• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Di Indonesia, yang penduduk muslimnya merupakan bagian terbesar dari negara bangsa ini, hampir selalu terjadi perbedaan di dalam memahami dan mengaplikasikan pesan hadis Nabi Muhammad saw dalam menentukan awal bulan qamariyah, khususnya Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah. Implikasi lebih jauh adalah munculnya tiga arus utama “mazhab” pemikiran dalam penentuan awal bulan qamariyah dalam kalender Islam, pertama, mazhab ru’yah (pengamatan bulan baru/hilal secara langsung) yang dipersentasikan oleh ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), kedua, mazhab hisab (perhitungan posisi hilal secara matematis, tanpa perlu lagi melakukan pengamatan) dengan pengusung utama ormas Islam tertua di Indonesia, yaitu Muhammadiyah, dan ketiga, mazhab imka>nur -ru’yah (perhitungan posisi hilal untuk menetapkan kemungkinan kenampakannya) yang merupakan upaya menjembatani kedua mazhab di atas (Izzuddin, 2007).

Perbedaan-perbedaan di atas sering kali didialogkan dalam forum bersama antara ormas-ormas Islam di Indonesia serta instansi-instansi terkait, dalam upaya menyatukan pemahaman, metode, dan kriteria dalam penentuan awal bulan-bulan qamariyah. Namun, tampaknya upaya pencarian titik temu itu masih harus menempuh jalan yang panjang, karena hal itu terkait dengan penyeragaman interpretasi / pemaknaan teks-teks suci keagamaan (an-nus}u>s} al-muqaddasah) yang memang sering kali terdapat keragaman. Apalagi juga terkait dengan pelaksanaan ibadah yang menyangkut keyakinan masing-masing pihak dalam meyakini kebenaran pemahaman keagamaannya. Namun, jika memang tidak bisa disepakati titik temu, maka harus ada upaya yang dilaksanakan oleh masing-masing ormas untuk mendewasakan berfikir umatnya masing-masing agar bisa menghargai dan menghormati perbedaan.

(2)

Proyek ini dilaksanakan sebagai kontribusi untuk meminimalisir perbedaan yang ada. Untuk itu, perlu digunakan jalan tengah yang dapat menjembatani polarisasi yang ada. Dalam konteks ketiga mazhab pemikiran di atas, dipilih kajian mengenai metode hisab imka>nur-ru’yah. Metode tersebut merupakan metode h}isa>b / perhitungan, yang tujuannya untuk prediksi secara matematis mengenai kedudukan dan kenampakan hilal secara akurat dengan menggunakan ilmu astronomi. Ormas Persatuan Islam (PERSIS) telah menggunakan metode ini, sementara itu NU menggunakannya sebagai pembantu dalam mengetahui kedudukan dan kenampakan hilal, karena keputusan akhir NU tetap pada hasil ru’yah al-hila>l / pengamatan secara langsung.

Hisa>b imka>nur-ru’yah merupakan metode penentuan awal bulan qamariyah

dengan menetapkan kriteria tertentu mengenai visibilitas / kenampakan hilal. Ketika kriteria itu sudah terpenuhi, maka bulan baru / hilal dinyatakan mungkin tampak

(imka>nur-ru’yah) dan bulan qamariyah baru dapat ditetapkan mulai pada malam itu

(oleh mereka yang menjadikan hisab an sich sebagai penentu). Dari sini, disimpulkan bahwa hisab imkan ar-ru’yah merupakan jalan tengah yang ingin mendekatkan metode hisab dengan metode ru’yah sehingga diharapkan menjadi entry point penyatuan kalender Islam di Indonesia. Karena terdapat beragam kriteria imka>nur -ru’yah (IR), maka dalam proyek ini dipilih kriteria IR yang disepakati oleh negara-negara MABIMS yang beranggotakan Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, dan Singapura, serta kriteria IR yang ditawarkan oleh Prof. Thomas Djamaluddin selaku peneliti utama Astronomi dan Astrofisika LAPAN Bandung.

Proyek ini akan menyediakan program aplikasi untuk perhitungan kedudukan bulan baru / hilal sehingga dapat ditentukan awal bulan qamariyah sesuai dua kriteria

imka>nur-ru’yah di atas. Program aplikasi ini diharapkan akan membantu umat

muslim Indonesia untuk mengetahui awal-awal bulan qamariyah, sehingga dapat digunakan untuk menetapkan waktu pelaksanaan kegiatan-kegiatan keagamaan sesuai keyakinan mazhab masing-masing. Dalam proyek ini dibuat program aplikasi dengan bahasa pemrograman Borland Delphi 7.0.

