1. Kerangka Pendekatan
Berangkat dari uraian kerangka konsep dan teori di atas, penelitian ini mengadopsi bentuk analisis kebijakan retrospektif (ex-post) Dunn (2000) yang fokus pada apa hasil-hasil aksi yang (telah) terjadi (empiris) dan kesenjangan (gap) yang ada – yang secara keseluruhan menggambarkan kualitas sebuah kebijakan dalam konteks tertentu (valuatif). Dengan adopsi ini, hasil analisis juga berupaya menawarkan kerangka baru, terutama terkait pembaruan aliran kerangka pemikiran dalam proses pembaruan pembuatan kebijakan dan perumusan masalah (normatif).
Asumsinya adalah, sebagaimana yang dikerangka Sutton (1999), bahwa pembuatan kebijakan, terutama implementasinya tidaklah linear, dan sebaliknya merupakan ”kekacau-balauan” (chaotic) dari serangkaian tujuan dan kejadian. Ia menganggap itulah sisi terbaik dalam memahami apapun kebijakan dan implementasinya. Sejalan dengan pengadopsian asumsi ini, penelitian ini menganggap bahwa (1) para pembuat kebijakan mendekati isu tidak selalu secara rasional untuk setiap tahapan pembuatan kebijakan, (2) tidak selalu mempertimbangkan keseluruhan informasi yang relevan, sehingga (3) bila kebijakan tidak mencapai tujuannya, kesalahan harus dialamatkan kepada kualitas kebijakan dan tidak hanya kepada kegagalan dalam pelaksanaannya seperti disinyalir Juma and Clarke (1995, dalam Sutton, 1999).
Sebagai konsekwensi dari pengadopsian asumsi di atas, penelitian ini coba menerapkan analisis diskursus, sebagai salah satu bentuk penerapan multi- konsep dan multi-disiplin yang tepat dalam mengurai ”kekacau-balauan” atau ”ketidak-linieran” sebagaimana telah disarankan Sutton (1999). Keyakinan Sutton ini berangkat dari telaahnya, betapa ilmu politik, sosiologi, antropologi, hubungan internasional dan pengelolaan bisnis memengaruhi proses pembuatan kebijakan dan coba membangun sebuah gambaran yang lebih besar dari proses pembuatan kebijakan. Sutton (1999) yakin, bahwa antropologi – seperti halnya juga ilmu politik dan sosiologi, berfokus pada diskursus pembangunan. Diskursus sendiri dipahami Sutton berfungsi menyederhanakan masalah-masalah pembangunan yang rumit. Sebagai konsep kedudukan diskursus lebih luas daripada narasi, karena ia berhubungan dengan cara berpikir, nilai-nilai dan berbagai pendekatan fundamental tentang berbagai isu; sementara, narasi lebih kepada satu masalah pembangunan tertentu yang lebih spesifik. Grilo (1997 – dalam Sutton, 1999), sampai pada posisi bahwa ”diskursus (itu) mengidentifikasi, membicarakan dan memikirkan cara-cara yang tepat dan legitimate tentang melakukan pembangunan”.
Dengan berbagai pertimbangan di atas, penelitian ini menerapkan analisis diskursus dengan ciri pendekatan antropologi dengan fokus pada Kebijakan
Usaha Kehutanan di Hutan Alam Produksi di Luar Jawa. Pilihan ini lebih berlatar pertimbangan pragmatis dan substantif. Pragmatis, karena peneliti merasa telah cukup lama berkecimpung dalam dunia kehutanan, termasuk berpartisipasi secara intens dan praktis dalam beberapa proses konstruksi
kebijakan kehutanan2. Pertimbangan substantif lebih karena peneliti
menganggap penting untuk dapat menghasilkan materi dan argumen empiris penting dalam mempelajari kerangka pikir dari klaim-klaim ”capaian” usaha kehutanan dibalik diskursus yang berkembang. Fokus pada kerangka pikir lebih didorong karena pertimbangan bahwa kekeliruan kerangka pikir (akan) berakibat lebih fatal dari sekedar kerusakan sumbedaya alam itu sendiri.
