1. Akar Diskursus
Konsep dan istilah kelestarian berangkat dari berkembangnya diskursus ”pembangunan berkelanjutan” (PB) sebagaimana dicatat oleh Kaivo-oja et al (Tanpa Tahun – sustainability-advanced-analyisis.pdf). Akar dari diskursus PB sebagai isu yang dikenali secara mendunia adalah pengembangan hasil dari konferensi pertama PBB tentang ”Manusia dan Lingkungan” di Stockholm pada 1972 dan dari beberapa studi-studi awal yang begitu berpengaruh (lihat misalnya Carlson 1962, SCEP 1970, Meadows et al 1972).
Konsep PB itu sendiri pertama kali menjadi terkenal dalam dokumen World
Conservation Strategy yang diterbitkan the World Conservation Union pada 1980 (IUCN 1980). PB dibahas dan dielaborasi secara menyeluruh oleh Komisi Lingkungan dan Pembangunan PBB pada 1987 dalam sebuah laporan
yang disebut ”Our Common Future” (WCED, 1987).
Tisdel dan Roy (1996PR-GOVERNANCE-SFM.PDF) dalam menjelaskan
hubungan tata-kelola dan property rights (PR) menegaskan bahwa kedua hal yang dijelaskan itu saling terkait erat (closely intertwined) dan memengaruhi pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Dalam pemahaman mereka, para ekonom telah cukup lama menyadari pentingnya kedua hal itu
untuk memastikan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan kesejahteraan ekonomi.
Dalam ilustrasinya Tisdel et al (1996) menekankan bahwa Adam Smith jelas-jelas meyakini bahwa kedua hal dimaksud (PR dan tata-kelola) merupakan langkah awal untuk menjamin kesejahteraan ekonomi negara. Disebutkan, bahwa sekalipun istilah PB tidak begitu populer di zaman Adam Smith, tidak diragukan bahwa dia dan para kawanan ekonom ternama
dimasanya, peduli dengan cara mencapai pembangunan dan keberlanjutan
dari capaian pembangunan itu.
Tisdel et al (1996) mengambil contoh keterkaitan kerja-kerja David Ricardo, Karl Marx dan Stuart Mill. Marx, katanya, peduli atas keberlanjutan sistem pasar kapitalis, sementara Ricardo dan Mill peduli pada cara mengaitkan pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan sumberdaya lahan yang terbatas yang akan membatasai pertumbuhan ekonomi. Ricardo dan Mill bahkan peduli bahwa pertumbuhan ekonomi mungkin tidak akan berlanjut sehingga sistem ekonomi akhirnya akan sampai pada keseimbangan dimana mayoritas populasi hidup pada tingkat subsisten. Dalam keyakinan Tisdel, kebanyakan ekonom, kecuali Marx, berasumsi bahwa sistem private property rights (pada gilirannya) akan berlaku; tanpa (perlu) secara khusus menelaah pengaruh property rights atas kegiatan ekonomi.
Etos atau jiwa PB, menurut Kaivo-oja et al (tt), telah disepakati dan mendapat konfirmasi berbagai negara pada Konferensi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan PBB (UN, 1993) di Rio de Janeiro pada 1992. PB diekspresikan secara garis besar sebagai sebuah etos dalam sebuah laporan yang disebut Brundtland Report, yakni bahwa ”manusia memiliki kemampuan untuk menjamin bahwa pemenuhan kebutuhannya saat ini tidak mengancam kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri” (WCED, 1987). Dari diskursus selanjutnya, pengertian PB dikonstruksi dalam tiga dimensi: ekonomi, lingkungan dan sosial-budaya. Dalam dimensi lingkungan, PB merujuk pada adaptasi perekonomian dan teknologi atas kendala-kendala dan tantangan lingkungan. Dimensi sosial merujuk pada perlunya memberi perhatian pada penciptaan kesejahteraan bagi keadilan
sosial dan solidaritas global daripada kepada isu profit para pemegang saham. Berbagai kebijakan PB, dengan begitu, dipandang harus memberikan prioritas bagi mereka yang miskin, dan untuk mencapai keadilan yang lebih baik, baik dalam generasi (intra-generational equity) maupun antar generasi (inter- generational equity).