(3)

I.2. Cakupan Kegiatan

Cakupan kegiatan dalam sebuah poyek memberikan informasi mengenai keterbatasan dan jangkauan proyek ditinjau dari beberapa aspek misalnya aspek spasial (lokasi), aspek temporal (waktu), dan pemilihan data, alat, atau metode yang digunakan. Cakupan kegiatan dalam proyek ini ditetapkan sebagai berikut:

1. Penentuan awal bulan qamariyah menggunakan kriteria IR yang digunakan oleh negara-negara MABIMS dan kriteria IR yang ditawarkan oleh Prof. Thomas Djamaluddin dari LAPAN pada tahun 2010,

2. Perhitungan kedudukan matahari dan bulan baru / hilal menggunakan rumus-rumus low precision formulae dari buku The Astronomical Almanac for the Year 1987 hasil kerja sama Nautical Almanac Office, USA dan Nautical Almanac Office, UK,

3. Penentuan awal bulan qamariyah menggunakan pemrograman Delphi 7.0, 4. Uji coba program aplikasi dilakukan dengan cara :

a. menentukan awal-awal bulan qamariyah dalam rentang tahun 1435-1437 H atau sekitar tahun 2013-2016 M. Pembatasan waktu ini dilakukan karena kriteria IR sangat mungkin diubah-ubah untuk menyesuaikan perkembangan teknologi pengamatan-perhitungan hilal. Penentuan dilakukan dengan menggunakan lokasi pengamatan (markaz) Pos Observasi Bulan (POB) Pelabuhan Ratu, Jawa Barat (yang menjadi rujukan hisab Taqwim Standar Indonesia) dengan koordinat 106º 33′ 27,8” BT, 7° 01′ 44,6” LS, 52,685 mdpl, Observatorium Hilal Pantai Lhoknga Kab. Aceh Besar, NAD dengan koordinat 950 14’ 32,2” BT, 50 27’ 59” LU, 15 mdpl (mewakili titik terbarat NKRI), dan atau lokasi pilihan lainnya di Indonesia,

b. membandingkan hasil hitungan kedudukan matahari dan bulan dari program aplikasi ini dengan hasil hitungan software Accurate Times.

(4)

I.3. Tujuan Proyek

Tujuan proyek merupakan inti atau sesuatu yang akan dicapai dalam proyek. Tujuan proyek ini adalah penyediaan program aplikasi menggunakan pemrograman Delphi 7.0 untuk penentuan awal bulan qamariyah berdasar hisab imka>nur-ru’yah (IR) dengan kriteria IR MABIMS dan kriteria IR LAPAN.

I.4. Manfaat Proyek

Proyek ini akan menghasilkan program aplikasi untuk menentukan awal bulan qamariyah berdasar hisab imka>nur-ru’yah. Hasil penentuan awal bulan qamariyah serta perhitungan kedudukan matahari dan bulan dari program aplikasi ini dapat menjadi alternatif atau pembanding dari program aplikasi yang telah ada. Selain itu, proyek ini diharapkan dapat memberi kontribusi untuk penyatuan metode dan kriteria penentuan awal bulan qamariyah di Indonesia. Metode hisab imka>nur-ru’yah yang digunakan dalam proyek ini merupakan metode yang ingin mendekatkan hasil hisab dengan hasil ru’yah di lapangan, sehingga suatu saat tidak ada lagi dikotomi antara metode hisab dan metode ru’yah. Proyek ini juga akan menambah khazanah pustaka dalam disiplin ilmu astronomi serta kajian keislaman, khususnya yang terkait dengan penentuan awal bulan hijriyah. Hasil proyek ini diharapkan dapat menjadi acuan dari proyek atau penelitian yang akan dilakukan selanjutnya.

