• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

5.2 Saran

Adapun saran-saran yang dapat diberikan dari kesimpulan dan pemaparan bab-bab sebelumnya adalah sebagai berikut :

1. Diperlukan keseriusan dari KPMD dalam mendampingi masyarakat khususnya anggota SPP dalam menunjang pelaksanaan program ini. 2. Meningkatkan pengawasan dan pemilihan kelompok oleh tim verifikasi

yang patut untuk didanai dalam program SPP ini sehingga kehadiran dan pelaksanaan program ini dapat dirasakan hal yang positif.

3. Tim UPK diharapkan dapat memilih dan menentukan anggota tim-tim yang bekerja di program SPP dengan baik yang tentunya dapat bekerja efektif dan efesien dalam menjalankan program pemerintah ini ke perdesaan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Struktural Fungsional

Dalam Ritzer dan Goodman (2010) penekanan yang terjadi pada teori struktural fungsional bersumber pada bagaimana dalam perkembangan tersebut mencakup keragamannya, tercipta sebuah keseimbangan (equilibrium) atau dinamic equlibrium (keseimbangan berjalan) notebene berasal dari fungsi dan peran masing-masing individu yang ada dalam masyarakat. Parsons menyebutkan keseimbangan dapat tercipta dengan konsep Adaptation (adaptasi), Goals (tujuan), Integration (integrasi), dan Latern Pattern Maintenance (pemeliharaan pola-pola). Konsep AGIL Parsons diatas digunakan untuk bertahan (defensed) dalam sebuah struktural fungsional. Sebuah tatanan masyarakat tentu akan dipengaruhi oleh subsistem yang ada didalamnya (struktur fungsionalisme) diantaranya; subsistem ekonomi, perubahan ekologis (lingkungan tempat tinggal), politik, kebudayaan, dan sosialisasi.

Struktural fungsionalisme berjalan melalui individu-individu (individu Act) sebagai aktor dengan menjalankan fungsi dan perannya masing-masing melalui bentuk adaptasi terhadap subsistem struktural fungsionalisme, yang menghasilkan sebuah tindakan (unit aksi). Dari unit aksi inilah kemudian terjadi sistem aksi (act system) dimana masyarakat telah menemukan tujuan dari aksi tersebut, sehingga terbentuklah sebuah tatanan masyarakat dengan keunikannya tersendiri, yang kemudian akan mengalami perubahan yang lebih kompleks.

Robert K. Merton sebagai salah satu tokoh yang mengkaji mengenai teori struktural fungsional dan berada pada teori tingkat menengah menjelaskan bahwa analisis struktural fungsional memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat dan kultur. Dalam pemikiran Merton, sasaran studi struktur fungsional antara lain adalah : peran sosial, pola institusi, proses sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, perlengkapan untuk pengendalian sosial dan sebagainya .

Robert K. Merton telah mengkritik 3 postulat yang dikemukakan oleh Malinowski dan Radcliffe Bron, yaitu :

1. Kesatuan fungsional masyarakat. Postulat ini berpendirian bahwa semua keyakinan dan praktik kultur dan sosial yang sudah baku adalah fungsional untuk masyarakat sebagai satu kesatuan maupun untuk individu dan masyarakat. Merton berpendapat bahwa meski hal ini benar terjadi pada masyarakat primitif dan kecil, namun hal ini tidak berlaku ke tingkatan masyarakat yang luas dan kompleks.

2. Fungsionalisme universal, yang menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang baku memiliki fungsi-fungsi positif. Merton menyatakan bahwa postulat ini bertentangan dengan kehidupan nyata, yang jelas adalah bahwa tidak setiap struktur, adat, gagasan, kepercayaan dan sebagainya mempunyai dampak positif. 3. Indispensability yaitu dalam setiap tipe peradaban, kebiasaan memiliki

sejumlah tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan, akan tetapi Merton mengatakan bahwa terdapat alternatif struktur dan fungsi yang dapat ditemukan di dalam masyarakat.

