• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

D. Dinamika Perbedaan

Sekolah selain tempat mentransfer ilmu pengetahuan juga dapat berperan serta dalam menumbuh kembangkan religiositas anak didik. Terkait dengan hal itu di Indonesia setidaknya ada dua jenis sekolah yang dapat menjadi pilihan orang tua untuk mempercayakan anaknya mendapat pendidikan sekaligus mengembangkan religiositasnya. Kedua jenis sekolah tersebut diantaranya sekolah umum dan sekolah berbasis agama. Sekolah umum dalam hal ini adalah sekolah negeri yang berlaku untuk semua golongan, agama, dan lebih berfokus pada peningkatan akademis anak didiknya. Kedua adalah sekolah berbasis agama, dalam hal ini adalah sekolah Katolik. Sekolah Katolik mempunyai ciri khas sendiri dibandingkan sekolah umum. Sejak tahun 1988 Kongregasi suci untuk Pendidikan Katolik menegaskan bahwa yang membedakan sekolah Katolik dengan sekolah lain adalah dimensi religiusnya (Majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung Semarang, Komisi Kataketik KAS, 2001).

Salah satu ciri sekolah Katolik diwujudkan dalam penanaman tradisi-tradisi Katolik yang disadari atau tidak oleh siswa, diterapkan di sekolah-sekolah Katolik. Tradisi tersebut terkait dengan sejarah agama, seperti tokoh-tokoh dalam agama atau orang-orang kudus (Konferensi Waligereja Indonesia, 1996). Penanaman tradisi ini diantaranya melalui simbol-simbol di agama Katolik, seperti adanya salib, patung orang kudus atau gambar rohani di lingkungan sekolah (Bagiyowinadi, 2006). Selain itu penanaman tradisi dalam bentuk aktifitas juga dilaksanakan. Intensitas yang tinggi untuk selalu bersentuhan dengan hal-hal yang terkait dengan religiositas cenderung dapat menambah pengetahuan siswa tentang agama Katolik, selain itu juga dapat menanamkan ideologi Katolik ke siswa. Ji dan Boyatt (2007) mengemukakan bahwa sekolah Katolik dilihat mempunyai penanaman doktrin yang kuat dan praktik keagamaan yang teratur. Sebaliknya sekolah umum minim atau mungkin tidak ada penanaman tradisi Katolik sama sekali, maka siswa cenderung kurang mengenal tradisi-tradisi Katolik. Hal ini memungkinkan cenderung pula kurangnya pengetahuan dan penanaman ideologi agama ke siswa.

Kegiatan keagamaan Katolik yang teratur menjadi bagian dari sekolah Katolik (Ji dan Boyatt, 2007). Kegiatan yang sifatnya harian atau berkala ini diwujudkan dalam perayaan sakramental di sekolah, doa-doa setiap hari sebelum dan sesudah pelajaran, juga adanya retret atau rekoleksi. Kegiatan keagamaan ini dapat memperbaharui, menyegarkan, dan mengembangkan iman (Hardjana, 1993). Selain itu dengan mengalami dan membiasakan diri dengan kegiatan-kegiatan keagamaan maka akan semakin mudah pula seseorang merasa memiliki

iman (Bagiyowinadi, 2006). Siswa yang semakin memiliki iman yang kuat, akan cenderung meningkat pula ritual keagamaan serta penghayatan terhadap agamanya. Lebih lanjut menurut Hardjana (1993) dengan mengikuti kegiatan atau perayaan keagamaan, seseorang dapat mengambil “hikmah” sehingga mendorong untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Romo FX. Didik Bagiyowinadi, Pr mengungkapkan menyekolahkan anak (Katolik) disekolah umum atau sekolah negeri memang lebih riskan ditinjau dari perkembangan iman anak. Ungkapan ini tidak berlebihan karena pada kenyataannya banyak faktor yang kurang mendukung pengembangan iman remaja Katolik di sekolah umum. Hal senada diungkapkan Suyanto (dalam Azizah, tanpa tahun) yang menyatakan bahwa sekolah umum mempunyai pelajaran yang lebih menitik beratkan pada segi akademis dan kurang menekankan pada pengetahuan dan pengalaman agama dibandingkan dengan sekolah yang berbasis agama. Sedikitnya kegiatan keagamaan Katolik di sekolah umum akan cenderung mengarah pada berkurangnya ritual keagamaan siswa.

