• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejak aliran sungai Citarum dibendung, ekosistem perairan mengalami perubahan dari ekosistem mengalir (lotic) menjadi ekosistem tergenang (lentic). Perubahan ekosistem tersebut berpengaruh terhadap perubahan komposisi dan kelimpahan ikan. Besarnya pengaruh terhadap keanekaragaman jenis ikan tersebut sangat dipengaruhi oleh karakteristik biota lokal (strategi reproduksi, pola migrasi), karakteristik waduk (morfologi, hidrologi), desain dan karakteristik operasional bendungan, kualitas fisika-kimiawi air, dan karakteristik serta pemanfaatan daerah aliran sungainya (Agostinho et al., 1999). Ikan asli sungai Citarum yang umumnya merupakan jenis ikan sungai harus menyesuaikan diri dengan kondisi waduk yang bersifat lakustrin. Jenis ikan sungai tersebut

umumnya termasuk jenis ikan pemakan organisme dasar (benthivore), pemakan

organisme penempel ataupun jenis ikan predator. Oleh karena itu, hanya jenis ikan dengan adaptasi tingkahlaku dan toleransi fisiologis yang luas yang mampu menyesuaikan dengan ekosistem perairan tergenang sehingga dapat hidup dan berkembang biak.

Di waduk Djuanda dari 25 spesies ikan asli yang ditemukan pada awal pembendungan waduk, kini sebanyak 14 spesies telah hilang dan sudah tidak tertangkap lagi (Kartamihardja, 2003) bahkan di zona limnetik waduk sudah tidak pernah tertangkap lagi jenis ikan asli sungai Citarum. Ekosistem waduk Djuanda dengan zona limnetiknya yang cukup luas menghendaki adanya jenis ikan yang mampu mengisi daerah pelagis dengan strategi makan yang bersifat pemakan plankton. Pada umumnya, respon komunitas ikan terhadap lingkungan waduk adalah susksesi yang tidak menentu dari reaksi yang ditandai oleh reduksi kemantapan dari saling ketergantungan antar spesies, kemantapan biotik yang rendah, dan kegalauan biota yang terus menerus serta proses suksesi alami (Wetzel, 1990). Pembendungan sungai akan mengurangi siklus alami ekosistem sungai karena menahan siklus hidrologi alami dan dapat menimbulkan gangguan non-siklus dalam kaitannya dengan operasional bendungan, memperburuk instabilitas habitat perairan sehingga menghasilkan lingkungan yang asing bagi ikan. Respon komunitas ikan terhadap perubahan lingkungan tersebut terjadi selama beberapa tahun pertama setelah pembendungan dan akan meningkat,

misalnya karena suhu air yang tidak sesuai, kelarutan oksigen rendah, keanekaragaman habitat rendah, tidak sesuai atau berkurangnya tempat pemijahan, tidak tersedia sumberdaya makanan yang sesuai dan tidak ada tempat perlindungan bagi ikan mangsa (Paller & Gladden, 1992). Perairan waduk akan mepresentasikan penempatan kembali komunitas ikan sungai yang unik melalui adaptasinya terhadap kondisi lingkungan baru, yaitu sungai yang lebih teratur atau lingkungan waduk (Zhong & Power, 1996).

Untuk meningkatkan produksi ikan, perairan waduk sering dikelola dengan cara introduksi spesies yang dapat beradaptasi lebih baik di lingkungan perairan tergenang. Spesies introduksi biasanya mengalahkan spesies asli dan sampai menggantikan fauna asli. Di waduk Djuanda, introduksi ikan telah dimulai sejak waduk selesai dibendung tahun 1967 (Sarnita, 1983). Tujuh spesies ikan