Perhatian analisis struktural fungsional lebih dipusatkan pada fungsi sosial ketimbang pada motif individual. Menurut Merton, fungsi didefenisikan sebagai konsekuensi-konsekuensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tersebut. Dari pendapat Merton tentang fungsi, ada konsep barunya mengenai sifat dari fungsi dengan membedakan atas fungsi manifest dan fungsi latent. Fungsi manifest adalah fungsi yang diharapkan (intended) atau fungsional, sedangkan fungsi latent adalah sebaliknya yaitu fungsi yang tidak diharapkan atau disfungsi.

Merton menunjukan bahwa suatu struktur disfungsional akan selalu ada, sebagaimana struktur atau institusi dapat menyumbang pemeliharaan bagian-bagian lain dari sistem sosial, struktur atau institusi pun dapat menimbulkan akibat negatif ataupun positif terhadap sistem sosial. Merton juga mengemukakan konsep nonfunctions yang didefenisikannya sebagai akibat-akibat yang sama sekali tak relevan dengan sistem yang sedang diperhatikan.

Kecocokan argumen Merton dengan permasalahan penelitian mengenai struktur organisasi maupun kelompok terkait peran dan fungsi masing-masing bidang inilah menjadikan peneliti menggunakan teori ini. Teori struktur fungsional oleh Robert K. Merton dapat menganalisis tiap-tiap bagian dalam struktur organisasi maupun kelompok terkait fungsi dan perannya sehingga mampu menjawab permasalahan yang peneliti dalam disfungsi pelaksanaan Simpan Pinjam bagi Perempuan (SPP).

Fungsi yang dianggap manifest dalam penelitian ini adalah ketika Simpan Pinjam Perempuan ini dapat meningkatkan kesejahteraan tiap anggotanya, sedangkan fungsi yang dianggap laten ialah terdapat kondisi disfungsi yang terjadi

dalam pelaksanaan program Simpan Pinjam Perempuan yang berakibat pada ketidakefektivan program pemberdayaan masyarakat.

Adapun penelitian lainnya yang membahas disfungsi pemberdayaan dalam teori struktural fungsional dikutip dari penelitian disertasi Hikmat (2001) yang meneliti mengenai marginalisasi komunitas lokal dalam perspektif kontingensi strategi pengembangan masyarakat di Bekasi. Hasil penelitian ini adalah ketidakberdayaan komunitas lokal dalam beradaptasi terhadap perubahan struktur kota dapat dilihat dari ciri-ciri:

1. Tidak adanya alternatif untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraaan keluarga, karena mereka kehilangan peluang untuk akses terhadap sistem pelayanan sosial dasar (termasuk sulit akses terhadap program pemberdayaan).

2. Terbatasnya produktifitas kerja dan ekonomi yang membuat mereka berada dalam keadaan subsistence level.

3. Tujuan-tujuan kolektif tidak dapat lagi dibentuk dan dicapai, walaupun mereka dalam bentuk komunal.

4. Semakin lama cenderung fatalistik terhadap perubahan dan kemajuan di lingkungan sekitar.

Kondisi ketidakberdayaan komunitas lokal adalah merupakan penyimpangan fungsi-fungsi masyarakat atau mereka mengalami disfungsi sosial. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat mikro, terjadi ketidakberdayaan komunitas lokal tidak cukup dianalisis dalam kerangka struktural eksternal fungsional tetapi juga dianalisis dalam kerangka struktural internal fungsional

yang menjelaskan hubungan interaksi individu dengan lingkungan komunitas lokal itu sendiri.

2.2. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-Mpd)

PNPM-Mpd diluncurkan tanggal 30 April 2007 oleh Presiden Indonesia sebagai kelanjutan Program Keluarga Kecamatan (PKK). PNPM-Mpd ini memiliki tujuan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan melalui berbagai tahapan kegiatan dengan sebuah siklus kegiatan. Tahapan-tahapan tersebut adalah :

1. Diseminasi informasi dan sosialisasi, dapat dilakukan dengan cara lokakarya di berbagai level pemerintahan, hearing anggota legislatif di berbagai jenjang dan forum-forum musyawarah masyarakat. Setiap desa dilengkapi papan informasi sebagai salah satu media (penyebaran) informasi.