I.5. Landasan Teori I.5.1. Orbit Bumi dan Bulan

Hukum Kepler menyatakan bahwa planet-planet bergerak mengelilingi matahari dalam lintasan yang berbentuk elips dengan matahari berada pada salah satu titik apinya (satu dari dua focus-nya). Demikian pula satelit (misalnya bulan) bergerak mengelilingi planet (bumi) dalam lintasan yang berbentuk elips dengan bumi berada pada salah satu titik apinya. Hukum Kepler menyatakan juga bahwa garis hubung planet-matahari untuk selang waktu yang sama menyapu bidang elips yang luasnya sama. Kedua hukum Kepler tersebut berimplikasi bahwa planet

(5)

bergerak mengelilingi matahari dengan kecepatan yang bervariasi atau tidak tetap. Demikian pula bulan bergerak mengelilingi bumi dengan kecepatan yang bervariasi. Pada saat bulan semakin dekat dengan bumi, laju orbitnya akan semakin cepat.

Akibat dari fenomena orbit bulan mengelilingi bumi dan kombinasinya dengan orbit bumi mengeliling matahari, penduduk bumi dapat menyaksikan berbagai fenomena alam seperti fase-fase bulan (bulan mati, bulan sabit, bulan purnama), variasi kedudukan bulan, gerhana, dan pasang-surut laut. Fenomena yang disebut konjungsi atau ijtima>’ terjadi pada saat matahari, bulan, dan bumi berada pada satu garis atau satu bidang yang tegak lurus bidang ekliptika (bulan berada diantara matahari dan bumi) atau dengan kata lain, bujur ekliptik bulan sama dengan bujur ekliptik matahari. Kejadian ini berlangsung saat fase bulan mati. Sementara itu, fenomena oposisi terjadi saat bulan berada pada posisi yang berseberangan dengan matahari (bumi berada di antara matahari dan bulan). Kejadian ini berlangsung pada fase bulan purnama.

Periode bulan mengelilingi bumi dalam satu putaran penuh (360 derajat) adalah 27,32 hari. Periode ini dinamakan periode sideris. Namun, karena bumi juga bergerak mengelilingi matahari pada arah yang sama, maka untuk mencapai kedudukan konjungsi berikutnya, diperlukan tambahan waktu. Sehingga dalam hal ini, selang waktu dari satu konjungsi ke konjungsi berikutnya berkisar antara 29,28 sampai 29,83 hari, dan rata-ratanya adalah 29,53 hari. Selang waktu atau periode ini dinamakan periode sinodis. Ilustrasi peristiwa konjungsi digambarkan pada gambar I.1.

(6)

Gambar I. 1. Konjungsi (ijtima>’) (Sumber : Fahrurrazi, 2010)

Di antara fenomena yang telah diuraikan di atas, yang erat kaitannya dengan pelaksanaan ibadah umat Islam adalah fenomena variasi kedudukan matahari untuk perhitungan waktu shalat dan fenomena variasi kedudukan serta visibilitas hilal (bulan baru) untuk penetapan pelaksanaan ibadah puasa Ramadan, ritual hari raya Idul Fitri, dan hari raya idul Adha (Fahrurrazi, 2010).

I.5.2. Rumus-Rumus Dasar Segitiga Bola untuk Perhitungan Kedudukan Benda-Benda Langit

Segitiga bola adalah segitiga pada permukaan bola yang dibentuk dengan cara menghubungkan tiga titik pada permukaan bola dengan busur lingkaran besar. Lingkaran besar adalah perpotongan bidang datar yang melalui pusat bola dengan bola itu sendiri. Jadi sisi-sisi suatu segitiga bola adalah segmen-segmen busur lingkaran besar. Unsur-unsur segitiga bola terdiri dari tiga sudut dan tiga sisi. Sudut-sudut dan sisi-sisi segitiga bola diukur dengan unit Sudut-sudut (gambar I.2).

(7)

(Sumber : Fahrurrazi, 2010)

Pada gambar I.2, garis-garis AB dan AC adalah garis-garis lurus yang menyinggung busur AB dan AC di titik A. Sementara itu sudut α yang diapitnya terletak pada bidang datar yang menyinggung bola di titik A. Besarnya sudut α adalah sama dengan sudut yang diapit oleh busur AB dan AC di permukaan bola. Harga sudut θ di titik pusat bola langit O adalah sama dengan harga busur AB atau dengan kata lain, “panjang” busur AB adalah θ. Sementara itu, gambar I.3 menyajikan segitiga bola ABC. Titik-titik A, B, dan C adalah titik-titik pada permukaan bola dengan jejari R=1, sedangkan AB, AC, dan BC adalah busur-busur lingkaran besar yang merupakan sisi-sisi segitiga bola ABC. Sudut segitiga bola maupun sisi / busur segitiga bola dapat diukur dalam satuan DMS (derajat, menit, sekon) maupun dalam satuan RADIAN. Nilai 2π radian sama dengan 360o. Karena π

= 3,141592654, maka 1 radian = 57o 17’ 44,8” = 206264,8”.