Penelitian ini sejalan dengan kerja Arts and Buizer (2009) yang menganalisis kebijakan kehutanan global sejak 1980an. Menurutnya, pengelolaan hutan lestari merupakan salah satu diskursus baru yang muncul di tataran global dalam tiga dekade terakhir, selain diskursus keanekaragaman hayati dan tata-kelola swasta. Namun, tidak seperti mereka, penelitian ini lebih banyak pada pilihan diskursus sebagai teks (texts). Disebut ”lebih banyak”, karena dalam beberapa hal analisis diskursus juga berlaku pula pada komunikasi empiris, kerangka (frame) dan praktek sosial, mengingat teks itu sendiri pada hakekatnya – ditarik dari penjelasan Arts and Buizer (2009) – tidak kepas dari sebuah konteks tertentu, yang dapat saja bersumber dari
proses komunikasi empiris yang terjadi (communications), kerangka
keyakinan (frame) maupun praktek-praktek sosial yang berkembang (social practices). Dengan komunikasi empiris demikian, analisis diskursus dalam penelitian ini pada dasarnya merujuk pula pendekatan analisis diskursus kritis yang diusung Fairclough dan juga van Dijk sebagaimana disebut Hawitt (2009) dan Arts and Buizer (2009). Dalam praktek sosial yang sama, selain kerangka pikir, coba dipahami pula relasi kekuasaan dibalik diskursus, yang tidak lain, merupakan ide-ide Foucault tentang diskursus dengan kekuasaan sebagaimana dimaksud Hawitt (2009) dan Arts and Buizer (2009) dan juga
2 Antara lain berkontribusi – melalui Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) – dalam penyiapan naskah
akademik dalam rangka pembuatan draft naskah “tandingan” bagi draft UU Kehutanan, yang kini menjadi UU 41/1999 tentang Kehutanan; berkontribusi aktif dalam pembahasan terkait kebijakan levy and grant dan land grant college dengan para Staf Ahli Menteri Kehutanan; dan juga dalam pembahasan LOI bidang kehutanan, terkait lelang HPH, provisi sumberdaya hutan, dan dana jaminan kinerja (performance bonds).
Mills (1997). Selain relasi kekuasaan Foucault, dari diskursus yang sama coba dipelajari pula sejauh mana hadirnya dominasi atau bahkan hegemoni dalam pemikiran Gramsci sebagaimana dimaksud Rosengarten (www. Marxist.com)3
Dalam penelitian ini kerangka teoretik kelestarian sebagaimana telah diuraikan di atas – dan rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 1 – digunakan sebagai alat bantu dalam menakar dan memahami diskursus yang telah terjadi terkait arah, tujuan dan orientasi kelestarian hutan dan kebijakan usaha kehutanan. Gambar 2 menujukkan kerangka pendekatan ini secara skematis.
Gambar 2 Kerangka Pendekatan
2. Bahan Empiris: Dokumen, Wawancara, dan On-Line Pooling
Bahan empiris untuk penelitian ini terdiri dari dokumen tertulis, dokumen hasil wawancara mendalam dan hasil on-line polling sebagai pengayaan dan sekaligus verifikasi. Dokumen tertulis, terdiri dari peraturan perundangan, peraturan turunannya dan beberapa dokumen terkait lainnya yang
keseluruhannya mengatur dan atau memiliki keterkaitan substantive dan
3 Disebutkan Rosengerten, bahwa beragam tafsir atas teori hegemoni Gramsci. Namun, teori itu merupakan sebuah teori
politik paling penting abad XX yang diangkat Gramsci (1891-1937). Gramsci dipandang sebagai pemikir politik terpenting setelah Marx. Teori ini dibangun atas anggapan pentingnya pikiran atau ide, karena kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik tidaklah cukup. Gramsci memosisikan hegemoni sebagai satu bentuk supremasi satu kelompok atau beberapa kelompok atas kelompok lainnya. Agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, namun lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan “hegemoni”. Dengan begitu, hegemoni pada hakekatnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial-politik-ekomomi dengan kerangka yang ditentukan (Gramsci, 1976 dalam www.Marxist.com). (lihat juga www.averroespress.net ).
historis dengan kebijakan usaha kehutanan, termasuk di dalamnya sejumlah dokumen surat perjanjian kehutanan (forestry agreement) dan dokumen surat keputusan pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) dan IUPHHK-HA. Dokumen tertulis lainnya mencakup dokumen yang bukan merupakan peraturan perundangan, namun mengandung diskursus penting dan unsur historis yang relevan dengan dan memengaruhi isu kebijakan usaha kehutanan. Bahan empiris ini diperoleh dari berbagai sumber, terutama dari jajaran Kementerian Kehutanan, dan dipilah dalam kurun sebelum dan sesudah 1998 sebagaimana tampak pada Tabel 1.