Remaja akan cenderung membangun relasi yang intensif dengan teman sebaya karena penerimaan oleh teman sebaya menjadi sangat penting bagi remaja (Gunarsa, 2004). Dalam berelasi muncul pula gejala konformitas. Konformitas dapat berfungsi positif yaitu membantu proses pembentukan identitas diri remaja (Gunarsa, 2004; Monks, Knoers, Haditono, 2004). Melalui konformitas remaja akan mengadopsi sikap, perilaku, dan hal-hal positif dari teman atau ketua kelompok yang mempengaruhi perkembangan dirinya selanjutnya. Pada sekolah Katolik mayoritas siswanya beragama Katolik. Banyaknya teman satu iman akan

membawa pengaruh positif bagi religiositas siswa itu sendiri. Melalui teman satu iman akan mempermudah mereka saling sharing iman atau saling menguatkan misalnya bersama-sama ke gereja, modeling atau konformitas terhadap teman-temannya sehingga ikut aktif di kegiatan gereja. Hal ini memungkinkan bertambahnya pengetahuan agama siswa dari teman sekolahnya juga meningkatnya ritual keagamaan siswa karena pengaruh dari teman.

Di SMA/K Negeri khususnya di pulau Jawa siswa yang beragama Katolik jumlahnya cenderung sangat sedikit dibandingkan siswa beragama Islam. Siswa Katolik yang bersekolah di sekolah negeri adalah kaum minoritas di lingkungan majemuk atau dilingkungan mayoritas. Situasi yang demikian bila tidak hati-hati bisa mengendorkan kepercayaan dan keyakinan iman si anak (Bagiyowinadi, 2006). Dalam situasi ini sebagai minoritas memungkinkan remaja menjadi

minder terhadap keyakinannya, atau terpengaruh keyakinan yang berbeda sehingga penghayatan terhadap agama mereka menurun.

Baberapa tahun terakhir sekolah-sekolah Katolik mulai mengadakan mata pelajaran baru atau pengganti yaitu “Pendidikan Religositas” yang tidak ada pada sekolah-sekolah negeri. Mata pelajaran ini mempunyai tujuan agar siswa mampu melihat kebaikan Allah kepada diri sendiri, sesama dan lingkungan, sehingga dengan menyadari hal itu tumbuh kepedulian siswa dalam hidup bermasyarakat serta menumbuhkembangkan kerjasama lintas agama dengan semangat persaudaraan sejati. (Komisi Kataketik Keuskupan Agung Semarang, Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Semarang, 2009). Keistimewaan pelajaran ini yaitu akan sangat membantu siswa Katolik dalam mengaplikasikan iman Katolik dalam

kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan sesama. Glock (dalam Paloutzian, 1996) mengungkapkan bahwa seseorang yang semakin peduli terhadap sesama sebagai aplikasi iman kepercayaannya menunjukkan tingkat religiositasnya cenderung tinggi. Bagaimana dengan sekolah umum? Sekolah umum minim sekali atau mungkin tidak ada pelajaran religiositas, hal ini memungkinkan siswa cenderung kurang mengetahui tindakan iman sesuai agamanya, sehingga aplikasi iman dalam kehidupan sehari-hari juga cenderung kurang.

Kondisi dan porsi yang berbeda ini, berpengaruh pada perbedaan tingkat religiositas antara siswa sekolah negeri dan sekolah Katolik. sekolah Katolik mendapat porsi lebih banyak dalam hal waktu, cara, dan kesempatan dibandingkan sekolah negeri untuk mengembangkan religiositas siswa yaitu dalam berbagai bentuk kegiatan atau pengkondisian. Berangkat dari hal ini tentu saja sangat dimungkinkan siswa sekolah Katolik mempunyai kecenderungan tingkat religiositasnya lebih tinggi dibandingkan siswa sekolah negeri.

Dokumen terkait