• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spektra ukuran biomassa plankton dan potensi pemanfaatannya bagi komunitas ikan di zona limnetik waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Spektra ukuran biomassa plankton dan potensi pemanfaatannya bagi komunitas ikan di zona limnetik waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat"

Copied!
310
0
0

Teks penuh

(1)

SPEKTRA UKURAN BI OM ASSA PLAN KTON D AN POTEN SI

PEM AN FAATAN N YA BAGI KOM UN I TAS I KAN D I ZON A

LI M N ETI K W AD UK I R. H . D JUAN D A, JAW A BARAT

EN D I SETI AD I KARTAM I H ARD JA

SEKOLAH PASCASARJAN A

I N STI TUT PERTAN I AN BOGOR

(2)

ABSTRAK

ENDI SETIADI KARTAMIHARDJA. Spektra Ukuran Biomassa Plankton dan Potensi Pemanfaatannya bagi Komunitas Ikan di Zona Limnetik Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. Dibimbing oleh ENAN M. ADIWILAGA, M. F. RAHARDJO dan DEDI SOEDHARMA.

Waduk Ir. H. Djuanda dengan luas maksimum 8.300 ha mempunyai zona limnetik sekitar 56-86% dan sisanya zona litoral. Zona limnetik tersebut kaya akan plankton namun miskin akan jenis ikan pemakan plankton yang menghuninya. Proses eutrofikasi di waduk sangat intensif sebagai ekses dari budidaya ikan dalam karamba jaring apung. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan (1) struktur komunitas dan biomassa plankton; (2) struktur komunitas dan biomassa ikan; (3) efisiensi trofik jejaring makanan; dan (4) analisis hasil penelitian butir 1, 2 dan 3 dalam optimasi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya. Data dianalisis secara deskripsi dan statistik meliputi: (1) pengaruh beban masukan N dan P terhadap pertumbuhan fitoplankton; (2) grazing dan filtrasi zooplankton terhadap pertumbuhan fitoplankton; (3) aliran energi jejaring makanan, dan (4) implikasi prespektif dinamika ekosistem zona limnetik dalam hubungannya dengan opsi pengelolaan perikanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beban masukan N dan P (ammonium, nitrit, nitrat and

orto-fosfat) berturut-turut berkisar antara 0,0869±0,0108 – 0,4181 ±0,0939 mg/l;

0,0994±0,0041 – 0,2114 ±0,0129 mg/l, 0,0661±0,0032–0,1529±0,0232 mg/l and 0,1766±0,0027 – 0,2401±0,0158 mg/l. Kandungan N dan P yang tinggi terjadi di daerah pemasukan air dari sungai Citarum dan waduk Cirata, dan berpengaruh nyata terhadap kelimpahan fitoplankton (Fito) yang ditunjukkan dengan

persamaan regresi: Fito = 76.144.260 – 0,823065*NH4 + 0,411565*NO2 –

0,148832*NO3 – 0,91295*PO4 (R2 = 0,8962; p<0,0015**). Distribusi spasial dan

temporal kelimpahan dan biomassa fitoplankton berturut-turut berkisar antara 24,399±5,352 –38,559±8,341x106 sel/l dan 3,245±0,769–67,728±7,723x106 sel/l;

serta berkisar antara 3,676±1,326–20,144±10,777 mg/m3 dan 462±61–

52,025±7,623 mg/m3. Distribusi spasial dan temporal kelimpahan dan biomassa

zooplankton berkisar antara 524±86–1.438±509 indiv./l dan 313±35–2.774±824

indiv./l; serta berkisar antara 1.852±530–5.137±1.821 µg/l dan 1.184±209– 10.120±2.895 µg/l. Laju grazing zooplankton berkisar antara 22,54±3,27– 35,29±5,37 sel/indiv./4 jam dan 17,59±2,76–38,82±11,39 sel/indiv./4 jam yang menunjukkan laju grazing yang rendah. Struktur komunitas ikan di zona limnetik didominasi oleh ikan bandeng (Chanos chanos), nila (Oreochromis niloticus), oskar (Amphilophus citrinellus), dan kongo (Parachromis managuensis). Aliran energi biomassa di zona limnetik menunjukkan pola aliran yang tidak efisien. Biomassa fitoplankton (3.350,1 ton/km2/yr), zooplankton (327,3 ton/km2/yr) dan

detritus (16,9 ton/km2/yr) yang tinggi tidak dimanfaatkan secara optimum oleh

komunitas ikan. Optimasi pemanfaatan sumberdaya dapat dilakukan dengan penebaran ikan pemakan plankton dan dapat mengisi zona limnetik. Model estimasi untuk penebaran ikan bandeng yang dikembangkan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 4,118 juta ekor pada tahun pertama dan 1,235 juta ekor pada tahun berikutnya perlu ditebarkan.

(3)

ABSTRACT

ENDI SETIADI KARTAMIHARDJA. Size Spectra of Plankton Biomass and Its Potential Utilization for Fish Community at Limnetic Zone of the Ir. H. Djuanda Reservoir, West Java. Under direction of ENAN M. ADIWILAGA, M. F. RAHARDJO and DEDI SOEDHARMA.

The total area of Djuanda reservoir (8,300 ha) in West Java compose of 56-86% of limnetic zone and the rest of littoral zone. The limnetic zone of the reservoir mostly rich in plankton but rare in fish inhabiting this area. Eutrophication process of the reservoir is very intensive due to intensive activity of fish cage culture. Objectives of the research are to analyze and describe (1) plankton community structure and biomass; (2) fish community structure and biomass; (3) trophic efficiency of the food web in relation to the niche ecology; and (4) to analyze the research results of point 1, 2 and 3 in optimizing the utilization and management of the resources. The data were analyzed descriptively and statistically including of analyzing: (1) impact of N and P loading on the growth of phytoplankton; (2) the zooplankton grazing and filtration on the growth of the phytoplankton; (3) the flow efficiency of energy on the food web, and (4) the implication of ecosystem dynamics of the limnetic zone in relation to management option for fisheries development. Ammonium, nitrite, nitrate and ortho-phosphate contents ranged between 0.0869±0.0108 – 0.4181 ±0.0939 mg/l; 0.0994±0.0041 – 0.2114 ±0.0129 mg/l, 0.0661±0.0032–0.1529±0.0232 mg/l and 0.1766±0.0027 –

0.2401±0.0158 mg/l, respectively. The highest content of N and P were

significantly occurred at station 1 (outlet of the Citarum River and Cirata reservoir) and it’s affected on phytoplankton density (Phyto) as shown in the regression equation: Phyto = 76,144,260 – 0.823065*NH4 + 0.411565*NO2 – 0.148832*NO3 –

0.91295*PO4 (R2 = 0.8962; p<0.0015**). Spatial and temporal distribution of

phytoplankton density and biomass ranged between 24.399±5.352 –

38.559±8.341x106 cell/l and 3.245±0.769–67.728±7.723x106 cell/l, and were

between 3,676±1,326–20,144±10,777 mg/m3 and 462±61–52,025±7,623 mg/m3,

respectively. Spatial and temporal zooplankton density ranged between 524±86–

1,438±509 indiv./l and 313±35–2,774±824 indiv./l and of zooplankton biomass

ranged between 1,852±530–5,137±1,821 µg/l and 1,184±209– 10,120±2.895 µg/l, respectively. Grazing and filtration rate of zooplankton were between 22.54±3.27– 35.29±5.37 cell/indiv./4 hours and 17.59±2.76–38.82±11.39 cell/indiv./4 hours which indicated the low rate. Zooplankton and phytoplankton density association significantly showed at the stations with high density of Cyclops. The dominant fish species inhabit limnetic zone are milk fish (Chanos chanos), nile tilapia (Oreochromis niloticus), oskar tilapia (Amphilophus citrinellus), and kongo tilapia (Parachromis managuensis). Energy flows of the biomass at limnetic zone showed inefficient flows pattern. The high biomass of detritus (16.9 ton/km2/yr), phytoplankton (3,350.1 ton/km2/yr) and zooplankton (327.3 ton/km2/yr) has not been utilized optimally by the fish community. To optimize the resources, stocking of plankton feeder and its can inhabit the limnetic zone, such as milk fish, silver carp (Hypopthalmichthys molitrix) or ringo carp (Thynnichthys thynnoides) should be conducted. Estimated number of milk fish which should be stocked at the first year is 4.118 millions fish/year and at the next year is about 1.235 millions fish/year.

(4)

RINGKASAN

ENDI SETIADI KARTAMIHARDJA. Spektra Ukuran Biomassa Plankton dan Potensi Pemanfaatannya bagi Komunitas Ikan di Zona Limnetik Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. Dibimbing oleh ENAN M. ADIWILAGA, M. F. RAHARDJO, dan DEDI SOEDHARMA.

Tujuan penelitian adalah untuk 1) mendeskripsikan struktur komunitas dan biomassa plankton di zona limnetik waduk; 2) mendeskripsikan struktur komunitas dan biomassa ikan di zona limnetik waduk; 3) menghitung efisiensi trofik jejaring makanan dalam kaitannya dengan relung ekologi ikan pemakan plankton di zona limnetik waduk; dan 4) mendeskripsikan hasil penelitian pada butir 1, 2 dan 3 dalam optimasi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan untuk pengembangan perikanan tangkap.

Penelitian dilakukan di zona limnetik Waduk Ir. H. Djuanda, meliputi empat daerah pengamatan dengan sembilan stasiun, yaitu daerah pengamatan I di daerah pemasukan air sungai Citarum dengan satu stasiun (stasiun 1), daerah pengamatan II di daerah transisi antara pemasukan air sungai Citarum dan genangan utama dengan satu stasiun (stasiun 2), daerah pengamatan III di daerah genangan utama waduk dengan 6 stasiun (stasiun 3, 3a, 3b, 3c, 3d dan 3e), dan daerah pengamatan IV di daerah pemasukan air Sungai Cilalawi dan daerah budidaya ikan dalam karamba jaring apung dengan satu stasiun (stasiun 4). Pengambilan contoh kualitas air dan plankton, pengukuran produktivitas primer dan grazing serta filtrasi zooplankton di lakukan di sembilan stasiun pengamatan pada lima kedalaman air, yaitu kedalaman 0,5 m; 1,0 m; 2,0 m; 4,0 m; dan 8,0 m setiap bulan selama 12 bulan dari bulan Mei 2003 sampai dengan April 2004. Pengambilan contoh ikan dilakukan dengan menggunakan empat set gillnet monfillament yang masing-masing set terdiri atas sembilan lembar jaring dengan ukuran mata jaring berbeda dari 1,0 – 5,0 inci dengan interval 0,5 inci. Setiap satu set gillnet yang panjangnya 405 m dipasang di empat daerah pengamatan pada sore hari dan diangkat pada pagi ke esokan harinya, setiap bulan dari bulan Mei 2003 sampai April 2004.