Kaivo-oja et al (tt) lalu merinci etos PB kedalam empat pilihan utama, yakni (1) Memerangi kemiskinan, beragam kerugian dan kondisi ekonomi yang tidak seimbang, terutama di negara berkembang; (2) Menghentikan pengurasan sumberdaya dan kerusakan lingkungan dan menerima kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan sebagai sebuah standar kualitas dalam urusan manusia dan kemanusiaan, (3) Mengamankan bagi generasi mendatang kesempatan yang sama dalam hal kesejahteraan dan kebebasan memilih sebagaimana kita nikmati, (4) PB adalah sebuah proses interaksi dalam tiga
dimensi yang memberikan sebuah masa depan manusia yang adil dan setara
secara sosial, lestari secara lingkungan maupun ekonomi serta secara politik dan culturalbebas dan inovatif.
Dalam sebuah dunia yang serba terbatas, seperti yang kita miliki, dimana populasi manusia diduga dua kali lipat sementara kehilangan dan kerusakan modal alam dalam kondisi (terus) meningkat, menurut Kaivo-oja et al (tt) tantangannya kemudian adalah tingkatan akumulasi pengetahuan. Bila berada dalam keadaaan tidak sinkron dengan masing-masing sumberdaya lainnya, sungguh akan menjadi kendala bagi upaya memenuhi berbagai kebutuhan dasar bagi semua, baik secara periodik maupun spasial. Pada dasarnya, berangkat dari opsi-opsi utama pada etos di atas, (kehidupan) manusia merupakan sebuah evolusi bersama alam dalam menuju masyarakat global yang berkelanjutan berdasar pengembangan kearifan dan pengembangan pengetahuannya; atau sebuah fragmentasi persaingan dari masyarakat dan meruntuhkan sistem pendukung kehidupan – bahkan dalam kasus terburuknya – menghilangkan peradaban. Pilihannya terutama adalah persoalan etika dan
sosial budaya, dan di tempat kedua, barulah persoalan yang bersifat teknis dan ekonomis (Malaska, 1971, 1972).
2. Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan (PB)
Kaivo-oja et al (tt) menganggap pengembangan PB sebagai sebuah arah perubahan dan ini penting untuk dapat memonitor bila sebuah arah pembangunan yang tepat telah ditemukan dan dipelihara. Dari banyak pustaka ia menghimpun sejumlah pendekatan PB, seperti – beberapa yang paling penting – dikemukakan berikut ini.
Pendekatan Hick. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa teori pertumbuhan neoklasik telah menyatu dalam kendala-kendala sumberdaya alam dalam doktrin ekonomi (Hicks 1946, Page 1977, Solow 1974 dan Hartwick 1977). Menurut pendekatan ini ide tentang kemajuan atau keberhasilan dinyatakan sebagai konsumsi barang (dan sumberdaya alam)
yang tidak menurun dari waktu ke waktu (non-declining consumption).
Pendekatan ini dapat dianggap sebagai sebuah penajaman metafor dari PB, menggantikan konsep PB yang dikendala oleh pertumbuhan (Cassier 1946, 1985). Akibatnya dari kepedulian pokoknya ini PB dinyatakan lebih sebagai efisiensi antar-generasi daripada kesempatan yang setara (equal opportunity).
