i
PERBEDAAN RELIGIOSITAS ANTARA SISWA KATOLIK DI SEKOLAH UMUM DENGAN SEKOLAH KATOLIK
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Program Studi Psikologi
Oleh:
Novian Tri Gunawan NIM: 079114090
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv HALAMAN MOTTO
"
Tidak ada yang perlu dikawatirkan ketika kita
benar-benar bersandar pada Kasih Tuhan”.
Jesus i believe in You
v
Karya ini aku persembahkan untuk……….
Tuhan kekasih jiwaku,
Keluargaku,
dan semua orang yang membutuhkannya….
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah saya sebutkan
dalam kutipan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 15 Juli 2011
Penulis
vii
PERBEDAAN RELIGIOSITAS ANTARA SISWA KATOLIK DI SEKOLAH UMUM DENGAN SEKOLAH KATOLIK
Novian Tri Gunawan
ABSTRAK
viii
RELIGIOSITY DIFFERENCE BETWEEN CATHOLIC STUDENTS IN PUBLIC SCHOOLS WITH CATHOLIC SCHOOL
Novian Tri Gunawan
ABSTRACT
This aim of research to look at different levels of religiosity between Catholic students in public schools with Catholic schools. The hypothesis of the research was that Catholic students who study in Catholic schools, the religiosity was higher than Catholic students in public schools. Researchers was take the hypothesis because notice any differences between the two situations and conditions on that school. Catholic schools have more portions in the planting of the Catholic tradition and religious activities than public schools. The subjects of research were 100 last teens Catholic students of high school, was consist of 50 students who study in public schools and 50 students study in Catholic schools. The instrument used was the scale of religiosity. The scale had items sorting by tryouts so there were 29 items with 0,926 alpha reliability coefficient. The result of data analisis gained significance 0.102 (p >0,05). It means there was no difference in the level of religiosity between public school students and Catholic schools. It also indicated that the hypothesis of the research, that the Catholic students who study in Catholic schools, the religiosity was higher than Catholic students in public schools was rejected.
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Novian Tri Gunawan
Nomor Mahasiswa : 079114090
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
PERBEDAAN RELIGIOSITAS ANTARA SISWA KATOLIK DI SEKOLAH UMUM DENGAN SEKOLAH KATOLIK
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media
lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 16 Juli 2011
Yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Bapa maha kasih yang telah memberikan segala
rahmat yang saya perlukan untuk menyelesaikan karya ini. Sebuah kebahagiaan
bagi saya dapat berterimakasih kepada orang-orang yang turut berkarya dalam
hidup saya khususnya mereka yang telah membantu selesainya studi saya dan
penelitian ini :
1. Bapa di surga dan Tuhan Yesus yang memberikan keajaiban setiap
hari dalam hidup saya dan semua manusia.
2. Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
3. Ibu Titik selaku Kaprodi, tolong bantu buk semoga bimbingan skripsi
(klasikal informal) seperti bimbingan pak Heri tetap ada, karena
membantu sekali untuk mahasiswa.
4. Y. Heri Widodo, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik sekaligus
pembimbing skripsi, terima kasih telah membantu “menunda” saya
berhenti kuliah pada awal semester, terimakasih juga telah
mengorbankan waktunya untuk membimbing saya dan teman-teman
menulis skripsi.
5. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, MS. dan Bapak C. Wijoyo
Adinugroho, S. Psi selaku dosen penguji skripsi, yang telah
membimbing dan memberikan masukan untuk menyempurnakan
karya sederhana ini.
6. Segenap dosen Fakultas Psikologi yang telah berbagi ilmu dan
pengetahuannya selama saya menempuh studi di Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
7. Bp. Aufridus Atmadi yang telah mensupport dan membantu saya
xi
8. Teman-teman fakultas Psikologi, Lanang, Riko, Cicil, Yani, teman
satu payung Krisen dan “Power Rangers Skripsi”: Bondhan, Avi,
Krisna, Hayu…tengkyu prend telah banyak berbagi.
9. Ibu Lestari Prodjosuto, ibu Yulia, dan Yayasan Aulia yang telah
memberi saya kesempatan untuk bisa bekerja sambil kuliah.
10. Bapak, ibu, Nenek, Kakek yang selalu mendukung dengan doa-doa
dan harapan-harapan untuk tidak putus asa.
11. Fr. Deddy, Anjar, Danang, Rino, Vita, bulik, om Tiok semua saudara
dan sahabat-sahabatku yang membantu dalam bentuk apaun.
12. Agnes istriku tercinta, yang membantu dan mendukung dengan
“secangkir teh cintanya”
13. Si kecil Riean yang sering “mengganggu” dan berebut laptop
denganku saat mengerjakan skripsi…” Le…kalo skripsiku sudah jadi
kamu bisa ngegame sepuasnya…”
14. Semua pihak yang tidak bisa penulis tulis satu persatu. Terimakasih
semuanya.
Semoga kasih Bapa selalu menyertai kalian semua………
Penulis,
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii
HALAMAN PENGESAHAN ...iii
HALAMAN MOTTO ...iv
HALAMAN PERSEMBAHAN...v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...vi
ABSTRAK...vii
ABSTRACT ...viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...ix
KATA PENGANTAR ...x
DAFTAR ISI ...xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN...xviii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 10
xiii
1 Pengertian Remaja ... 10
2 Ciri-ciri Remaja Akhir... 10
3 Tugas Perkembangan Remaja Akhir ... 11
4 Perkembangan Religiositas Remaja ... 12
B. Religiositas... 14
1 Pengertian Religiositas... 14
2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiositas ... 17
3 Riset-Riset Terkait Religiositas ... 18
C. Jenis Sekolah ... 20
1 Sekolah Umum ... 20
1.1 Pengertian Sekolah Umum ... 20
1.2 Religiositas di Sekolah Umum ... 20
2 Sekolah Berbasis Agama Katolik ... 21
2.1 Pengertian Sekolah Berbasis Agama Katolik ... 22
1.2 Religiositas di Sekolah Katolik ... 23
D. Dinamika Perbedaan ... 24
E. Hipotesis ... 28
F. BAGAN DINAMIKA PERBEDAAN ... 29
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN... 30
A. Jenis Penelitian... .30
B. Variabel Penelitian ... .30
C. Definisi Operasional... .30
xiv
E. Sampling ...32
F. Metode dan Alat Pengambilan Data ...32
G. `Kredibilitas Alat Ukur ...34
1 Estimasi Validitas ...34
2 Seleksi Item...35
3 Estimasi Reliabilitas...35
4 Hasil Uji coba Skala Religiositas...35
H. Uji Asumsi ... .36
1 Uji Normalitas...36
2 Uji Homogenitas ... .36
I. Analisis Data... .36
1 Uji Hipotesis ...36
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... .37
A. Pelaksanaan Penelitian... .37
B. Data Demografi Subjek Penelitian... .38
C. Uji Asumsi ... .38
1 Uji Normalitas...38
2 Uji Homogenitas ...39
D. Hasil Penelitian ... .39
1 Uji Hipotesis ...39
2 Hasil Diskriptif...39
xv
BABV KESIMPULAN DAN SARAN ... .46
A. Kesimpulan... .46
B. Saran ... .46
DAFTAR PUSTAKA ... .47
xvi
DAFTAR TABEL
1. Blue Print Skala Religiositas... 33
2. Tabel Skala Religiositas Hasil Seleksi Item...33
3. Tabel Skor Jawaban Subjek Pada Skala Religiositas... 34
4. Tabel Data Subjek ...38
xvii
DAFTAR GAMBAR
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Skala ... 51
1.1 Skala Religiositas Tryout ... 52
1.2 Skala Religiositas (Setelah Seleksi Item dan Proporsional) ... 60
Lampiran 2 : Hasil Analisis Aitem Dan Reabilitas... 63
2.1 Reliabilitas Skala Religiositas 80 Item ... 63
2.2 Reliabilitas Skala Religiositas 29 Item ... 66
Lampiran 3 : Hasil Uji Asumsi ... 67
4.1 Uji Normalitas... 67
4.2 Uji Homogenitas ... 67
Lampiran 4 : Hasil Uji Hipotesis dan Hasil Diskriptif... 68
4.1 Uji Hipotesis ... 68
4.2 Hasil Deskriptif ... 68
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak orang seringkali bertanya pada dirinya sendiri atau orang lain
tentang tujuan hidup mereka, tentang apa makna hidup mereka, tentang spirit
atau roh apa yang mampu memberi tuntunan pada arah hidup mereka, serta
pertanyaan yang mendasar lainnya. Jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan itu tentu saja sangat beragam. Meskipun jawaban setiap orang
tidak selalu sama, namun ketika seseorang mampu memahami makna, tujuan,
dan arah hidup, maka akan tumbuh semangat dan harapan pada hidup yang
dijalaninya. Hal ini tidak mengherankan sebab menurut Frankl (dalam
Schultz, 1991), jika seseorang tidak berjuang menemukan kebermaknaan
hidup maka ia akan mengalami kehampaan hidup. Dalam menghadapi
kehampaan hidup, Trulear (dalam Santrock, 2007a) mengungkapkan bahwa
religiositas adalah salah satu sarananya. Menurut Trulear religiositas
memberikan berbagai jawaban dan tuntunan mengenai tujuan, makna, dan
arah hidup bagi banyak orang termasuk juga bagi remaja.