introduksi yaitu gurame (Osphronemus gouramy), tambakan (Helostoma

temminckii), sepat siam (Trichogaster trichopterus), sepat jawa (Trichogaster pectoralis), nila (Oreochromis niloticus), mujair (Oreochromis mossambicus) dan nilem (Osteochilus hasselti) (Sarnita, 1987). Namun dari tujuh spesies tersebut hanya ikan nila yang populasinya berkembang (Kartamihardja dan Hardjamulia, 1983) dan sampai tahun 2002 sebanyak 14 spesies ikan asli telah hilang (Kartamihardja, 2003). Penyebab umum dari hilangnya ikan asli tersebut adalah hilangnya habitat dan mungkin akibat introduksi ikan (terutama persaingan dalam makanan) serta pencemaran. Perubahan habitat yang disebabkan oleh pembendungan sering membatasi habitat fauna ikan sungai sehingga hanya terbatas di bagian hulu waduk dimana bagian sungai masih ada. Sebagai contoh

terjadinya pembatasan bagi habitat ikan sungai seperti ikan tagih (Mystus

nemurus) dan kebogerang (Mystus nigriceps) setelah pembendungan waduk Cirata. Kondisi seperti ini, terjadi di waduk Djuanda dimana bagian sungai Citarum yang tersisa di bagian hulu waduk menjadi semakin pendek dengan dibangunnya waduk Cirata. Sebagian kecil populasi ikan sungai tersebut mungkin masih bertahan hidup untuk beberapa tahun di bagian sungai tetapi keragaman genetik aslinya mungkin hilang (Wilson, 1988). Bendungan juga telah menutup jalur ruaya ikan tertentu, seperti ikan jambal (Pangsius djambal) dan

lika (Wallago attu) yang melakukan ruaya pemijahan ke daerah hulu sungai.

Sebaliknya pembendungan juga telah menghambat ruaya ikan sidat (Anguilla

sp) sebagai ikan katadromus yang melakukan ruaya pemijahan ke laut. Oleh karena itu, keanekaragaman ikan di perairan waduk mungkin dapat

dipertahankan dengan menetapkan daerah suaka di bagian aliran sungai yang sesuai. Pembentukan beberapa daerah suaka di perairan waduk sebagai tempat pemijahan ikan juga akan membantu mempertahankan populasi ikan asli.

Introduksi ikan non-endemik yang bersifat lakustrin dan dapat memanfaatkan sumberdaya pakan terutama fitoplankton yang berlimpah merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan. Dilihat dari komposisi poplasi ikan yang berkembang baik di waduk Djuanda selama ini, yaitu populasi

ikan nila dan bandeng, Chanos chanos (meskipun bandeng tidak sengaja

ditebarkan) maka kedua jenis ikan tersebut mempunyai peluang dan akan berperanan penting dalam pemanfaatan sumberdaya pakan yang tersedia dan

peningkatan produksi ikan. Introduksi ikan patin siam (Pangasionodon

hypopthalmus) yang mulai dilakukan pada tahun 1999 telah berdampak posistif terhadap peningkatan hasil tangkapan dan dapat menggantikan populasi ikan patin jambal (Pangasius djambal) sebagai ikan asli sungai Citarum yang hilang (Kartamihardja et al., 2003). Ikan patin siam telah berhasil diintroduksikan di waduk Wonogiri dan berkembang pesat dengan memanfaatkan pakan alami

yang berupa plankton secara intensif (Kartamihardja et al., 2002). Penebaran

ikan patin siam di waduk Djuanda diharapkan dapat menggantikan populasi ikan patin jambal (Pangasius djambal) yang kini telah punah. Sifat biologis ikan patin siam yang tahan terhadap kandungan oksigen yang rendah (kebalikan dari ikan patin jambal) merupakan salah satu faktor pendukung bagi peluang keberhasilan penebaran.

