• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II RUANG LINGKUP KEDUDUKAN DIREKSI DALAM PERSEROAN

C. Direksi Sebagai Pengurus Dan Wakil Perseroan

Tugas atau fungsi utama Direksi, menjalankan dan melaksanakan “pengurusan” (beheer, administration or management) perseroan. Jadi perseroan diurus, dikelola atau dimanage oleh Direksi. Hal ini ditegaskan dalam beberapa ketentuan, seperti: pasal 1 angka 5 yang menegaskan, Direksi sebagai organ perseroan, berwenang dan bertanggung jawab penuh atas “pengurusan” perseroan

57

untuk kepentingan perseroan dan pasal 92 ayat (1) mengemukakan, Direksi menjalankan “pengurusan” perseroan untuk kepentingan perseroan. 58

Pengertian umum pengurusan Direksi dalam konteks Perseroan, meliputi tugas atau fungsi melaksanakan kekuasaan pengadministrasian dan pemeliharaan harta kekayaan perseroan. Dengan kata lain, melaksanakan pengelolaan atau menangani bisnis perseroan dalam arti sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan perseroan dalam batas-batas kekuasaan atau kapasitas yang diberikan undang-undang dan Anggaran Dasar kepadanya.59

Direksi sebagai pengurus (beheerder, administrator or manager) perseroan, adalah “pejabat” perseroan. Jabatannya adalah anggota Direksi atau Direktur perseroan (a Director is an officier of the company). Anggota Direksi atau Direktur bukan pegawai atau karyawan ( he is not an employee). Oleh karena itu, dia tidak berhak mendapat pembayaran prefensial (preferential payment) apabila perseroan dilikuidasi.60

Pengurusan oleh Direksi sangat terkait dengan pertanyaan untuk siapa pengurusan tersebut? Terdapat dua mazhab besar yang melihat kepentingan dari pengurusan sautu perseroan. Pertama, mazhab sahreholder interest. Pemikiran ini dipelopori oleh Adolph A. Berle, dimana pengurusan perseroan semata-mata untuk kepentingan pemegang saham sebagai pemilik dari korporasi. Banyak pendapat yang menentang bahwa pemegang saham adalah pemilik dari korporasi dengan dasar konsistensi pada konsep korporasi yang merupakan entitas mandiri, sedangkan pemilik hanya sebagai pemilik saham dari korporasi tersebut, tetapi

58

M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal 346. 59

Ibid

60

tetap saja logika hukum dan praktik ekonomi menunjukkan bahwa korporasi tersebut adalah milik pemegang saham. Hal ini karena berdasarkan konsep property law yang salah satu cirinya adalah transferable, contoh yang paling konkret adalah saham. Saham merupakan suatu bentuk kepemilikan properti karena dapat diperjulbelikan atau dialihkan kepemilikannya.61

Kedua, mazhab stakeholder interest, dimana tujuan korporasi tidak semata-mata mencari keuntungan bagi pemegang saham, tetapi juga untuk kepentingan lainnya, termasuk di dalamnya kepentingan sosial. Mazhab inilah yang kemudian akan melahirkan team production doctrine dan Director primary doctrine. Menurut Nindyo Pramono, dalam hukum korporasi modern, kepentingan kepengurusan pada pokoknya adalah untuk kepentingan pemegang saham dan kepentingan perseroan itu sendiri (het vennootschap belang), dan dikaitkan dengan penerapan prinsip tata kelola korporasi yang baik dan benar (good corporate governance), dimasukkan pula kepentingan lain, seperti kepentingan karyawan, kepentingan pihak ketiga atau kreditur, kepentingan loyal society.62

Berdasarkan undang-undang Perseroan Terbatas bahwa Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, antara lain pengurusan sehari-hari perseroan. Sejalan dengan pengaturan undang-undang Perseroan Terbatas yang menyebutkan bahwa pengurusan ditujukan untuk kepentingan perseroan. Dalam sistem hukum common law, terdapat pula konsep serupa yang penerapannya