Pada gambar I.3 di atas, unsur-unsur segitiga terdiri dari tiga sudut (α, β, γ) dan tiga sisi (a, b, c). Hubungan fungsional antar unsur-unsur segitiga bola

A B C aaaa bbbb cccc α α α α β ββ β γγγγ

Gambar I.3. Segitiga bola ABC B A O θθθθ R A B C C B 1 α αα α

Gambar I.2. Satuan unsur-unsur segitiga bola

Gambar I. 2. Segitiga

bola ABC

Gambar I. 3. Satuan

unsur-unsur segitiga bola

(8)

dinyatakan dengan rumus-rumus segitiga bola. Rumus-rumus dasar segitiga bola meliputi rumus sinus, rumus cosinus, rumus tangen, dan rumus S. Berikut ini hanya disajikan rumus sinus dan rumus cosinus dengan notasi unsur-unsur segitiga bola mengacu pada gambar I.3:

Rumus sinus:

sin a / sin α = sin b / sin β = sin c / sin γ ... (I.1) Rumus cosinus:

cos a = coc b cos c + sin b sin c cos α

cos b = coc a cos c + sin a sin c cos β ...(I.2) cos c = coc a cos b + sin a sin b cos γ

cos α = coc β cos γ + sin β sin γ cos a

cos β = coc α cos γ + sin α sin γ cos b ...(I.3) cos γ = coc α cos β + sin α sin β cos c

Segitiga bola menjadi tertentu atau unik apabila tiga dari enam unsur-unsurnya tertentu (minimal satu sisi tertentu). Jadi segitiga bola tertentu atau unik oleh himpunan unsur-unsur: (a) satu sisi dan dua sudut, atau (b) dua sisi dan satu sudut, atau (c) tiga sisi (Fahrurrazi, 2010).

I.5.3. Bola Langit dan Sistem Koordinat Langit

Konsep bola langit merupakan bagian pembahasan dalam astronomi sferis yaitu salah satu cabang ilmu astronomi yang mempelajari posisi benda-benda langit dilihat pada waktu dan lokasi tertentu di permukaan bumi. Dalam hubungannya dengan bola bumi, maka pengertian bola langit dan unsur-unsurnya dapat dijelaskan berikut ini :

1. Bola langit adalah model langit yang berupa bola yang berpusat di titik pengamatan. Apabila titik pengamatan berada di pusat bumi maka disebut

(9)

bola langit geosentrik, dan apabila titik pengamatan berada di permukaan bumi maka disebut bola langit toposentrik.

2. Lingkaran besar adalah perpotongan antara bola langit dengan bidang datar yang melalui pusat bola langit itu.

3. Sumbu langit adalah garis yang melalui pusat bola langit, berimpit atau sejajar dengan sumbu rotasi bumi, dan menembus bola langit di kutub utara langit (KuL) dan kutub selatan langit (KsL). Untuk bola langit geosentrik sumbu langit berimpit dengan sumbu rotasi bumi, sedangkan untuk bola langit toposentrik sumbu langit sejajar dengan sumbu rotasi bumi.

4. Ekuator langit adalah busur lingkaran besar yang membagi bola langit menjadi dua bagian sama besar, yaitu belahan langit utara dan belahan langit selatan. Dapat pula dikatakan bahwa ekuator langit merupakan busur perpotongan bola langit dengan bidang datar yang melalui pusat bola langit dan tegak lurus sumbu langit.

5. Lingkaran waktu adalah busur lingkaran besar pada bola langit yang menghubungkan KuL dan KsL.

6. Ekliptika adalah busur lingkaran besar pada bola langit yang merupakan lintasan orbit semu tahunan matahari. Disebut orbit semu tahunan karena sebenarnya busur lintasan ini terbentuk sebagai efek orbit bumi mengelilingi matahari dalam periode satu tahun. Ekliptika membentuk sudut sekitar 23,5o terhadap ekuator langit. Besaran sudut ini disebut kemiringan ekliptika dan sering ditandai dengan simbol ε.