Parameter kualitas air yang diukur adalah N-NH4, N-NO2, N-NO3, PO4-P,

H2S, kelarutan oksigen, pH, alkalinitas, bahan organik terlarut (BOT), suhu dan

kecerahan dengan berpedoman pada APHA (1992). Produktivitas primer perairan diukur dengan metode botol gelap-botol terang dan kandungan oksigen terlarut diukur dengan tritrasi menggunakan metode Winkler. Contoh plankton diambil

dengan menggunakan kemmerer water sampler volume empat liter yang

kemudian disaring dengan jaring plankton menjadi volume 40 ml. Biomassa fitoplankton dan zooplankton dihitung dengan metode biovolume. Grazing dan

filtrasi zooplankton diukur dengan menggunakan grazing incubator dengan

metode yang dikembangkan oleh Ravera and Scotto (1999). Contoh ikan diukur panjang dan beratnya, dianalisis makanan dan kebiasaan makannya dengan menggunakan indeks preponderan serta dihitung luas relung dan tumpang tindih makanannya untuk setiap jenis ikan.

Data dianalisis secara deskripsi dan statistika sebagai berikut:

1. Analisis tentang pengaruh beban masukan unsur hara N dan P terhadap produksi dan pertumbuhan fitoplankton

2. Analisis tentang pengaruh grazing dan filtrasi zooplankton terhadap pertumbuhan komunitas fitoplankton

(5)

4. Analisis tentang implikasi dari prespektif dinamika ekosistem zona limnetik waduk kaitannya dengan opsi pengelolaan perikanan tangkap.

Kandungan ammonium, nitrit dan nitrat serta orto-fosfat di seluruh stasiun pengamatan menunjukkan nilai kisaran yang tinggi, masing-masing berkisar antara 0,0869±0,0108 – 0,4181 ±0,0939 mg/l; 0,0994±0,0041 – 0,2114 ±0,0129

mg/l dan 0,0661±0,0032 – 0,1529±0,0232 mg/l serta 0,1766±0,0027 –

0,2401±0,0158 mg/l. Kandungan unsur N dan P menunjukkan nilai tertinggi di

stasiun 1 dan 2 dan berbeda nyata dengan stasiun lainnya yang menandakan bahwa beban masukan unsur N dan P yang berasal dari sungai Citarum dan waduk Cirata jauh lebih tinggi dari beban masukan N dan P dari daerah lainnya.

Fitoplankton yang ditemukan terdiri atas 30 genera yang termasuk kedalam empat kelas, yaitu kelas Cyanophyceae 9 genera, kelas Chlorophyceae 11 genera, kelas Bacillariophyceae 8 genera dan kelas Dinophyceae 2 genera.

S

ecara spasial dan temporal, distribusi kelimpahan fitoplankton berkisar antara

(24,399±5,352)–(38,559±8,341)x106 sel/l dan (3,245±0,769)–(67,728±7,723)x106

sel/l dan rata-rata kelimpahan fitoplankton tertinggi terjadi di stasiun 1 pada bulan Februari 2004 yang didominasi oleh genera dari kelas Cyanophyceae. Di stasiun 1, unsur N dan P berpengaruh sangat nyata terhadap kelimpahan fitoplankton

(Fito) yang ditunjukkan dengan persamaan: Fito = 76.144.260 - 0,823065*NH4 +

0,411565*NO2 - 0,148832*NO3 – 0,91295*PO4 (R2 = 0,8962; p<0,0015**).

Total produktivitas primer fitoplankton berkisar antara 1.973,2±226,8 -

6.075,2±482,1 mgC/m2/hari dengan rata-rata 3.438,5±460,7 mgC/m2/hari. Nilai

produktivitas primer ini tidak menunjukkan korelasi positif dengan kandungan unsur N dan P yang menandakan bahwa kandungan unsur N dan P tidak lagi menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan fitoplankton.

Distribusi spasial dan temporal biomassa fitoplankton berkisar antara

3.676±1.326 – 20.144±10.777 mg/m3 dan 462±61 – 52.025±7.623 mg/m3 dan

rata-rata biomassa fitoplankton tertinggi terjadi di stasiun 1 pada bulan Februari 2004. Hal ini mengindikasikan pula bahwa di stasiun 1 yang menerima lebih banyak beban masukan unsur N dan P dibanding stasiun lainnya telah memacu pertumbuhan dan produksi fitoplankton sehingga pada waktu-waktu tertentu sering terjadi pertumbuhan sesaat (blooming) Microcystis.

Zooplankton yang ditemukan di zona limnetik terdiri atas 7 genera, yaitu Cyclops, Diaptomus, Daphnia, Diaphanosoma, Brachionus, Keratella, dan Polyarthra, dan genus yang dominan adalah Cyclops, Polyarthra, dan Keratella. Secara spasial dan temporal, kelimpahan zooplankton berkisar antara 524±86 – 1.438±509indiv./l dan antara 313±35–2.774±824 indiv./l. Kelimpahan zooplankton tertinggi terjadi di stasiun 2 pada bulan Februari 2004. Distribusi spasial dan temporal biomassa zooplankton berkisar antara 1.852±530 – 5.137±1.821 µg/l dan 1.184±209–10.120±2.895 µg/l, dan rata-rata biomassa zooplankton tertinggi terdapat di stasiun 3a pada bulan Februari 2004. Secara spasial dan temporal, rata-rata laju grazing dan filtrasi zooplankton berkisar antara 22,54±3,27– 35,29±5,37 sel/indiv./4 jam dan antara 17,59±2,76–38,82±11,39 sel/indiv./4 jam. Laju grazing dan filtrasi tertinggi terjadi di stasiun 1 pada bulan Februari 2004. Asosiasi kelimpahan fitoplankton dan zooplankton yang nyata hanya terjadi di

stasiun 1, 2, 3a dan 3e, di stasiun yang mempunyai kelimpahan Cyclops yang

tinggi. Kelimpahan populasi zooplankton di ke empat stasiun tersebut sangat ditentukan oleh kelimpahan fitoplankton.

(6)

yang dominan tertangkap adalah bandeng, nila, oskar dan kongo. Keragaman jenis maupun jumlah ikan yang tertangkap paling banyak terjadi di daerah pengamatan III dan IV yang merupakan genangan utama waduk dan daerah budidaya ikan dalam keramba jaring apung. Fluktuasi hasil tangkapan ikan berkaitan erat dengan fluktuasi permukaan, luas dan volume air waduk. Pada waktu permukaan air waduk tinggi, hasil tangkapan ikan rendah dan meningkat sejalan dengan menurunnya tinggi permukaan air dan luas waduk untuk kemudian mencapai hasil tangkapan tertinggi pada waktu permukaan air terrendah dan luas waduk terkecil.

Ikan bandeng dan nila memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber pakan utamanya, sedangkan makanan tambahannya berupa detritus untuk ikan bandeng dan zooplankton dan detritus untuk ikan nila. Ikan oskar dan kongo memanfaatkan fitoplankton dan zooplankton sebagai pakan utamanya dan potongan ikan dan detritus sebagai pakan tambahannya. Kedua jenis ikan yang terakhir ini dapat dikategorikan sebagai ikan omnivor yang cenderung bersifat karnivora. Luas relung makanan ikan oskar (2,42) dan kongo (2,09) jauh lebih besar jika dibandingkan dengan relung makanan ikan bandeng (1,21) dan nila (1,27). Ikan oskar dan kongo mampu memanfaatkan ketersediaan sumberdaya pakan lebih lebar dan bervariasi.

Aliran energi biomassa di zona limnetik memperlihatkan pola aliran yang tidak efisien. Biomassa detritus (16,9 ton/km2/th), fitoplankton (867,078 ton/km2/th)

dan zooplankton (327,3 ton/km2/th) yang tinggi belum dimanfaatkan secara

optimal oleh komunitas ikan yang ada. Transfer energi dari sumber daya pakan tersebut masih sangat rendah, terlihat dari besaran biomassa ikan yang terbentuk. Biomassa ikan nila (11,01 ton/km2/th) menunjukkan besaran tertinggi

diantara biomassa ikan lainnya. Biomassa ikan bandeng (0,01 ton/km2/th) yang

terbentuk masih sangat rendah, meskipun ikan bandeng dapat memanfaatkan detritus dan fitoplankton.

Untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya bagi pengembangan perikanan, diperlukan langkah-langkah pengelolaan dengan pendekatan ekosistem sebagai berikut: menebarkan jenis ikan pemakan plankton (terutama pemakan fitoplankton) dan dapat mengisi zona limnetik, misal ikan bandeng, mola (Hypopthalmichthys molitrix) atau ringo (Thynnichthys thynnoides); memperbaiki sistem penangkapan ikan dan budidaya.

Model estimasi jumlah ikan pemakan plankton yang perlu ditebarkan dan telah dikembangkan berdasarkan pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk ikan bandeng, jumlah ikan yang harus ditebar pada tahun pertama adalah sebanyak 4,118 juta ekor dan pada tahun berikutnya sebanyak 1,235 juta ekor sesuai dengan jumlah ikan bandeng yang diperkirakan akan tertangkap.

Upaya pengelolaan perikanan melalui pendekatan ekosistem perlu dilakukan secara adaptif dengan menyesuaikan dengan proses dinamika ekosisitem waduk yang terjadi. Langkah-langkah pengelolaan yang diperlukan meliputi: mengurangi beban masukan N dan P dari kegiatan budidaya KJA melalui penyesuaian biomassa ikan yang dipelihara dengan daya dukung perairan; introduksi dan atau penebaran ikan yang dapat memanfaatkan fitoplankton dan mengisi zona limnetik; pengendalian spesies yang tidak diinginkan; pengelolaan sistem perikanan tangkap dan sistem budidaya ikan serta interaksinya.