Populasi ikan di perairan waduk Djuanda adalah hasil restrukturisasi dari komunitas ikan yang sebelumnya hidup di perairan sungai Citarum dan anak- anak sungainya. Komposisi spesies ikan sungai sangat bervariasi diantara daerah zoogeografik (Matthews, 1998), dimana beberapa daerah mempunyai proporsi spesies yang besar yang mampu beradaptasi untuk mengisi lingkungan lentik waduk. Restrukturisasi ditandai dengan hilangnya beberapa komponen dari komunitas ikan lokal dan menurunnya kelimpahan kebanyakan spesies secara drastis (Agostinho et al., 1999). Karakteristik waduk mungkin membatasi atau menyokong keberhasilan adaptasi dalam memelihara ketahanan suatu spesies di lingkungan sungai. Spesies ikan yang mampu beradaptasi (terutama pemakanan dan reproduksi) di habitat yang tersedia akan berhasil menghuni

perairan waduk. Fernando & Holčík (1982) menyatakan bahwa tidak adanya

berkaitan erat dengan menurunnya hasil tangkapan ikan di perairan waduk di Asia Tenggara dan Amerika Selatan. Kondisi seperti ini nampaknya terjadi pula di perairan waduk Djuanda dimana hampir tidak ada ikan sungai asli yang mampu beradaptasi dan mengisi perairan waduk, apalagi di zona limnetiknya.

Penebaran ikan merupakan salah satu praktek pengelolaan yang telah lama dilakukan. Di Indonesia, introduksi ikan untuk pertama kali dilakukan pada permulaan abad 20 (Sarnita, 1983). Introduksi ikan menjadi kontroversial karena pada kebanyakan kasus berdampak negatif terhadap komunitas ikan asli, berkontribusi terhadap hilangnya populasi ikan asli dan menurunkan keragaman genetik (Schramm & Piper, 1995). Penebaran juga memegang peranan penting dalam pengelolaan perikanan di waduk apabila dilakukan secara benar dan pada lokasi yang tepat. Apabila keberhasilan reproduksi terbatas oleh tidak tersedianya atau miskinnya kualitas habitat pemijahan, penebaran benih ikan akan menambah rekrutmen secara alami sehingga meningkatkan kelimpahan ikan dan hasil tangkapan. Populasi beberapa spesies anadromous kadang- kadang akan meningkat melalui penebaran. Beberapa populasi ikan di perairan waduk dipertahankan dengan cara penebaran oleh karena reproduksi tidak terjadi di perairan waduk. Ukuran ikan yang ditebarkan juga harus dipertimbangkan karena kelangsungan hidup ikan meningkat dengan meningkatnya ukuran, meskipun keberhasil penebaran juga terjadi dengan cara menebarkan ikan berukuran kecil dalam jumlah yang banyak (Welcomme&Bartley, 1998). Pertimbangan ekonomis penebaran sering ditentukan oleh ukuran dan jumlah ikan yang ditebarkan. Selain itu harus diingat pula bahwa banyak waduk yang kaya akan keanekaragaman jenis ikan sehingga menyediakan peluang yang baik bagi pengembangan perikanan. Di beberapa negara, introduksi ikan eksotik baik ikan predator maupun non predator ke perairan waduk menunjukkan keberhasilan (Baluyut, 1983; Schramm & Piper, 1995; Cowx, 1998; Quiros, 1998; Petr & Mitrofanov, 1998.). Ikan asli sungai yang dibendung sering tidak dapat beradaptasi terhadap fungsi perairan tergenang atau habitat limnetik.

Introduksi ikan pemangsa (predator) biasanya dilakukan untuk menanggulangi ekses karena ketersediaan spesies mangsa di daerah limnetik, keinginan untuk membentuk perikanan baru, dan untuk mendistribusikan upaya tangkap terhadap beberapa spesies. Sedangkan introduksi ikan mangsa pada umumnya dilakukan untuk memenuhi penyediaan ukuran ikan mangsa yang

sesuai untuk ikan predator, namun kadang-kadang ikan mangsa yang ditebarkan tumbuh cepat di perairan waduk sehingga mencapai ukuran yang terlalu besar sebagai ikan mangsa. Oleh karena di negara berkembang termasuk di Indonesia, pengembangan perikanan di perairan waduk lebih ditekankan untuk memenuhi kebutuhan protein maka ikan yang mempunyai pertumbuhan cepat, ikan herbivor dengan rantai makanan yang pendek biasanya digunakan sebagai ikan tebaran (Sugunan,1995). Introduksi ikan yang berhasil baik dilihat dari prespektif perikanan adalah introduksi ikan tilapia dan clupeids. Berbagai jenis tilapia telah berhasil diintroduksikan ke beberapa waduk di Africa, Asia, dan Amerika Selatan (Oglesby, 1985; Moreau&De Silva, 1991; Paiva et al., 1994; Sugunan, 1995), dan clupeids di Africa dan Amerika Utara (Jenkins, 1967; Kapetsky, 1986). Di Waduk Djuanda, introduksi ikan nila juga telah memberikan

kontribusi yang besar terhadap hasil tangkapan (Kartamihardja et al., 2003).

