Unsur hara N dan P merupakan unsur penting yang memacu pertumbuhan fitoplankton dan makrofita. Di perairan tergenang seperti waduk, unsur hara yang memacu produksi primer perairan merupakan hal yang paling penting. Hal ini berbeda dengan di perairan sungai, karena produksi primernya banyak dikendalikan oleh faktor fisik seperti penetrasi cahaya, arus air dan tipe
substrat (McCabe et al., 1985). Pada umumnya di ekosistem perairan tawar,
fosfor merupakan unsur hara pembatas, sehingga jika seluruh fosfor digunakan maka pertumbuhan fitoplankton dan makrofita akan menurun meskipun nitrogen cukup tersedia.
Kebanyakan badan air tawar menerima sumber N dan P dari luar. Di waduk Djuanda, sumber N dan P yang utama berasal dari hasil penguraian sisa pakan yang terbuang dan kotoran ikan dari aktivitas budidaya ikan dalam keramba jaring apung dan dari sungai yang masuk waduk, terutama dari sungai Citarum yang airnya berasal dari waduk Cirata.
Peningkatan kandungan P menjadikan fitoplankton mengasimilasi lebih banyak N sebelum kandungan P menurun. Dengan demikian, jika P yang tersedia cukup, kandungan N yang tinggi akan menentukan produksi fitoplankton.
Nitrogen
Rata-rata kandungan ammonium, nitrit dan nitrat di empat daerah pengamatan yang meliputi sembilan titik pengamatan, yaitu stasiun 1, stasiun 2, stasiun 3, 3a, 3b, 3c, 3d dan 3e serta stasiun 4 tertera pada Gambar 6. Rata-
rata kandungan ammonium berkisar antara 0,0869(±0,0108) – 0,4181(±0,0939)
mg/l dengan rata-rata 0,2271±0,0480 mg/l. Analisis kluster menunjukkan bahwa
kandungan ammonium di stasiun 1 dan 2 adalah sama namun lebih tinggi dan berbeda dari stasiun lainnya. Beban masukan bahan organik yang berasal dari waduk Cirata diduga lebih dominan jika dibandingkan dengan beban masukan bahan organik dari kegiatan KJA di waduk Djuanda itu sendiri. Seperti diketahui bahwa ammonium di perairan merupakan produk akhir bakteri heterotrof dari dekomposisi bahan organik, baik protein maupun senyawa organik lainnya yang mengandung nitrogen. Disamping itu, ammonium juga merupakan produk ekskresi hewan akuatik meskipun konsentrasinya sangat kecil dibanding dengan produk dekomposisi bakteri.
Rata-rata kandungan nitrit di seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 0,0994(±0,0041) - 0,2114(±0,0129) mg/l dengan rata-rata 0,1366±0,0094 mg/l. Hasil analisis kluster menunjukkan bahwa kandungan nitrit di stasiun 1 lebih tinggi dan berbeda dengan kandungan nitrit di stasiun lainnya. Pada umumnya, konsentrasi nitrit di alam sangat kecil berkisar antara 0,0-0,01 mg/l dan dapat mencapai 1 mg/l pada batas air-sedimen (interstitial water sedimen). Kandungan nitrit yang tinggi di badan air dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya hasil reduksi nitrat oleh bakteri baik yang terjadi di kolom air maupun di sedimen pada kondisi anaerob. Disamping itu, diatom dan beberapa ganggang hijau tertentu seperti Chlorella dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit. Nitrit juga merupakan bentuk yang tidak stabil dan merupakan bentuk antara, bisa jadi nitrat atau ammonia. Kandungan nitrit di perairan dapat terakumulasi jika terjadi ketidakseimbangan reaksi nitrifikasi. Nitrit bersifat sangat toksik bagi hewan perairan jika kandungannya lebih besar dari 0,5 mg/l dimana toksisitasnya dipengaruhi oleh jenis dan stadia organisme, suhu perairan, dan bahan toksik lainnya yang dapat bersifat sinergis maupun antagonis (Boyd, 1990).
Kandungan nitrat di seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 0,0661(±0,0032) – 0,1529(±0,0232) mg/l dengan rata-rata 0,1133±0,0118 mg/l. Hasil analisis kluster menunjukkan bahwa kandungan nitrat di stasiun 2 berbeda dengan kandungan nitrat di stasiun lainnya (Gambar 6). Di perairan danau, nitrat pada umumnya merupakan nitrogen organik dengan konsentrasi rata-rata di alam sangat sedikit yaitu 0,3 mg/l. Pada kondisi normal, jumlah nitrat terlarut dihasilkan melalui proses metabolisme di badan air, seperti produksi dan dekomposisi bahan organik.
Jumlah nitrat terlarut di waduk Djuanda diduga banyak dihasilkan dari dekomposisi bahan organik baik yang berasal dari limbah organik KJA di Cirata maupun KJA di Jatiluhur.
Gambar 6. Histogram dan analisis kluster rata-rata dan simpangan baku
kandungan ammonium, nitrit dan nitrat di masing-masing stasiun pengamatan dalam periode Mei 2003 – April 2004
Variasi musiman nitrat di perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain, morfologi badan air, sifat kimia substrat yang masuk waduk dan produktifitas perairan. Rata-rata kandungan ammonium, nitrit dan nitrat di seluruh daerah pengamatan di waduk Djuanda menunjukkan konsentrasi yang jauh melebihi ambang batas baku mutu perairan, karena kandungan unsur N perairan lebih besar dari 0,02 mg/l (Ryding and Rast, 1989). Hal ini mengindikasikan bahwa perairan waduk Djuanda sudah termasuk perairan dengan beban cemaran unsur N yang tinggi.