(7)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
(8)

SPEKTRA UKURAN BI OM ASSA PLAN KTON D AN POTEN SI

PEM AN FAATAN N YA BAGI KOM UN I TAS I KAN D I ZON A

LI M N ETI K W AD UK I R. H . D JUAN D A, JAW A BARAT

EN D I SETI AD I KARTAM I H ARD JA

D ise r t a si

se ba ga i sa la h sa t u sya r a t u n t u k m e m pe r ole h ge la r D ok t or pa da

D e pa r t e m e n M a n a j e m e n Su m be r da ya Pe r a ir a n

SEKOLAH PASCASARJAN A

I N STI TUT PERTAN I AN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Sutrisno Sukimin

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Ir. H. Bachrulhayat Koswara M.S.

(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Illahi Rabi, Allah SWT atas segala nikmat, rahmat dan karuniaNYa sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.

Karya ilmiah ini yang berjudul “Spektra Ukuran Biomassa Plankton dan Potensi Pemanfaatannya bagi Komunitas Ikan di Zona Limnetik Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat” terdiri atas empat sub bab dan dari disertasi ini dua artikel sudah diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia serta dua artikel lagi dalam proses penerbitan dalam Indonesian Fisheries Research Journal.

Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. M.F. Rahardjo DEA dan Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma DEA sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas segala saran, kritik dan bimbingannya. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu Perairan, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bapak Dr. Chairulmuluk dan Bapak Dr. Kardyo Praptokardyo atas saran dan dukungannya.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Bapak Prof. Dr. Ir. Dwisuryo Indroyono Susilo MSc, kepada Kepala Pusat Riset Perikanan Tangkap sejak dijabat oleh Dr. Ir. Subhat Nurhakim, Dr. Ir Wudianto dan sekarang oleh Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, atas ijin, fasilitas dan dukungannya.

Kepada Kepala Loka Riset Pemacuan Stok Ikan, Dr. Ir. Didik Wahju Hendro Tjahjo MS yang telah membantu dalam penyediaan fasilitas, kepada sahabatku Ir. Chairulwan Umar MS dan Ir. Asmika H. Simarmata MS serta teknisi LRPSI yang telah membantu dalam pengumpulan data selama penelitian berlangsung penulis ucapkan terima kasih.

Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ayahanda (Almarhum) dan Ibunda tercinta atas segala pengorbanan dan dukungan serta do’anya. Kepada Istriku tercinta, Tuti Sarimanah (Almarhumah) yang semasa hidupnya dengan penuh kesabaran dan pengorbanan selalu memberikan semangat dan dukungannya, serta ke empat putra-putriku tercinta, Edita Eka Prasetia, Melania Sari, Dany Aprizal Syaban dan Imalia Tanita atas segala do’anya penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

Bogor, Juni 2007

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 7 Desember 1952, anak ke enam dari sebelas orang bersaudara dari pasangan bapak K. Kartamihardja dan ibu Hj. Itjih. Pada tanggal 5 Mei 1979 menikah dengan Tuti Sarimanah dan dikaruniai dua orang putra, Edita Eka Prasetia dan Dany Aprizal Syaban serta dua orang putri, Melania Sari dan Imalia Tanita.

Pendidikan Sarjana diselesaikan di Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1977 dan memperoleh gelar Sarjana Perikanan. Pada tahun 1991 meneruskan studi di Fakulti Perikanan dan Sains Samudera, University Pertanian Malaysia dan berhasil memperoleh gelar Master Sains pada tahun 1993. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dalam program studi Ilmu Perairan.

Pengalaman kerja dimulai sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di Sub Balai Penelitian Perikanan Darat, Jatiluhur pada tahun 1979. Pada tahun 1994, ditugaskan menjadi peneliti di Balai Penelitian Perikanan Air Tawar, Sukamandi dan pada tahun 2002 pindah ke Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan sampai sekarang. Jabatan fungsional peneliti yang pertama diraih adalah Asisten Peneliti Madya dalam bidang Biologi Perikanan pada tahun 1986. Sedangkan jenjang fungsional peneliti tertinggi, Ahli Peneliti Utama (sekarang Peneliti Utama dalam Golongan IV/e) diraih pada tahun 2004 dalam bidang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Sebagai peneliti, sampai dengan tahun 2006, telah dihasilkan lebih dari 80 karya ilmiah yang ditulis sendiri atau dengan penulis lain dalam bentuk makalah dalam jurnal, bulletin dan prosiding yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dan Inggris, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL.……….... xv

DAFTAR GAMBAR ……….…... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ………... xviii

PENDAHULUAN ……….... 1

Latar Belakang ………... 1

Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 3

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ………... 7

Morfometrika dan Hidrodinamika Waduk Djuanda ... 7

Pengarun Peningkatan Unsur Hara N dan P terhadap Produksi dan Pertumbuhan Fitoplankton di Zona Limnetik Waduk ... ... 9

Pengaruh Grazing Zooplankton terhadap Pertumbuhan Komunitas Fitoplankton di Zona Limnetik Waduk ... 11

Model Jejaring Makanan dan Transfer Efisiensi Trofik ... 14

Prespektif Dinamika Ekosistem Pelagis Waduk Kaitannya dengan Optimasi Pemanfaatannya bagi Produksi Ikan ... 17

Pengelolaan Perikanan di Waduk Djuanda ... 18

METODE PENELITIAN ………. 21

Ruang Lingkup Penelitian ……… 21

Lokasi dan Waktu Penelitian ……….. 22

Penelitian Pengaruh Beban Masukan Unsur Hara N dan P terhadap Produksi dan Pertumbuhan Fitoplankton di Zona Limnetik Waduk Djuanda ……….. 24

(14)

Halaman

Penelitian Efisiensi Aliran Energi pada Jejaring Makanan di Zona

Limnetik Waduk Djuanda ... 29

Implikasi dari Prespektif Dinamika Ekosistem Zona Limnetik Kaitannya dengan Opsi Pengelolaan Perikanan Tangkap di Waduk Djuanda ……. 34

HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 35

Pengaruh Beban Masukan Unsur Hara N dan P terhadap Produksi dan Pertumbuhan Fitoplankton di Zona Limnetik Waduk Djuanda ………….. 35

Pengaruh Grazing dan Filtrasi Zooplankton terhadap Pertumbuhan Komunitas Fitoplankton di Zona Limnetik Waduk Djuanda ………... 52

Efisiensi Aliran Enersi pada Jejaring Makanan di Zona Limnetik Waduk Djuanda ……….. 62

Implikasi dari Prespektif Dinamika Ekosistem Zona Limnetik Kaitannya dengan Opsi Pengelolaan Perikanan Tangkap………... 72

SIMPULAN DAN SARAN ………. 87

Simpulan ……… 87

Saran ……….. 88

DAFTAR PUSTAKA ……….. 89

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Morfometrika waduk Djuanda ………... 7

2. Perkiraan luas daerah penelitian (pada ketinggian air 80 m, dpl)

dan posisi stasiun penelitian di Waduk Djuanda ………. 23

3. Genera fitoplankton yang ditemukan di zona limnetik Waduk

Djuanda selama pengamatan bulan Mei 2003 - April 2004 ... 41

4. Hubungan keterkaitan antara kelimpahan fitoplankton dengan

unsur N dan P di setiap stasiun penelitian ……… 51

5. Genera zooplankton yang ditemukan di zona limnetik waduk

Djuanda selama penelitian Mei 2003-April 2004 ... 52

6. Asosiasi kelimpahan fitoplankton dengan zooplankton di zona

limnetik Waduk Djuanda selama pengamatan Mei 2003-April 2004 57

7. Asosiasi kelimpahan fitoplankton dengan Cyclops di zona limnetik

Waduk Djuanda selama pengamatan Mei 2003-April 2004 ... 60

8. Jenis ikan yang tertangkap di zona limnetik waduk Djuanda selama periode Mei 2003 – April 2004 ... 62

9. Jumlah jenis ikan yang tertangkap di zona limnetik Waduk Djuanda selama periode Mei 2003 – April 2004 ... 63

10. Rata-rata indeks preponderan dan luas relung makanan ikan bandeng, nila, oskar dan kongo di zona limnetik waduk Djuanda

selama pengamatan Mei 2003 – April 2004 ... 67

11. Nilai tumpang tindih makanan ikan bandeng, nila, oskar dan kongo di zona limnetik Waduk Djuanda selama pengamatan Mei

2003-April 2004 ... 68

12. Parameter masukan yang digunakan dalam pemodelan ekosistem zona limnetik waduk Djuanda dengan menggunakan program

Ecopath ... 69

13. Estimasi jumlah ikan bandeng yang harus ditebarkan di waduk

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Hipotesis model struktur ekosistem (jejaring makanan) di zona limnetik waduk ... 3

2. Diagram alir kerangka teoritis pemecahan masalah kesenjangan

antara sumber daya yang tersedia dengan produksi ikan di zona

limnetik Waduk Djuanda ………. 5

3. Waduk Berjenjang Djuanda, Cirata dan Saguling ... 8

4. Hipotesis model mekanisme pengaruh dari atas (top down) ikan

pemakan plankton dan pengaruh dari bawah (bottom up) ketersediaan

nutrien terhadap plankton di waduk ... 15

5. Peta Waduk Djuanda dengan empat daerah penelitian (data diambil

pada tinggi muka air waduk maksimum, 97,5 m dpl, 17 Mei 2002) ... 23

6. Histogram dan analisis kluster rata-rata dan simpangan baku kandungan ammonium, nitrit dan nitrat di masing-masing stasiun

pengamatan dalam periode Mei 2003 – April 2004 ... 37

7. Histogram dan analisis kluster rata-rata dan simpangan baku

kandungan orto-fosfat di masing-masing stasiun pengamatan dalam

periode Mei 2003 – April 2004 ... 39

8. Distribusi temporal dan analisis kluster kandungan orto-fosfat di zona limnetik Waduk Djuanda selama pengamatan Mei 2003 – April 2004 ... 39