2. Proses perencanaan administrasi, dilaksanakan dari tingkat dusun, desa selanjutnya tingkat kecamatan. Masyarakat memilih Fasilitator Desa (FD) untuk mendampingi proses sosialisasi dan perencanaan kegiatan.

3. Seleksi proyek di tingkat desa dan kecamatan, masyarakat melakukan musyawarah di tingkat desa dan antar desa untuk memutuskan usulan prioritas dan layak didanai. Musyawarah terbuka bagi setiap masyarakat untuk menghadiri dan memutuskan jenis kegiatan.

4. Masyarakat melaksanakan proyek, masyarakat memilih anggotanya untuk menjadi tim pengelola kegiatan (TPK) di desa-desa yang terdanai. Fasilitator teknis program akan mendampingi TPK dalam mendesain

prasarana, penganggaran kegiatan, vertifikasi mutu dan supervise. Para pekerja pada umumnya berasal dari desa penerima dana.

5. Akuntabilitas dan laporan perkembangan selama pelaksanaan kegiatan, TPK harus memberikan laporan perkembangan kegiatan 2 kali dalam pertemuan terbuka di desa, yakni sebelum proyek pencarian dana tahap berikutnya. Pada pertemuan akhir, TPK akan melakukan serah terima proyek kepada masyarakat desa dan tim pemelihara kegiatan.

(Sumber: www.pnpm-mandiri.org)

Pelaksanaan program ini memprioritaskan kegiatan bidang infrastruktur desa, pengelolaan dana bergulir bagi kelompok perempuan, kegiatan pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat di wilayah perdesaan. Program ini terdiri dari tiga komponen utama, yaitu:

a) Dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) untuk kegiatan pembangunan.

b) Dana Operasional Kegiatan (DOK) untuk kegiatan perencanaan pembangunan partisipatif dan kegiatan pelatihan masyarakat (capacity building).

c) Pendampingan masyarakat yang dilakukan oleh para fasilitator pemberdayaan, fasilitator teknik dan fasilitator keuangan.

Dalam modul PNPM Mandiri Pedesaan tahun 2014, seluruh anggota masyarakat didorong untuk terlibat dalam setiap tahapan kegiatan secara partisipatif mulai dari proses perencanaan, pengambilan keputusan dalam penggunaan dan pengelolaan dana sesuai kebutuhan paling prioritas di desanya, sampai pada pelaksanaan kegiatan dan pelestariannya. Pelaksanaan PNPM

Mandiri Perdesaan berada di bawah binaan Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), Departemen/Kementrian Dalam Negeri.

Program ini didukung dengan pembiayaan yang bersumber dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), partisipasi dari CSR (Corporate Social Responsibility) dan dari dana hibah serta pinjaman dari sejumlah lembaga dan negara pemberi bantuan dibawah koordinasi Bank Dunia.

Adapun penelitian lainnya yang terkait PNPM-Mpd berasal dari Agistiasari (2012). Hasil penelitian ini adalah:

1. Efektifitas program berkenaan dengan ketetapan jumlah anggaran dari pemerintah bagi pelaksanaan PNPM-Mpd dan upaya tim pelaksana dalam melaksanakan. Hal ini perlu diperhatikan karena dengan anggaran yang memadai dan kerjasama yang dilakukan oleh semua pihak baik itu tim pelaksana maupun masyarakat maka pelaksanaan PNPM-Mpd akan berjalan dengan baik.

2. Kecukupan program berkenaan dengan PNPM-Mpd dapat memuaskan kebutuhan masyarakat serta penilaian masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-Mpd. Hal ini penting karena suatu kebijakan dikatakan berhasil apabila semua kesatuan yang ada dapat terlaksana sesuai prosedur yang telah ditentukan.

3. Perataan program berkenaan dengan anggaran dapat didistribusikan secara adil dalam pelaksanaan PNPM-Mpd, pengalokasian pembangunan fisik desa dan dana bergulir di setiap desa.