61

Freddy Harris dan Teddy Anggoro, Loc. Cit, hal. 40. 62

terdapat dalam putusan perkara Guttman Huang. Pengadilan Delaware menyebutkan bahwa seorang Direksi tidak dapat dikatakan bertindak loyal kepada korporasi, kecuali kalau dia bertindak dengan itikad baik dan tindakan itu untuk kepentingan terbaik (best interest) bagi korporasi. Adapun anak kalimat “pengurusan sehari-hari perseroan” atau “day to day activities” dalam undang-undang Perseroan Terbatas adalah sejalan dengan pandangan para ahli hukum. Seperti Nindyo Pramono yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan pengurusan (beheer van daden) adalah tiap-tiap perbuatan yang perlu atau termasuk golongan perbuatan yang biasa dilakukan untuk mengurus atau memelihara perserikatan perdata, termasuk perseroan. Aiman Nariman Mohamad Sulaiman mengatakan bahwa pengurusan sehari-hari adalah implementasi dari standart of care seorang Direksi.63

2. Direksi sebagai wakil perseroan

Direksi sebagai salah satu organ atau alat perlengkapan perseroan, selain mempunyai kedudukan dan kewenangan mengurus perseroan, juga diberi wewenang untuk “mewakili” perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama perseroan. Kewenangan ini ditegaskan pada:

a. Pasal 1 angka 5; Direksi sebagai organ perseroan berwenang mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan AD;

63

b. Pasal 99 ayat (1) Direksi mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.64

1) Kualitas kewenangan Direksi mewakili perseroan tidak terbatas dan tidak bersyarat

Kapasitas atau kewenangan yang dimiliki Direksi mewakili perseroan karena undang-undang. Artinya, undang-undang sendiri dalam hal ini Pasal 1 angka 5 dan Pasal 92 ayat (1) UUPT 2007 yang memberi kewenangan itu kepada Direksi untuk mewakili perseroan di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu, kapasitas mewakili yang dimilikinya, adalah kuasa atau perwakilan karena undang-undang (wettelijke vertegenwoordig, legal or statutory representative). Dengan demikian, untuk bertindak mewakili perseroan, tidak memerlukan kuasa dari perseroan. Sebab kuasa yang dimilikinya atas nama perseroan adalah kewenangan yang melekat secara inherent pada diri dan jabatan Direksi berdasar undang-undang.65

Sehubungan dengan itu, sesuai dengan kapasitasnya sebagai kuasa mewakili perseroan berdasar undang-undang, Direksi berwenang memberi kuasa kepada orang yang ditunjuknya untuk bertindak mewakili perseroan. Tindakan pemberian kuasa yang demikian dapat dilakukan Direksi tanpa memerlukan persetujuan dari organ perseroan yang lain. Tidak memerlukan persetujuan RUPS maupun Dewan Komisaris.66

64

M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 349. 65

Ibid

66

Akan tetapi, apa yang dijelaskan di atas merupakan ketentuan dan prinsip umum. Namun, hal itu tidak menutup kemungkinan, untuk melakukan tindakan tertentu harus lebih dahulu mendapat kuasa atau persetujuan dari RUPS, apabila hal itu ditentukan dalam Anggaran Dasar. Kemungkinan yang demikian dijelaskan dalam Pasal 98 ayat (2).67 Menurut pasal ini, pada dasarnya kewenangan Direksi untuk mewakili perseroan adalah tidak terbatas (unlimited) dan tidak bersayarat (unconditional), kecuali UU ini, Anggaran Dasar atau keputusan RUPS menentukan lain.68

2) Setiap Anggota Direksi Berwenang Mewakili Perseroan

Pada prinsipnya, setiap anggota Direksi berwenang mewakili perseroan, kecuali ditentukan lain dalam Anggaran Dasar. Hal itu ditegaskan dalam pasal 98 ayat (1) bahwa Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukn lain dalam anggaran dasar.69

Pasal 98 ayat (2) menegakkan prinsip bahwa tiap-tiap anggota Direksi mewakili perseroan. Menurut penjelasan pasal ini, UUPT 2007 pada dasarnya menganut sistem perwakilan kolegial.

3) Dalam hal tertentu anggota Direksi tidak berwenang mewakili perseron.