7. Sumbu ekliptika adalah garis yang melalui pusat bola langit dan tegak lurus bidang ekliptika. Sumbu ekliptika menembus bola langit di kutub utara ekliptika (KuE) dan kutub selatan ekliptika (KsE). Karena (bidang) ekliptika membentuk sudut sekitar 23,5o terhadap (bidang) ekuator langit, maka sumbu ekliptika juga membentuk sudut sekitar 23,5o terhadap sumbu langit.

8. Meridian ekliptika adalah adalah busur lingkaran besar pada bola langit yang menghubungkan kutub utara ekliptika dengan kutub selatan ekliptika.

(10)

Gambar I.4. Contoh bola langit di lintang 25o LS Meridian langit Ekuator langit Horizon (ufuk) Orbit bulan M N KsL P ≈25 VE AE N Z B U S KuL K Ku N T SS WS Ekliptika 9. Titik musim semi atau Vernal Equinox (VE) dan titik musim gugur atau

Autumnal Equinox (AE) adalah dua titik perpotongan ekliptika dengan ekuator langit. VE mengarah pada rasi bintang aries.

(Sumber : Fahrurrazi, 2010)

Gambar I.4 di atas adalah contoh bola langit dan unsur-unsurnya untuk lintang pengamatan 25o LS.

10. Zenit (Z) dan nadir (N) adalah titik-titik perpotongan bola langit dengan garis vertikal atau garis unting-unting (plumb line) yang melalui titik pengamatan, masing-masing di bagian atas dan bawah pengamat. Tiap lokasi pengamatan memiliki zenit dan nadir tersendiri (unik).

11. Lingkaran vertikal adalah busur lingkaran besar pada bola langit yang menghubungkan zenit dan nadir.

12. Meridian langit adalah lingkaran waktu yang melalui zenit. Meridian langit ini berimpit dengan lingkaran vertikal yang melalui kutub.

Gambar I. 4. Contoh bola langit di

(11)

13. Horison atau ufuk adalah busur lingkaran besar pada bola langit yang merupakan perpotongan bola langit dengan bidang datar yang melalui pusat bola langit dan tegak lurus arah zenit-nadir. Ufuk pada bola langit geosentrik disebut ufuk hakiki sedangkan ufuk pada bola langit toposentrik disebut ufuk hissi. Tiap titik pengamatan memiliki horison tersendiri. 14. Titik utara (U) dan titik selatan (S) adalah dua titik perpotongan meridian

langit dan horison pengamat.

15. Azimut (A) adalah jarak busur pada horison, diukur mulai dari meridian langit (titik utara) ke arah timur sampai perpotongannya dengan lingkaran vertikal yang melewati benda langit yang bersangkutan.

16. Tinggi (sering ditandai simbol huruf a, singkatan dari altitude) adalah jarak busur lingkaran vertikal yang melalui benda langit, diukur dari horison ke arah zenit (positif) atau ke arah nadir (negatif) sampai ke benda langit yang bersangkutan.

17. Sudut waktu (sering ditandai dengan simbol t atau h) adalah jarak busur ekuator langit, diukur mulai dari lingkaran waktu yang melewati zenit ke arah titik barat (positif) atau ke arah titik timur (negatif) sampai lingkaran waktu yang melewati benda langit yang bersangkutan.

18. Deklinasi (sering ditandai dengan simbol δ) adalah jarak busur lingkaran waktu yang melalui benda langit, diukur mulai dari ekuator langit ke arah kutub utara langit (positif) atau ke arah kutub selatan langit (negatif) sampai benda langit yang bersangkutan.

19. Asensio rekta (sering ditandai dengan simbol α) adalah jarak busur ekuator langit, diukur mulai dari VE (rasi bintang aries) searah dengan arah rotasi bumi sampai perpotongannya dengan lingkaran waktu yang melalui benda langit yang bersangkutan.

20. Bujur ekliptika (sering ditandai dengan simbol λ) adalah jarak busur ekliptika, diukur mulai dari VE searah dengan arah rotasi bumi sampai perpotongannya dengan meridian ekliptika yang melalui benda langit yang bersangkutan (Fahrurrazi, 2011).