4. Responsivitas program berkenaan dengan penilaian masyarakat terkait dengan diadakannya PNPM-Mpd dan upaya tim pelaksana dalam menanggapi dan memenuhuhi kebutuhan masyarakat.

5. Ketepatan program berkenaan dengan kebijakan yang dipilih sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dana bergulir disalurkan pada anggota kelompok yang berhak.

2.3 Simpan Pinjam Perempuan (SPP) sebagai Solusi Penurunan Jumlah Keluarga Miskin

Simpan Pinjam Perempuan (SPP) adalah salah satu program dalam PNPM-Mpd yang bertujuan untuk mengentas jumlah keluarga miskin di perdesaan. SPP merupakan program bantuan penambahan modal yang ditujukan bagi mereka yang dinilai sudah memiliki usaha yang cukup untuk dapat membiayai kebutuhan dasar mereka, namun masih perlu untuk ditingkatkan. Pemberian bantuan permodalan ini menggunakan sistem dana bergulir.

Pelaksanaan SPP yang tertuang dalam SOP SPP bahwa pengertian dana bergulir adalah seluruh dana program dan bersifat pinjaman dari UPK (Unit Pengelola Kecamatan) yang digunakan oleh masyarakat untuk mendanai kegiatan ekonomi masyarakat yang disalurkan melalui kelompok-kelompok masyarakat. Tujuan pengelolaan dana bergulir ini ialah :

1 Memberikan kemudahan akses permodalan usaha baik kepada masyarakat sebagai pemanfaatan maupun kelompok usaha.

2 Pelestarian dan pengembangan modal usaha yang berasal dari dana PNPM-Mpd yang sesuai dengan tujuan program.

3 Peningkatan kapasitas pengelola kegiatan dan bergulir ditingkat wilayah perdesaan.

4 Menyiapkan lembaga UPK sebagai pengelola dana bergulir yang mengacu pada tujuan program secara akuntabel artinya dalam melakukan pengelolaan dana bergulir dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat, transparan dan berkelanjutan.

5 Peningkatan pelayanan kepada rumah tangga miskin dalam pemenuhan kebutuhan permodalan usaha melaui kelompok pemanfaat.

Fungsi dari dana bergulir SPP ini adalah :

1. Memberikan pinjaman dana kepada kelompok simpan pinjam.

2. Menumbuhkembangkan kelompok usaha produktif dan kelompok perempuan.

3. Mendayagunakan kemampuan potensi lokal dalam pengembangkan usaha bagi ekonomi masyarakat miskin.

4. Mempertinggi kualitas sumberdaya manausia dan kelompok untuk mencapai terciptanya masyarakat yang mandiri.

5. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat di kecamatan.

Sifat dari perguliran dana ini adalah terbuka bagi semua lapisan masyarakat, mudah, cepat dan lestari. Prinsip dana bergulir ini ialah transparansi, keberpihakan kepada orang miskin, partisipasi, kompetisi sehat, desentralisasi, akuntabilitas dan berkelanjutan. Dan yang menjadi sasaran dari dana bergulir ini adalah kelompok yang mempunyai kegiatan pengelolaan simpanan dan pinjaman dengan prioritas kelompok yang rumah tangga miskin dengan tujuan untuk peningkatan kesejahteraan anggota yang anggotanya khusus perempuan.

Aturan pokok perguliran dana yaitu :

1. Pinjaman perguliran dilakukan ditingkat kecamatan oleh UPK, Tim Verifikasi, Tim Pendanaan dalam wilayah kerja kecamatan lokasi PNPM. 2. Musyawarah antar desa perguliran menetapkan daftar kelompok yang

mengajukan kredit atau kelompok daftar tunggu perguliran.

3. Pendanaan kredit disesuaikan dengan perkembangan/ketersediaan dana yang ada di UPK dan dana yang tersedia di rekening SPP.

4. Pinjaman hanya disalurkan kepada kelompok yang bersifat kelompok dengan pemanfaatan rumah tangga miskin atau dengan kata lain tidak diperbolehkan meminjam secara perorangan.