Menurut pendekatan ini, konsumsi yang tidak-menurun menurut waktu mungkin saja terjadi, bahkan untuk sebuah kasus perekonomian yang hanya memanfaatkan sumberdaya tak dapat pulih (misal minyak) dalam proses- proses ekonominya. Hartwick (1977) memperlihatkan bahwa sejauh sediaan modal (stock of capital) tidak menurun menurut waktu, konsumsi yang tidak- menurun adalah mungkin. Dalam term teori, sediaan modal dapat dibuat konstan dengan menginvestasikan ulang semua hasil dari ekstraksi sumberdaya alam yang tidak dapat pulih kedalam modal buatan manusia (Hotelling 1931, Kasanen 1982). Mengikuti aturan ini, karena sediaan minyak (salah satu modal alam) berkurang, maka sediaan modal-manusia dibangun untuk menggantikannya. Hasil ini sangat penting untuk membangun ide baru dari ekonomi PB. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi yang kuat tentang dimungkinkannya substitusi antara modal alam dan modal manusia.
Pendekatan London. Ini pendekatan berbeda yang menurut Kaivo-oja et al (tt) dikerangka untuk memecahkan masalah keterbatasan manfaat dari substitusi ke kelestarian antara modal alam (Kn) dan modal buatan manusia (Km) (Pearce et al 1990, Klaases and Opschor 1991, Pearce and Turner 1990). Menurut aliran ini beberapa substitusi adalah mungkin antara beberapa elemen dari Kn dan Km, sementara berbagai elemen lainnya dari Kn memberikan hanya jasa-jasa yang tidak dapat disubstitusi bagi perekonomian. Sebagai contoh, ada beberapa spesies tertentu yang harus dilindungi (Turner 1993). Pertanyaan strategis yang penting disini adalah: berapa banyak Kn harus dilindungi? Tiga kemungkinannya: (1) keseluruhannya pada level yang ada, (2) level itu konsisten dengan memelihara elemen-elemen kritis dari Kn, atau (3) jumlah tertentu di antaranya. Problem penting dari pendekatan ini adalah keharusan berasumsi bahwa kita dapat mengukur nilai dari Kn kapan saja. Dalam prakteknya, sulit juga untuk mengukur elemen-elemen berbeda dari Kn dalam satuan fisik dan moneter. Dengan bantuan analisis aliran materi, beberapa aspek dari Kn telah dianalisis. Van Pelt (1993) telah mengidentifikasi masalah lain terkait konsep sediaan modal alam yang tetap. Ada beberapa pertanyaan terkait agregasi spasial: diantara area geografis mana kita harus pertahankan sediaan konstan? Satu solusinya adalah bekerja dengan data agregasi yang tidak begitu banyak dan lakukan analisis beragam elemen Kn secara terpisah. Namun masalah lain muncul saat tingkat perubahan intrinsik alam diperhitungkan. Pengaruh manusia harus diukur atas tingkat alami perubahan. Alam berubah dari waktu ke waktu. Setidaknya dalam beberapa kasus berbagai laju perubahan ini penting bagi kehidupan yang terus menerus, karena hidup beradaptasi dan bergantung pada alam.
Dengan menganggap bahwa persoalan agregasi dari modal alam dapat dipecahkan sedemikian rupa, pendekatan ini mengusulkan aturan bagaimana mencegah deplesi modal alam dibawah beberapa poin dari tingkat tetap yang disyaratkan. Aturan ini berdasarkan pada diskonto nilai moneter dari dampak atau dukungan lingkungan, apakah bersifat biaya, atau manfaat. Dengan
begitu, keseluruhan PB direduksi menjadi sekedar ekonomi dan
Pearce dan Aktinson (1995) terus mencoba mengembangkan berbagai indikator dan ukuran PB. Definisi yang diterima begitu luas, dalam pengakuan Pearce dan Atkinson (Kaivo-oja et al, tt) adalah pembangunan ekonomi dan sosial per kapita dari waktu ke waktu. Masalahnya, apakah hal itu diukur secara sempit (misal PDB per kapita) atau secara luas (dalam bentuk kesejahteraan ekonomi seperti IPM, kesehatan dan pendidikan dsb). Saat ini kebanyakan peneliti akan lebih suka memilih kriteria yang lebih luas sebagai ukuran yang dianggap relevan. Dalam hal ini Pearce dan Atkinson menambahkan hal penting lain untuk kelestarian, yakni bahwa modal suatu negara seharusnya tidak menurun/berkurang dari waktu ke waktu. Konsep modal yang digunakan mereka sangat luas, termasuk modal fisik, modal manusia dan modal alam. Keluasan konsep modal ini, menurut Pearce dan Atkinson (1995) pernah dikenalkan Orio Giarini, yang disebutnya sebagai ”warisan”, dalam sebuah laporan kepada Club of Rome pada 1978. Aturan terkait apa yang disebut Pearce dan Atkinson sebagai sediaan modal alam yang tetap, memiliki dua varian: aturan terkait kuat dan lemahnya kelestarian.