Religiositas sendiri menurut Gazalba (dalam Ghufron, Risnawita,
2010) berasal dari kata religi dalam bahasa latin “religio” yang akar katanya
adalah religure yang berarti mengikat. Lebih lanjut Gazalba mengungkapkan religiositas pada umumnya memiliki aturan dan kewajiban yang harus
individu atau kelompok dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia,
dan alam sekitarnya. Sementara itu Mgr.Ignasius Suharyo (dalam Komisi
Kataketik Keuskupan Agung Semarang, 2009) mengatakan bahwa religiositas
adalah relasi manusia dengan Allah, manusia dengan sesama, manusia dengan
alam, dan manusia dengan dirinya sendiri. Pendapat lain diungkapkan Tom
Jacobs (dalam Swastanti, 2007) bahwa religiositas merupakan iman personal
yang diungkapkan dalam agama dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sumber dari agama adalah religiositas, untuk itu dalam prakteknya,
religiositas sulit dilepaskan dari agama. Religiositas sendiri lebih mengarah
pada agama yang di anut seseorang untuk itu pada penelitian ini lebih spesifik
di pilih salah satu agama yaitu Katolik.
Religiositas mempunyai peran penting dalam kehidupan seseorang,
yaitu membantu memahami bagaimana cara seseorang hidup dan mengalami
kehidupan (Zimbardo dalam Swastanti, 2007). Religiositas penting bagi
berbagai tingkatan usia, mulai sebagai peneguh ketika seorang lanjut usia
menghadapi fase kematian, sebagai pedoman dan harapan ketika seorang
dewasa sedang menghadapi kesulitan hidup, hingga menstabilkan prilaku serta
menawarkan perlindungan dan rasa aman, khususnya bagi remaja yang sedang
mencari eksistensi dirinya seperti yang dikemukakan oleh Adam & Gullota
(dalam Sarwono, 2005).
Dalam perkembangan remaja, religiositas merupakan bagian penting
bagi jiwa mereka (Sarwono, 2005). Remaja membutuhkan religiositas sebagai
Ghufron, Risnawita, 2010). Remaja memang perlu mengetahui makna hidup
mereka. Hal ini seperti dijelaskan oleh tokoh kepribadian sehat Frankl (dalam
Schultz, 1991), yang mengemukakan bahwa ketika seseorang mampu
menemukan makna hidup, maka orang tersebut dapat memilih, mengontrol,
dan bertanggung jawab terhadap nasib dan kehidupan mereka. Sejalan dengan
hal itu tokoh psikologi eksistensial Rollo May (dalam Feist dan Feist, 2009)
juga mengatakan bahwa penyakit yang banyak diderita pada zaman modern
ini adalah kehampaan atau non being. Lebih lanjut menurut May, seseorang
yang mengalami kehampaan maka saat itu ia kehilangan alasan untuk
menjadikan dirinya sebagai sesuatu yang berharga, mereka tidak memiliki
arah hidup sehingga tanpa tujuan atau target ia akan menjadi sakit dan mulai
terlibat dalam berbagai macam perilaku yang menghancurkan serta merugikan
dirinya.
Remaja yang mengalami kekosongan biasanya akan mencari
kesenangan semu yang mengarah pada prilaku yang merugikan dirinya
sendiri. Sebagai pelarian dari kesepian dan ketidakmampuan menemukan
makna hidup maka tidak sedikit dari mereka yang berpaling ke hal-hal negatif
seperti alkohol, obat-obatan terlarang, dan hal-hal erotis (Komisi Pendidikan
Konferensi Waligereja Indonesia, Majelis Nasional Pendidikan Katolik,
1991). Untuk membantu menemukan makna hidup remaja sehingga
mengurangi kemungkinan remaja terlibat dalam hal-hal negatif, mereka perlu
Para peneliti telah menemukan bahwa religiositas memiliki berbagai
dampak positif bagi remaja, salah satunya mampu menjadi benteng dari
hal-hal yang bersifat negatif. Religiositas penting bagi remaja sebab kuat
lemahnya religiositas remaja akan mempengaruhi kemungkinan remaja
terjerumus dalam obat-obatan terlarang (Jessor dalam Bahr, Maughan,
Marcos, dan Li, 1998). Hal ini didukung oleh penelitian longitudinal yang
dilakukan oleh Jessor selama 3 tahun, bahwa remaja yang memiliki
religiositas yang tinggi cenderung tidak memakai narkoba dan sebaliknya
remaja yang memiliki religiositas rendah cenderung memakai narkoba.
Penelitian Jessor ini konsiten dengan penelitian Bahr et al. (1998) yang berhasil mengidentifikasi bahwa semakin besar religiositas remaja, semakin
kecil kemungkinan seorang remaja akan menggunakan alkohol, ganja, atau
amfetamin dan depresi. Sementara itu penelitian Longest dan Vaisey (2008)
memperkuat penemuan sebelumnya tentang narkoba dan religiositas.
Penelitian ini menemukan bahwa remaja yang memiliki religiositas dengan
mengidentifikasi sebagai seorang pengikut agama, kecil kemungkinannya
menggunakan ganja dibandingkan mereka yang mengidentifikasi dirinya
sebagai remaja yang tidak religius.
Di Indonesia sendiri Badan Litbang Agama dan Diklat keagamaan,
Departemen Agama Republik Indonesia melakukan penelitian mengenai
penanggulangan dan penyalahgunaan narkoba dengan pendekatan religiositas.
Hasilnya dari 57 responden Madrasah Aliyah, 96,45% yakin bahwa nilai-nilai
terjerumus pada narkoba. Penelitian lain yaitu dari YCAB tahun 2005 pada
11.593 pelajar di 200 SMU dan SMK se DKI Jakarta menyimpulkan bahwa
religiositas menjadi faktor pencegah signifikan seseorang menggunakan
narkoba dibandingkan faktor-faktor lain. Sebanyak 14,2% responden mengaku
tidak menggunakan narkobadengan alasan karena larangan agama.
Religiositas begitu penting bagi kehidupan remaja remaja seperti telah
diungkapkan diatas, untuk itu kita perlu meneliti faktor apa yang mempunyai
peran signifikan dalam pengembangan religiositas. Banyak faktor yang terkait
dengan perkembangan religiositas seseorang, menurut Thouless (dalam
Azizah, tanpa tahun) mengungkapkan setidaknya ada empat faktor yang
mempengaruhi perkembangan religiositas. Faktor pertama adalah faktor
intelektual, yaitu menyangkut proses pemikiran verbal terutama dalam
pembentukan keyakinan-keyakinan agama. Kedua adalah faktor pengalaman,
yaitu pengalaman yang membangun sikap religius. Ketiga adalah faktor
kebutuhan diantaranya kebutuhan untuk memperoleh keamanan, cinta kasih,
harga diri dan kebutuhan yang timbul karena adanya kematian. Faktor
keempat adalah faktor sosial meliputi semua pengaruh sosial diantaranya
pendidikan dan pengajaran dari orang tua, tradisi-tradisi dan tekanan sosial.