Meskipun demikian, daerah litoral waduk yang sempit sebagai habitat pemijahan ikan nila diduga merupakan faktor pembatas dalam peremajaan populasinya.

Introduksi ikan umumnya menghasilkan peningkatan produksi yang sangat tinggi di perairan waduk yang kondisi lakustrinnya diimbangi dengan

waktu pergantian air (water retention time) yang cepat, seperti waduk-waduk

dangkal yang dibangun di bagian hilir sungai. Hal ini berbeda dengan waduk Djuanda dimana waktu pergantian airnya relatif lambat. Di beberapa waduk di Afrika, penebaran dilakukan di daerah pembesaran yang bebas dari predator sehingga populasi ikan yang ditebarkan berkembang pesat (Kapetsky, 1986). Sebaliknya, penebaran ikan tilapia berdampak negatif terhadap populasi ikan asli seperti yang dilaporkan di India (Sugunan, 1995) dan Amerika Utara (Moyle, 1976). Di waduk yang mempunyai laju turnover cepat, kondisi limnologi daerah sungai cenderung menghambat perkembangan tilapia. Namun demikian, pada beberapa kasus, introduksi ikan juga mendatangkan kerugian daripada keuntungan (Li&Moyle, 1993), sehingga pendekatan kehati-hatian perlu diterapkan (Bartley&Minchin, 1996). Sebelum memulai program penebaran dan introduksi ikan beberapa isu dan permasalahan yang ada harus dipertimbangkan secara hati-hati (Cowx,1998).

Tekhnik pengelolaan juga harus mencapai sasaran perikanan pada tingkat biaya yang rendah, dengan keuntungan jangka panjang atau dengan sedikit sekali berpengaruh negatif terhadap komunitas biologis yang ada. Ukuran dan jumlah ikan yang diperlukan untuk penebaran mempengaruhi apakah upaya

akan menghasilkan biaya efektif dan berlanjut. Berapa lama keuntungan berakhir adalah satu pertimbangan penting, ikan penebaran diperlukan untuk dilanjutkan secara kontinyu, cara pemacuan yang lain mungkin lebih ekonomis dalam jangka panjang. Potensi dampak negatif terhadap lingkungan dan biota harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh dan upaya harus dibatalkan jika peluang dampak tersebut sudah diketahui. Untuk itu, pengetahuan biologi dan ekologi dari kandidat spesies introduksi harus diketahui, dan pengalaman introduksi spesies atau spesies yang sama harus diketahui. Secara umum, introduksi spesies yang melakukan ruaya dan spesies predator harus dihindari. Dengan pertimbangan bahwa waduk Djuanda mempunyai daerah limnetik yang luas, kelimpahan fitoplankton cukup tinggi, maka penebaran ikan perlu dilakukan dengan jenis yang dapat mengisi zona limnetik dan mampu memanfaatkan biomassa fitoplankton secara efisien. Berdasarkan keragaan populasi ikan yang dapat tumbuh dengan baik dan dapat mengisi zona limnetik waduk, maka ikan bandeng dapat dijadikan sebagai ikan tebaran di waduk Djuanda. Jenis ikan lainnya yang mungkin dapat dipertimbangkan sebagai ikan tebaran adalah ikan

ringo (Thynnichthys thynnoides) atau motan (Thynnichthys polylepis), ikan

pemakan plankton dan ikan asli perairan umum yang banyak terdapat di Sumatera bagian Selatan dan Kalimantan.