Secara umum terlihat bahwa kandungan ammonium, nitrit dan nitrat di stasiun 1 dan 2 selalu relatif lebih tinggi dari pada rata-rata kandungan ammonium, nitrit dan nitrat di stasiun lainnya. Hal ini menandakan bahwa kandungan ammonium, nitrit dan nitrat di stasiun 1 dan 2 banyak bersumber dari beban limbah KJA di Cirata yang pada tahun 2005 telah mencapai 37.435 unit dibandingkan dengan beban limbah yang berasal dari KJA di waduk Djuanda itu sendiri yang berjumlah sebanyak 3.715 unit.
Di stasiun 4, beban masukan nitrat yang utama selain dari KJA di waduk Djuanda juga bersumber dari kegiatan pertanian, terutama areal persawahan yang berada di sekitar Sungai Cilalawi. Di stasiun 3c, rata-rata kandungan ammonium relatif lebih tinggi dari pada kandungan nitrat dan nitrit. Hal ini diperkirakan erat kaitannya dengan proses ammonifikasi yang dilakukan oleh mikroorganisme terhadap nitrat dan nitrit yang semula berada di genangan utama waduk, sebelum air tersebut dikeluarkan di bendungan.
Orto-Fosfat
Rata-rata kandungan orto-fosfat di setiap stasiun selama penelitian
tertera pada Gambar 7. Kandungan orto-fosfat berkisar antara 0,1766(±0,0027)
– 0,2401(±0,0158) mg/l dengan rata-rata 0,2148±0,0093 mg/l. Hasil analisis
kluster menunjukkan bahwa kandungan orto-fosfat di stasiun 3c lebih kecil dan berbeda dengan kandungan orto-fosfat di stasiun lainnya. Stasiun 3c adalah daerah teluk yang terletak jauh menjorok dari pengaruh beban masukan limbah yang berasal dari budidaya KJA baik limbah yang berasal dari waduk Cirata maupun waduk Djuanda.
Gambar 7. Histogram dan analisis kluster rata-rata dan simpangan baku kandungan orto-fosfat di masing-masing stasiun pengamatan dalam periode Mei 2003 – April 2004.
Distribusi temporal kandungan orto-fosfat di zona limnetik berfluktuasi
antara 0,0659(±0,0073) – 0,6190(±0,1216) mg/l dan kandungan orto-fosfat
tertinggi terjadi pada bulan April sedangkan kandungan orto-fosfat terrendah terjadi pada bulan Januari (Gambar 8).
Gambar 8. Distribusi temporal dan analisis kluster kandungan orto-fosfat di zona limnetik Waduk Djuanda selama pengamatan Mei 2003 – April 2004
Kandungan orto-fosfat pada bulan April berbeda dengan kandungan orto-fosfat di bulan lainnya. Kandungan orto-fosfat pada bulan September sampai dengan Februari berada dalam satu kelompok, begitu pula kandungan orto-fosfat pada bulan Mei, Juli, Agustus, dan Maret berada dalam satu kelompok. Kedua kelompok ini bersatu dalam satu kluster dengan kandungan orto-fosfat pada bulan April.
Jika konsentrasi orto-fosfat dikaitkan dengan fluktuasi permukaan air waduk Djuanda terlihat bahwa umumnya konsentrasi orto-fosfat menurun dengan menurunnya tinggi muka air dan sebaliknya cenderung meningkat dengan meningkatnya tinggi muka air (Gambar 9). Hal ini diperkirakan berkaitan erat dengan tingginya beban masukan limbah organik terutama dari waduk Cirata.
Gambar 9. Keterkaitan antara kandungan orto-fosfat dengan tinggi muka air (TMA) Waduk Djuanda selama pengamatan Mei 2003 – April 2004
Pada waktu tinggi muka air waduk tinggi, air yang masuk waduk Djuanda selain berasal dari waduk Cirata, baik berupa air limpahan bendungan di bagian atas maupun air yang keluar dari lapisan tengah, juga berasal dari sungai Cisokan. Pada waktu tersebut, sumber orto-fosfat yang utama berasal dari lapisan tengah waduk Cirata, sedangkan pada waktu tinggi muka air rendah, air yang masuk waduk Djuanda hanya sebagian kecil saja yang berasal dari waduk Cirata.
Krismono et al. (1999) dan Garno (2002) menyatakan bahwa unsur P
yang dihasilkan dari budidaya KJA di waduk Djuanda masing-masing adalah
bahwa beban total P dari kegiatan budidaya KJA di waduk Cirata 168.187,1 kg dan di waduk Jatiluhur (Djuanda): 2.979,5 kg per tahun. Penyumbang total P terbesar di ke dua waduk berasal dari pakan yang terbuang dan kotoran ikan yaitu 91,3-99,9%. Sedangkan unsur P yang masuk waduk Djuanda dari sungai Citarum, waduk Cirata adalah sebesar 2.974.258 kg/th (Kartamihardja, 2002).