Pada penelitian ini akan menyoroti faktor sosial, yaitu pendidikan dan
pengajaran khususnya di sekolah. Sekolah merupakan salah satu faktor yang
mendukung perkembangan religiositas karena sekolah adalah tempat dimana
segala sesuatu, serta diajarkan tentang masalah moral (Heawood dalam
Azizah, tanpa tahun).
Di Indonesia setidaknya ada 2 jenis sekolah yang terkait dengan hal itu
yaitu sekolah umum dan sekolah berbasis agama. Sekolah umum adalah suatu
lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi
pelajaran, yang sifatnya menyeluruh, tidak untuk hal-hal yang khusus atau
tertentu saja. Sekolah ini berlaku untuk semua golongan dan agama. Tujuan
sekolah umum diungkapkan oleh Drost (1998), yaitu membentuk manusia
mulia yang berkepribadian menuju kedewasaan dan berpendidikan umum
sehingga dapat langsung melanjutkan keperguruan tinggi atau langsung
mencari tempat di masyarakat agraris, perdagangan, perindutrian,
kepegawaian, dan sebagainya. Pada penelitian ini sekolah umum diwakili oleh
sekolah negeri yang tidak berasaskan agama tertentu. Sekolah yang kedua
adalah sekolah berbasis agama. Pada sekolah ini agama menjadi latar
belakang berdirinya sekolah dan menjadi dasar dalam sistem pendidikan serta
kegiatan-kegiatan di sekolah. Misi dan visi sekolah berbasis agama terkait
pada asas agama tertentu yang “dianut” sekolah, sehingga mempengaruhi
kondisi dan situasi sekolah.
Pada penelitian ini sekolah berbasis agama lebih spesifik pada sekolah
Katolik. Kitab Hukum Kanonik, (1999) (Kan.803.1) menyatakan definisi
sekolah Katolik ialah:
Sekolah berbasis agama seperti sekolah Katolik memberikan
pengetahuan dan pengalaman agama yang lebih banyak dibandingkan sekolah
umum yang lebih berfokus pada segi akademis (Suyanto dalam Azizah, tanpa
tahun). Sementara itu secara spesifik Romo FX. Didik Bagiyowinadi, Pr
seorang pastor Katolik dari Keuskupan Agung Malang mengungkapkan nilai
plus sekolah Katolik, yaitu pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu
pengetahuan terlebih membantu anak atau kaum muda berkembang
seutuhnya. Hal ini karena sekolah Katolik mempunyai kekhasan. Kekhasan itu
di ungkapkan dalam pedoman pendidikan Katolik yaitu dalam Gravissimus Educationis. Kekhasan itu diwujudkan oleh sekolah-sekolah Katolik dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan Katolik seperti bina
iman berupa rekoleksi, retret, serta perayaan sakramental seperti misa
sekolah, penerimaan sakramen tobat, dan lain-lain (Bagiyowinadi, 2006).
Selain itu ada bentuk-bentuk penanaman kebudayaan Katolik seperti doa
Rosario pada Mei dan Oktober, serta perayaan Paskah dan Natal. Sekolah
berbasis agama seperti sekolah Katolik selain porsi kegiatan keagamaan lebih
banyak, intensitas siswa untuk berelasi dengan simbol-simbol keagamaan di
sekolahpun cukup tinggi.
Berbeda dengan sekolah Katolik, pada sekolah umum,
kegiatan-kegiatan yang sifatnya pendidikan Katolik relatif lebih sedikit. Minimnya
pendidikan Katolik salah satunya karena kurang adanya dukungan dari
sekolah (Bagiyowinadi, 2006). Lebih lanjut menurut Bagiyowinadi di sekolah
lingkungan yang mayoritas atau di lingkungan yang serba majemuk. Situasi
demikian bila tidak hati-hati dapat mengendorkan religiositas anak. Sebagai
minoritas memungkinkan remaja menjadi minderterhadap keyakinannya, atau
terpengaruh keyakinan yang berbeda sehingga penghayatan terhadap agama
mereka menurun.
Perbedaan situasi yang demikian sangat memungkinkan adanya
perbedaan religiositas siswa di kedua sekolah tersebut. Pada penelitian ini
peneliti ingin melihat perbedaan tingkat religiositas antara siswa Katolik yang
bersekolah di sekolah Katolik dengan siswa Katolik bersekolah di sekolah
umum. Penelitian tentang religiositas ini cukup penting, karena religiositas
sendiri terbukti mempunyai peran yang signifikan dalam kehidupan remaja,
khususnya menjadi benteng bagi remaja dalam menghadapi pengaruh negatif
dari lingkungan seperti narkoba. Terkait dengan perkembangan religiositas
tersebut, peneliti ingin melihat apakah jenis sekolah mempunyai peran yang
signifikan dalam pengembangan religiositas siswanya. Bila terbukti salah satu
jenis sekolah mempunyai peran signifikan, tentu saja perlu perhatian lebih,
dalam upaya menjaga dan mengembangkan hal-hal yang telah dilakukan
sekolah dalam rangka meningkatkan religiositas siswanya.
B. Rumusan Masalah
Peneliti ingin menggali apakah ada perbedaan religiositas antara siswa
Katolik yang bersekolah di sekolah berbasis agama Katolik dengan siswa
C. Tujuan Penelitian
Peneliti ingin mendapatkan data empiris yang menunjukkan adanya
ada perbedaan religiositas antara siswa Katolik yang bersekolah di sekolah
berbasis agama Katolik dengan siswa Katolik yang bersekolah di sekolah
umum.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Menambah kepustakaan penelitian mengenai tingkat religiositas
remaja dengan basis sekolah yang berbeda sehingga dapat membantu dan
mengembangkan penelitan-penelitan selanjutnya dengan tema yang terkait
dengan religiositas.
2. Manfaat Praktis
Membantu para orang tua untuk mengarahkan anak-anaknya
memilih sekolah yang tepat terkait dengan pentingnya religiositas anak.
Membantu sekolah untuk melihat hal-hal penting yang mampu
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Remaja
1. Pengertian Remaja
Remaja atau adolescene berasal dari kata Latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence, mempunyai arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Remaja
merupakan masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang penuh gejolak,
tekanan serta perubahan (Hurlock, 1990). Lebih lanjut Hurlock membedakan
usia perkembangan remaja dibagi menjadi 2 periode yaitu: awal (13-16/16
tahun) dan akhir (16/17-18 tahun). Sementara WHO (dalam Sarwono, 2005)
juga membagi tahapan perkembangan remaja menjadi 2 yaitu remaja awal
(10-14th) dan remaja akhir (15-20 th). Dalam penelitian ini subyek yang dipilih
adalah mereka yang berada pada usia remaja akhir.
2. Ciri-ciri Remaja Akhir
Menurut Hurlock (1990) masa remaja sering disebut juga masa ambang
dewasa karena pada masa ini remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang
dihubungkan dengan status dewasa, dengan tujuan agar dianggap dewasa oleh
lingkungannya. Oleh karena itu banyak diantara mereka mulai mencoba
merokok, mengkonsumsi alkohol, menggunakan obat-obat terlarang, dan
terlibat dalam prilaku seksual. Semua ini untuk membentuk citra yang mereka
inginkan. Remaja juga lebih sering merasa nyaman bersama kelompok sebaya
dipengaruhi oleh teman sebaya dari pada keluarga. Penerimaan teman sebaya
sangat penting bagi remaja di samping itu teman sebaya merupakan tempat
berbagi pengalaman dan perasaan (Gunarsa, 2004). Lebih lanjut menurut
Gunarsa gejala Konformitas muncul dalam relasi remaja yaitu tekanan dari
kelompok sebaya baik nyata atau tidak sehingga ia mengadopsi sikap dan
perilaku orang lain baik teman sebayanya atau ketua kelompok. Bagi remaja
konformitas dapat berfungsi positif yaitu membantu proses pembentukan
identitas diri yang positif (Gunarsa, 2004; Monks, Knoers, Haditono, 2004).
Ciri khas lain remaja akhir menurut Windradiri (tanpa tahun) yaitu:
kestabilan bertambah, lebih matang dalam menghadapi masalah, keterlibatan
orang dewasa dalam hidupnya berkurang, ketenangan emosional bertambah,
lebih realistis, seta lebih banyak perhatian pada lambang-lambang kematangan
seperti merokok, minum-minuman keras dan lain-lain. Lebih lanjut menurut
Windradiri hal yang menjadi kebahagiaan remaja akhir yaitu ketika mereka
dapat menyesuaikan diri secara baik dengan dirinya sendiri, lingkungan
sekitarnya dan dengan Tuhan. Hal tersebut diantaranya diwujudkan dalam
terpenuhinya kebutuhan kasih sayang, penerimaan oleh lingkungan dan mampu
berprestasi.
