakah yang mutasyābih.

Menurut Soroush secara ontologi tidak ada sesuatu yang benar-benar muḥkam-mutasyābih dalam dirinya, perbedaan klasifikasi muḥkam-mutasyābih adalah wilayah epistemologi atau hermeneutik. Perbedaan menentukan keduanya sangat bergantung pada wacana penafsir. Label muḥkam dan mutasyābih-nya suatu ayat bukanlah ketetapan (given) dari Allah, melainkan mufassir yang menyematkannya.120 Keberadaan mutasyābih dalam al-Qur‟an adalah sesuatu yang melekat dalam teks, muncul dalam konteks interpretasi dan tidak mutlak milik al-Qur‟an saja. Soroush menilai bahwa semua teks, khususnya yang diwahyukan, harus dipandang mengandung muḥkam dan mutasyābih yang eksistensinya merupakan sebab dan efek nyata dari qabḍ wa al-basṭ ilmu pengetahuan agama.121 Bukan saja dalam al-Qur‟an,

120

Soroush,“The Changeable and the Unchangeable”, New Directions

in Islamic Thought Exploring Reform and Muslim Tradition, ed.Kari Vogt

dkk, (London-New York: I.B.Tauris, 2009), hal.13. 121

Sorous, Abdolkarim, 2003, “Evolusi dan Devolusi Pengetahuan Keagamaan”, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer tentang

melainkan juga sunnah, yurisprudensi, dan bahkan interpretasi sejarah, al-qabḍ wa al-basṭ menyebabkan katerogi muḥkam-mutasyābih tidak berlaku selamanya. Sebuah ayat tidak selamanya menjadi muḥkamāt atau selamanya menjadi mutasyābih.122 Karena penyematan kategori muḥkam-mutasyābih akan bergantung kepada al-qabḍ wa al-basṭ pengetahuan penafsir karena ia adalah bagian dari proses pemahaman.

Al-Qur‟an sendiri tidak pernah menunjukkan manakah ayat yang muḥkam dan manakah mutasyābih. Sejarah Islam justru menunjukkan bahwa setiap ayat al-Qur‟an pernah diduga mutasyābīh dan ini juga menjadi bukti bahwa kesemuanya itu bertunas dari karakteristik interpretasi dan dari pengandaian para penafsirnya.123 Bagi Soroush semua ayat akan selalu terbuka untuk menerima “label” muḥkam-mutasyābih, karena al-Qur‟an hanya menjelaskan muḥkamāt sebagai umm al-kitāb, dengan sisanya adalah mutasyābih.

Sebagaimana semua ayat yang terbuka untuk menjadi muhkam-mutasyābih, maka mereka juga akan selalu terbuka untuk ditafsirkan. Bagi Soroush, baik al-Qur‟an dan hadits Nabi sendiri membiarkan dirinya menjadi multi-tafsir. Ia mempunyai tabir yang berlapis, jika dibuka satu tabir maka masih nampak tabir lain

Isu-isu Global, ed.Charles Kurzman, terj.Bharul Ulum & Heri Junaidi,

Jakarta: Paramadina. Hal 420 122

Soroush, Reason, Freedom, 35.

dibawahnya. Alasan utamanya adalah bahwa realitas itu multi-layered dan ketika bahasa mencoba menampilkan realita maka ia pun akan menjadi multi-layered.124 Soroush mengatakan bahwa “texts are actually and intrinsically ambiguous (mutasyābih)”.125

. Semua teks pada dasarnya mutasyābih. Mereka dimuat dengan makna yang berbeda. Karena dengan begitu teks bisa memunculkan berbagai penafsiran.

Menurut Soroush proses sebuah teks menjadi mutasyābihat adalah dimulai ketika penulis menggunakan sebuah frase untuk menyampaikan sebuah makna, dia mengerti satu makna dari frase tersebut kemudian dia jadikan dasar teks yang dibangunnya, meskipun bisa saja frase itu mempunyai arti yang lainnya.126 Maka ketika pembaca datang kepada teks tersebut bisa saja ia menggunakaan makna yang lain. Sehingga semua teks bisa menjadi mutasyābih.

Contohnya dalam kisah raja Sulaiman dalam al-Qur‟an [2:102]127 Thabathaba‟i menuliskan bahwa ada 1.020.600

124 Soroush, The Expansion, 120. 125

Soroush, The Expansion, 176. 126 Soroush, The Expansion, 177. 127

Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak

interpretasi yang berbeda dari ayat ini. Ada relasi antara “the thing it self” dan “the thing for us” Pada level pemahaman kita (the thing for us) akan menghadapi begitu banyak pemahaman, sementara pada level “the thing is self”, dengan susunan yang ambigu (mutasyābih) ia membiarkan dirinya mempunyai arti yang berbeda-beda.128

“The thing for us” yang berbeda-beda “berkolaborasi” “the thing it self” yang mempunyai susunan yang ambigu (mutasyābih) menghasilkan dunia makna yang plural. Sehingga bagi Sorouh, mungkin manusia bisa mendapati “makna yang benar/ correct meaning” tetapi tidak akan pernah mendapati “makna yang sesungguhnya/ the true meaning”. Karena menurut Soroush tidak ada yang namanya “makna yang sesungguhnya”.

“that a text does not necessarily have a single meaning. In the realm of the texts, there is no such things as “truth” in the sense of correspondence with the author‟s intention”.129

"Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui ( Al-Baqarah [2]: 102).

128

Soroush, The Expansion, 176. 129 Soroush, The Expansion, 177.

Bagi Soroush Allah lah yang menghendaki al-Qur‟an mempunyai banyak arti. Bukan karena ketidaksempurnaan, tapi memang begitu hukum Tuhan dalam menciptakan bahasa. Allah menciptakan segala sesuatu dengan karakteristik tertentu dan kualitas inherent. Misalnya perbedaan kualitas inherent ini seperti yang ditunjukkan oleh setan, kerusakan, dan ketidaksempurnaan. Sama dengan bahasa. Singkatnya Tuhan menggunakan sebuah alat yang secara inherent samar dan pasti mengandung ambiguitas, sekalipun digunakan oleh Tuhan. Dan Tuhan tahu jika makhluknya akan datang dengan berbagai macam interpretasi. Sehingga kita bisa mengatakan bahwa semua itulah yang diinginkan oleh Tuhan. Allah tidak menghendaki menunjukkan mana-mana yang muḥkam dan mutasyābih adalah agar terdapat banyak penafsiran. Karena pluralisme penafsiran sebagai kerja kolektif inilah yang Tuhan inginkan.