5. Adanya perjanjian pinjaman antara kelompok dengan UPK.

6. Jadwal angsuran disesuaikan dengan fungsi kelompok dan siklus usahanya. Jangka waktu peminjaman kelompok maksimal 12 bulan.

Dengan adanya aturan yang telah ditetapkan diharapkan program yang dilaksanakan akan berjalan sesuai dengan fungsinya dan dapat tepat sasaran sesuai yang telah ditentukan.

Persyaratan kelompok pinjaman bergulir yaitu :

1. Kelompok pinjaman harus mempunyai ikatan persatuan yang kuat, misalnya RT/RW, arisan, yasinan dsb.

2. Mempunyai kepengurusan yang jelas minimal ketua, sekretaris dan bendahara.

3. Mempunyai kegiatan ekonomi dan atau kemasyarakatan.

4. Anggota yang menjadi pemanfaat benar-benar warga desa atau warga kecamatan tersebut dibuktikan dengan KTP dan KK yang berlaku.

5. Anggota kelompok peminjam wajib mendapatkan persetujuan salah satu anggota keluarga yang diketahui oleh RT/TW setempat.

6. Pengurus tingkat desa maupun tingkat kecamatan tidak dipekenankan menerima pinjaman dari dana SPP kecuali mendapat persetujuan dari BP-UPK dan BKAD.

7. Kelompok lunas yang akan melakukan kembali pinjaman harus dinilai kondisi pinjamannya :

a. Jika tidak pernah menunggak pinjaman dapat ditingkatkan jumlahnya dari pinjaman sebelumnya.

b. Jika pernah menunggak maka pengajuannya sama dengan pinjaman sebelumnya.

c. Jika pernah melakukan penunggakan secara berulang maka pengajuan maksimal 75 % dari pinjaman sebelumnya.

8. Mempunyai kegiatan rutin pertemuan.

9. Anggota kelompok baru minimal 5 orang dan maksimal 10 orang, sedangkan untuk kelompok lama maksimal 15 orang.

10.Dalam satu kelompok tidak diperbolehkan 1 keluarga.

11.Kelompok wajib mempunyai tabungan kelompok sebesar minimal 10% dari besaran pengajuan pinjaman, selanjutnya tabungan tersebut sebagai agunan tanggung renteng.

12.Anggota kelompok diwajibkan memiliki asuransi jiwa untuk mengantisipasi kemacetan apabila terjadi hal yang tidak diinginkan.

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemerintah adalah lembaga pertama yang berwenang dan berkewajiban memperhatikan kehidupan dan kesejahteraan rakyat di suatu negara. Pemerintah memiliki kewajiban dalam merumuskan program-program yang tepat sebagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan pada masyarakat dengan memberikan pemberdayaan-pemberdayaan secara berkelanjutan. Saat ini sudah banyak program-program yang dilakukan pemerintah untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti KUR (Koperasi Usaha Rakyat), UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah), BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk pendidikan, LKM (Lembaga Keuangan Mikro), PNPM dan lain sebagainya.

Program-program tersebut dilaksanakan oleh pemerintah sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan sosial dan ekonomi masyarakat, meskipun pada kenyataannya yang berada di masyarakat, tidak semua program-program tersebut berjalan dengan baik. Ada beberapa program yang tidak tepat sasaran dalam pendistribusiannya, sehingga hal ini membuat keadaan sosial ekonomi masyarakat berada pada kondisi ketidakstabilan dimana ada beberapa yang mendapat bantuan yang membuat hidupnya menjadi lebih baik dan ada yang tidak sama sekali memperoleh bantuan tersebut yang menyebabkan hidupnya berada dalam kondisi yang tidak berkembang. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 1.1.

Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan Tahun 2000 – 2013 di Indonesia.