3. Tugas Perkembangan Remaja Akhir
Menurut Hurlock (1990), Ada berbagai tugas perkembangan remaja
akhir yang harus dipenuhi, beberapa diantaranya adalah:
1. Mencapai kemandirian secara emosional.
3. Memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja
4. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan dan kehidupan
keluarga
5. Mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual untuk
tercapainya kompetensi sebagai warga negara
6. Menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat
dipertanggungjawabkan secara sosial
7. Memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman
perilaku.
4. Perkembangan Religiositas Remaja
Remaja merupakan salah satu tingkatan usia yang dalam masa
perkembangannya erat terkait dengan religiositas (Santrock, 2007a). Menurut
Sarwono (2005) religiositas merupakan bagian penting bagi jiwa remaja.
Banyak remaja menaruh minat pada religiositas dan menganggap religiositas
berperan penting dalam kehidupan, namun tidak sedikit remaja yang mulai
meragukan konsep dan keyakinan akan religiositasnya, yang sering di tafsirkan
sebagai “keraguan religius” (Hurlock, 1990). Lebih lanjut menurut Hurlock
remaja yang meragukan konsep keyakinannya bukan karena ingin menjadi
atheis melainkan ingin menerima sesuatu yang bermakna, berdasarkan
keinginan mereka. Remaja yang lebih sedikit mengunjungi tempat ibadah dan
mengikuti kegiatan agama lebih menunjukkan remaja yang kecewa pada sesuatu
lebih banyak memberikan komentar yang mengungkapkan kebebasan, makna,
dan harapan ketika membuat penilaian religius (Santrock, 2007b).
Furter (dalam Monk, 2004) mengungkapkan bahwa remaja akhir berarti
remaja telah memahami nilai-nilai, dan tidak hanya memperoleh pengertian saja
melainkan juga dapat menjalankannya. Sejalan dengan perkembangan
intelektualnya remaja sudah mampu menginternalisasi penilaian moral dan
ajaran agama menjadi nilai pribadi.
James Fowler mengajukan enam tahap perkembangan religiositas yang
merujuk teori perkembangan Erikson, Piaget, Kohlber (dalam Santrock, 2007a):
1. Tahap iman intuitif-proyektif (masa kanak-kanak awal). Anak menemukan gambaran intuitif sendiri mengenai yang baik dan yang jahat dan mulai
percaya malaikat dan hal-hal gaib.
2. Iman mistis-literal (masa kanak-kanak pertengahan dan akhir). Anak mulai bernalar logis, konkret, namun tidak abstrak. Pandangan mereka
tentang Tuhan sangat menyerupai gambaran mereka mengenai orang tua
yang memberikan hadiah untuk kebaikan yang dilakukan dan hukuman
untuk keburukan yang dilakukan.
3. Iman sintetis-konvensional (transisi antara masa kanak-kanak dan remaja, remaja awal) Anak-anak mulai mengintegrasikan hal-hal yang pernah dipelajari mengenai agama ke dalam suatu system yang koheren. Benar
salahnya prilaku ditinjau apakah prilaku itu membahayakan relasi atau apa
sebuah relasi pribadi dengan Tuhan. Tuhan dipandang sebagai sosok yang
“selalu ada untukku”
4. Iman induktif-reflektif (transisi masa remaja dan masa dewasa, dewasa awal).Tahap ini pertama kali individu mulai bertanggung jawab terhadap keyakinan religiusnya, dalam hal ini orang muda mulai bertanggung jawab
terhadap kehidupannya sendiri dan mereka memperluas usahanya untuk
mengikuti rangkaian kehidupan tertentu.
5. Iman Konjugtife (masa dewasa pertengahan) Menyadari keterbatasan orang mulai terbuka terhadap paradoks dan mengandung berbagai sudut
pandang yang bertolak belakang.
6. Iman universal (masa dewasa pertengahan atau masa dewasa akhir)
merupakan transendensi dari keyakinan tertentu untuk mencapai
penghayatan kesatuan dengan semua keberadaan dan komitmen untuk
mengatasi berbagai rintangan yang memecah belah. Peristiwa yang
menimbulkan konflik tidak dipandang sebagai paradok. Hanya sedikit
orang yang dapat mencapai tahap ini.
Menjadi remaja menurut Furter (dalam Swastanti, 2007) berarti
memahami nilai-nilai, namun tidak hanya memperoleh pengertian saja
melainkan juga dapat menjalankannya.
B. Religiositas
1. Pengertian Religiositas
Religiositas menurut Gazalba (dalam Ghufron, Risnawita, 2010) berasal
yang berarti mengikat. Religiositas pada umumnya memiliki aturan dan
kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemeluknya. Hal itu
berfungsi untuk mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam
hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya. Pengertian
lain religiositas yang dikemukakan oleh Hardjana (2005), yaitu perasaan dan
kesadaran akan hubungan dan ikatan kembali manusia dengan Allah karena
manusia dapat mengenal serta mengalami kembali Allah, dan percaya
kepada-Nya. Sementara itu Majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung Semarang,
Komisi Kataketik Keuskupan Agung Semarang, (2001) mendefinisikan
religiositas sebagai kemampuan manusia untuk melihat kebaikan Allah dalam
sesama sehingga menumbuhkan persaudaraan sejati, sikap saling mencintai,
saling mengharapkan, cinta lingkungan dan lain-lain demi kesejahteraan
bersama. Dalam kehidupan sehari-hari religiositas lebih mengarah pada sikap
beragama seseorang seperti yang diungkapkan Tom Jacobs (dalam swastanti,
2007), religiositas merupakan iman personal yang diungkapkan dalam agama
dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak pemaknaan religiositas oleh tokoh-tokoh di Indonesia, diantaranya
dalam Pendidikan Religiositas oleh Komisi Kataketik Keuskupan Agung
Semarang, setidaknya ada tiga tokoh yang menyampaikan pemahamannya
tentang religiositas. Mgr. Ign. Suharyo, mengatakan bahwa religiositas adalah
relasi manusia dengan Allah, manusia dengan sesama manusia, manusia dengan
alam, dan manusia dengan dirinya sendiri. Sementara itu Nurcholis Madjid
kedalaman tertentu yang menyentuh emosi dan jiwa manusia, atau
kebermaknaan hidup. Tidak jauh berbeda YB. Mangun Wijaya menegaskan
bahwa religiositas cenderung melihat segala sesuatu yang berhubungan dengan
lubuk hati, getaran hati nurani pribadi, serta sikap personal.
Religiositas sangat berhubungan dengan agama, sebab sumber dari
agama adalah religiositas (Hardjana, 2005). Menurut Hardjana dari religiositas
muncul agama yang memiliki empat unsur utama yaitu: dogma atau ajaran;
ibadat atau kultus; moral atau etika; lembaga atau organisasi. Dalam praktek
kehidupan sehari-hari agama sulit dilepaskan dari religiositas. Kepercayaan
terhadap dogma agama, ritual keagamaan, dan prilaku keagamaan merupakan
perwujudan dari religiositas.
Menurut Glock (dalam Paloutzian, 1996), ada lima aspek dalam
religiositas, yaitu:
1. Religious Belief (Dimensi Ideologi / Keyakinan), aspek ini berkaitan dengan tingkatan sejauh mana seseorang meyakini ajaran agamanya serta
mengakui hal-hal yang dogmatik dalam agamanya. Misalnya keyakinan
akan sifat-sifat Tuhan, adanya malaikat, surga, para nabi, dan lain
sebagainya.
2. Religious Practice(Dimensi ritual), aspek ini berkaitan dengan tingkatan sejauh mana seseorang menjalankan kewajiban-kewajiban ritual
agamanya, seperti mengikuti misa di gereja, puasa, shalat, dan lain-lain.
perasaan atau pengalaman keagamaan. Misalnya mengalami perasaan
dekat dengan Tuhan, tersentuh membaca ayat-ayat kitab suci.