9. Keterkaitan antara kandungan orto-fosfat dengan tinggi muka air

(TMA) waduk Djuanda selama pengamatan Mei 2003 – April 2004 ... 40

10. Distribusi spasial dan temporal kelimpahan fitoplankton di zona

limnetik waduk Djuanda selama pengamatan Mei 2003-April 2004 ... 43

11. Produktivitas primer fitoplankton di tujuh stasiun pengamatan zona

limnetik Waduk Djuanda selama Mei 2003 – April 2004 ... 44

12. Produktivitas primer fitoplankton di zona limnetik waduk Djuanda

selama pengamatan Mei 2003-April 2004 ... 45

13. Distribusi temporal produktivitas primer kaitannya dengan unsur N dan P serta kecerhan air di zona limnetik Waduk Djuanda selama

pengamatan Mei 2003 – April 2004 ... 46

14. Distribusi spasial dan temporal biomassa fitoplankton yang dihitung berdasarkan biovolume di zona limnetik waduk Djuanda selama

(17)

Halaman

15. Biomassa fitoplankton yang dihitung berdasarkan biovolume di

stasiun 1 zona limnetik waduk Djuanda selama pengamatan Mei 2003 - April 2004 ... 48

16. Hubungan antara kandungan khlorofil-a dan kelimpahan fitoplankton di Waduk Djuanda selama pengamatan Mei -Desember 2002

(Kartamihardja, 2004) ………... 49

17. Distribusi biomassa fitoplankton yang dihitung secara empiris dari kandungan khlorofil-a di zona limnetik waduk Djuanda selama

pengamatan Mei 2003-April 2004 ... 49

18. Distribusi spasial dan temporal rata-rata kelimpahan zooplankton di

zona limnetik waduk Djuanda selama Mei 2003-April 2004 ... 53

19. Distribusi spasial dan temporal biomassa zooplankton di zona limnetik waduk Djuanda selama pengamatan Mei 2003-April 2004 ... 55

20. Kelimpahan dan biomassa genus zooplankton di stasiun 2 zona

limnetik waduk Djuanda pada bulan Februari 2004 ... 55

21. Distribusi spasial dan temporal laju grazing dan filtrasi zooplankton di daerah limnetik waduk Djuanda selama pengamatan Mei 2003 – April 2004 ... 56

22. Hubungan asosiasi antara kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di zona limnetik waduk Djuanda selama pengamatan Mei 2003 – April

2004 ... 58

23. Komposisi kelimpahan zooplankton di zona limnetik waduk Djuanda selama pengamatan Mei 2003-April 2004 ... 59

24. Distribusi spasial dan temporal jenis ikan yang tertangkap di zona

limnetik waduk Djuanda selama periode Mei 2003-April 2004 ... 64

25. Hubungan antara jumlah ikan yang tertangkap dengan tinggi muka air dan luas waduk Djuanda selama periode Mei 2003–April 2004 ... 64

26. Distribusi frekuensi panjang total ikan yang dominan tertangkap di

zona limnetik Waduk Djuanda selama periode Mei 2003-April 2004 65

27. Indeks preponderan makanan ikan bandeng, nila, oskar dan kongo di zona limnetik waduk Djuanda selama pengamatan Mei 2003 – April

2004 ... 66

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Cara pengukuran volume sel fitoplankton ……… 101

2. Parameter kualitas air di zona limnetik waduk Djuanda selama

pengamatan Mei 2003 - April 2004 ……… 102

3. Kelimpahan fitoplankton (sel/l) di zona limnetik waduk Djuanda

selama pengamatan Mei 2003 – April 2004 ..………... 104

4. Kelimpahan fitoplankton (x106 sel) di zona limnetik waduk Djuanda

selama pengamatan Mei 2003 – April 2004 ………... 106

5. Produktivitas primer fitoplankton di zona limnetik waduk Djuanda

selama pengamatan Mei 2003 – April 2003 ……….... 107

6. Volume sel fitoplankton di zona limnetik waduk Djuanda selama

pengamatan Mei 2003 – April 2004 ... 108

7. Biomassa fitoplankton (mg/m3) yang dihitung berdasarkan biovolume di zona limnetik waduk Djuanda selama pengamatan Mei 2003 –

April 2004 ... 109

8. Biomasa fitoplankton (mg/m3) yang dihitung secara empiris dari hubungan kelimpahan fitoplankton dengan kandungan khlorofil-a di zona limnetik waduk Djuanda selama pengamatan Mei 2003-April

2004 ... 110

9. Hubungan antara kelimpahan fitoplankton dengan unsur N dan P di

zona limnetik waduk Djuanda selama pengamatan Mei 2003 – April

2004 ……….... 111

10. Kelimpahan zooplankton menurut kedalaman air di zona limnetik

waduk Djuanda selama pengamatan Mei 2003 – April 2004 ……….... 113

11. Biomassa zooplankton di zona limnetik waduk Djuanda selama

(19)

Halaman

12. Rata-rata biomassa zooplankton (µg/l) di zona limnetik waduk

Djuanda selama pengamatan Mei 2003-April 2004 ... 120

13. Laju grazing dan filtrasi zooplankton di zona limnetik waduk Djuanda

selama pengamatan Mei 2003 – April 2004 ... 121

14. Asosiasi kelimpahan fitoplankton dan zooplankton menurut kedalaman air di zona limnetik waduk Djuanda selama periode

pengamatan Mei 2003 - April 2004 ... 133

15. Jenis-jenis ikan yang tertangkap di zona limnetik waduk Djuanda

(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki perairan waduk dan danau seluas 2,2 juta ha. Dari luas tersebut, sekitar 834.000 ha diperkirakan termasuk badan air yang dalam dengan pantai yang berlereng curam. Pada umumnya ekosistem perairan waduk dan danau yang dalam dan curam tersebut terdiri atas tiga zona utama, yaitu zona littoral, limnetik dan profundal. Zona limnetik merupakan habitat bagi organisme plankton (fito- dan zooplankton) dan nekton (ikan dan organisme yang aktif berenang lainnya). Waduk Ir. H. Djuanda (Jatiluhur) dengan luas permukaan air maksimum 8.300 ha dan kedalaman maksimum 97 m diperkirakan mempunyai zona limnetik seluas 5.200-7.100 ha (tergantung tinggi muka air waduk) atau antara 63-86% dari total luasnya.

Jenis ikan asli (indigeneous species) yang menghuni waduk Djuanda

tercatat sebanyak 25 jenis dan semula berasal dari sungai Citarum dan anak sungainya. Sebagian besar jenis-jenis ikan tersebut mempunyai kebiasaan makanan sebagai ikan karnivor, omnivor dan herbivor atau detritrivor dan benthivor yang termasuk ikan sungai (Kartamihardja, 1991). Diantara jenis ikan tersebut tidak terdapat satu jenispun yang termasuk ikan pelagis dan pemakan

plankton (plankton feeder). Hal ini dikarenakan di perairan waduk di Asia

Tenggara, komunitas ikan pada umumnya disokong oleh populasi ikan herbivor atau detritrivor dan benthivor, sedangkan jumlah ikan pelagis yang bersifat zooplanktivor sangat terbatas (Fernando, 1976; Fernando and Holcik, 1982; Petr and Kapetski, 1983; Piet, 1996).

(21)

yang dihasilkan dari dekomposisi limbah organik tersebut telah meningkatkan kesuburan perairan sehingga perairan waduk Djuanda yang pada tahun 1988 masih termasuk perairan oligo-mesotrofik (Nuroniah dan Kartamihardja, 1988) berubah menjadi perairan eutrofik (Nastiti et al., 2001b). Peningkatan unsur hara tersebut juga telah berdampak terhadap peningkatan pertumbuhan fitoplankton

sesaat dengan kelimpahan yang tinggi (blooming), terutama dari jenis

Microcystis (Garno, 2002). Proses eutrofikasi yang terjadi di waduk tersebut akan berkaitan erat dengan perubahan struktur dan fungsi ekosistem perairan, yaitu hubungan ekosistem terpenting antara dinamika nutrien, struktur komunitas fitoplankton dan zooplankton, dan organisme bentik, serta struktur komunitas ikan termasuk dinamika populasinya.

Biomassa plankton yang tumbuh dan berkembang di zona limnetik waduk dan diperkirakan cukup tinggi tersebut merupakan potensi sumberdaya makanan yang dapat dimanfaatkan oleh ikan pemakan plankton sehingga akan terjadi konversi plankton menjadi biomassa ikan. Berdasarkan produktifitas primernya

yang mencapai 10,080 kgC/m3/th, waduk Djuanda diperkirakan mempunyai

potensi hasil ikan sebesar 850 ton/th (Sarnita, 2001). Namun demikian, pada tahun 2000 produksi ikan aktualnya hanya sebesar 336 ton atau hanya 39,5% dari potensinya sehingga tingkat pemanfaatan sumberdayanya masih tergolong rendah.

Perubahan ekosistem perairan waduk yang dalam akan berbeda dengan perubahan ekosistem perairan waduk yang dangkal. Di perairan waduk yang dalam, seperti waduk Djuanda kemungkinan terjadi pengadukan sampai dasar perairan sangat kecil dan lapisan dasar perairan biasanya bersifat anaerob sehingga akan terjadi penumpukan unsur hara yang tidak dapat digunakan oleh organisme pelagis dan unsur hara tersebut tidak masuk dalam resiklus nutrien.

Model jejaring makanan di zona limnetik dapat digambarkan secara sederhana mulai dari unsur hara (N dan P), fitoplankton, zooplankton, dan ikan. Secara hipotesis model jejaring makanan di zona limnetik waduk tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 1. Dalam model struktur ekosistem tersebut,

parameter sebagai masukan (input) terdiri atas: unsur hara N dan P yang

(22)

Gambar 1. Hipotesis model struktur ekosistem (jejaring makanan) di zona limnetik waduk

Dalam kolom air terjadi proses sebagai berikut: penyerapan N dan P (NPu) oleh fitoplankton; grazing zooplankton (Gr); filtrasi zooplankton (Fi); predasi oleh ikan (Pi); kompartemen kehilangan karena eksresi dan mortalitas (Mf, Mz, Mi); dekomposisi dan remineralisasi (dm); dan penenggelaman (St). Sedangkan di sedimen terjadi proses: dekomposisi dan remineralisasi (dm); desorpsi fosfor (dP); dan pelepasan fosfor (pP). Disamping itu, terjadi pula proses kehilangan ke lingkungan perairan karena: hanyut terbawa air (lF, lZ) dan mortalitas karena penangkapan ikan (F). Hipotesis model struktur ekosistem tersebut merupakan aliran energi dalam suatu jejaring makanan.