Lemahnya kelestarian terjadi saat sediaan modal total – fisik, manusia,
dan alam – tidak berkurang dari waktu ke waktu. Sebuah perekonomian
adalah lestari saat tabungannya melebihi depresiasi dari modal alam dan modal manusianya. Dalam varian ini, pembangunan lestari bahkan bila satu komponen (misal modal alam) menurun, yang membuat sediaan modal total tidak berkurang. Agar ini menjadi kriteria yang berguna, maka penting bahwa
elemen yang berbeda dari sediaan modal dapat saling menggantikan.
Misalnya, bila sebuah kehilangan satu ekosistem tertentu mampu
dikompensasi oleh sebuah peningkatan dalam pengetahuan manusia.
Artinya, berbagai kehilangan ekonomi dan lingkungan terkait ekosistem tadi lebih dari sekedar setimpal oleh manfaat dalam (peningkatan) modal manusia, sejauh stabilitas dan kelenturan sistem secara keseluruhan tidak tertekan dalam proses substitusi.
Varian kedua, kelestarian yang kuat, mengupayakan modal lingkungan (atau modal alam) sebagai tempat khusus. PB dicapai, dalam pengertian yang kuat, bila secara khusus sediaan modal lingkungan negara tidak menurun.
Pearce dan Atkinson (1995) mengemukakan bahwa seseorang mungkin saja memodifikasi ketentuan ini. Beberapa bagian dari sediaan modal agaknya menjadi begitu penting, yakni menyediakan jasa-jasa lingkungan yang tak ternilai dan tidak tergantikan bagi kegiatan ekonomi. Bila diistilahkan sebagai modal alam yang kritis, lalu versi modifikasi dari versi PB yang kuat mengharuskan bahwa pembangunan tidak mengakibatkan sediaan modal alam yang kritis menurun menurut waktu. Pearce dan Atkinson menilai pandangannya atas kelestarian dengan data beberapa negara, dan memaparkan bahwa Finlandia adalah sebuah perekonomian yang lestari dalam pemahaman yang lemah, tidak kuat (Pearce dan Atkinson 1995)
3. Kelestarian Hutan dan Pengelolaan Hutan Lestari
MacCleery1 [sustainability-forest-definition.doc] menegaskan bahwa banyak usaha yang telah dan sedang ditempuh untuk mendefinisikan kelestarian hutan atau
pengelolaan hutan lestari. Ia yakin, bahwa pengelolaan hutan lestari
merupakan sub-set dari PB. Menurutnya, ada setidaknya lima hal penting
dalam upaya pendefinisian – baik kelestarian (ekosistem) hutan, maupun pengelolaan hutan lestari: (1) perlu contoh nyata penerapannya, (2) perlu memahami peran dari nilai-nilai kemanusiaan, (3) perlu pendekatan- pendekatan yang berorientasi kemanusiaan, (4) perlu pertimbangan skala ekonomi dan sosial, dan (5) paham akan ”self sustaining”. Dalam refleksinya MacCleery merinci posisi pentingnya kelima poin dimaksud sebagaimana disarikan berikut ini.