4. Religious Knowledge (Dimensi Intelektual), aspek ini berkaitan sejauh mana orang mengetahui dan memahami ajaran agamanya terutama dalam
kitab suci, hadist, Injil, dan lain sebagainya.
5. Religious Effect (Dimensi konsekuensial), aspek ini melihat sejauh mana prilaku seseorang di motivasi oleh ajaran agamaya dalam kehidupan
sosial, yaitu hubungan dengan dunia dan sesama. Misalnya mendermakan
harta, menjenguk orang sakit dan lain-lain.
Berdasarkan uraian di atas dalam penelitian ini religiositas didefinisikan
sebagai suatu ikatan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, sesama,
lingkungan, dan dirinya sendiri yang diungkapkan dalam agama dan diwujudkan
melalui keyakinan seseorang terhadap ideologi agamanya, melakukan ritual
agamanya, menghayati dan mempunyai pengetahuan terhadap agamanya, serta
prilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiositas
Menurut Thouless (dalam azizah, tanpa tahun) ada empat faktor yang
mempengaruhi perkembangan religiositas, yaitu:
1. Faktor sosial, meliputi semua pengaruh sosial diantaranya pendidikan dan
pengajaran dari orang tua, tradisi-tradisi dan tekanan sosial. Hal ini
mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap religius,
sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang
disepakati lingkungan.
2. Faktor pengalaman, diantaranya pengalaman-pengalaman yang
membangun sikap religiositas seperti pengalaman konflik moral atau
pengalaman emosional.
3. Faktor kebutuhan, diantaranya untuk memperoleh keamanan, cinta kasih,
harga diri dan kebutuhan yang timbul karena adanya kematian.
4. Faktor intelektual, diantaranya yang menyangkut proses pemikiran verbal
terutama dalam pembentukan keyakinan-keyakinan agama. Tiap orang
mempunyai religius berbeda karena proses pemikiran verbal yang
berbeda-beda pula tiap orang.
3. Riset-Riset Terkait Religiositas
Bahr, Maughan, Marcos, dan Li (1998) melakukan penelitian tentang
keluarga, religiositas, dan risiko penggunaan narkoba remaja. Penelitian ini
dimulai sejak tahun 1994 menggunakan sampel 13.250 remaja di Amerika. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang mempunyai religiositas yang
tinggi cenderung untuk tidak menggunakan obat atau untuk memiliki teman
dekat yang menggunakan narkoba. Penelitian ini juga menemukan bahwa remaja
yang cenderung memiliki religiositas, ia mempunyai ikatan yang kuat juga
dengan ibu. Selain itu ditemukan hubungan positif antara ikatan ayah-remaja dan
tingkat religiositas, namun hubungan ini lebih lemah dibandingkan hubungan
Penelitian lain yang dilakukan Bahr dan Hoffman (2008) tentang
religiositas, relasi teman sebaya, dan penggunaan obat-obatan terlarang pada
remaja di Utah, Amerika Serikat menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda.
Penelitian ini menemukan bahwa Remaja yang religius cenderung untuk tidak
merokok, menggunakan alkohol, dan menggunakan ganja dibandingkan remaja
yang tidak religius. Religiositas individu cenderung mampu mengurangi
pengaruh penggunaan narkoba pada responden yang merokok, minum berat, dan
menggunakan ganja tetapi tidak untuk pengguna obat terlarang lainnya.
Penelitian ini juga menemukan remaja yang bersekolah di sekolah-sekolah yang
religius kecil kemungkinannya untuk merokok dibandingkan remaja di
sekolah-sekolah yang rendah religiositasnya.
Penelitian Longest & Vaisey (2008) pada tahun 2002 hingga 2005
memperkuat penemuan sebelumnya tentang kaitan religiositas dengan narkoba
pada remaja. Pada penelitian yang melibatkan 3.290 remaja usia 13-17 tahun di
Amerika Serikat ditemukan bahwa remaja yang mempunyai religiositas dengan
mengidentifikasi sebagai seorang pengikut agama, kecil kemungkinannya
menggunakan ganja dibandingkan mereka yang mengidentifikasi dirinya sebagai
remaja yang tidak religius. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa remaja
yang memahami arti penting agama, kecil kemungkinan terpengaruh
penggunaan ganja atau mariyuana.
Sementara itu Ji dan Boyatt (2007) melakukan penelitian mengenai
agama dan sekolah paroki, pada lima sekolah di California Selatan. Pada
menyekolahkan anaknya pada sekolah Katolik di paroki agar anaknya
mendapatkan doktrin yang kuat dan praktik keagamaan yang teratur. Para orang
tua ini memilih sekolah-sekolah tersebut agar anak-anak mereka selain
memperoleh keunggulan akademik juga mendapatkan pendidikan agama. Selain
itu para orang tua berpendapat bahwa sekolah-sekolah Katolik cenderung
sebagai sekolah yang aman dan bebas narkoba.
Penelitian tentang prilaku moral dan religiositas siswa berlatar belakang
pendidikan umum dan agama di lakukan oleh Azizah pada tahun 2005. Pada
penelitian ini ia melibatkan 146 anak SMP kelas VIII yang terbagi atas 76 anak
dari sekolah umum dan 70 anak dari Sekolah Islam (MTsN). Hasil penelitian ini
menunjukkan adanya perbedaan prilaku moral yang signifikan antara siswa
berlatar belakang pendidikan umum dengan siswa yang berlatar belakang
pendidikan agama, yaitu siswa yang berlatar belakang pendidikan umum lebih
tinggi dibandingkan siswa yang belatar belakang pendidikan agama. Disamping
itu hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan religiositas antara siswa
yang berlatar belakang pendidikan umum dengan siswa yang belatar belakang
pendidikan agama.
C. Jenis Sekolah
1. Sekolah Umum
1.1 Pengertian Sekolah Umum
Kata “sekolah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima
menyeluruh, tidak menyangkut hal yang khusus (tertentu) saja. Sekolah
umum dapat diartikan sebagai suatu lembaga untuk belajar dan mengajar
serta tempat menerima dan memberi pelajaran, yang bersifat menyeluruh
untuk semua golongan dan agama, tidak secara spesifik berasaskan faham
atau agama tertentu saja. Pada penelitian ini, siswa sekolah umum diwakili
oleh siswa-siswi dari sekolah negeri yang tidak spesifik berasaskan pada
agama tertentu seperti MTsN atau MAN. Sekolah ini di antaranya sekolah
yang didirikan oleh instasi pemerintah untuk anak didik dari semua agama
dan golongan yaitu SMU N atau SMK N (Sekolah Menengah Umum Negeri
atau Sekolah Menengah Kejuruan Negeri). Menurut Drost (1998), tujuan
sekolah umum adalah membentuk manusia mulia yang berkepribadian
menuju kedewasaan dan berpendidikan umum sehingga dapat langsung
melanjutkan keperguruan tinggi atau langsung mencari tempat di
masyarakat agraris, perdagangan, perindutrian, kepegawaian, dan
sebagainya.
1.2 Religiositas di Sekolah Umum
Sekolah umum mempunyai visi dan misi yang lebih menitik
beratkan pada tujuan peningkatan akademis siswa, dibandingkan
penanaman nilai-nilai religiositas. Untuk itu mata pelajaran umum lebih
banyak porsinya dari pada pelajaran yang bersifat religiositas. Demikian
pula dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat religius lebih sedikit
dibandingkan kegiatan-kegiatan yang bersifat akademis seperti ektra
yang menyatakan bahwa sekolah umum mempunyai pelajaran yang lebih
menitik beratkan pada segi akademis dan kurang menekankan pada
pengetahuan dan pengalaman agama dibandingkan dengan sekolah yang
berbasis agama. Dibandingkan dengan sekolah Katolik, di sekolah negeri
memang ada pelajaran agama Katolik yaitu 2 jam setiap minggunya, tanpa
ada atau minim sekali kegiatan agama serta pengkondisian-pengkondisian
seperti di sekolah Katolik termasuk tidak adanya penanaman tradisi-tradisi
Katolik.
