• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskursus Penentuan Awal Bulan qamariyah di Indonesia

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang (Halaman 23-33)

S}u>mu> li ru’yatihi wa aft}iru> li ru’yatihi, fa in gumma ‘alaikum fa istakmilu>hu

s\ala>s\i>na yauman yang artinya “Berpuasalah kalian karena melihat hila>l dan

berbukalah (berlebaranlah) kalian karena melihat hila>l. Bila kalian tertutup oleh mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” Demikianlah hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah yang sangat terkenal itu.

Di Indonesia, yang penduduk Muslimnya merupakan bagian terbesar negara bangsa ini, hampir selalu terjadi perbedaan di dalam memahami dan mengaplikasikan pesan hadis Rasulullah saw tersebut dalam menentukan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah. Implikasi lebih jauh adalah munculnya tiga arus utama “mazhab” pemikiran, pertama, Mazhab Ru’yah yang dipersentasikan oleh ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), kedua, Mazhab Hisab

dengan pengusung utama ormas Islam tertua di Indonesia, yaitu Muhammadiyah, dan ketiga, mazhab imka>nur-ru’yah yang merupakan penengah, mengupayakan hasil hisab sama dengan hasil ru’yah. Tampaknya perbedaan itu muncul dari perbedaan memahami kata li ru’yatihi yang artinya “karena melihat bulan”. Kata ‘melihat’ di sini apakah hanya berarti melihat secara langsung dengan mata, ataukah boleh juga diartikan “bi an-naz}ar” (melihat dengan penalaran, melalui ilmu hisab / perhitungan). Di titik inilah polemik itu muncul (Izzuddin, 2007).

Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan-bulan qamariyah sebenarnya menggunakan dasar-dasar hukum yang sama. Di antaranya adalah:

ﻪــــــــــَﻟ اوُرُﺪــــــــــْﻗﺎَﻓ ْﻢُﻜْﻴــــــــــَﻠَﻋ ﱠﻢــــــــــُﻏ ْنﺈــــــــــَﻓ اْوُﺮِﻄْﻓﺄــــــــــَﻓ ُﻩْﻮــــــــــُﻤُﺘْـﻳَأَر اَذإَو اﻮُﻣْﻮــــــــــُﺼَﻓ ُﻩْﻮــــــــــُﻤُﺘْـﻳَأَر اَذِا

)

ﻩاور

ا

يرﺎﺨﺒﻟ

(

ﲔــــــــﺛﻼﺛ َنﺎﺒﻌــــــــَﺷ َةﱠﺪــــــــِﻋ اﻮُﻠِﻤْﻛﺎــــــــَﻓ ْﻢُﻜْﻴــــــــَﻠَﻋ َِﱯــــــــُﻏ ْنﺈــــــــَﻓ ِﻪــــــــِﺘَﻳْؤُﺮِﻟ اْوُﺮــــــــِﻄْﻓَأَو ِﻪــــــــِﺘَﻳْؤُﺮِﻟ اْﻮُﻣْﻮــــــــُﺻ

)

ﻢﻠﺴﻣ ﻩاور

(

Dari dalil-dalil tersebut (terjemah teks-teks Arab disajikan pada lampiran A), Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa penetapan awal Ramadan wajib didasarkan atas ru’yatul hila>l bil fi’li (observasi secara langsung terhadap bulan baru / hila>l) atau

istikma>l (penyempurnaan tiga puluh hari), sesuai pemaknaan hadis di atas secara

tekstual. Kedudukan hisab, hanyalah sebagai pembantu dalam melakukan ru’yah. Lafaz Faqduru>lah di atas tidak bisa diartikan hisab-lah (sebagaimana pemahaman penganut hisab murni), namun diartikan sempurnakanlah tiga puluh hari (istikma>l). Penggunaan cara ini didasarkan pada hadis-hadis Nabi saw, dan penjelasan ulama-ulama salaf pada kitab-kitab yang mu’tabar. Nahdlatul Ulama berpandangan bahwa dalil-dalil tentang penentuan awal Ramadan adalah bersifat ta’abbudi—gair

al-ma’qu>l al-ma’na>>, dalam arti tidak dapat dikembangkan dan dirasionalisasikan