Identifikasi dan Perumusan Masalah

(23)

ekosistem waduk. Konsentrasi unsur N dan P akan berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan biomassa fitoplankton. Disamping itu, pertumbuhan dan fotosintesis fitoplankton juga akan dipengaruhi oleh turbiditas dan irradian cahaya matahari. Sedangkan komposisi jenis dan kelimpahan fitoplankton dipengaruhi oleh konsentrasi nutrien dan grazing zooplankton.

Di dalam rantai makanan, fitoplankton merupakan makanan bagi zooplankton herbivor maupun ikan pemakan plankton. Oleh karena plankton hidup dan mengisi zona limnetik waduk Djuanda, maka daerah tersebut seharusnya mempunyai biomassa plankton yang cukup tinggi. Namun demikian, biomassa plankton yang diperkirakan cukup tinggi tersebut tidak dimanfaatkan seluruhnya oleh ikan pemakan plankton karena di zona limnetik Waduk Djuanda tidak terdapat ikan pemakan plankton yang seluruh daur hidupnya memakan plankton. Plankton tersebut diduga hanya dimanfaatkan oleh beberapa jenis ikan pada fase awal dari daur hidupnya yaitu mulai larva sampai juana sehingga sumberdaya yang tersedia tidak seluruhnya dimanfaatkan. Dengan demikian, permasalahan utama yang terjadi di zona limnetik waduk Djuanda adalah

adanya kesenjangan antara sumberdaya yang tersedia dengan produksi ikan

yang rendah karena sumberdaya yang ada belum termanfaatkan seluruhnya. Permasalahan tersebut dapat disebabkan oleh:

1) Pertumbuhan biomassa fitoplankton di zona limnetik waduk tidak sesuai baik dalam kualitas maupun waktu tersedianya dengan yang diperlukan oleh zooplankton maupun ikan

2) Biomassa fitoplankton di zona limnetik tidak dimanfaatkan secara efisien oleh zooplankton maupun ikan

3) Struktur komunitas ikan yang ada tidak mampu berkembang dan beradaptasi di zona limnetik waduk

4) Transfer energi biomassa dari tingkatan trofik produser sampai tingkatan trofik konsumer paling atas (ikan) di zona limnetik waduk tidak efisien.

(24)
(25)

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk:

1) mendeskripsikan struktur komunitas dan biomassa plankton di zona limnetik waduk Djuanda,

2) mendeskripsikan struktur komunitas dan biomassa ikan di zona limnetik waduk Djuanda,

3) menghitung efisiensi trofik jejaring makanan dalam kaitannya dengan relung ekologi ikan pemakan plankton di zona limnetik waduk Djuanda, 4) mendeskripsikan hasil penelitian pada butir 1, 2 dan 3 dalam optimasi

pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan untuk pengembangan perikanan tangkap.

Data dan informasi tersebut dapat digunakan untuk menganalisis tingkat pemanfaatan potensi plankton yang tersedia oleh biomassa ikan dan menetapkan upaya-upaya tindak lanjut yang harus dilakukan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatannya agar dicapai pemanfaatan sumberdaya secara efisien dan produktif.

Tujuan tersebut dapat tercapai jika diketahui hubungan keterkaitan ekosistem yang utama diantara dinamika nutrien, kelompok fungsional fitoplankton, zooplankton, ikan pemakan plankton, dan ikan predator.

Hasil penelitian diharapkan bermanfaat untuk:

1. Mengetahui potensi sumberdaya aktual yang dapat dimanfaatkan maupun yang harus dikendalikan dalam rangka peningkatan efisiensi relung ekologi di zona limnetik waduk

2. Menentukan jenis-jenis ikan yang perlu dikembangkan, dikendalikan atau diintroduksikan agar potensi sumberdaya aktual dapat dimanfaatkan secara efisien.

3. Mengendalikan sumber penyebab beban masukan melalui kontrol biologi untuk meningkatkan daya dukung dan daya guna perairan.

4. Menyediakan data penting dalam rangka penebaran ikan pemakan plankton yang bersifat pelagis sehingga dapat mengisi daerah limnetik waduk sesuai dengan kode etik tatalaksana perikanan yang bertanggung jawab (code of conduct for responsible fisheries).

(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Morfometrika dan Hidrodinamika Waduk Djuanda

Waduk Djuanda merupakan salah satu waduk di Jawa Barat yang dibangun di bagian tengah aliran sungai Citarum, terletak pada ketinggian 110 m dpl (diatas permukaan laut), pada 6o25’-6o35’ LS dan 107o22’- 107o30’ BT. Di bagian hulu waduk Djuanda terdapat Waduk Cirata dengan luas 6.200 ha dan Waduk Saguling dengan luas 5.340 ha sehingga tiga waduk ini membentuk waduk berjenjang (“cascade”) seperti terlihat pada Gambar 3.

Morfometrika waduk Djuanda berdasarkan data dari Perum Jasa Tirta II (dulu Perum Otorita Jatiluhur) tertera pada Tabel 1. Permukaan air waduk Djuanda berfluktuasi antara 92,9–106,8 m diatas permukaan laut atau sekitar 13,9 m per tahun. Volume air yang masuk waduk berkisar antara 83,76-221,87 m3/dt dan air yang dikeluarkan dari waduk berkisar antara 112,97-197,84 m3/dt (PJT II, 2002).

Tabel 1. Morfometrika waduk Djuanda

Parameter Morfometri Unit Nilai

Luas permukaan air maksimum ha 8.300

Luas permukaan air minimum ha 5.847

Kedalaman maksimum m 97

Kedalaman rata-rata m 35,59

Volume waduk maksimum m3 2.954 x 106

Panjang garis pantai km 163

Pengembangan garis tepi 5.0

(27)

Gambar 3. Waduk berjenjang Djuanda, Cirata dan Saguling

(28)

Pengaruh Peningkatan Unsur Hara N dan P terhadap Produksi dan

Pertumbuhan Fitoplankton di Zona Limnetik Waduk

Kualitas air waduk Djuanda mengalami perubahan sejak waduk selesai dibangun (tahun 1967) dan mengalami perubahan kembali setelah waduk Saguling (tahun 1983) dan Cirata (tahun 1985) selesai dibangun sampai dengan berkembangnya budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) di ketiga waduk tersebut. Sebelum waduk Cirata dan Saguling selesai dibangun sampai dengan sebelum budidaya ikan dalam KJA berkembang, tingkat trofik waduk Djuanda termasuk ke dalam perairan oligotrofik dan kemudian pada tahun 1988 telah berubah menjadi mesotrofik dengan produktivitas primernya berkisar

antara 390-1.647 mgC/m3/hari (Nuroniah dan Kartamihardja, 1988). Proses

eutrofikasi tersebut terus berlanjut dan pada tahun 2000, rata-rata produktivitas

primernya meningkat menjadi 2.800 mgC/m3/hari (Sarnita, 2001) sehingga

waduk tersebut sudah termasuk kedalam perairan eutrofik sampai hypereutrofik (Nastiti et al., 2001a).

Di Waduk Djuanda, penambahan unsur N dan P yang utama berasal dari sisa pakan dan kotoran ikan dalam budidaya KJA, baik budidaya ikan yang ada di waduk Djuanda maupun di waduk Cirata. Kandungan total N dan P Waduk Djuanda pada tahun 1988 masing-masing berkisar antara 0,11-1,05 mg/l dan 0,060-0,24 mg/l (Nuroniah dan Kartamihardja, 1988).

Nastiti et al. (2001) menyatakan bahwa beban total N dan P dari kegiatan budidaya KJA di waduk Saguling berturut-turut adalah 142.967,3 kg dan 8.334,5 kg; di waduk Cirata: 2.943.850,1 kg dan 168.187,1 kg serta di waduk Jatiluhur (Djuanda): 55.143,5 kg dan 2.979,5 kg. Penyumbang total N dan P terbesar di ketiga waduk berasal dari pakan yang terbuang dan kotoran ikan yaitu 91,3-99,9%. Jumlah total N dan P yang masuk ke perairan secara berlebihan tersebut telah menurunkan kualitas air, daya dukung perairan serta menurunkan produktivitas KJA.

Di ekosistem akuatik, phosfor (P) dan nitrogen (N), serta silika (S) untuk diatom, adalah nutrien yang paling potensial membatasi pertumbuhan fitoplankton (Hecky and Kilham, 1988). Nutrien yang membatasi laju reproduktif suatu populasi mungkin juga bervariasi diantara spesies fitoplankton yang berbeda (Sommer, 1989). Fosfor adalah tipe nutrien pembatas di perairan danau

(Schindler, 1977; Henry et al., 1985; Hecky et al., 1993; Jansson, 1998;

(29)

pembatas. Nutrien yang membatasi produksi fitoplankton mungkin bervariasi baik secara temporal maupun spasial bergantung kepada masukan N dan P dari daerah tangkapan dan sedimen danau, atmosfer (Levine and Schindler, 1992) serta resiklus nutrien di danau (Schindler et al., 1993). Disamping nutrien utama,

beberapa nutrien pembatas (trace elements) mungkin juga menghambat

pertumbuhan fitoplankton. Sebagai contoh, ketersediaan Fe adalah faktor pembatas potensial bagi produksi primer di danau (Jones, 1992). Sebaliknya, ketersediaan karbon anorganik terlarut (dissolved inorgganic carbon, DIC) jarang menjadi faktor pembatas bagi produksi primer di daerah pelagis (Schindler et al., 1972), sebab danau adalah tipikal perairan yang biasanya supersaturasi dengan karbon dioksida (Cole et al., 1994).

Fitoplankton merupakan salah satu produser primer yang melakukan fotosintesis sehingga fitoplankton berperanan sangat penting dalam siklus energi di perairan. Produktivitas primer perairan bervariasi tergantung kepada kesuburannya, sebagai contoh danau yang telah mengalami eutrofikasi lanjut mempunyai produktivitas primer bersih sekitar 2,400 kcal/m2/tahun.

Di sistem akuatik, produser primer dipengaruhi oleh sumberdaya (pengaruh dari bawah atau bottom-up effects) dan konsumer (pengaruh dari atas

atau top-down effects) (McQueen et al., 1986; 1989). Kedua mekanisme

pengendalian tersebut berfungsi secara simultan (Vanni, 1996) dimana peranan

kepentingannya mungkin bervariasi (Hansson, 1992; Saunders et al., 2000)

tergantung kepada sistemnya. Di daerah pelagis danau, ketersediaan nutrien merupakan kekuatan “dari bawah” yang utama mempengaruhi produser primer. Pengaruh “dari bawah” tersebut akan semakin kuat pada tingkat trofik yang berdekatan dengan produser primer, dan secara bertahap akan menurun serta akan tidak dapat diprediksi jika bergerak menuju tingkatan trofik yang paling tinggi (McQueen et al., 1986; 1989).