Definisi ”kelestarian” dan aksioma ekosistem itu dibincangkan lebih di tataran akademis, daripada aplikasinya di dunia nyata. Sebaliknya, definisi perlu disertai dengan teladan-teladan yang nyata sehingga dapat dirasakan bahwa sebuah ekosistem (hutan) memenuhi atau menyimpang dari ide kelestarian. Sebagai misal, akankah sebuah ekosistem hutan di suatu tempat yang ditebang secara berlebih dan dibakar pada akhir abad 19, tetapi kemudian pulih, disebut lestari berdasar sebuah definisi tertentu? Apakah
1
Doug MacCleery saat melakukan refleksi atas artikel Dave Iverson dan Zane Cornett “A Definition of
Sustainability for Ecosystem Management”. (http://forestry.about.com/gi/o.htm?zi=1/ - tulisan lepas, diakses
ekosistem (hutan), karenanya, memiliki integritas? Lalu, bagaimana dengan hutan-hutan di Skandinavia yang telah dikelola manusia setidaknya selama enam ratus tahun yang lalu? Tentu saja, kegiatan manusia telah menghabiskan keseluruhan atau kebanyakan suksesi hutan dan telah membuang berbagai sifat spesies dari hutan alam – sebuah kehilangan komponen kekompleksan ekosistem hutan. Namun, dari pandangan lain, berbagai hutan itu telah memperoleh kembali aspek-aspek kompleksitas ekosistemnya yang sebelumnya hilang tadi, sebagaimana dibuktikan oleh pulihnya populasi banyak spesies hidupan liar dan berkembangnya komponen-komponen hutan yang matang. Dalam banyak pandangan, hutan-hutan semacam itu tampak lestari bagi tujuan pengelolaan yang mereka lakukan saat ini, dan juga memiliki kapasitas untuk dikelola untuk tujuan-tujuan lainnya di masa depan, bila memang diperlukan. Pertanyaan MacCleery kemudian, bagaimana ini semua dipertimbangkan dalam sebuah definisi ”kelestarian hutan”?
Banyak upaya pendefinisian kelestarian berfokus sebagian besar pada konsep-konsep dan kriteria biologis. Diskursus kesehatan ekosistem dan keanekaan hayati biasanya dituangkan dalam jargon para ahli biologi, ahli lingkungan dan para profesional sumberdaya alam. Yang biasanya tidak terekspresikan adalah sekumpulan nilai sosial dan budaya penting yang justru mereka jadikan dasar. Manusia kadang lupa bahwa ekosistem (hutan) itu bebas nilai – mereka ada apa adanya. Kelestarian hutan dan kesehatan ekosistem keseluruhannya merupakan konstruksi manusia. Adalah manusia yang mendefinisikannya dan menganggapnya bernilai itu. Sementara alam menyediakan konteks biologi dan fisik, adalah manusia yang kemudian memutuskan apa yang harus dicari agar lestari dan dengan biaya berapa. Namun, tidak semua manusia memberikan nilai yang sama baik kepada hutan maupun keanekaan hayati. Lihat saja posisi Amerika dan negara maju lainnya yang hari ini mempertanyakan kondisi hutan hujan tropis di negara berkembang seperti Brazil dimana hutan-hutan itu berada. Saat ini muncul sebuah diskursus intelektual yang menghebat yang sedang berlangsung antara mereka yang mengadvokasi apa yang disebutnya pendekatan-pendekatan ”biocentric” kepada para pengambil keputusan, sebagai lawan atas
pendekatan-pendekatan ”anthropogenic”. Sebagai sebuah polemik ini menarik, karena menurut MacCleery dalam banyak hal ini serupa dengan diskursus pilosofis yang terjadi pada abad pertengahan, tentang berapa malaikat dapat menari di atas sebuah peniti atau lencana. Artinya, harus ada kekuatan untuk memutuskan apakah kita menjadi bagian atau terpisah dari dunia nyata. Sebuah pendefinisian kelestarian hutan perlu menimbang ini semua.