2. Sekolah Berbasis Agama Katolik
2.1 Pengertian Sekolah Berbasis Agama Katolik
Sekolah berbasis agama adalah sekolah yang dalam latar belakang
berdirinya sekolah, salah satu agama menjadi asasnya. Oleh karena itu misi
dan visi sekolah tersebut terkait dengan agama yang “dianut” sekolah,
sehingga mempengaruhi sistem pendidikan, kegiatan-kegiatan, serta situasi
sekolah. Pada sekolah Katolik, agama Katolik menjadi latar belakang
berdirinya sekolah. sehingga sistem pendidikan, kegiatan sekolah serta
situasi sekolah terkait erat dengan hal-hal yang bersifat Katolik.
Kitab Hukum Kanonik (1999) (Kan.803.1) menyatakan definisi
sekolah Katolik ialah:
2.2. Religiositas di Sekolah Katolik
Sekolah katolik mempunyai ciri khas dan harapan-harapan untuk
mewujudkan sekolah yang religius diantaranya dalam Kitab Hukum
Kanonik Kan. 803.2 ditegaskan bahwa pengajaran dan pendidikan harus
berdasarkan asas-asas ajaran Katolik; hendaknya pengajar unggul dalam
pengajaran yang benar dan hidup yang baik. Baik secara hukum gereja
ataupun dalam prakteknya. Sekolah Katolik dibimbing otoritas gerejawi
diantaranya melalui Komisi Pendidikan Konferensi Waligereja Indonesia
Majelis Nasional Pendidikan Katolik, yang memberi arahan dalam
pendidikan di sekolah Katolik. Sekolah Katolik memiliki kekhasan yang
dikatakan dalamGravissimus Educationisyaitu:
“menciptakan lingkungan hidup sekolah yang dijiwai semangat Injil, kebebasan dan cinta kasih, membantu kaum muda supaya dalam mengembangkan kepribadian mereka sekaligus berkembang sebagai ciptaan baru…mengarahkan seluruh kebudayaan manusia akhirnya kepada pewartaan keselamatan, sehingga pengetahuan yang berangsur-angsur diperoleh para siswa tentang dunia, kehidupan, dan manusia disinari oleh terang iman”.
Kekhasan ini diwujudkan oleh sekolah-sekolah Katolik dalam
kegiatan-kegiatan di sekolah, diantaranya bina iman berupa rekoleksi, retret,
Kegiatan lain yang sifatnya berkala diantaranya perayaan sakramental di
sekolah seperti penerimaan sakramen tobat, misa khusus angkatan setiap
bulannya atau misa Jumat pertama (Bagiyowinadi, 2006). Aktivitas dan
doa-doa yang menjadi ciri khas Katolik juga tidak lepas dilaksanakan di
berdoa Bapa Kami di awal ataupun di akhir pelajaran. Bagiyowinadi juga
mengungkapkan sekolah Katolik mempunyai penanaman tradisi Katolik
seperti berdoa Malaikat Tuhan pada jam 12 siang, doa Rosario pada Mei
dan Oktober, serta perayaan Paskah dan Natal. Intensitas siswa untuk
berinteraksi dengan simbol-simbol agama Katolik juga cukup tinggi
misalnya adanya salib dalam ruang kelas dan gambar-gambar rohani atau
tokoh-tokoh Katolik di sekolah.
D. Dinamika Perbedaan
Sekolah selain tempat mentransfer ilmu pengetahuan juga dapat berperan
serta dalam menumbuh kembangkan religiositas anak didik. Terkait dengan hal
itu di Indonesia setidaknya ada dua jenis sekolah yang dapat menjadi pilihan
orang tua untuk mempercayakan anaknya mendapat pendidikan sekaligus
mengembangkan religiositasnya. Kedua jenis sekolah tersebut diantaranya
sekolah umum dan sekolah berbasis agama. Sekolah umum dalam hal ini adalah
sekolah negeri yang berlaku untuk semua golongan, agama, dan lebih berfokus
pada peningkatan akademis anak didiknya. Kedua adalah sekolah berbasis agama,
dalam hal ini adalah sekolah Katolik. Sekolah Katolik mempunyai ciri khas
sendiri dibandingkan sekolah umum. Sejak tahun 1988 Kongregasi suci untuk
Pendidikan Katolik menegaskan bahwa yang membedakan sekolah Katolik
dengan sekolah lain adalah dimensi religiusnya (Majelis Pendidikan Katolik
Salah satu ciri sekolah Katolik diwujudkan dalam penanaman
tradisi-tradisi Katolik yang disadari atau tidak oleh siswa, diterapkan di sekolah-sekolah
Katolik. Tradisi tersebut terkait dengan sejarah agama, seperti tokoh-tokoh dalam
agama atau orang-orang kudus (Konferensi Waligereja Indonesia, 1996).
Penanaman tradisi ini diantaranya melalui simbol-simbol di agama Katolik,
seperti adanya salib, patung orang kudus atau gambar rohani di lingkungan
sekolah (Bagiyowinadi, 2006). Selain itu penanaman tradisi dalam bentuk
aktifitas juga dilaksanakan. Intensitas yang tinggi untuk selalu bersentuhan
dengan hal-hal yang terkait dengan religiositas cenderung dapat menambah
pengetahuan siswa tentang agama Katolik, selain itu juga dapat menanamkan
ideologi Katolik ke siswa. Ji dan Boyatt (2007) mengemukakan bahwa sekolah
Katolik dilihat mempunyai penanaman doktrin yang kuat dan praktik keagamaan
yang teratur. Sebaliknya sekolah umum minim atau mungkin tidak ada
penanaman tradisi Katolik sama sekali, maka siswa cenderung kurang mengenal
tradisi-tradisi Katolik. Hal ini memungkinkan cenderung pula kurangnya
pengetahuan dan penanaman ideologi agama ke siswa.
Kegiatan keagamaan Katolik yang teratur menjadi bagian dari sekolah
Katolik (Ji dan Boyatt, 2007). Kegiatan yang sifatnya harian atau berkala ini
diwujudkan dalam perayaan sakramental di sekolah, doa-doa setiap hari sebelum
dan sesudah pelajaran, juga adanya retret atau rekoleksi. Kegiatan keagamaan ini
dapat memperbaharui, menyegarkan, dan mengembangkan iman (Hardjana,
1993). Selain itu dengan mengalami dan membiasakan diri dengan
iman (Bagiyowinadi, 2006). Siswa yang semakin memiliki iman yang kuat, akan
cenderung meningkat pula ritual keagamaan serta penghayatan terhadap
agamanya. Lebih lanjut menurut Hardjana (1993) dengan mengikuti kegiatan atau
perayaan keagamaan, seseorang dapat mengambil “hikmah” sehingga mendorong
untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Romo FX. Didik Bagiyowinadi, Pr mengungkapkan menyekolahkan anak
(Katolik) disekolah umum atau sekolah negeri memang lebih riskan ditinjau dari
perkembangan iman anak. Ungkapan ini tidak berlebihan karena pada
kenyataannya banyak faktor yang kurang mendukung pengembangan iman remaja
Katolik di sekolah umum. Hal senada diungkapkan Suyanto (dalam Azizah, tanpa
tahun) yang menyatakan bahwa sekolah umum mempunyai pelajaran yang lebih
menitik beratkan pada segi akademis dan kurang menekankan pada pengetahuan
dan pengalaman agama dibandingkan dengan sekolah yang berbasis agama.
Sedikitnya kegiatan keagamaan Katolik di sekolah umum akan cenderung
mengarah pada berkurangnya ritual keagamaan siswa.
Remaja akan cenderung membangun relasi yang intensif dengan teman
sebaya karena penerimaan oleh teman sebaya menjadi sangat penting bagi remaja
(Gunarsa, 2004). Dalam berelasi muncul pula gejala konformitas. Konformitas
dapat berfungsi positif yaitu membantu proses pembentukan identitas diri remaja
(Gunarsa, 2004; Monks, Knoers, Haditono, 2004). Melalui konformitas remaja
akan mengadopsi sikap, perilaku, dan hal-hal positif dari teman atau ketua
kelompok yang mempengaruhi perkembangan dirinya selanjutnya. Pada sekolah
membawa pengaruh positif bagi religiositas siswa itu sendiri. Melalui teman satu
iman akan mempermudah mereka saling sharing iman atau saling menguatkan misalnya bersama-sama ke gereja, modeling atau konformitas terhadap
teman-temannya sehingga ikut aktif di kegiatan gereja. Hal ini memungkinkan
bertambahnya pengetahuan agama siswa dari teman sekolahnya juga
meningkatnya ritual keagamaan siswa karena pengaruh dari teman.