Carpenter et al. (1985) menyatakan bahwa dua proses utama yang

(30)

Pengaruh Grazing Zooplankton terhadap Pertumbuhan

Komunitas Fitoplankton di Zona Limnetik Waduk

Biomassa fitoplankton ditentukan oleh pengaruh grazing zooplankton, laju konsumsi ikan pemakan plankton dan laju pertumbuhan serta mortalitas fitoplankton tersebut. Pada umumnya, selektifitas makanan pada grazing zooplankton ditentukan oleh ukuran partikel makanan (Wetzel, 1983). Sebagai

contoh di danau Oglethorpe, microzooplankton yang berukuran 200 µm ternyata

memakan mikroba yang lebih kecil, sedangkan macrozooplankton terutama mengkonsumsi fitoplankton berukuran lebih besar (Porter et al., 1996).

Balseiro and Modenutti (1998) menyatakan bahwa pengelompokkan

zooplankton (zooplankton assemblages) mempengaruhi komunitas fitoplankton

dalam dua cara. Pertama, spesies zooplankton tertentu mempunyai selektifitas grazing terhadap ukuran fitoplankton tertentu yang berdampak langsung terhadap spesies fitoplankton yang ada. Kedua, resiklus nutrien oleh zooplankton dapat mempengaruhi besaran dan terbatasnya nutrien secara alami dalam waduk sehingga mempengaruhi kompetisi nutrisi diantara fitoplankton. Di danau Andean, dua pengelompokkan zooplankton secara nyata terlihat bergantian mendominasi daerah pelagis danau. Pada musim dingin dan musim

semi, populasi zooplankton didominasi oleh calanoid, Boeckella gracilipes.

Sedangkan pada pertengahan musim panas didominasi oleh cladocera, Bosmina longirostris. Oleh karena rasio N:P dari Bosmina dan Boeckella

berbeda maka terjadi pergeseran musiman didalam keterbatasan nutrien di

danau tersebut. Bosmina meningkatkan unsur pembatas P, sedangkan

Boeckella menurunkan unsur pembatas P. Periode calanoid dapat ditekan pada

waktu tersebut jika terjadi suatu peremajaan ikan pemakan plankton, Galaxias

maculatus yang besar dimana larva dari ikan tersebut menyenangi nauplii copepod. Pengaruh predasi ikan (pengaruh dari atas) tidak hanya mempengaruhi fitoplankton secara langsung dengan berubahnya jumlah grazing organisme yang bersifat herbivor tetapi juga dengan berubahnya jumlah resiklus nutrien secara alami oleh organisme herbivor.

(31)

Brett et al. (1994) melaporkan bahwa pergeseran pada struktur komunitas zooplankton di danau Castle, California meningkatkan biomassa fitoplankton dan

produksi primer serta menurunkan kecerahan air. Daphnia dan Holopedium

yang makan dengan cara menyaring makanannya (filter-feeding) dan calanoid

copepod, Diaptomus yang bersifat raptorial dan menyaring makanannya

meningkatkan konsentrasi nutrien terlarut, menurunkan biomassa fitoplankton sehingga menyebabkan pergeseran didalam komposisi jenis fitoplankton, tetapi tidak mempengaruhi kelimpahan microzooplankton, bakterioplankton serta

produksi primer. Diacyclops yang bersifat raptorial mengurangi kelimpahan

microzooplankton tetapi sangat kecil sekali mempengaruhi parameter lainnya. Hasil tersebut menandakan bahwa pergeseran musiman dan pergeseran jangka panjang struktur komunitas zooplankton dapat secara dramatis menghambat proses ekosistem di danau Castle, California.

DeMott (1986) menyatakan bahwa rasa memegang peranan penting dalam seleksi makanan oleh zooplankton. Selektifitas pemakanan beberapa

spesies zooplankton ditentukan oleh aroma di lingkungannya. Daphnia sp. yang

sifat makannya filtrasi tidak terlalu sensitif terhadap aroma dan secara tidak sengaja mencerna partikel dengan kisaran ukuran tertentu, sedangkan

copepoda, Bosmina sp. yang makannya bersifat grasping (grasping-feeders)

lebih selektif. Rotifer menunjukkan respon yang beragam. Selektifitas makan dan sensitifitas terhadap rasa diantara taksa zooplankton (rotifer, copepod dan cladocera) menunjukkan bahwa zooplankton bukan kelompok fungsional homogen dari herbivor ataupun predator. Perbedaan spesifik spesies tersebut dalam selektifitas makanan mungkin mempunyai implikasi penting terhadap interaksi kompetisi diantara zooplankton dan tekanan grazing terhadap produser primer.

(32)

bahwa semakin banyak nutrien tersedia untuk pertumbuhan alga maka proses fotosintesisnya semakin efisien. Korelasi data tersebut sesuai dengan hasil

percobaan mesocosm di alam dengan perlakuan jumlah relatif yang berbeda dari

tiga klas ukuran fitoplankton dan dengan atau tanpa Daphnia pulex. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa keberadaan grazer mengindikasikan terjadinya peningkatan laju fotosintesis per unit fitoplankton dan per unit khlorofil-a.

Hansen et al. (1997) menyatakan bahwa aliran karbon di ekosistem

akuatik pada umumnya tergantung pada peranan herbivorous zooplankton meskipun zooplankton bukan satu-satunya kelompok fungsional yang homogen. Diantara spesies zooplankton terdapat perbedaan dalam hal laju pencernaan maksimum dan laju pengosongan makanan. Dari sekitar 60 species zooplankton yang berukuran antara 2-2,000 µm menunjukkan bahwa laju pencernaan dan laju pengosongan makanan menurun dengan menurunnya volume herbivorous zooplankton dengan nilai eksponen –0,23. Nilai eksponen tersebut adalah skala yang umum terjadi meskipun terdapat perbedaan yang nyata diantara kelompok zooplankton dengan ukuran tubuh yang sama.

Diantara protists, laju pencernaan dan laju pengosongan makanan pada ciliata adalah 2-4 kali lebih besar dari pada dinoflagellata. Diantara metazooplankton calanoid, laju pencernaan dan pengosongan makanan pada copepoda adalah satu tingkat lebih besar dari pada cladocera. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan perbedaan dalam siklus hidup dan lebar relung. Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan aliran karbon dalam jejaring makanan di sistem akuatik, zooplankton harus dipertimbangkan sebagai sejumlah kelompok fungsional yang berbeda. Kelompok fungsional tersebut dapat didasarkan pada ukuran tubuh (misal ciliata dengan mesozooplankton) dan kemungkinan strategi siklus hidup yang berbeda, misal copepoda dengan cladocera.

Havens (1999) melakukan studi untuk menjembatani perbedaan antara struktur komunitas (hubungan jejaring makanan, ukuran partikel dan kekayaan taksonomis) dan fungsi komunitas (efisiensi transfer ekologis). Empat model dinamika komunitas akuatik digunakan untuk mengembangkan metodologi yang mungkin berkorelasi dengan fungsi komunitas dan dibandingkan dengan 24 pengelompokan zooplankton yang diambil dari danau Okeechobee, Florida.

Empat model tersebut adalah: (1) keterkaitan jejaring makanan (connectance

(33)

Keterkaitan jejaring makanan atau peningkatan kompleksitas tidak menurunkan efisiensi transfer ekologis. Keterkaitan jejaring adalah prediktor yang sangat yang mendasar dan berguna dari beberapa sifat komunitas. Peningkatan kompleksitas jejaring makanan zooplankton ternyata meningkatkan panjangnya rantai makanan tetapi sebagai gantinya direfleksikan dengan meningkatnya omnivor. Beberapa omnivor makan lebih selektif dan sebagai akibatnya mengurangi transfer karbon ke tingkat trofik yang lebih tinggi bilamana mereka

mendominasi pengelompokan plankton. Persentase Daphnia juga merupakan

prediktor yang baik bagi efisiensi trofik disamping spektra ukuran. Terdapat hubungan yang konsisten antara ukuran zooplankton dan kemampuannya dalam mengeksploitasi produser primer. Bilamana zooplankton yang berukuran kecil dominan, jumlah karbon yang mengalir melalui jejaring makanan mikroba (microbial food web) lebih besar sehingga menurunkan efisiensi trofik zooplankton.

Dinamika musiman komunitas fitoplankton di danau temperate dapat dibedakan kedalam dua tipe dengan dua status yang saling bergantian (Lehman, 1980). Lebih lanjut dikatakan bahwa pada awal musim pertumbuhan, faktor-faktor abiotik mengendalikan pertumbuhan populasi sedangkan pada akhir musim pertumbuhan interaksi biotik berpengaruh sangat kuat terhadap suksesi komunitas. Faktor biotik yang penting adalah tekanan grazing yang selektif

terhadap ukuran (size-selective) dari herbivor yang berbeda. Disamping itu,

faktor biotik penting lainnya adalah resiklus nutrien oleh herbivor yang terjadi melalui eksresi dan pemecahan atau pemakanan sebagian sel alga. Percobaan

di laboratorium dengan Daphnia pulex dan alga Chlamydomonas reinhardtii

memperlihatkan bahwa peningkatan daur ulang nutrien berakibat terhadap

peningkatan laju pertumbuhan intrinsik algae. Daphnia mendaur ulang antara

35-60% dari total herbivor mencerna P per hari. Laju P yang dilepas sama dengan yang terjadi pada protozoa dan rotifer.

Model Jejaring Makanan dan Transfer Efisiensi Trofik

(34)

diatasnya (“bottom up effect”). Model hipotesis mekanisme pengaruh dari atas yaitu ikan pemakan plankton dan pengaruh dari bawah yaitu ketersediaan nutrien terhadap plankton di waduk diilustrasikan pada Gambar 4. Hubungan antara predasi ikan, ukuran tubuh herbivor, kompetisi dan komposisi komunitas fitoplankton berhubungan erat dengan suatu set unifikasi prediksi (a unified set of prediction) yang disebut hipothesis efisiensi-ukuran (size-efficiency hypothesis) (Brooks and Dodson, 1965). Hipotesis tersebut didasarkan kepada data observasi pada komunitas zooplankton di danau New England dan perubahan komposisi komunitas zooplankton dalam responnya terhadap introduksi ikan “alewife” di danau Crystal serta didasarkan pula kepada data yang menggambarkan seluruh kompetisi herbivor yang planktonis terhadap partikel makanan yang berukuran 1-15 µm.