Berdasarkan Pasal 99 UUPT 2007 ditegaskan bahwa:

67

Ibid

68

Republik Indonesia, Undang-Undang Pasal Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Bab V, Pasal 98 ayat (3)

69

(1) Anggota Direksi tidak berwenang mewakili perseroan apabila:

a. terjadi perkara di pengadilan antara perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan;atau

b. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan.

(2) Dalam hal terdapat keadaan sebagimana dimaksud pada ayat (1), yang berhak mewakili perseroan adalah:

a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan.

b. Dewan komisaris dalam hal seluruh anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan, atau

c. Pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal seluruh anggota Direksi atau Dewan Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan.

BAB III

BENTUK PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN DALAM PENGURUSAN PERSEROAN TERBATAS

A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Secara sederhana dapat dikatakan perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan secara nyata melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya, setiap orang atau pelaku usaha melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dikatakan suatu perbuatan melawan hukum. Di dalam pasal 1365 KUH Perdata diteapkan, bahwa perbuatan melawan hukum adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain, dan orang yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain, dan orang yang mengakibatkan kerugian diwajibkan memberikan ganti rugi kepada orang yang mengalami kerugian tersebut.70

Berdasarkan paham-paham sifat melawan hukum, doktrin membedakan 2 (dua) perbuatan melawan hukum yaitu :71

1. Perbuatan melawan hukum formil, yaitu suatu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu sudah diatur dalam undang-undang. Jadi, sandarannya adalah hukum yang tertulis.

70

Jur. M. Udin Silalahi, Badan Hukum Organisasi Perusahaan, (Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2005), hal. 83.

71

2. Perbuatan melawan hukum materiil, yaitu terdapat unsur suatu perbuatan melawan hukum walaupun belum diatur dalam undang-undang. Sandarannya adalah asas umum yang terdapat di lapangan hukum.

Moleograff menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum tidak hanya melanggar undang-undang akan tetapi juga melanggar kaedah kesusilaan dan kepatutan.72 Dalam praktek sejak lahirnya Arrest Lindenbaum Cohen pada tahun 1919 terdapat 4 (empat) kriteria perbuatan melawan hukum, yaitu:73

1. Bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku; 2. Melanggar hak subjektif orang lain;

3. Melanggar kaidah tata susila; dan

4. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.

Untuk adanya suatu perbuatan melawan hukum tidak diisyaratkan adanya keempat kriteria tersebut secara kumulatif, tetapi cukup terdapat suatu kriteria saja secara alterntif.

a. Tentang Kriteria Bertentangan dengan Kewajiban Hukum Si Pelaku

72

Setiawan, Empat Kriteria Perbuatan Melawan Hukum dan Perkembangan Dalam Yurisprudensi, Varia Peradilan Vol 16 Tahun II, hal. 176.

73

Edy Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hal.45.

Suatu perbuatan merupakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang, artinya bertentangan dengan suatu ketentuan umum yang bersifat mengikat yang diterbitkan oleh suatu kekuasaan yang berwenang. Ketentuan tersebut dapat merupakan suatu ketentuan yang berada dalam ruang lingkup hukum publik termasuk di dalamnya peraturan hukum pidana maupun dalam ruang lingkup hukum perdata. Oleh karena itu, suatu perbuatan tindak pidana tidak hanya bersifat melawan hukum (werderrechtelijk) dalam hukum pidana, tetapi pada keadaan tertentu dapat bersifat melawan hukum (onrechtmatig) dalam pengertian hukum perdata.74

b. Kriteria Melanggar Hak Subjektif Orang lain

Setiawan dengan berpedoman pada pendapat Meijers menyebutkan bahwa:

Hak subjektif orang lain itu adalah suatu kewenangan khsusus seseorang yang diakui oleh hukum, kewenangan itu diberikannya untuk mempertahankan kepentingannya.75

c. Kriteria Melanggar Kaidah Tata Susila

J. Satrio menyebutkan:

“Untuk kriteria melanggar kaidah tata susila norma yang dilanggar harus dicari dan dibentuk sendiri berdasarkan ketentuan umum mengenai moral dan

74

Ibid, hal.45-46. 75

pendapat umum mengenai apa yang patut dan harus dilakukan orang dalam pergaulan hidup”.