Namun, Nahdlatul Ulama juga mempertimbangkan hasil hisab (sebagai pemandu pelaksanaan ru’yah), sebagaimana disebutkan dalam pedoman Nahdlatul Ulama dalam penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah sebagai berikut:

“Hasil ru’yah hanya dapat ditolak dengan syarat:

a. Jika semua ahli h}isa>b dengan dasar-dasar yang qat}’i (pasti) sepakat tidak adanya imka>nur-ru’yah (kemungkinan dapat diru’yah)

b. Jika jumlah ahli h}isa>b itu mencapai batas mutawatir” (Sekjen PBNU 1994).

Sedangkan Muhammadiyah pada awalnya berpendapat bahwa awal Ramadan dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu: ru’yah, istikma>l, dan h}isa>b (sesuai keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah tahun 1972 dan 1998). Namun dari tiga cara tersebut, Muhammadiyah lebih mengutamakan cara h}isa>b dengan mengartikan lafaz faqduru>lah dengan arti hisab-lah dengan merujuk dalil Al-Qur’an yaitu surah Yunus ayat 5 dan pendapat Mut}arrif yang diungkapkan oleh Ibnu Rusyd. Bahkan dengan keluarnya keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah tahun 2003 dan 2007, Muhammadiyah secara resmi telah meninggalkan ru’yah. Muhammadiyah berpandangan bahwa dalil-dalil tentang penentuan awal Ramadan adalah bersifat ta’aqquli (dapat diperluas, dikembangkan, atau dikontekstualisasikan), sehingga pemaknaan dalil dapat dirasionalisasikan. Muhammadiyah memandang bahwa Nabi saw dan sahabatnya mengamalkan ru’yah atau istikma>l, karena saat itu umat Islam belum pandai ilmu perhitungan (astronomis). Sehingga untuk konteks zaman sekarang, ketika umat Islam sudah menguasai ilmu perhitungan astronomis (ilmu hisab), sah-sah saja jika menentukan awal bulan qamariyah cukup hanya menggunakan h}isa>b, tanpa perlu ru’yah al-hila>l lagi (Izzuddin, 2007).

Pemikiran hisab ru’yah Muhammadiyah secara substansial diformulasikan dalam keputusan-keputusan Muktamar Tarjih yang berlangsung 23-28 April 1972 di Pencongan, Wiradesa, Pekalongan. Dari keputusan muktamar tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Berpijak pada pemahaman hadis-hadis hisab ru’yah dan Al-Qur’an Surah Yunus ayat 5, penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah adalah dengan ru’yah yang mu’tabar dan tidak berhalangan menggunakan hisab

2. Ru’yah yang mu’tabar menurut Muhammadiyah adalah bila dinyatakan oleh hisab bahwa hal ini sudah wujud. Mengenai kalimat ‘sudah wujud’ dalam keputusan Majlis Tarjih, mengandung pengertian:

a. Sudah terjadi ijtima>’ qabl al-guru>b,

b. Posisi bulan sudah positif di atas ufuk (saat terbenam matahari). Sedangkan tentang keputusan bahwa ru’yahlah yang mu’tabar, hal ini dengan syarat hilal sudah wujud. Bila hilal belum wujud (yaitu posisi bulan negatif terhadap ufuk) maka ketentuan “ru’yahlah yang mu’tabar” tidak berlaku (Izzuddin 2007). Dari pemikiran yang dikembangkan itu, maka sistem penentuan awal bulan qamariyah bagi Muhammadiyah adalah h}isa>b wuju>d al-hila>l atau h}isa>b mi>la>d al-hila>l. Awal bulan qamariyah ditetapkan ketika pada awal malam itu, bulan baru ‘sudah wujud’.