Kelemahan yang utama dalam penebaran ikan di perairan waduk di Indonesia selama ini adalah tidak ada pertimbangan secara kuantitatif banyaknya ikan yang harus ditebarkan sesuai potensi sumberdaya yang tersedia. Oleh karena itu, agar ikan yang ditebarkan dapat secara optimum memanfaatkan sumberdaya yang tersedia maka perlu dikembangkan model pendugaan jumlah optimum ikan yang akan ditebar. Berdasarkan hasil penelitian ini, model estimasi jumlah ikan pemakan plankton yang ditebarkan dapat dihitung dari besarnya biomassa fitoplankton, transfer effisiensi, kompetisi makanan dengan ikan pemakan fitoplankton lainnya, laju pertumbuhan dan mortalitas ikan tebaran, target ukuran ikan yang akan dipanen dan laju penangkapan dengan persamaan sebagai berikut:

N =(B

f

*F

c

*T

e

/W) + M

Keterangan: N = jumlah ikan tebaran pada waktu awal (ekor)

Fc= kompetisi makanan ikan tebaran dengan ikan lain

(persentase volume fitoplankton yang dapat dimanfaatkan oleh ikan tebaran)

Te = transfer efisiensi biomassa fitoplankton ke ikan (4 – <10%)

W = rata-rata berat ikan tebaran yang akan dipanen (kg) M = mortalitas ikan tebaran (%)

Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini, jumlah ikan bandeng yang harus ditebarkan adalah sebesar 4,118 juta ekor (Tabel 13).

Tabel 13. Estimasi jumlah ikan bandeng yang harus ditebar di waduk Djuanda

Parameter Satuan Nilai Estimasi

Biomassa fitoplankton (Bf) kg/ha/th 8.671

Kompetisi makanan dengan ikan nila, oskar, kongo (Fc) % 28,5

Transfer efisiensi biomassa fitoplankton ke bandeng (Te) % 7,0

Rata-rata berat ikan bandeng yang akan dipanen (W) kg 0,3 Mortalitas ikan bandeng pada penebaran (M) % 30 Jumlah ikan bandeng yang harus ditebar (N) ekor/ha/th 824

Jumlah total ikan bandeng yang ditebar di waduk (Nt) ekor/th 4.118.600

Rata-rata laju penangkapan ikan bandeng (F) % 30

Jumlah ikan bandeng yang tertangkap (Fn) ekor/th 1.235.600

Keterangan:

Fc = rata-rata persentase volume fitoplankton yang dimanfaatkan oleh ikan

bandeng, nila, oskar, kongo masing-masing (28,5%; 55,5%; 11,8%; 4,2%) Te = rata-rata transfer biomassa produksi primer ke sekunder (Jones, 1992)

W = rata-rata berat ikan bandeng tangkapan yang ekonomis

M = rata-rata mortalitas bandeng yang dipelihara dalam budidaya KJA Nt = N dikalikan rata-rata luas minimum zona limnetik waduk (5000 ha)

F = nilai maksimum ikan tebaran yang tertangkap kembali dengan metode penandaan di waduk Djuanda (Kartamihardja et al., 2003)

Jumlah ini adalah jumlah ikan bandeng yang pertama kali (pada tahun pertama) harus ditebarkan. Oleh karena ikan bandeng tidak dapat memijah di perairan waduk dan ikan bandeng yang ditebarkan tidak seluruhnya dapat ditangkap, maka pada tahun berikutnya jumlah ikan bandeng yang ditebarkan adalah sama dengan jumlah ikan yang tertangkap atau sesuai dengan laju

penangkapannya, yaitu sekitar 1,235 juta ekor/tahun. Jumlah ini adalah setara dengan laju peremajaan ikan pemakan plankton yang dapat memijah di perairan waduk. Penebaran ikan pemakan plankton (misal bandeng) tersebut perlu diikuti dengan pengaturan penangkapannya. Pembatasan ukuran mata jaring gillnet lebih besar dari 2,5 inci akan menghasilkan tangkapan ikan bandeng dengan ukuran lebih besar dari 300 gram per ekornya.