Jadi, kaidah tata susila yang dimaksud adalah kaidah-kaidah moral sepanjang hal tersebut diterima dan berlaku dalam masyarakat sebagai suatu kaidah hukum tidak tertulis. Artinya, untuk menyatakan suatu perbuatan yang melanggar kesusilaan adalah sautu perbuatan melawan hukum belum cukup hanya dengan mengemukakan adanya norma kesusilaan yang dilanggar, tetapi juga harus dibuktikan bahwa norma kesusilaan tersebut telah diterima sebagai noma hukum.76

d. Tentang Kriteria Bertentangan dengan Ketelitian dan Sikap Hati-hati Seharusnya Dimiliki Seseorang dalam Pergerakan dengan Warga Masyarakat atau Terhadap Harta Benda Orang Lain

Dalam mengejar dan menyelenggarakan kepentingannya seseorang dilarang bersikap masa bodoh terhadap kemungkinan timbulnya kerugian terhadap orang lain. Artinya, kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati haruslah dimiliki dan diperhatikan dalam pergaulan hidup masyarakat.

Kriteria ini adalah kriteria yang sangat fleksibel dan sulit untuk diberi patokan umum. Untuk itu maka penerapannya harus dilihat kasus per kasus secara in concreto. Sehubungan dengan hal tersebut maka Setiawan memberikan jalan keluar di mana dalam menghadapi langkah-langkah sebagai berikut:

76

1) Menentukan suatu kriteria umum.

2) Berdasarkan kriteria umum tadi hakim dapat menetapkan suatu kaidah tertulis untuk suatu konkret tertentu.

3) Kaidah tidak tertulis tadi digunakan sebagai batu ujian bagi suatu situasi konkret tertentu.77

Dalam sistem perundang-undangan hukum pidana yang berlaku sekarang, ternyata bersifat melawan hukum (dari suatu tindakan) tidak selalu dicantumkan sebagai salah satu unsur delik. Akibatnya timbul persoalan apakah sifat melawan hukum harus selalu dianggap sebagai salah satu unsur delik, walaupun tidak dirumuskan secara tegas, ataukah baru dipandang sebagai unsur dari suatu delik jika dengan tegas dirumuskan dalam delik pasal-pasal KUHP yang dengan tegas mencantumkan bersifat melawan hukum, seperti pasal 167, pasal 168, pasal 333, pasal 334, pasal 335, pasal 362, pasal 368, pasal 378, pasal 406, termasuk pasal 302, pasal 392, pasal 282, dan sebagainya.78

Secara formal atau secara perumusan undang-undang, suatu tindakan adalah bersifat melawan hukum apabila seseorang melanggar suatu ketentuan undang-undang, karena bertentangan dengan undang-undang. Dengan perkataan lain, semua tindakan yang bertentangan dengan undang-undang atau suatu tindakan yang telah memenuhi perumusan delik dalam undang-undang, baik sifat melawan hukum itu dirumuskan atau tidak, adalah tindakan-tindakan yang

77

Ibid, hal 47-48. 78

bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukum itu hanya akan hilang atau ditiadakan jika ada alasan dasar peniadaannya ditentukan dalam undang-undang.79

Dalam Pasal 1366 KUH Perdata ditegaskan bahwa setiap oraang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang kehati-hatiannya.80

Objek utama dari perbuatan melawan hukum adalah agar pihak yang menderita kerugian memperoleh penggantian dari pelaku yang karena salahnya atau kelalaiannya telah menimbulkan kerugian itu. Tidak ada alasan bagi perseroan atau korporasi apa pun untuk tidak bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya bilamana dalam kasus yang sama seorang pribadi kodrati harus bertanggungjawab.

Jadi, pasal 1365 dan pasal 1366 KUH Perdata menetapkan, bahwa orang atau perusahaan yang melakukan pelanggaran hukum atau lalai melakukannya dikenakan sanksi, yaitu wajib membayar ganti rugi akibat perbuatannya atau kelalaiannya.

81

B. Bentuk-Bentuk Perbuatan Yang Seharusnya Dihindari Oleh Direksi Dalam Melakukan Pengurusan Perseroan Terbatas

Direksi dituntut untuk bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Tugas dan fungsi utama direksi,

79

Ibid

80

Pasal 1366 KUH Perdata 81

menjalankan dan melaksanakan pengurusan perseroan. Jadi, perseroan diurus, dikelola dan dimanage Direksi.