I.5.8. Mazhab Imka>nurImka>nurImka>nurImka>nur-Ru’yah

Menanggapi fenomena perbedaan tersebut, pemerintah menawarkan sebuah formulasi penyatuan, yaitu mazhab imka>nur-ru’yah (sistem ru’yah yang bersendikan hisab—meminjam istilah Ibrahim Husein). Dengan mazhab imka>nur-ru’yah ini, pada dasarnya pemerintah berupaya memadukan antara mazhab hisab dengan mazhab ru’yah di Indonesia. Dasar argumentasinya adalah pemaknaan klausa “s}u>mu> li ru’yatihi”. Al-Qalyubi mengartikan ru’yah di sini dengan “imka>nur-ru’yah” (posisi hilal mungkin dilihat) (al-Qalyubi 1956). Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan ru’yah adalah segala hal yang dapat memberikan dugaan kuat (z}anni) bahwa hilal dalam ‘kondisi’ telah ada di atas ufuk dan mungkin dapat dilihat. Karena itu, menurut al-Qalyubi, awal bulan dapat ditetapkan berdasarkan perhitungan yang secara pasti menyatakan ‘kondisi’ seperti itu. Sehingga kaitannya dengan ru’yah, posisi hilal dinilai berkisar pada tiga keadaan, yaitu: a) pasti tidak mungkin terlihat

(istih}a>lah ar-ru’yah), b) mungkin terlihat (imka>nur-ru’yah), c) pasti terlihat (al-qat}’u

bi ar-ru’yah) (Izzuddin, 2007). Keadan-keadaan ini hanya dapat ditetapkan setelah ditentukan kriteria-kriteria mengenai imka>nur-ru’yah / visibilitas hilal.

Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Agama, telah berusaha menghasilkan kriteria imka>nur-ru’yah dengan harapan dapat diterima oleh berbagai pihak terkait.

Hal ini juga didorong oleh keputusan Musyawarah Kerja Hisab Rukyah tahun 1997/1998 di Ciawi Bogor yang meminta diadakan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang imka>nur-ru’yah. Oleh karena itu, pada bulan Maret 1998 dilakukan pertemuan dan musyawarah ahli hisab dari berbagai ormas Islam, yang juga diikuti oleh ahli astronomi dan institusi terkait. Pertemuan tersebut di antaranya menghasilkan keputusan:

1. Penentuan awal bulan qamariyah didasarkan pada imka>nur-ru’yah, sekalipun tidak ada laporan ru’yah al-hila>l

2. Imka>nur-ru’yah yang dimaksud didasarkan pada tinggi hilal dua derajat

dan umur bulan delapan jam dari saat ijtima>’ pada saat matahari terbenam 3. Ketinggian dimaksud berdasarkan hasil perhitungan sistem h}isa>b h}aqiqi

tah}qiqi

4. Laporan ru’yah al-hila>l yang kurang dari 2 derajat dapat ditolak

Kriteria imka>nur-ru’yah tersebut dasarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (hanya berdasarkan adat kebiasaan). Ada dugaan bahwa kriteria ini kiranya (terkesan) asal mengekor pada keputusan Komite Penyelarasan Rukyah dan Taqwim Islam MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Salah satu hasil keputusannya menyatakan:

“Had/batas minimal ketinggian yang dijadikan pedoman imka>nur-ru’yah dan diterima oleh ahli h}isa>b falaki syar’i di Indonesia serta negara-negara MABIMS adalah dua derajat dan umur bulan minimal delapan jam dari saat

ijtima>’, perlu dikembangkan dengan proyek-proyek yang sistematis dan

ilmiah”. (Hasil Keputusan Musyawarah Ulama ahli hisab dan ormas Islam tentang kriteria imka>nur-ru’yah di Indonesia di Hotel USSU Cisarua Bogor, 24-26 Maret 1998)

Ikhtiar pemerintah ini belum menghasilkan kesepakatan bulat, terutama oleh dua ormas Islam besar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Sebagaimana Thomas Djamaluddin (peneliti dari LAPAN Bandung) menjelaskan bahwa wajar kiranya jika Muhammadiyah belum bersedia menerima kriteria

imka>nur-ru’yah tersebut, mengingat kriteria tersebut lebih rendah daripada kriteria

yang diakui secara ilmiah oleh para astronom. Sementara itu, Nahdlatul Ulama dalam keputusannya tentang penetapan Syawal 1418 H tampak telah mengamalkan mazhab

itu menolak laporan ru’yah dari Bawean dan Cakung karena posisi hilal di seluruh Indonesia pada waktu itu tidak mungkin terlihat (istih}a>lat ar-ru’yah) (Izzuddin, 2007).