Tabel 1. Bahan Empiris yang digunakan dalam analisis
Bahan Empiris Sebelum 1998 Sesudah 1998
Dokumen Peraturan Perundangan UU No. 5/67; PP 22/67; PP 21/70 (jo PP 18/75) Forestry Agreement (FA); SK HPH UU 41/99 PP 6/99; PP 34/2002 jo PP 6/2007 jo PP 3/2008, SK IUPHHK
Hasil wawancara berupa pandangan langsung para informan atau narasumber kunci yang mewakili kelompok-kelompok utama para pemangku kepentingan dengan usaha kehutanan, yakni kelompok birokrat, akademisi, praktisi usaha kehutanan, dan masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat. Dalam wawancara diangkat sejumlah pertanyaan kritis yang disintesa dari hasil telaah dokumentasi tertulis yang dituangkan dalam beberapa pointer pertanyaan terbuka4 untuk menggali pandangan umum terkait relasi atas hutan alam, usaha kehutanan, kelestarian dan kebijakan usaha kehutanan. Wawancara pendahuluan dilaksanakan dalam Agustus-September 2010 di Jakarta, Sarolangun (Jambi), Pontianak, Sintang dan Putussibau (Kalimantan Barat). Wawancara pendahuluan fokus pada menghimpun masukan awal yang menguatkan penentuan kunci kebijakan (key policy milestone) terutama dari birokrat, praktisi usaha kehutanan dan beberapa konfirmasi dari masyarakat sipil yang ditemui. Wawancara lanjutan/mendalam dilaksanakan dalam kurun Februari-Mei 2011 di Jakarta, Bogor, Sarolangun (Jambi), dan Samarinda
4
Untuk beberapa kasus, pertanyaan diselipkan dalam perbincangan lain yang topiknya memiliki keterkaitan dan relevansi yang erat, misal pada saat dilakukan FLEGT-SP assessment sewaktu peneliti bekerja sebagai konsultan paruh waktu pada AGRECO G.E.I.E, Brussel; atau saat melakukan beberapa diskusi terfokus sewaktu peneliti menjadi research coordinator pada APSI Project, yang merupakan riset kolaborasi antara CSIRO-AUSAID-WB-Bappenas.
(Kalimantan Timur) dengan menghimpun pandangan langsung dari para
pemangku kepentingan5 dengan dipandu pertanyaan sesuai kelompok isu:
Hutan Alam Produksi Luar Jawa, Usaha Kehutanan, Kelestarian dan Pengelolaan Hutan Alam produksi, dan Kebijakan Usaha Kehutanan (Lampiran 2).
Hasil on-line polling6 yang dilaksanakan via jaringan internet
diperlakukan sebagai upaya menguatkan dan memperkaya argumen empiris sekaligus verifikasi untuk mengonfirmasi kebenaran, koherensi dan konsistensi terkait upaya implementasi kebijakan usaha kehutanan. On-line
polling dilaksanakan dengan memanfaatkan Google-Form7 yang
dilangsungkan dan ditebar di empat mailing-list sekaligus8 selama sebulan penuh, dimulai 1 April 2011 dan ditutup 30 April 2011 jam 00.00. Daftar pertanyaan on-line polling merupakan versi singkat dari daftar pertanyaan yang digunakan dalam wawancara mendalam dengan kelompok isu yang sama. Screen shot dari format on-line polling dapat dilihat pada Lampiran 3. Berikut adalah tipologi para peserta on-line polling (Tabel 2) dan narasumber wawancara mendalam (Tabel 3)
Tabel 2. Tipologi Peserta Internet On-line Polling
Kelompok Stakeholders % Pengalaman (Th) % Domisili (2) %
Masyarakat Sipil/NGO 38,10 1-5 4,76 Medan 9,52
Birokrat 19,05 6-10 14,29 Bandarlampung 4,76
Akademisi 9,52 11-20 33,33 Jakarta 9,52
Praktisi Usaha Kehutanan 9,42 21-30 38,10 Bogor 33,33 Campuran(1) 14,28 31 dan lebih 9,52 Yogyakarta 4,76
Samarinda 4,76 Pangkalan Bun 9,52 Seattle, WA 4,76 Hongkong 4,76 Landskrona,Swedia 4,76 Baton Rouge, LA 4,76 Catatan:
(1) mengindikasikan diri lebih dari satu komponen stakeholders
(2) saat pengisian polling Kyoto, JP 4,76
5
Karena alasan ketidak sesuaian waktu untuk temua muka, beberapa wawancara dilakukan via skype, yahoo-messenger, dan adapula via email. Daftar narasumber disajikan pada bagian lain.