Terkait pendekatan yang berorientasi kemanusiaan, ada satu pendapat Renh sebagai alternatif. Melalui bukunya, ia sebetulnya menjawab ”Our Common Future” yang disiapkan World Commission on Environment dan Development pada 1987 (biasanya disebut ”Brundtland Report”) yang
mendefinisikan PB sebagai ”memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya”. Dalam pencermatan MacCleery, Renh setidaknya mendaftar tiga definisi ”kelestarian”, yakni (1) ”pembangunan dengan pertumbuhan yang tidak melewati jauh kapasitas daya dukung lingkungan”, (2) sebuah kondisi kesejahteraan per kapita lintas generasi yang tidak menurun, (3) jumlah konsumsi yang dapat berlanjut tanpa batas, tanpa merusak sediaan alam – termasuk sediaan modal alam. Dalam pandangan MacCleery ketiga usulan Renh ini, mencerminkan keterkaitan dengan kemanusiaan yang lebih kuat, daripada definisi yang ditawarkan ”Brundtland Report”. Bagi MacCleery yang
penting dalam upaya pendefinisian kelestarian adalah bagaimana
mempertemukan sisi alam dan sisi kemanusiaan dalam sebuah rumusan persamaan.
Hari-hari ini sering ditunjukkan bahwa ekosistem (hutan) harus dipelajari pada skala atau tingkatan yang berbeda – dari tingkat situs, ke bentang darat, ke tingkat regional, nasional dan global. Namun, bagi MacCleery yang perlu juga menjadi diskursus adalah fakta bahwa saat ini berbagai perekonomian dan masyarakat manusia berkait juga dengan berbagai skala. Berbagai keterkaitan itu memiliki beragam konsekwensi lingkungan yang juga harus dipertimbangkan dalam menilai kelestarian hutan. MacCleery lalu mencontohkan kebijakan pengurangan pemanenan kayu di Pacific Barat Laut
untuk melindungi populasi burung hantu (spotted owl) yang pada akhirnya tidak menghilangkan dampak dari pemanenan kayu. Kebijakan ini hanyalah memindahkan burung itu ke ekosistem lain. Sementara, kebijakan ini juga menyebabkan meningkatnya harga konsumer untuk produk-produk kayu dan meningkatnya konsumsi barang pengganti kayu, seperti rangka baja, yang membutuhkan lebih banyak energi untuk memproduksinya daripada kayu, sehingga mengeluarkan lebih banyak CO2 ke atmosfir. Kita dengar banyak retorika akhir-akhir ini tentang perlunya berpikir secara holistik – bahwa segala sesuatu itu terkoneksi. Dengungnya adalah ”think globally act locally”. Dalam pemahaman MacCleery dengungan ini menerap secara bersamaan baik kepada aliran dagang dan ekonomi maupun kepada ekosistem alam. Namun yang kita lihat adalah banyak orang bertindak secara lokal dan mengabaikan hal-hal yang sifatnya global. Banyak dari retorika saat ini terkait pengelolaan ekosistem pada hutan alam tertelan akibat ide ini. Kita sebenarnya mengabaikan implikasi-implikasi atas lingkungan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan alam. Itu tentu bukanlah pengelolaan ekosistem (hutan) yang seharusnya. Kecuali dan sampai konsep tentang kelestarian benar-benar meliputi dimensi-dimensi kemanusiaan global dan nasional ini, maka apapun definisi kelestarian pastilah ”terbatas” dan ”sempit”.
Seringnya penggunaan kata ”self-organizing” dalam merujuk ke
ekosistem, disengaja ataupun tidak telah meningkatkan keseluruhan rentang berbagai citra dan konsep kelestarian. Misalnya pandangan Clemential atas alam sebagai ”superorganism”, yakni ide tentang bagaimana alam mencapai satu keseimbangan bentuk tetapnya, yang imbang dengan ”klimaks” kelompok tanaman (self-sustaining dan self-replicating), menjadi ”tujuan” akhir dan norma dari ”nature’s grand design”. Dalam dosis tertentu, bahkan ekosistem yang begitu rusak sekalipun akan memiliki beberapa dimensi yang
dapat disebut sebagai self-organization. Pertanyaan MacCreely lalu,
bagaimana seseorang menentukan kapan sesuatu telah menjadi tidak lestari? Lagi, ini kembali ke berbagai tujuan dan nilai-nilai kemanusiaan terkait tentang apa yang ingin dilestarikan dari waktu ke waktu. Apakah motivasi kita mencerahkan kepedulian sendiri (self-interest), atau satu perasaan bahwa
semua bentuk kehidupan memiliki hak untuk hadir, kita lah yang menentukan apa yang akan kita cari agar lestari (self sustaining).