Namun demikian, untuk mendapatkan kriteria imka>nur-ru’yah yang akurat sehingga hasilnya setara dengan hasil ru’yah, sebaiknya dilakukan proyek secara kontinu sehingga didapatkan kriteria imka>nur-ru’yah yang dapat digunakan selama kurun waktu tertentu. Dan sebaiknya kriteria tersebut juga menerima pembaharuan secara berkala untuk menyesuaikan teknologi yang selalu berkembang serta hasil pengamatan hilal (ru’yah) yang terbaru.

Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa mazhab imka>nur-ru’yah merupakan satu tawaran solusi dalam upaya memadukan mazhab hisab dan mazhab ru’yah di Indonesia, dengan harapan dapat menjembatani perbedaan pandangan dari berbagai pihak sehingga dapat meminimalisir perbedaan. Namun gagasan ini masih berupa konsep teoritis yang belum teruji secara praktis (Izzuddin, 2007).

I.5.9. Kriteria Visibilitas Hilal / Imka>nurImka>nurImka>nurImka>nur-Ru’yah MABIMS

MABIMS adalah kependekan dari Menteri-menteri Agama Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Yang dimaksud di sini adalah pertemuan tahunan Menteri-Menteri Agama atau Menteri yang bertanggung jawab dalam mengurus masalah agama keempat negara tersebut. Bentuk kesepakatan ini untuk menjaga kemaslahatan dan kepentingan umat tanpa mencampuri hal-hal yang bersifat politik negara anggota. Dalam perkembangan terakhir pertemuan diadakan tiap dua tahun sekali. MABIMS mulai diadakan pada tahun 1989 di Brunai Darussalam. Salah satu isu penting yang menjadi perhatian MABIMS adalah penyatuan Kalender Islam Kawasan. Persoalan ini ditangani oleh Jawatan Kuasa Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam. Musyawarah pertama Jawatan Kuasa Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam diadakan di Pulau Pinang, Malaysia pada tahun 1991/1412 H dan terakhir diadakan di Bali, Indonesia tahun 2012. Salah satu

keputusan penting terkait dengan kalender Islam adalah teori visibilitas hilal yang kemudian dikenal dengan istilah “Visibilitas Hilal MABIMS”.

Visibilitas hilal MABIMS mensyaratkan :

1. ketinggian hilal tidak kurang dari dua derajat, 2. elongasi tidak kurang dari tiga derajat, dan 3. umur bulan tidak kurang dari delapan jam.

Dalam praktiknya penggunaan visibiltas hilal MABIMS antar anggota berbeda-beda. Indonesia yang dianggap sebagai “pengusung” teori visibilitas hilal MABIMS menggunakan secara kumulatif dan menunggu sidang isbat untuk menentukan awal Ramadan dan Syawal. Sementara itu Malaysia, sebelum menggunakan visibilitas hilal MABIMS, menggunakan visibilitas hilal hasil resolusi Istanbul 1978. Pada tahun 1992, menggunakan visibilitas hilal MABIMS, dengan syarat hilal mungkin dilihat apabila memenuhi salah satu, yaitu apabila matahari terbenam,

1. Altitude atau ketinggian hilal tidak kurang dari dua derajat, dan

2. Jarak lengkung (Elongasi) matahari ke bulan tidak kurang dari tiga derajat, atau

3. Ketika bulan terbenam umur bulan tidak kurang dari delapan jam.

Kebijakan Malaysia ini diikuti Singapura dalam menetapkan awal bulan Qomariah untuk pembuatan kalender hijriah. Berbeda dengan Malaysia dan Singapura, Brunai Darussalam menggunakan visibilitas hilal MABIMS sebagai pemandu observasi hilal. Jika berdasarkan data hasil hisab posisi hilal sudah memenuhi syarat-syarat visibilitas hilal MABIMS namun hilal tidak terlihat maka penentuan awal bulan Qomariah didasarkan pada ru’yatul hilal.