6
Berupa informasi dan bukti fisik yang digali secara provokatif pro-active dari responden lain, termasuk yang di daerah/lapangan
7 Thanks to Google: https://spreadsheets.google.com/viewform?formkey=dGlqT2hSSXc2cGhkSTVoWVVxd0RDanc6MQ 8 Komunitas rimbawan (ri[email protected] ), komunitas tenurial hutan (forest-
[email protected]) , kelompok kerja keuangan kehutanan dan pencucian uang (iwgff-
[email protected]), serta komunitas alumni kehutanan IPB ([email protected]). Pemilihan keempat mailing list ini lebih didasarkan pada pengamatan dan keyakinan peneliti, bahwa keempatnya merupakan “kolam pengetahuan dan pengalaman” baik dari sisi empiris, praktis, historis, maupun akademis terkait isu kehutanan umumnya, dan usaha kehutanan khususnya.
Tabel 3. Tipologi para Narasumber yang diwawancarai
Komponen Stakeholders Posisi saat diwawancarai Catatan
Birokrat Mantan Menteri Kehutanan Era sebelum dan setelah 1998, masing-masing satu orang
Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional
Mantan Ditjen BPK, Dephut
Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Hubungan antar Lembaga
Mantan Staf Ahli Menteri Bidang lain
Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Revitalisasi Industri Kehutanan
Mantan Ditjen Planologi, Dephut
Staf Khusus Menteri Kehutanan Mantan Sekjen Dephut Peneliti Senior Bidang Kebijakan
Kehutanan, Litbang Dephut
Mantan Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi
Direktur Perencanaan Kawasan
Hutan, Ditjen Planologi, Dephut Kasubdit Penataan Ruang Kawasan Hutan Wil II, Ditjen Planologi, Dephut
Direktur Bina Rencana
Pemanfaatan dan Usaha Kawasan; Ditjen BUK
Kasi Sarpras KHM pada Dinas Kehutanan Kab. Sarolangun, Jambi Masyarakat Sipil/NGO Direktur Eksekutif (Executive
Director)
NGO nasional (2) dan NGO Internasional Indonesia Program (1)
Specialist Pada Donor International
Project Akademisi Dosen Fakultas Kehutanan (Jawa
dan Luar Jawa)
Dua orang Profesor, satu orang mantan dosen bergelar Master
Praktisi Usaha Kehutanan Manager Camp di Unit Management
UM di Kalimantan Timur - anggota APHI
Manager Perencanaan di Unit Management
UM di Kalimantan Timur (1) dan Kalimantan Barat (1) - keduanya anggota APHI Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusahaan Hutan
Indonesia (APHI)
Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI)
Catatan: Contoh Transkrip Wawancara dapat dilihat pada Lampiran 15.
3. Metoda dan Prosedur Analisis Diskursus
Dari bahan empiris yang telah terhimpun (Tabel 1) ditetapkan sejumlah bahan tertulis, terutama produk peraturan perundangan yang menjadi dasar hukum usaha kehutanan, sebagai kunci kebijakan (key policy milestone) atau sebagai representasi output dari proses kebijakan usaha kehutanan saat itu (ex-post)
masing-masing untuk sebelum dan setelah 1998. Sedangkan data dan informasi terkait dengan kondisi, situasi dan kinerja usaha kehutanan dirangkum, disintesa dan diposisikan sebagai representasi output dari implementasi kunci kebijakan itu dan kebijakan turunannya dan atau penopangnya.