Di SMA/K Negeri khususnya di pulau Jawa siswa yang beragama Katolik
jumlahnya cenderung sangat sedikit dibandingkan siswa beragama Islam. Siswa
Katolik yang bersekolah di sekolah negeri adalah kaum minoritas di lingkungan
majemuk atau dilingkungan mayoritas. Situasi yang demikian bila tidak hati-hati
bisa mengendorkan kepercayaan dan keyakinan iman si anak (Bagiyowinadi,
2006). Dalam situasi ini sebagai minoritas memungkinkan remaja menjadi
minder terhadap keyakinannya, atau terpengaruh keyakinan yang berbeda sehingga penghayatan terhadap agama mereka menurun.
Baberapa tahun terakhir sekolah-sekolah Katolik mulai mengadakan mata
pelajaran baru atau pengganti yaitu “Pendidikan Religositas” yang tidak ada pada
sekolah-sekolah negeri. Mata pelajaran ini mempunyai tujuan agar siswa mampu
melihat kebaikan Allah kepada diri sendiri, sesama dan lingkungan, sehingga
dengan menyadari hal itu tumbuh kepedulian siswa dalam hidup bermasyarakat
serta menumbuhkembangkan kerjasama lintas agama dengan semangat
persaudaraan sejati. (Komisi Kataketik Keuskupan Agung Semarang, Komisi
Pendidikan Keuskupan Agung Semarang, 2009). Keistimewaan pelajaran ini yaitu
kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan sesama. Glock
(dalam Paloutzian, 1996) mengungkapkan bahwa seseorang yang semakin peduli
terhadap sesama sebagai aplikasi iman kepercayaannya menunjukkan tingkat
religiositasnya cenderung tinggi. Bagaimana dengan sekolah umum? Sekolah
umum minim sekali atau mungkin tidak ada pelajaran religiositas, hal ini
memungkinkan siswa cenderung kurang mengetahui tindakan iman sesuai
agamanya, sehingga aplikasi iman dalam kehidupan sehari-hari juga cenderung
kurang.
Kondisi dan porsi yang berbeda ini, berpengaruh pada perbedaan tingkat
religiositas antara siswa sekolah negeri dan sekolah Katolik. sekolah Katolik
mendapat porsi lebih banyak dalam hal waktu, cara, dan kesempatan
dibandingkan sekolah negeri untuk mengembangkan religiositas siswa yaitu
dalam berbagai bentuk kegiatan atau pengkondisian. Berangkat dari hal ini tentu
saja sangat dimungkinkan siswa sekolah Katolik mempunyai kecenderungan
tingkat religiositasnya lebih tinggi dibandingkan siswa sekolah negeri.
E. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini bahwa siswa Katolik yang
bersekolah di sekolah Katolik tingkat religiositasnya lebih tinggi di bandingkan
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian komparatif dengan tujuan untuk
melihat perbedaaan tingkat religiositas antara siswa Katolik di sekolah
umum dengan siswa Katolik di sekolah Katolik.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah religiositas.
2. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis sekolah.
C. Definisi Operasional
1. Religiositas
Religiositas adalah ikatan yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah, sesama, lingkungan, dan dirinya sendiri yang diungkapkan dalam
agama dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Religiositas dalam
penelitian ini diukur dengan skala religiositas, yang disusun berdasarkan
aspek-aspek yang dipaparkan oleh Glock (dalam Paloutzian, 1996) yaitu:
a. Aspek Ideologi (religiositas believe). Aspek ini berkaitan dengan
tingkatan sejauh mana seseorang meyakini ajaran agamanya serta
mengakui hal-hal yang dogmatik dalam agamanya.
b. Aspek ritual (Religious Practice). Aspek ini berkaitan dengan
tingkatan sejauh mana seseorang menjalankan kewajiban-kewajiban
c. Aspek Eksperensial (religiositas feeling). Aspek ini berkaitan dengan
tingkatan seseorang dalam merasakan dan mengalami perasaan atau
pengalaman keagamaan.
d. Aspek intelektual (religiositas knowledge). Aspek ini berkaitan sejauh
mana orang mengetahui dan memahami ajaran agamanya terutama
dalam kitab suci.
e. Aspek konsekuensial ( religiositas effek). Aspek ini melihat sejauh
mana prilaku seseorang di motivasi oleh ajaran agamanya dalam
kehidupan sosial, yaitu hubungan dengan dunia dan sesama.
Skor yang tinggi pada skala ini menunjukkan tingkat religiositas
siswa cukup tinggi; sedangkan skor yang rendah menunjukkan tingkat
religiositas siswa rendah.
2. Jenis Sekolah
Jenis sekolah yang dimaksud disini terkait dengan latar belakang
atau asas yang dimiliki suatu sekolah yang mempengaruhi metode dan
kebijakan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Jenis sekolah tersebut
dikelompokkan menjadi dua yaitu sekolah umum dan sekolah Katolik.
Sekolah umum berarti sekolah yang berlaku untuk semua golongan, agama,
dan tidak berdasarkan salah satu faham atau agama tertentu. Pada penelitian
ini sekolah umum diwakili oleh sekolah negeri yang sesuai dengan
karakteristik yang dimaksud. Kedua adalah sekolah Katolik yang
yang berwenang atau oleh badan hukum gerejawi publik atau pula yang
diakui sebagai sekolah Katolik melalui surat keputusan otoritas gerejawi.
D. Subyek Penelitian
Karakter subyek dalam penelitian ini adalah:
1. Siswa-siswi SMU yang beragama Katolik dan telah bersekolah minimal 1
tahun di sekolah yang dimaksud.
2. Remaja Akhir
Usia remaja akhir usia 16/17-18 tahun, berdasarkan teori Hurlock (1990).
Remaja akhir dipilih karena bertolak dari teori James Fowler (1981),
rentang usia ini masuk dalam perkembangan Iman induktif-reflektif
(transisi masa remaja dan masa dewasa, dewasa awal) Tahap ini individu
mulai bertanggung jawab terhadap keyakinan religiusnya. Selain itu
merujuk teori Furter (dalam Swastanti, 2007), bahwa remaja akhir berarti
masa remaja memahami nilai-nilai, dan tidak hanya memperoleh
pengertian saja melainkan juga dapat menjalankannya.
E. Sampling
Sampling dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive
samplingyaitu sampling diambil berdasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu
yang sudah di ketahui. (Hadi, 2004)
F. Metode dan Alat Pengambilan Data
1. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Likert yaitu skala disusun untuk mengungkapkan sikap pro kontra, positif
dan negatif, setuju atau tidak setuju terhadap obyek sikap (Azwar, 2009).
Skala ini disusun menggunakan metode summated rating. Sebelum
digunakan skala tersebut di uji terlebih dahulu dengan try out terpisah.
Adapun tabel pengujian skala sebagai berikut:
Table 1
Blue Print Skala Religiositas
JUMLAH 80 100%
Tabel 2
Tabel Skala Religiositas Hasil Seleksi Item
JUMLAH 29 100%
No Aspek Religiositas No Item Jumlah
item Prosentase
1 Aspek Ideologi 1, 46, 56, 66, 71, 76 6 20,6%
2 Aspek Ritualistik 2, 47, 52, 57, 62, 77 6 20,6%
3 Aspek Eksperensial 3, 38, 53, 58, 63, 73 6 20,6%
4 Aspek Intelektual 9, 24, 29, 49, 64,69 6 20,6%
Adanya item yang gugur membuat proporsi pada setiap aspek menjadi
berbeda, sehingga peneliti memutuskan untuk menyamakan proporsi tiap aspek
dengan cara memilih antara 5 atau 6 item tiap aspek dengan reliabilitas yang
terbaik.
2. Pemberian Skor
Dalam skala ini subyek pernyataan-pernyataan yang terdiri dari empat
alternatif jawaban. Subyek diminta memilih jawaban mana yang paling sesuai
dengan diri subyek sebenarnya. Dari total skor jawaban subyek akan di peroleh
gambaran mengenai kondisi subyek.