(12)

21. Ufuk Mar’i adalah horison langit yang terlihat dari pengamat di permukaan bumi, yang dihitung dengan memasukkan faktor-faktor refraksi, ketinggian lokasi pengamatan (dip), dan paralaks horisontal.

22. Elongasi dalam proyek ini adalah jarak sudut antara pusat bulan dan pusat matahari pada saat magrib di suatu lokasi pengamatan di permukaan bumi (toposentrik).

Dalam pengukuran tinggi (altitude) bulan, terdapat perbedaan titik acuan tinggi hilal pada piringan bulan, sebagaimana diilustrasikan pada gambar I.5. Hingga saat ini, titik acuan tinggi bulan yang digunakan secara standar oleh astronom adalah titik pusat piringan bulan, yaitu titik A, terlepas dari apapun fase bulan saat itu. Adapun titik acuan tinggi hilal yang digunakan oleh banyak ormas di Indonesia dan Pemerintah (berdasarkan Keputusan Lokakarya Mencari Format Kriteria Awal Bulan Hijriah di Indonesia Tahun 2011 di Cisarua, Bogor) adalah titik terbawah pada piringan bawah bulan, yaitu titik B. Sementara titik acuan tinggi hilal yang digunakan oleh Muhammadiyah adalah piringan teratas bulan, yaitu titik C. Sementara titik D digunakan sebagai acuan oleh para pemburu hilal dengan teleskop dan detektornya. Hal ini dapat dilihat, misalnya pada perangkat lunak Accurate Times yang digunakan oleh Odeh. Ketinggian titik D ini akan selalu berada antara ketinggian titik A dan B, bergantung pada konfigurasi posisi Bulan, Matahari dan letak geografis pengamat.

Gambar I. 5. Ilustrasi piringan bulan (Sumber : Nugraha, 2013)

(13)

Sebagaimana diketahui, bulan adalah benda bulat dan dari kejauhan akan tampak berupa piringan, terlepas dalam fase apapun. Satu piringan bulan yang tampak dari bumi (jarak sudut antara titik B dan C di ilustrasi di atas) adalah sekitar 0,5 derajat. Karena itu dengan mudah dapat dikatakan bahwa jarak sudut antara titik A ke titik B, C atau D adalah sekitar 15’ atau sekitar 0,25º. Dengan memperhatikan ilustrasi di atas juga kita akan mengetahui bahwa tinggi hilal yang dinyatakan oleh Muhammadiyah akan berbeda sekitar 0,5º dari tinggi Hilal yang dinyatakan oleh ormas lain, misalnya Nahdlatul Ulama. Meskipun nilai ini kecil, namun akan sangat menentukan awal awal bulan qamariyah, khususnya jika ketinggian hilal berada pada nilai yang kritis (Nugraha, 2013).

I.5.4. Rumus-Rumus Perhitungan Koordinat Matahari dan Bulan

Koordinat kedudukan matahari dan bulan senantiasa berubah dan merupakan fungsi terhadap waktu. Sehingga langkah awal yang harus dilakukan dalam perhitungan adalah menentukan epoch / titik waktu. Berikut langkah lengkap dalam perhitungan koordinat matahari dan bulan :

1. Menentukan epoch

2. Menghitung Julian Date (JD)

JD = INT(365,25 y) + INT{30,6001(m+1)} + D + GMT/24 + 1720981,5...(I.4) GMT = WIB (jam + menit / 60 + detik / 3600) – Tz; (untuk WIB, Tz = 7) Dengan :

D : bilangan tanggal

M : bilangan bulan ( 1 sampai 12) dan Y : bilangan tahun

untuk M < 2, maka m = M + 12 dan y = Y – 1; sedangkan untuk M >2, maka m = M dan y = Y

3. Menghitung data kedudukan matahari secara geosentrik dengan presisi koordinat rendah (bernilai 36” untuk tahun 1950 sampai 2050)

(14)

L = 280,460o + 0,9856474o n …...(I.5) g = 357,528o + 0,9856003o n …….…...(I.6) λm = L + 1,915o sin g + 0,020o sin 2g …….…...(I.7)

ε = 23,439o – 0,0000004o n ……...(I.8) αm = tan-1(cos ε tan λm) ………….…...(I.9)

δm = sin-1(sin ε sin λm) ………...(I.10)