Gambar 4. Hipotesis model mekanisme pengaruh dari atas (top down) ikan

pemakan plankton dan pengaruh dari bawah (bottom up)

[image:34.595.105.494.74.831.2]
(35)

Zooplankton ukuran besar ternyata makan lebih efisien dan dapat memakan partikel yang lebih besar. Dengan demikian, jika predasi (terutama oleh ikan) rendah, zooplankton yang berukuran besar akan bersaing penuh dengan zooplankton berukuran kecil dan sebaliknya akan terjadi jika predasi tinggi. Jika prediksi tersebut dianggap benar, maka hal tersebut sangat berimplikasi terhadap perubahan struktur komunitas fitoplankton. Zooplankton berukuran besar akan memakan baik net-fitoplankton maupun nannoseston sedangkan zooplankton berukuran kecil tidak akan memakan fitoplankton tersebut sehingga populasinya menjadi lebih melimpah.

Järvinen (2002) menyatakan bahwa di danau yang hanya terdapat beberapa atau tidak ada ikan pemakan plankton dicirikan dengan spesies zooplankton yang berukuran besar. Sebaliknya, danau yang dihuni oleh populasi

ikan pemakan plankton yang melimpah (terutama European perch, Perca

fluviatilis) mempunyai rata-rata distribusi ukuran zooplankton lebih kecil. Hal ini direfleksikan dalam distribusi biomassa fitoplankton di kolom air. Di danau dengan cladocera berukuran besar, biomassa fitoplankton di lapisan epilimnion rendah, yang menggambarkan pengaruh yang kuat dari grazing zooplankton terhadap algae di lingkungan perairan yang tanpa ikan pemakan plankton. Kondisi ini juga dapat dilihat setelah introduksi suatu tingkatan trofik baru, yaitu ikan pemakan plankton “whitefish” (Coregonus lavaretus) di danau L. Mekkojärvi. Beberapa pengaruh bertingkat yang diamati di danau meliputi: pengambil alihan Daphnia dan rotifer, peningkatan produksi dan biomassa fitoplankton, peningkatan biomassa protozoa, dan potensi pergeseran keterbatasan nutrien bagi fitoplankton. Hasil studi tersebut menggambarkan bahwa tingkatan terrendah dari jejaring makanan di danau dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya dan interaksi predator-prey. Hal ini menunjukkan bahwa dengan

tidak adanya ikan, Daphnia berukuran besar dapat berperan sentral dalam

interaksi jejaring makanan. Daphnia dapat mengatur secara kuat kelimpahan

fitoplankton dan protozoa, dan memberikan kontribusi nyata dalam siklus nutrien. Hasil tersebut juga menggambarkan bahwa respon ekosistem terhadap pertubasi mungkin bervariasi karena adanya interaksi trofik yang kompleks dan kompensasi respon potensial.

(36)

pemanfaatan ikan ukuran komersial adalah saling bergantung satu sama lain. Jika produksi primer meningkat, maka ukuran partikel pada tiap tingkatan trofik cenderung meningkat. Pada umumnya, rata-rata transfer efisiensi dari satu trofik ke tingkatan trofik diatasnya, tidak lebih besar dari 10%. Pederson et al. (1976) menghitung transfer efisiensi antara tingkatan trofik primer dan sekunder pada berberapa danau di Daerah Aliran Sungai Danau Washington, Amerika yang menunjukkan nilai kisaran antara 4 – 13%. Hasil tersebut menyimpulkan bahwa transfer efisiensi energi menurun dengan meningkatnya status trofik. Brylinsky and Mann (1973) mengestimasi transfer efisiensi dengan cara membagi produksi sekunder dengan produksi fitoplankton dan hasilnya adalah sebagai berikut: transfer efisiensi organisme benthos herbivor berkisar antara 0,5-9,5%; zooplankton herbivor: 2,6-21% dengan rata-rata 14%; zooplankton carnivor: 0,2-2,5% dengan rata-rata 1,4% dan benthos carnivor: 0,1-3,4% dengan rata-rata 0,9%. Ricker (1969) menyatakan bahwa transfer efisiensi ikan (growth efisiensi) maksimum adalah sekitar 35% dan nilai tersebut menurun secara kontinyu dengan meningkatnya pertumbuhan ikan.

Prespektif Dinamika Ekosistem Pelagis Waduk Kaitannya dengan

Optimasi Pemanfaatannya bagi Produksi Ikan

Selama periode pemanfaatan waduk untuk budidaya keramba jaring apung berkembang cukup pesat, yakni sejak tahun 1986, ekosistem perairan waduk Djuanda mengalami perubahan yang cukup drastis terutama dengan meningkatnya beban unsur hara N dan P yang dihasilkan dari kegiatan budidaya. Komunitas ikan yang hidup pertama kali di Waduk Djuanda adalah ikan asli dari sungai Citarum dan anak-anak sungainya. Jenis ikan tersebut

umumnya termasuk ikan sungai (riverine species) dengan kebiasaan makannya

yang tergolong ikan karnivor, omnivor, herbivor atau detritrivor dan benthivor (Kartamihardja, 1991). Disamping itu, hadirnya berbagai jenis ikan budidaya yang lepas ke ekosistem perairan waduk akan berdampak terhadap perubahan struktur komunitas ikan asli yang menghuni waduk.

(37)

memelihara suatu keseimbangan, keterpaduan, adaptasi komunitas organisme yang mempunyai komposisi spesies, keragaman dan organisasi fungsional sebanding dengan habitat alaminya. Jika suatu ekosistem mempunyai integritas biologis maka ekosistem tersebut juga sehat (Karr, 1995; Callicott, 1995), tetapi tidak berlaku sebaliknya (Callicott, 1995). Definisi kesehatan ekosistem lebih didasarkan kepada fungsi. Suatu ekosistem dikatakan sehat jika proses dan fungsi yang terjadi berjalan secara normal atau berubah secara perlahan (Callicott, 1995). Lebih lanjut dikatakan bahwa keterkaitan proses ekologis meliputi penyerapan energi matahari melalui proses fotosintesis dan alirannya menuju piramida trofik, akumulasi produksi biomassa dan dekomposisi, pertukaran karbon, nitrogen dan oksigen antara biota dan lingkungan. Konsep tersebut mengkaji pergerakan energi dan materi melalui trofik jejaring makanan sehingga meliputi sifat-sifat tingkatan komunitas dan sistem.

Pengelolaan Perikanan di Waduk Djuanda

Pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Waduk Djuanda sudah dilakukan sejak waduk tersebut selesai digenangi tahun 1967. Pengelolaan perairan waduk serbaguna, Djuanda dilakukan oleh Perum Jasa Tirta II (sebelumnya Perum Otorita Jatiluhur) yang merupakan suatu badan usaha pemerintah untuk mengakomodasi fungsi pemanfaatannya.

Pada umumnya, upaya pengelolaan perikanan di waduk yang luas dan serbaguna seperti Waduk Djuanda dilakukan melalui upaya-upaya penebaran ikan, pengelolaan lingkungan dan habitat perairan, pengaturan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, penataan ruang (zonasi) dan gabungan dari opsi-opsi pengelolaan tersebut.

Penebaran ikan di waduk Djuanda untuk pertama kali dilakukan pada saat waduk resmi dioperasikan tahun 1965 (Sarnita, 1976). Sampai dengan tahun 2005 telah ditebarkan sebanyak 13 jenis ikan yang umumnya merupakan jenis ikan budidaya (Sarnita, 1976; 1999; Kartamihardja dan Hardjamulia, 1983; Kartamihardja and Umar, 2005). Penebaran ikan tersebut pada umumnya dilakukan tanpa banyak mempertimbangkan keadaan lingkungan perairan dan komunitas ikan aslinya. Pada waktu diresmikan, Waduk Djuanda ditebari dengan jenis ikan budidaya yang di antaranya tidak cocok dengan lingkungan

(38)

(Trichogaster trichopterus), gurame (Osphronemus gouramy) dan tambakang (Helostoma temminckii). Selain penebaran ikan yang resmi dilakukan oleh pengelola waduk, sering juga terjadi penebaran yang tidak sengaja dilakukan, misalnya ikan yang lolos dari budidaya ikan dalam KJA dan atau terbawa dalam

benih yang dipelihara. Contohnya, ikan bandeng (Chanos chanos) yang lolos

dari KJA dan ikan oskar, kongo, goldsom dan ikan kaca yang disinyalir merupakan jenis ikan yang terbawa dalam benih ikan yang dipelihara (Kartamihardja and Umar, 2005).

Upaya pengelolaan lingkungan dan habitat perairan berupa upaya eradikasi (pemberantasan) tumbuhan dan gulma air yang dulu sering dilakukan, nampaknya pada saat ini sangat jarang dilakukan, kecuali pada waduk-waduk yang dikelola oleh perusahaan negara seperti Waduk Djuanda (Sarnita, 1983). Perbaikan habitat di waduk Djuanda juga dilakukan dalam upaya memperkaya makanan alami ikan dengan dilakukannya introduksi jenis zooplankton, yaitu Daphnia carinata (Sarnita, 1973).

Pengaturan atau regulasi yang berkaitan dengan usaha penangkapan ikan dan budidaya ikan di Waduk Djuanda telah dilakukan dan ditetapkan dengan surat keputusan Bupati Purwakarta. Pengaturan penangkapan ikan meliputi pembatasan musim penangkapan pada waktu ikan melakukan pemijahan yaitu bulan Oktober sampai Desember setiap tahunnya. Namun sejalan dengan perubahan komposisi jenis ikan asli yang akhir-akhir ini didominasi ikan nila, peraturan tersebut sudah tidak berfungsi lagi. Upaya pelestarian sumberdaya ikan asli juga dilakukan dengan menetapkan suaka perikanan (reservat) di daerah Ciparos. Pada awal penetapan daerah ini merupakan daerah pemijahan beberapa jenis ikan asli sungai Citarum, seperti Ikan tawes (Barbodes bramoides), ikan genggehek (Mystacoleucus marginatus), ikan lalawak (Barbodes bramoides) dan ikan nilem (Osteochillus hasselti) namun seiring dengan perubahan struktur komunitas ikannya, sekarang daerah suaka ini sudah tidak berfungsi lagi.