Tahun

Jumlah Penduduk Miskin (Juta Jiwa)

Persentase Penduduk Miskin (%)

Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan)

Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa Kota Desa

2000 12,31 26,43 38,74 14,6 22,38 19,14 91.632 73.648 2001 8,6 29,27 37,87 9,79 24,84 18,41 100.011 80.382 2002 13,32 25,08 38,39 14,46 21,1 18,2 130.499 96.512 2003 12,26 25,08 37,34 13,57 20,23 17,42 138.803 105.888 2004 11,37 24,78 36,15 12,13 20,11 16,66 143.455 108.725 2005 12,4 22,7 35,1 11,68 19,98 15,97 165.565 117.365 2006 14,49 24,81 39,3 13,47 21,81 17,75 174.290 130.584 2007 13,56 23,61 37,17 12,52 20,37 16,58 187.942 146.837 2008 12,77 22,19 34,96 11,65 18,93 15,42 204.896 161.831 2009 11,91 20,62 32,52 10,72 17,35 14,15 222.123 179.835 2010 11,1 19,93 31,02 9,87 16,56 13,33 232.989 192.354 Mar-11 11,05 18,97 30,02 9,23 15,72 12,49 243.016 213.395 Sep-11 10,96 18,94 29,89 9.09 15,59 12,36 263.594 223.181 Mar- 12 10,65 19,49 29,13 8,78 15,12 11,96 267.408 229.226 Sep-12 10,51 18,09 28,59 8.6 14,7 11,66 277.382 240.441 Mar- 13 10,33 17,74 28,07 8,39 14,32 11,37 289.042 253.273 Sep-13 10,63 19,92 28,55 8,52 14,42 11,47 308.826 257.779 (Sumber: BPS, 2013)

Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dilihat jumlah penduduk miskin di desa dan kota pada tahun 2001 sebesar 37,87 juta jiwa dan meningkat menjadi 38,39 juta jiwa pada tahun 2002, namun pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin menurun menjadi 35,1 juta jiwa dan meningkat ditahun 2006 menjadi 39,3 juta jiwa, dan pada maret 2013 menurun kembali menjadi 28,07 juta jiwa dan meningkat terus pada September 2013 menjadi 28,55 juta jiwa. Naik turunnya jumlah penduduk miskin menunjukkan bahwa keadaan sosial ekonomi masyarakat Indonesia berada pada kondisi ketidakstabilan. Masalah tersebut membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah, sehingga sampai saat ini pemerintah terus memperbaharuhi kebijakan-kebijakan untuk membantu masyarakat mengatasi masalah sosial dan

ekonominya. Seluruh kebijakan tersebut menjadi agenda pemerintah yang akan disalurkan kepada masayarakat luas.

Agenda pemerintah yang terus menjadi pusat perhatian hingga saat ini adalah pembangunan. Menurut Ali (2006) konsep pembangunan adalah suatu upaya perubahan yang dilakukan dengan sengaja untuk mencapai kondisi dan situasi yang lebih baik, dilaksanakan secara sistematis dan bertahap disemua bidang. Pembangunan menjadi tanggung jawab, menuntut partisipasi masyarakat dan hasilnya pun dapat dinikmati oleh seluruh rakyat secara merata, namun demikian salah satu tantangan pembangunan yang paling serius dan harus disikapi secepatnya adalah upaya penanggulangan jumlah keluarga miskin perdesaan.

Berbagai program pemerintah telah dilaksanakan untuk menanggulangi besarnya jumlah keluarga miskin di perdesaan. Salah satu program pemerintah yang telah dilakukan adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-Mpd) yang dimulai pada tahun 2007. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-Mpd) adalah bentuk pengembangan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang selama ini dinilai berhasil menumbuhkan kebersamaan dan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang digagas oleh masyarakat desa itu sendiri. Tujuan umum dari pelaksanaan PNPM-Mpd yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri, mempercepat penanggulangan kemiskinan serta meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat dan aparat desa yang ditempuh melalui pemberian modal usaha untuk mengembangkan kegiatan usaha ekonomi produktif dan membangun sarana dan prasarana yang mendukung pembangunan desa.