Akibat perbedaan penggunaan visibilitas hilal tersebut, sesama anggota MABIMS akan terjadi perbedaan dalam menentukan awal bulan Qomariah. Bukti kongkretnya adalah penentuan awal Syawal 1432 H yang lalu. Malaysia dan Singapura menetapkan awal Syawal 1432 H jatuh pada hari Selasa bertepatan dengan tanggal 30 Agustus 2011, sedangkan Indonesia dan Brunai Darussalam menetapkan

awal Syawal 1432 H jatuh pada hari Rabu bertepatan dengan tanggal 31 Agustus 2011 (Azhari, 2012).

Dalam perjalanannya Brunai Darussalam tidak lagi menggunakan visibilitas hilal MABIMS untuk menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal.

I.5.10. Kriteria Visibilitas Hilal / Imka>nurImka>nurImka>nurImka>nur-Ru’yah LAPAN 2010

Berdasarkan data dari kompilasi Keputusan Menteri Agama RI antara tahun 1962-1997 M yang menjadi dasar penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah, Thomas Djamaluddin pada tahun 2000 mengusulkan kriteria visibilitas hilal di Indonesia (dikenal sebagai Kriteria LAPAN) :

a. Umur hilal harus > 8 jam

b. Jarak sudut bulan-matahari harus > 5,6o

c. Beda tinggi > 3o

(tinggi hilal > 2o ) untuk beda azimut ~ 6o, tetapi bila beda azimutnya < 6o perlu beda tinggi yang lebih besar lagi. Untuk beda azimut 0o, beda tingginya harus > 9o .

Kriteria LAPAN tersebut memperbarui kriteria MABIMS yang dipakai dengan ketinggian minimal dua derajat, tanpa memperhitungkan beda azimut. Kriteria LAPAN tersebut sebenarnya masih lebih rendah dari kriteria-kriteria visibilitas hilal internasional. Tetapi, itu merupakan kriteria sementara yang ditawarkan berdasarkan data yang tersedia setelah mengeliminasi kemungkinan gangguan pengamatan akibat pengamatan tunggal atau gangguan planet Merkurius dan Venus di horizon. Kriteria itu akan disempurnakan dengan menggunakan data yang lebih banyak.

Selanjutnya, untuk mendapatkan kriteria tunggal yang diharapkan menjadi rujukan bersama semua ormas Islam dan pemerintah (Kementerian Agama RI), perlu diusulkan kriteria baru yang dalam implementasinya tidak menyulitkan semua pihak. Kriteria berbasis beda tinggi bulan-matahari dan beda azimut bulan-matahari dianggap cocok, karena telah dikenal oleh para pelaksana hisab ru’yah dan sekaligus menggambarkan posisi bulan dan matahari pada saat ru’yatul hilal. Tinggal yang harus dirumuskan adalah batasannya.

Dua aspek pokok yang harus dipertimbangkan adalah aspek fisik hilal dan aspek kontras latar depan di ufuk barat. Aspek fisik hilal bisa diambilkan dari limit Danjon dengan alat optik, karena pada dasarnya, saat ini alat optik selalu dipakai sebagai alat bantu pengamatan. Limit Danjon 6,40 dari Odeh (untuk elongasi) dapat digunakan. Sedangkan kriteria Odeh yang menggunakan lebar sabit tampaknya kurang dikenal di kalangan pelaksana hisab ru’yah di Indonesia, sehingga kurang cocok untuk digunakan. Adapun aspek kontras latar depan di ufuk barat, dapat menggunakan batas bawah beda tinggi bulan-matahari dari Ilyas, Caldwell dan Laney, dan Sudibyo, yaitu minimal empat derajat.

Dengan demikian kriteria LAPAN 2000 dapat disempurnakan lagi menjadi “Kriteria Hisab-Ru’yah Indonesia” dengan kriteria sederhana sebagai berikut (lihat gambar I.12) :

a. Jarak sudut bulan-matahari (elongasi) > 6,4o

dan b. Beda tinggi bulan-matahari > 4o

(Djamaluddin, 2010).