Hal-hal yang perlu dihindari oleh anggota Direksi dalam menjalankan pengurusan perseroan yaitu adanya benturan kepentingan,maka ada ruang lingkup kewajiban anggota Direksi antara lain:82

1. Tidak mempergunakan uang dan kekayaan perseroan untuk kepentingan pribadi. Apabila hal ini dilanggar dan mengakibatkan perseroan mengalami kerugian maka anggota direksi tersebut dikualifikasi melakukan perbuatan melawan hukum berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata.

2. Mempergunakan informasi perseroan untuk kepentingan pribadi. Perbuatan ini dikategorikan melakukan pelanggaran terhadap kewajiban yang dipercaya (breach of fiduciary duty).

3. mempergunakan posisi untuk memperoleh keuntungan pribadi seperti menerima sogokan, atau perbuatan yang dikategorikan breach of fiduciary duty.

4. Menahan atau mengambil sebagian dari keuntungan perusahaan untuk kepentingan pribadi. Mengambil atau menahan sebagian keuntungan perseroan untuk kepentingan pribadi merupakan sebagai perbuatan yang merahasiakan keuntungan oleh anggota direksi yang bersangkutan.

5. Melakukan transaksi dengan perseroan. Dalam hal ini anggota Direksi dilarang melakukan transaksi antara pribadinya dengan perseroan. Dalam hal yang demikian, anggota direksi telah melanggar kewajiban yang melarangnya masuk

82

Shinta Ikaryani Kusumawardhani, Pengaturan kewenangan dan Tanggung Jawab Direksi dalam Perseroan Terbatas (studi perbandingan Indonesia dan Australia), hal. 15-16.

dalam kontrak atau transaksi yang dilarang yang wajib diurus sendiri. Perbuatan itu dikategorikan sebagai tindakan pihak berkepentingan (party at interest). Larangan ini tidak boleh dilanggar oleh anggota direksi baik langsung atau tidak langsung termasuk anggota keluarganya atau temannya.

6. Larangan bersaing dengan perseroan, anggota Direksi dalam menjalankan kewajibannya mengurus perseroan dilarang bersaing dengan perseroan. Tindakan ini dikategorikan sebagai duty conflict dan dikualifikasikan sebagai breach of his fiduciary duty and good faith duty.

C. Kasus-kasus Perbuatan Melawan Hukum yang Dilakukan Direksi Dalam Mengurus Perseroan

Adapun kasus-kasus perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Direksi dalam mengurus perseroan terbatas adalah sebagai berikut:

1. Tindak Pidana Perpajakan Direktur Utama PT Sinar Terang Sentosa Jaya (STSJ)

Pengusaha Subandi Budiman alias Aban, dijatuhi vonis bersalah dengan pidana penjara selama dua tahun dan denda Rp 1 miliar. Terpidana Aban adalah salah satu direktur PT Terang Sentosa Jaya (PT STSJ) yang telah melakukan tindak pidana perpajakan. Aban bersama Tjauw mendirikan perusahaan PT STSJ dengan maksud memperoleh restitusi (pengembalian) pajak pertambahan nilai (PPN) dengan menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) yang isinya tidak benar.

Modus yang digunakan oleh terdakwa, yakni mengkreditkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya (FP bermasalah) dalam SPT Masa PPN lebih bayar atas nama PT STSJ. SPT itu kemudian dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk mendapatkan restitusi PPN.