R = 1,00014 – 0,01671 cos g – 0,00014 cos 2g ……...(I.11) dm/2 = 0,2666o/ R ... …….…...(I.12)

p = 0,0024o ...(I.13) ET = 4(L – αm) dalam satuan menit waktu .... ……...(I.14)

Dengan :

n : jumlah hari sejak J2000.0 L : bujur ekliptika (mean sun) g : anomali rata-rata

λm : bujur ekliptika (true sun)

ε : kemiringan ekliptika αm : asensio rekta

δm : deklinasi

R : jarak bumi−matahari dm/2 : semi diameter matahari

p : paralaks horizontal ET : perata waktu

4. Data astronomik kedudukan bulan secara geosentrik dengan presisi rendah t = (JD – 2451545)/36525…….…...(I.15)

λq = 218,32o + 481267,883o t + 6,29o sin (134,9o + 477198,85o t)

–1,27o sin (259,2o –413335,38o t) + 0,66o sin (235,7o + 890534,23o t)

+ 0,21o sin (269,9o + 954397,70o t) – 0,19o sin (357,5o + 35999,05o t)

(15)

βq = +5,13o sin (93,3o + 483202,03o t) + 0,28o sin (228,2o + 960400,87o t) – 0,28o sin (318,3o + 6003,18o t) – 0,17o sin (217,6o – 407332,20o t) ...(I.17) π = + 0,9508 o + 0,0518o cos (134,9o + 477198,85o t) + 0,0095o cos (259,2o – 413335,38o t) + 0,0078o cos (235,7o + 890534,23o t) + 0,0028o cos (269,9o + 954397,70o t) ...(I.18) dq/2 = 0,2725 π …….…...(I.19) l = cos βq cos λq

m = 0,9175 cos βq sin λq – 0,3978 sin βq

n = 0,3978 cos βq sin λq +0,9175 sin βq

αq = tan-1(m / l ) ……...(I.20)

δq = sin-1(n ) …….…...(I.21)

Dengan :

t : jumlah abad Julian sejak J2000.0

λq : bujur ekliptika (kesalahan jarang di atas 0,3o)

βq : lintang ekliptika (kesalahan jarang di atas 0,2o)

π : paralaks horizontal (kesalahan jarang di atas 0,003o

) dq/2 : semi diameter (kesalahan jarang di atas 0,001o)

αq : asensio rekta (kesalahan jarang di atas 0,3o)

δq : deklinasi (kesalahan jarang di atas 0,2o)

(16)

I.5.5. Perhitungan Waktu Konjungsi dan Waktu Magrib

Bulan mengelilingi bumi dengan periode rata-rata 29,53 hari yang dinamakan periode sinodis. Dalam periode ini pula bulan berkonjungsi (ijtima>’) dengan matahari. Secara geometrik, konjungsi geosentrik terjadi ketika titik pusat bumi, titik pusat bulan, dan titik pusat matahari berada pada satu bidang datar yaitu bidang meridin ekliptika atau dengan perkataan lain bujur ekliptika matahari sama dengan bujur ekliptika bulan (λq = λm). Apabila konjungsi bulan – matahari terjadi pada titik

waktu Tx GMT pada suatu hari (DD), bulan (MM) dan tahun (YYYY), maka Tx dapat dihitung sebagai berikut :

1. Hitung bujur matahari (λm1) dan bujur bulan (λq1) pada epok T1= 00 jam

GMT, DD, MM, YYYY

2. Hitung bujur matahari (λm2) dan bujur bulan (λq2) pada epok T1= 24 jam

GMT, DD, MM, YYYY 3. Hitung Tx dengan rumus:

Δλm = λm2 − λm1 Δλq = λq2 – λq1

ΔT = (λm1 − λq1)/(Δλq − Δλm)

Waktu ijtimak: Tx (jam, GMT) = T1 + 24(ΔT) ...(I.22)

4. Checking: hitung λmx dan λqx untuk epok Tx; Apabila λmx > λqx maka

ulangi proses hitungan butir-3 dengan λm1= λmx dan λq1=λqx; Apabila λmx <

λqx maka ulangi proses hitungan butir-3 dengan λm2= λmx dan λq2= λqx

Adapun waktu magrib dalam proyek ini adalah waktu ketika piringan atas matahari sudah di bawah ufuk mar’i dari lokasi pengamatan di permukaan bumi saat senja (gambar I.6).