Terhadap keseluruhan dokumen kunci kebijakan dilakukan telaah dokumen. Sebagai upaya klarifikasi atas hasil dan proses telaah dokumen ini dilakukan pula wawancara mendalam dengan para pihak pemangku kepentingan. Selain wawancara mendalam, untuk penguatan dan pengayaan argumen empiris, dilakukan pula online polling melalui internet. Sementara itu terhadap data dan informasi usaha kehutanan dilakukan pula sintesis untuk
memotret (snapshot) sejauh mana kinerja usaha kehutanan selama kedua
periode. Potret atau snapshot ini digunakan antara lain dalam menakar
seberapa senjang (gap) antara realitas yang terpotret dengan tatanan kebijakan usaha kehutanan sebagaimana tertuang dalam dokumen kunci kebijakan. Aspek kelestarian, termasuk di dalamnya pemosisian hutan alam produksi digunakan sebagai penapis dalam menakar kesenjangan dimaksud. Secara skematik tahapan ini sebagaimana disajikan dalam Gambar 3.
Analisis diskursus berupa analisis isi dan narasi dilakukan saat melakukan telaah dokumen tertulis maupun hasil percakapan atau wawancara dan hasil polling. Telaah dokumen diawali melalui penyiapan ikhtisar9 disusul dengan analisis isi dan narasi. Analisis isi merujuk pada Holsti (1969) berupa penarikan inferensia atau simpul atau pokok-pokok pikiran. Dalam analisis isi ini, dilakukan pengkodean (coding) dan kategorisasi untuk masing-masing setiap paragraph dari bahan hasil ihtisar, khususnya untuk teks dokumen
kebijakan, kedalam empat dimensi Bolman and Deal (1991)10. Hasil akhir
pengkodean dapat memberikan gambaran, bahwa dari sisi dimensi keorganisasian, kebijakan usaha kehutanan ada di dimensi mana: rational, human, politics, atau symbolic. Dalam pengkodean digunakan kata kunci yang diadopsi dari Bolman and Deal (1991) sebagaimana tercantum pada Lampiran 4. Hasil pengkodean sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 5. Contoh hasil analisis isi dapat dilihat pada Lampiran 6.
Analisis narasi merujuk Bernard (2000) dan Denzin (1989), yakni mencari dan menetapkan pola-pola pokok dalam narasi. Menurut Graffin (1993 dalam Liang dan Lin, 2008) narasi adalah sebuah bangunan analisis yang menghimpun berbagai kejadian atau fenomena yang dirangkum kedalam deskripsi singkat. Kerangka teoretik kelestarian digunakan sebagai takaran utama dalam melakukan berbagai analisis ini. Contoh hasil analisis narasi dapat dilihat pada Lampiran 7.
Untuk melihat kecenderungan diskursus dan peta kerangka pikir para pihak, dari hasil analisis isi dan narasi di atas dilakukan pula transformasi dan pemetaan hasil kedalam beberapa ilustrasi grafis-kuantitatif, termasuk dalam
9
Dalam membaca, menyarikan dan mensintesa bahan-bahan empiris, peneliti juga menggunakan antara lain Sistim Ikhtisar Dokumen Bahasa Indonesia (SIDoBI) ver 2009 yang merupakan on-line static sofware yang telah dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta, Indonesia. Untuk pengkodean dan pengkategorian bahan-bahan empiris, terutama hanya beberapa yang berbahasa inggris, digunakan software N-Vivo Ver 2002 buatan QSR International Pty Ltd, Melbourne, Australia.
10
Keempat dimensi itu adalah rasional (rational), kemanusiaan (human), politik (political), dan simbolik (symbolic). Dijelaskan, bahwa dalam dimensi rasional, organisasi digerakan oleh berbagai strategi, dan peran manajemen adalah mensejajarkan berbagai strategi dan struktur dengan lingkungan eksternal. Dalam dimensi manusia, isu sentralnya bagaimana menggabungkan berbagai kebutuhan manusia dengan rasionalitas keorganisasian. Dari dimensi politik, kesenjangan kepentingan dan kelangkaan sumberdaya terpaksa membalikkan politik organisasi. Simbol memainkan peran penting dalam pengalaman manusia. Dalam domain rasional, poin kehidupan itu adalah pilihan. Namun, hidup dalam berbagai organisasi antara lain hanyalah terkait pengambilan keputusan (March/Olsen 1976 dalam Bolman and Deal, 1984). Pembuatan keputusan sering sebagai arena untuk berbagai aksi simbolik. Dengan keempat dimensi ini Bolman and Deal (1984) memastikan ciri sebuah organisasi dalam menjalankan dan menegakan aturan main: seperti apa keseimbangannya dan kira-kira lebih cenderung ke dimensi yang mana.