Gambar I. 12.Kurva kriteria hisab-ru’yah Indonesia (Sumber : Djamaluddin, 2010)

Beda Azimut (derajat)

Dengan ketentuan:

1. Seandainya ada kesaksian ru’yah yang meragukan, di bawah kriteria tersebut, maka kesaksian tersebut harus ditolak.

2. Bila ada kesaksian ru’yah yang meyakinkan (lebih dari satu tempat dan tidak ada objek yang menggangu atau ada rekaman citra hilalnya), maka kesaksian harus diterima dan menjadi bahan untuk mengoreksi kriteria hisab ru’yah yang baru.

3. Bila tidak ada kesaksian ru’yatul hilal karena mendung, padahal bulan telah memenuhi kriteria, maka diambil keputusan “telah dimulai bulan baru”, karena kriteria itu telah didasarkan pada data ru’yah jangka panjang (berarti tidak mengabaikan metode ru’yah sama sekali).

Kriteria baru hisab rukyat yang tunggal (bisa disebut “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia”) diperlukan agar menjadi rujukan pedoman bersama. Kriteria baru tersebut semestinya sederhana dan aplikatif, sehingga mudah digunakan oleh semua pelaksana hisab rukyat di ormas-ormas Islam, pakar individu, maupun di Badan Hisab Rukyat (BHR) sebagai badan kajian Kementerian Agama RI. Kriteria baru itu pun sebaiknya tidak terlalu berbeda dengan kriteria hisab yang selama ini dipakai. Tujuannya untuk meminimalkan terjadi resistensi atas perubahan dari kriteria semula. Kritera baru juga harus tetap merujuk pada hasil rukyat masa lalu di Indonesia agar kriteria itu pun tidak lepas dari tradisi rukyat yang mendasarinya dan kriteria itu dapat dianggap sebagai dasar pengambilan keputusan berdasarkan “rukyat jangka panjang”, bukan sekadar rukyat sesaat pada hari pengamatannya. Dengan demikian, kalau pun ada penolakan rukyat yang bertentangan dengan kriteria ini dapat dianggap sebagai penolakan “rukyat sesaat” oleh “rukyat jangka panjang”. Sehingga resistensi dari para penganut rukyat pun dapat diminimalisasi.

“Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” ini hanya merupakan penyempurnaan dari kriteria MABIMS yang selama ini digunakan oleh BHR, kriteria tinggi bulan 2o yang digunakan oleh Nahdlatul Ulama, kriteria wujudul hilal (setara dengan kriteria tinggi bulan 0o) yang digunakan Muhammadiyah, dan kriteria wujudul hilal di seluruh Indonesia yang sempat digunakan oleh Persatuan Islam (PERSIS). Penyempurnaan

pada “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” dilakukan untuk mendekatkan semua kriteria itu dengan fisis hisab dan rukyat hilal menurut kajian astronomi. Dengan demikian aspek rukyat maupun hisab mempunyai pijakan yang kuat, bukan sekadar rujukan dalil syar’i tetapi juga interpretasi operasionalnya berdasarkan sains-astronomi yang bisa diterima bersama. Dengan kriteria bersama itu hisab dan rukyat tidak didikotomikan lagi, tetapi dianggap sebagai suatu yang saling melengkapi. Kriteria ini pun harus dianggap sebagai kriteria dinamis yang harus dievaluasi secara berkala (misalnya setiap sepuluh tahun) untuk mengakomodasi perkembangan data pengamatan terbaru (Djamaluddin, 2010).

“Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” atau Kriteria LAPAN 2010 saat ini telah digunakan oleh ormas PERSIS (Persatuan Islam) sejak tahun 2012 dan di implementasikan dalam Almanak Islam 1434 H (Burhanuddin 2013). Karena didasarkan pada analisis astronomis, maka kriteria LAPAN itu sering disebut kriteria

imka>nur-ru’yah / IR astronomis. Dalam proyek ini, kriteria yang diperbaharui pada

tahun 2010 oleh Thomas Djamaluddin itu disebut kriteria LAPAN 2010.

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang (Halaman 23-33)

Dokumen terkait