Tujuan khususnya yaitu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelestarian kegiatan usaha ekonomi masyarakat perdesaan. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan memiliki beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat, seperti Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) yang bertujuan untuk mengintegrasikan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah sekitarnya, Bantuan Langsung bagi Masyarakat (BLM), Simpan Pinjam bagi Perempuan (SPP) dan sebagainya (Sumber: www.pnpm-mandiri.org).

Dalam Novitasari (2011) menyebutkan Simpan Pinjam bagi Perempuan (SPP) adalah salah satu program yang wajib dilaksanakan untuk pengentasan kemiskinan dalam program PNPM-Mpd. Program ini memberikan bantuan berupa permodalan yang ditujukan bagi mereka yang dinilai sudah memiliki usaha yang cukup untuk dapat membiayai kebutuhan dasar mereka, namun masih perlu ditingkatkan. Pemberian modal tanpa agunan dalam bentuk perguliran dengan kegiatan pengelolaan simpanan dan pinjaman melalui pembentukan kelompok perempuan, dan besarnya pinjaman sesuai pengajuan proposal kelompok.

Program Simpan Pinjam bagi Perempuan juga dilakukan di Kecamatan Rahuning, salah satunya di Desa Batu Anam. Jumlah kelompok Simpan Pinjam Perempuan di Desa Batu Anam saat ini adalah 10 kelompok dengan anggota tiap kelompoknya yaitu 7-10 orang. Juliarni (2013) berdasarkan penelitiannya mengenai keefektivitasan kegiatan Simpan Pinjam Perempuan dikecamatan Bangun Purba, hasil penelitiannya adalah bahwa dalam pelaksanaan Simpan Pinjam Perempuan di wilayah tersebut terkesan kejar target demi terpakainya seluruh alokasi bantuan langsung masyarakat yang dikelola di Kecamatan.

Anggapan kejar target tersebut menjadikan subjek hanya sebagai objek, jika ditanyakan kepada kelompok penerima, belum tentu mereka membutuhkan bantuan tersebut karena belum punya usaha yang layak untuk didanai. Sebagian masyarakat tidak menggunakan pinjaman untuk modal usaha, bahkan digunakan untuk keperluan sehari-hari.

Permasalahan-permasalahan ini muncul akibat tidak berjalannya fungsi setiap struktur dalam lembaga yang bertanggung jawab, seperti yang dikatakan Robert K. Merton dalam George Ritzer (2010) fungsi dalam struktur bisa saja berupa fungsi manifest dan fungsi latent. Fungsi manifest sebagai fungsi yang diharapkan sedangkan fungsi latent sebagai fungsi yang tidak diharapkan. Merton juga mengatakan bahwa suatu struktur yang disfungsi akan selalu ada. Berdasarkan observasi sementara, peneliti melihat adanya kecenderungan disfungsi pelaksanaan yang terjadi dalam pelaksanaan Simpan Pinjam Perempuan di Desa Batu Anam. Berdasarkan gejala-gejala dan kecenderungan disfungsi itulah, maka menjadi alasan peneliti untuk melihat dan meneliti disfungsi seperti apa yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan Simpan Pinjam bagi Perempuan dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan di Desa Batu Anam, Kecamatan Rahuning Kabupaten Asahan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan kegiatan Simpan Pinjam bagi Perempuan (SPP) dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan di Desa Batu Anam, Kecamatan Rahuning, Kabupaten Asahan?

2. Bagaimana disfungsi yang terjadi dalam kegiatan Simpan Pinjam Perempuan (SPP) di Desa Batu Anam, Kecamatan Rahuning, Kabupaten Asahan ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan kegiatan Simpan Pinjam Perempuan (SPP) dalam program PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Batu Anam, Kecamatan Rahuning, Kabupaten Asahan.

2. Untuk mengetahui disfungsi apa saja yang terjadi dalam Simpan Pinjam Perempuan di Desa Batu Anam, Kecamatan Rahuning, Kabupaten Asahan.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat merupakan sesuatu yang diharapkan ketika sebuah penelitian sudah selesai ditulis. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1.4.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat menambah wawasan kajian ilmiah dan referensi penelitian ilmiah selanjutnya, khususnya bagi mahasiswa departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera

Dokumen terkait