Pada awal pengembangan budidaya ikan dalam KJA di waduk Djuanda dilakukan dengan menetapkan jumlah unit KJA yang disesuaikan dengan daya dukung perairan, yakni sebanyak 3.700 unit (Kartamihardja, 1998) dan

pengaturan zonasinya (Purnomo et al., 1993). Namun dalam perkembangannya,

(39)

Miranda (2000) menyatakan bahwa tantangan utama pada pengelolaan perikanan di perairan waduk dalam kaitannya dengan keuntungan sosial dan ekonomis adalah habitat ikan dan degradasi lingkungan, ketidak sesuaian struktur komunitas ikan, sistem penangkapan yang tidak efisien, konflik antara

pemangku kepentingan (stakeholders) dan tidak memadainya institusi yang

(40)

METODE PENELITIAN

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian spektra ukuran biomassa plankton dan potensi pemanfaatannya bagi komunitas ikan di zona limnetik waduk Djuanda meliputi sub kegiatan sebagai berikut:

1) Penelitian pengaruh peningkatan unsur hara N dan P terhadap produksi dan pertumbuhan fitoplankton di zona limnetik waduk Djuanda. Penelitian ini

bertujuan untuk menghitung pengaruh beban (loading) unsur hara N dan P

terhadap pertumbuhan dan produksi fitoplankton di zona limnetik waduk. Tujuan penelitian ini untuk menjawab pertanyaan apakah peningkatan beban unsur hara N dan P yang berasal dari kegiatan budidaya ikan dalam keramba jaring apung dan dari aliran air yang masuk waduk merupakan faktor utama yang secara nyata meningkatkan produksi dan pertumbuhan fitoplankton di zona limnetik waduk?

2) Penelitian pengaruh grazing dan filtrasi zooplankton terhadap pertumbuhan komunitas fitoplankton di zona limnetik waduk Djuanda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh grazing zooplankton terhadap pertumbuhan populasi fitoplankton di zona limnetik waduk. Hal ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan sampai berapa jauh grazing zooplankton dapat mempengaruhi pertumbuhan dan biomassa fitoplankton. Selain itu, apakah fitoplankton yang terbentuk dapat dimanfaatkan oleh zooplankton dan ikan?

3) Penelitian efisiensi aliran energi pada jejaring makanan di zona limnetik waduk Djuanda. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan model jejaring makanan di zona limnetik waduk Djuanda mulai dari tingkatan trofik terrendah sampai kepada ikan pemakan plankton. Tujuan tersebut untuk menjawab pertanyaan apakah jejaring makanan di zona limnetik waduk sudah efisien? Jika belum efisien, bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi tersebut?

(41)

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di waduk Djuanda, Jatiluhur dengan menggunakan metoda survei dan pengamatan di laboratorium. Penelitian dilakukan dengan

cara pengambilan contoh secara acak berstrata (stratified random sampling)

(Johnson and Nielsen, 1985; Ryding dan Rast, 1989) di setiap stasiun penelitian. Stasiun penelitian ditetapkan di empat daerah penelitian yang mewakili zona limnetik waduk, sedangkan kegiatan penelitian difokuskan di daerah genangan utama seperti tertera pada Gambar 5. Pembagian daerah penelitian tersebut didasarkan kepada morfometrika dan hidrodinamika waduk (OECD, 1982) serta tingkat kesuburan perairannya, sebagai berikut:

a) Daerah I: daerah hulu waduk yang merupakan pemasukan air sungai Citarum atau pengeluaran air waduk Cirata. Daerah ini mendapat beban masukan bahan organik yang tinggi, berupa limbah yang berasal dari aktifitas budidaya kja di waduk Cirata. Di daerah ini ditetapkan satu stasiun penelitian, yaitu stasiun 1.

b) Daerah II: daerah transisi antara daerah hulu waduk dari Sungai Citarum dengan daerah tengah atau daerah genangan utama waduk. Di daerah ini ditetapkan satu stasiun penelitian, yaitu stasiun 2

c) Daerah III: daerah tengah waduk yang merupakan daerah genangan utama. Di daerah ini ditetapkan enam stasiun penelitian, yaitu stasiun 3, 3a, 3b, 3c, 3d, dan 3e.

d) Daerah IV: daerah pemasukan sungai Cilalawi dan daerah budidaya ikan dalam keramba jaring apung. Di daerah ini ditetapkan satu stasiun penelitian yaitu stasiun 4.

(42)

Gambar 5. Peta Waduk Djuanda dengan empat daerah penelitian (data diambil pada tinggi muka air waduk maksimum, 97,5 m dpl, 17 Mei 2002)

Tabel 2. Perkiraan luas daerah penelitian (pada ketinggian air 80 m, dpl) dan posisi stasiun penelitian di Waduk Djuanda

Posisi Stasiun Daerah

Penelitian

Perkiraan Luas (ha)

Nomor

Stasiun LS BT

I 484 1 6o34'55" 107o18'30"

II 1016 2 6o32'35" 107o19'25"

III 3190 3 6o30'05" 107o19'40"

3a 6o30'45" 107o20'35"

3b 6o31'55" 107o20'35"

3c 6o30'55" 107o21'30"

3d 6o31'55" 107o21'35"

3e 6o31'40" 107o22'35"

(43)

Penelitian Pengaruh Beban Masukan Unsur Hara N dan P terhadap

Produksi dan Pertumbuhan Fitoplankton di

Zona Limnetik Waduk Djuanda

Metode dan Desain Penelitian

Pengambilan contoh unsur N dan P serta parameter kunci kualitas air, dan contoh fitoplankton dilakukan di sembilan stasiun penelitian (lihat Gambar 5). Sedangkan pengamatan produksi primer fitoplankton hanya dilakukan di tujuh stasiun penelitian, yaitu stasiun 1, 2, 3, 3a, 3b, 3c dan stasiun 4. Pengambilan contoh unsur N dan P, parameter kunci kualitas air, dan fitoplankton di setiap stasiun dilakukan pada kedalaman 0,5 m (permukaan), 1 m, 2 m, 4 m dan 8 m. Pengukuran produksi primer fitoplankton dilakukan pada kedalaman 0,5; 1,5; 2,5 sampai 4,0 m yang disesuaikan dengan kedalaman eufotik. Kedalaman eufotik dihitung secara empiris dari besarnya kecerahan air (piring secchi) dikalikan dengan faktor 2,5 (Preisendorfer, 1986; Tilzer, 1988). Pengambilan contoh dan pengamatan produksi primer fitoplankton dilakukan setiap bulan selama 12 bulan pengamatan.

Variabel yang Diukur

Variabel yang ditera dalam penelitian ini meliputi:

a) Unsur N dan P serta parameter kunci kualirtas air, yaitu: ammonium (NH4), nitrit (NO2), nitrat (NO3), orto-fosfat (PO4), H2S, kelarutan oksigen,

pH, alkalinitas, bahan organik terlarut (BOT), suhu air dan kecerahan. b) Komunitas fitoplankton: genus, jumlah, ukuran dan volume fitoplankton.

Variabel kerja yang diukur adalah sebagai berikut: a) Produktivitas primer fitoplankton

Produktifitas primer diukur dengan metoda botol-gelap, botol terang menggunakan rumus sebagai berikut:

(

)

t

C

C

PP

l o

N

= (1)

dengan keterangan PPN= produktifitas primer bersih (mgO2/l/jam); Cl =

(44)

b) Kelimpahan fitoplankton

Kelimpahan fitoplankton dihitung dengan menggunakan metoda Lackey

Drop Microtransect Counting (APHA, 1989) dengan rumus sebagai berikut: V vc v A a n

N

F 1 × × ×

= (2)

dengan keterangan NF = jumlah total fitoplankton (sel/l); n = jumlah rataan individu per lapangan pandang; a = luas gelas penutup (mm2); v =

volume air terkonsentrasi (ml); A = luas satu lapangan pandang (mm2); vc = volume air di bawah gelas penutup (ml); V = volume air yang disaring (l).

Kelimpahan fitoplankton menurut genus dikelompokkan kedalam kelas berdasarkan klasifikasi Kamat (1976).

c) Biomassa Fitoplankton

Biomassa fitoplankton dihitung berdasarkan metoda biovolume secara geometrik dengan ru

Gambar

Gambar 4. Hipotesis model mekanisme pengaruh dari atas (top down) ikan
Gambar 6. Histogram dan analisis kluster rata-rata dan simpangan baku
Gambar 7. Histogram dan analisis kluster rata-rata dan simpangan baku
Gambar 9. Keterkaitan antara kandungan orto-fosfat dengan tinggi muka air
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa faktor A (daya oven microwave ) dan faktor B (lama waktu ekstraksi) berpengaruh nyata, sedangkan interaksi antara kedua

Dalam penelitian ini, digunakan larva Aedes aegypti instar 3, karena pada stadium ini, larva membutuhkan makanan untuk berkembang sehingga perasan seledri dapat

Monitoring dan Evaluasi Capaian Kinerja 1 Set Dokumen Pelaksanaan Kegiatan Aparatur

Pokok hutang Obligasi Seri A dan B sebesar Rp 206 miliar telah dilunasi, dan pembayaran bunga hingga ke-17 berjalan tepat waktu Sampai dengan saat ini posisi ke angan Perseroan c k

khusus (specialized farming) dan tingkat pendapatan dari usaha peternakan mencapai 100%. Hal inilah yang terjadi di Desa Jenggik Kecamatan Terara Lombok Timur.

Tidak dijumpai perbedaan yang signifikan pada tekanan darah sistolik, diastolik dan kadar hematokrit berdasarkan derajat keparahan pada preeklamsia berat baik sebelum

Saya mempunyai kesan bahwa KKN MAKMUR yang telah dilaksanakan oleh kelompok 231 di Kelurahan Kademangan ini, dimana letak geografisnya yang tidak terlalu jauh dari

Kegiatan ini menggunakan konsep Penyuluhan cara peningkatan nilai tambah sebuah hasil komoditi daerah sehingga dapat meningkatan perekonomian masyarakat dan praktek