Untuk mendefinisikan ”kelestarian” secara abstrak agaknya hampir mustahil. Satu dekade lebih lalu Marion Clawson bertanya, ”Hutan untuk siapa dan untuk apa?”. Berbagai pertanyaan yang sama seperti itu juga penting dalam mendefinisikan kelestarian. Sebelum seseorang dapat mendefinisikan, maka ia haruslah bertanya, ”Kelestarian, untuk siapa dan untuk apa?” Begitu pertanyaan itu diangkat, maka tugas menjadi lebih bisa dikelola (manageable), meskipun masih tetap rumit. McCleery curiga bahwa sementara berbagai pertanyaan itu masih relevan hari ini, jawaban kita sekarang mungkin berbeda dengan jawaban saat Clawson pertama kali bertanya. Dan memang belum atau tidak ada konsensus pula untuk itu.
Apa mungkin untuk mengembangkan berbagai strategi rasional untuk kelestarian hutan yang melampaui banyak dekade, atau bahkan abad, ketika konsep-konsep kemanusiaan tentang apa yang ingin dilestarikan begitu bersifat ilusi? Kapan pertumbuhan populasi perkotaan begitu terpisah dari pengetahuan tentang apa yang melestarikan mereka secara ekonomi, dan akibat-akibat lingkungan dari pilihan konsumsi mereka? Dan kapan pula dunia ini begitu rumit? Terkait berbagai pertanyaan ini, MacCleery sampai pada tiga poin kesimpulan:
Pertama, memahami masa lalu dan memahami bagaimana sampai pada hari ini. Kini begitu banyak pikiran kolektif yang tidak beres pada saat memahami sejarah manusia dan alam dari ekosistem dan peran dalam melestarikan komunitas manusia.
Kedua, kuasai data dan informasi yang lebih baik, melalui riset dan inventarisasi hutan, untuk menilai dimana kita hari ini dan untuk membantu kita mengerti akan implikasi-implikasi biologi dan sosial dari berbagai pendekatan alternatif kepada kelestarian hutan pada beragam tingkatan.
Ketiga, fleksibel tentang masa depan dengan tetap merespon informasi
baru – sering disebut sebagai ”adaptive management” dengan paradigma
pengelolaan ekosistem. Namun, harus diwaspadi, yang paling rawan disini adalah merubah ide manusia tentang nilai dan tujuan kelestarian – apa yang
dilestarikan. Mengkonstruksi konsensus sosial global tentang nilai/tujuan ini merupakan satu tantangan besar tersendiri.
Sementara itu Ruitenbeeck dan Cartier (1998) menggiring kelestarian
hutan pada pemahaman beberapa poin penting, yakni (a) rasional bukan
sekedar efisiensi ekonomi, menuju keadilan dan kelestarian ekonomi; (b) tetap menimbang kebijakan ekonomi dan kelembagaan yang memengaruhi tegakan – pada saat fokus pada tegakan dan pohon; (c) memerhatikan betul sediaan
dan aset sumberdaya hutan (d) siap atas hal-hal tak terduga dan
mengupayakan pencegahan dalam pengelolaan hutan; dan (e) rancangan kelestarian tetap sederhana untuk memudahkan penilaian dan penyesuaian. Secara ringkas poin-poin ini menegaskan bahwa kelestarian harus diletakkan dalam dimensi-dimesi efisiensi dan keadilan dengan mengkalkulasi hal-hal