bentuk kuadran dengan absis dan ordinat yang ditarik fenomena atau pokok- pokok pikiran yang mencuat dalam isi dan narasi. Diadopsi pula kuadran Alvesson and Karreman (2000) yang dalam penelitian ini dinamai frame B. Alvesson and Karreman (2000) menggunakan dua dimensi (absis dan ordinat) dengan empat kuadran11.
Untuk melihat kualitas kebijakan usaha kehutanan dan efektifitas pelaksanaannya, khusus dianalisis Dokumen Renstra Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (kini Bina Usaha Kehutanan, BUK) 2005-2009 melalui pendekatan Birkland (2001) yang menekankan aspek proses perancangan kebijakan sebagai akumulasi tiga arus, yani politik, masalah publik dan kebijakan itu sendiri (Gambar 4). Dengan ketiga arus ini Birkland (2001) mengkerangka hubungan tujuan, model sebab-akibat, instrumen, target dan implementasi kebijakan, masing-masing dengan sejumlah pertanyaan (Tabel 4). Dengan berbagai pertanyaan ini hasil analisis diskursus yang sama – selain dipetakan kerangka pikirnya – ditelaah lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran kualitas kebijakan usaha kehutanan dan efektivitas pelaksanaannya. Dari hasil telaah ini ditarik sejumlah rekomendasi terkait langkah dan agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan.
Gambar 4 Proses konstruksi kebijakan (Birkland, 2001)
11
Dimensi pertama (absis) menggambarkan hubungan antara diskursus dengan makna yang merentang dari kondisi rontok (collapsed) di ekstrim kiri – dinamai pula sebagai titik discourse determination, sampai tak ada hubungan sama sekali (unrelated) di ekstreem kanan, titik ini dinamai discourse autonomy. Diantara dua ekstrim ini terdapat dua titik lain segaris yang posisinya proporsional, yakni terkait erat (tightly coupled) di bagian kiri dan terkait longgar (loosely coupled) dikanannya. Dimensi kedua (ordinat) menggambarkan lawas diskursus yang merentang dari diskursus mikro (micro discourse) di ekstrim atas dikenal dengan sebutan kepedulian-jangka pendek (close-range interest) dengan konteks situasional dan lokal (local situational contexts) sampai diskursus mega (mega discourse) di ekstrim bawah disebut sebagai kepedulian jangka-panjang (long-run interest) dengan konteks sistem-makro (macro-system contexts). Diantara kedua ekstrim ini ada dua titik segaris lain yang letaknya proporsional, yakni grand dan meso discourse.
Tabel 4. Kerangka Kebijakan (diadopsi dari Birkland, 2001)
Komponen Penjelasan (Pertanyaan yang perlu diangkat)
Tujuan kebijakan
Apa tujuan kebijakan: menghilangkan masalah? Sekedar mengurangi, tidak menghilangkan? Atau mengatasi masalah agar tidak menjadi lebih buruk?
Model sebab-akibat
Seperti apa model ini? Apakah kita tahu bila yang dilakukan X, akan dihasilkan Y? Bagaimana kita tahu ini, bagaimana bisa tahu?
Instrumen kebijakan
Instrumen apa (saja) yang digunakan agar kebijakan bisa dijalankan? Apakah instumen itu cukup mendorong? Apakah instrumen berupa insentif, persuasif atau sekedar informasi? Perlu upaya peningkatan kapasitas?
Sasaran kebijakan
Perilaku siapa yang diharapkan berubah? Adakah sasaran langsung dan tak langsung? Apakah pilihan rancangan berdasarkan konstruksi sosial dari populasi sasaran? Implementasi
kebijakan
Bagaimana kebijakan dilaksanakan? Siapa yang akan menata sistem implementasinya? Apakah akan top-down atau bottom up? Mengapa?