Berdasarkan penyidikan yang dilakukan PPNS Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Utara diketahui bahwa pajak masukan dan pajak keluaran yang dilaporkan oleh PTSTSJ adalah faktur pajak bermasalah. Faktur pajak tidak didukung oleh transaksi penyerahan barang dan pembayaran. PT STSJ tidak melakukan transaksi pembelian dan penjualan, tetapi melaporkan adanya faktur pajak masukan dan faktur pajak keluaran. Ketentuan pidana perpajakan yang dilanggar oleh wjib pajak adalah pasal 39 ayat 1 huruf (c) UU nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yakni menyampaikan SPT atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada perseroan.83

2. Kasus korupsi pengucuran kredit usaha kecil dan menengah yang melibatkan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI)

Sudjiono Timan menjabat/berkedudukan selaku Direktur PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), yaitu sebuah perusahaan sekuritas nasional yang didirikan untuk membantu pengusaha kecil dan menengah. Namun, dalam memberikan bantuan modal tersebut ternyata Sudjiono Timan selaku Direktur PT

83

Orinton Purba, Petunjuk Praktis bagi RUPS, Komisaris dan Direksi Perseroan Terbatas agar Terhindar dari Jerat Hukum, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011), hal.

Bahana tersebut dengan bersama-sama direksi lainnya, yaitu Haria Suprobo, Hadi Rusli, dan Witjaksono Abadiman, telah melakukan penyimpangan dalam pemberian modal kepada pengusaha kecil dan menengah.

Penyimpangan yang dilakukan adalah menyelewengkan dana PT Bahana dengan cara mengucurkan dana ke sejumlah perusahaan-perusahaan yang tidak jelas kinerjanya. Selain itu, dalam pengucuran dana tersebut juga tidak didukung dengan adanya perjanjian yang jelas antara PT Bahana dan perusahaan tersebut. Diantaranya yang bermasalah adalah Kredit Asia finance Ltd., sebuah perusahaan yang berbasis di Hongkong, tetapi dijalankan di Jakarta.

Total Kerugian negara akibat perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh Sudjono Timan dalam memberikan kredit bukan kepada usaha kecil dan menengah mencapai Rp 2,2 triliun.

Dalam persidangan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sudjino Timan diputus bebas oleh pengadilan, dengan pertimbangan hukum yang pada dasarnya menyatakan perkara ini murni perdata bukan perkara pidana. Dan atas putusan bebas tersebut maka jaksa penuntut umum telah mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI.

Ternyata, hakim tingkat kasasi yang memeriksa dan mengadili perkara Sudjino Timan ini berpendapat lain sehingga membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 25 November 2002 dan mengadili sendiri dengan menjatuhkan hukuman kepada Sudjino Timan selama 15 tahun penjara dan

membayar uang pengganti sebesar Rp 369 miliar oleh Mahkamah Agung RI karena terbukti melakukan tindakan korupsi.84

84

BAB IV

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI ATAS PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN DALAM MENGURUS PERSEROAN

TERBATAS

A. Prinsip Fiduciary Duty Direksi Dalam Pengurusan Perseroan

Perseroan Terbatas merupakan asosiasi modal dari para pemegang sahamnya, sehingga orang yang memiliki sebagian besar saham dalam perseroan yang bersangkutan biasanya akan mempunyai jabatan atau kedudukan sebagai Komisaris atau salah satu Direksi, karena itu seringkali disimpulkan bahwa pengurus perseroan (Komisaris dan atau Direksi) sebagai perpanjangan tangan atau representasi para pemegang saham.85

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Direksi harus bertolak dari landasan bahwa tugas dan kedudukan yang diperolehnya berdasarkan 2 (dua) prinsip dasar, yaitu pertama kepercayaan yang diberikan perseroan kepadanya (fiduciary duty), dan kedua prinsip yang merujuk pada kemampuan serta kehati-hatian tindakan Direksi (duty of skill and care). Kedua prinsip ini menuntut Direksi untuk bertindak secara hati-hati dan disertai itikad baik, semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Pelanggaran terhadap kedua prinsip ini membawa konsekuensi yang berat bagi Direksi.86

85

Habib Adjie, Status Badan Hukum, Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal. 33-34.

86

Prinsip Fiduciary duty berlaku bagi direksi dalam menjalankan tugasnya itu, baik dalam menjalankan fungsinya sebagai manajemen maupun sebagai representasi dari perseroan.

Pasal 82 sampai dengan pasal 84 dari Undang-Undang Perseroan Terbatas mengatur tentang proses dan tata cara pelaksanaan tugas kepengurusan dan tugas representasi dari Direksi. Ditentukan bahwa Direksi bertanggung jawab penuh atas kepengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan

Dokumen terkait