Tabel 3
Skor jawaban subjek pada Skala Religiositas
Respon favorabel unfavorabel
Skala penelitian ini menggunakan validitas isi yang merupakan
pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional dan penilaian oleh
orang-orang yang ahli di bidangnya (religiositas) antara lain pastor
agama Katolik dan dosen pembimbing sebagai profesional judgement.
Pihak yang membantu dalam validitas isi adalah Romo Dr. CB.
2. Seleksi Item
Seleksi item dilakukan dengan cara menguji karateristik
masing-masing item yang menjadi bagian tes. Apabila terdapat item tidak
memenuhi syarat kualitas, maka tidak dapat diikutkan dalam bagian
tes. Salah satu kualitas yang baik adalah konsistensi antara item
dengan tes secara keseluruhan atau sering disebut dengan korelasi item
total. Sebagai kriteria pemilihan berdasarkan koefisien korelasi total,
digunakan batasan (rix) ≥ 0,3. Semua item yang mencapai koefisien
korelasi minimal 0,3 daya pembedanya dianggap memuaskan (Azwar,
2002).
3. Estimasi Reliabilitas
Penelitian Religiositas menggunakan estimasi reliabilitas
konsistensi internal Alpha-Cronbach yaitu melalui pendekatan
reliabilitas konsistensi internal. Nilai reliabilitas skala dianggap
memuaskan apabila mendekati 0,90. Koefisien yang tidak setinggi itu
kadang sudah dianggap memuaskan (Azwar, 1997).
4. Hasil Uji Coba Skala Religiositas
Skala Religositas dihitung menggunakan SPSS for Windows versi
15.0. Seleksi item menggunakan koefisien korelasi item total. Kriterian
item yang diterima jika korelasinya positif dan sama dengan atau lebih
besar dari 0,3 (Azwar, 2002). Uji reliabilitas skala religositas pada 80
H. Uji Asumsi
Uji asumsi merupakan salah satu syarat dalam teknik komparatif
untuk memperoleh kesimpulan yang tepat berdasarkan data yang ada.
Adapun uji asumsi yang dilakukan adalah:
1. Uji normalitas, yaitu uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah
data penelitian kita berasal dari populasi yang sebarannya normal
atau tidak (Santoso, 2010). Data dinyatakan distribusi normal
apabila signifikasi lebih besar daripada 0.05 (p ≥ 0,05). Sebaliknya,
apabila nilai signifikasi yang diperoleh lebih kecil dari 0.05, maka
sebaran data tersebut tidak berdistribusi normal. Pada penelitian ini
uji normalitas dilakukan dengan Kolmogorov-Smirnov pada SPSS
for Windowsversi 15.0
2. Uji Homogenitas yaitu uji untuk mengetahui apakah varians dari
sample yang akan diuji tersebut sesuai atau sama. Uji homogenitas
dilakukan dengan menggunakan Levene’s Test for Equality of
variance. Data dikatakan nyatakan homogen bila nilai signifikansi
diatas 0,05.
I. Analisis Data
1. Uji Hipotesis
Analisis data penelitian ini menggunakan uji beda dengan
37
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian
Persiapan penelitian dimulai dengan menyebar skala uji coba
(tryout) pada 42 subyek. Penelitian ini merupakan penelitian payung
dengan seorang rekan yang juga melakukan riset tentang religiositas,
untuk itu pengambilan data dilakukan bersama rekan penelitian tersebut.
Peneliti membuat surat ijin penelitian ke beberapa sekolah, tetapi
beberapa diantaranya menolak karena bertepatan dengan ujian sekolah,
namun melalui wawancara dengan Kepala sekolah, guru agama, dan
siswa peneliti memperoleh data tentang situasi sekolah. Penelitian
dilaksanakan mulai tanggal 28 Desember 2010 sampai dengan 30
Januari 2011. Penelitian ini melibatkan 110 subjek. Pengumpulan data
penelitian dilaksanakan secara langsung, setiap subyek diminta untuk
mengisi skala. Selain penyebaran langsung juga menggunakan asisten
peneliti untuk mengambil data dari subjek. Dari 110 skala yang
dibagikan 101 yang memenuhi persyaratan sebagai subyek, sedangkan 9
skala gugur. Gugurnya skala diantaranya karena ada item yang tidak
diisi, dan identitas agama tidak sesuai, nama sekolah tidak diisi, serta
B. Data Demografi Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah remaja usia 16-18 tahun yang
merupakan siswa–siswi SMU kelas 11 atau 12 yang bersekolah di
sekolah Katolik berjumlah 50 siswa, serta siswa-siswi SMU Negeri
kelas 11 atau kelas 12 yang berjumlah 50 siswa. Dipilih kelas 11 dan 12
dengan asumsi bahwa siswa kelas tersebut telah mengalami proses
pembelajaran di sekolah selama minimal 1 tahun. Subyek tersebar di
Pengujian dengan Kolmogorov-Smirnov untuk variabel
religiositas diperoleh nilai sebesar 0,495. Nilai tersebut
menunjukkan lebih dari 0,05 (p>0,05), hal ini berarti distribusi
2. Uji Homogenitas
Pada uji ini di peroleh nilai signifikansi 0,983. Dengan nilai
diatas 0,05 (p>0,05), maka data ini termasuk homogen. Hal ini
berarti kelompok yang akan diuji tersebut mempunyai varian yang
sama atau homogen.
D. Hasil Penelitian
1. Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji T
dengan Independent sample T test, pada taraf signifikasi 5% (0,05).
Uji hipotesis satu ekor (one tailed) dilakukan pada penelitian ini
karena hipotesis dalam penelitian ini telah mengarah. Dari hasil
analisis data diketahui bahwa nilai signifikansi dengan one tail
sebesar 0,102 (p>0,05). Nilai tersebut lebih besar dari 0,05 yang
berarti hipotesis ditolak. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan religiositas antara siswa Katolik di sekolah negeri dengan
siswa Katolik di sekolah Katolik.
2. Hasil Diskriptif
Uji ini dilakukan untuk mengetahui tingginya tingkat religiositas
pada masing-masing kelompok baik sekolah umum maupun
sekolah katolik. Pada tabel berikut ini disajikan data mean teoritis
Tabel 5
Data Teoritis dan Empiris skala religiositas
Variabel N P
Mean
Teoritis Empiris
Sekolah
Umum 50 0,00 72,5 95,54 Sekolah
Katolik 50 0,00 72,5 93,46
Nilai P pada skala Religiositas sebesar 0,00 (p<0,05), Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara
mean teoritis dan empiris pada skala Religiositas. Skala religiositas
siswa sekolah umum menunjukkan mean empiris lebih besar dari
mean teoritis. Hal ini berarti siswa sekolah umum termasuk dalam
kategori siswa yang mempunyai religiositas tinggi.
Demikian pula dengan sekolah Katolik, nilai P pada skala
Religiositas sebesar 0,00 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan antara mean teoritis dan empiris
pada skala Religiositas. Skala religiositas pada siswa di sekolah
Katolik juga menunjukkan mean empiris lebih besar dari mean
teoritis. Hal ini berarti siswa sekolah Katolik termasuk dalam
E. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan religiositas
siswa Katolik yang bersekolah di sekolah umum dengan siswa
Katolik yang bersekolah di sekolah Katolik. Dari analisis data yang
dilakukan, menunjukkan hipotesis penelitian ditolak karena pada
kenyataannya tidak ada perbedaan religiositas antara siswa Katolik
di kedua sekolah tersebut. Penolakan hipotesis penelitian ini dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Adanya kelemahan alat ukur penelitian ini merupakan salah
satu kemungkinan penyebab ditolaknya hipotesis penelitian.
Kelemahan tersebut diantaranya tidak sedikit item-item pada skala
ini mengarah pada social desirabilty. Skala religiositas termasuk
skala yang rentan sekali mengadung social desirability karena
religiositas sendiri berisi norma atau nilai-nilai sehingga item-item
tersebut cenderung akan disetujui oleh semua orang atau dalam
komunitas tertentu (orang Katolik), termasuk subyek penelitian ini.
Hal ini karena semata-mata mereka berfikir normatif, bukan karena
item itu mencerminkan keadaan diri mereka yang sesungguhnya.
Selain itu religiositas lebih mengarah atau terkotak dalam agama
terutama untuk aspek yang diungkapkan dalam teori Glock.
Beberapa tahun terakhir sekolah Katolik tidak lagi