(17)

Gambar I. 6. Kedudukan matahari saat magrib (Sumber : Fahrurrazi, 2010)

Tinggi matahari geosentrik (am) saat magrib dapat dihitung sebagai berikut :

am = – (dip + refraksi + semi diamater matahari) + paralaks ...(I.23)

Konsep segitiga bola diterapkan untuk menghitung sudut waktu matahari (tm)

dengan skema kedudukan matahari seperti gambar I.7 di bawah ini :

(Sumber : Fahrurrazi, 2010)

Pada gambar I.7 di atas, M adalah titik pusat matahari, KuL adalah kutub utara langit, dan Z adalah zenit tempat shalat. Jadi, unsur-unsur yang diketahui dalam menghitung waktu magrib adalah lintang tempat shalat (ϕL), tinggi matahari (am),

dan harga deklinasi matahari (δm). Dengan demikian maka unsur-unsur segitiga bola

Gambar I.7. Segitiga bola KuL-Z-M 90o - ϕϕϕϕ L A Z M KuL 90o - a m tm 90o - δδδδ m

Gambar I. 7. Segitiga bola

(18)

yang diketahui adalah busur KuL-Z = (90o – ϕL), busur Z-M = (90o – am), dan busur

M-KuL = (90o – δm).

Pada tahap hitungan pertama, ditentukan harga deklinasi matahari secara pendekatan. Hal ini dilakukan karena sebenarnya deklinasi matahari merupakan fungsi waktu, nilainya berubah-ubah dalam waktu, sementara yang akan dihitung adalah waktu itu sendiri. Oleh karena itu maka diambillah “waktu magrib pendekatan”, kemudian data waktu ini dipakai untuk menghitung “deklinasi matahari pendekatan”. Pada saat menghitung deklinasi matahari, dihitung pula data matahari yang lain seperti asensio rekta (αm), semi diamater (dm/2), paralaks horizontal (p),

dan perata waktu ET. Dengan unsur-unsur segitiga bola yang telah diketahui, dihitung sudut waktu matahari (tm) dengan menggunakan rumus cosinus (I.2). Dari

data sudut waktu matahari ini, kemudian dihitung awal waktu magrib dalam zona waktu wilayah (misal WIB):

Ts = tm + 12 – ET – λL + Tz ...(I.24)

Dengan :

Ts : awal waktu magrib dalam sistem waktu wilayah (zona) tm : sudut waktu matahari

ET : perata waktu (Equation of Time) λL : bujur geografik lokasi shalat

Tz : selisih waktu wilayah terhadap GMT (untuk WIB, Tz = 7 jam)

Data waktu Ts kemudian digunakan untuk menghitung deklinasi matahari (tahap kedua). Dengan data deklinasi matahari ini dihitung kembali sudut waktu matahari dan selanjutnya dihitung awal waktu magrib Ts. Apabila selisih data waktu Ts yang terakhir ini terhadap data waktu Ts sebelumnya masih lebih besar dari nilai tertentu (misal 0,5 menit waktu) maka proses hitungan diulang lagi / diiterasi (Fahrurrazi, 2010).

(19)

I.5.6. Perhitungan Kedudukan Matahari dan Hila>Hila>Hila>Hila>llll / Bulan Baru saat sunset pada Awal Bulan qamariyah

Konsep segitiga bola diterapkan untuk menghitung prediksi kedudukan matahari dan hilal pada awal bulan qamariyah saat matahari terbenam (sunset) setelah peristiwa konjungsi bumi-bulan-matahari. Skema kedudukan bulan saat matahari terbenam itu seperti ditunjukkan gambar I.8 di bawah ini :

Gambar I. 8.Segitiga astronomi (Sumber : Fahrurrazi, 2010)

Matahari M terbenam (berarti awal waktu magrib) dengan kedudukan sudut waktu tm. Kedudukan sudut waktu ini bertepatan dengan waktu zone Ts atau GMT =

Ts – Tz dan waktu sidereal lokal LST = (αm + tm). Data waktu ini kemudian dipakai

untuk menghitung data koordinat bulan. Selanjutnya data prediksi kedudukan hilal yang lainnya dihitung melalui hubungan geometri segitiga bola KUL-Z-Q. Dalam segitiga bola ini, unsur-unsur yang diketahui adalah busur KuL-Z = (90o – ϕL), busur

KuL-Q = (90o – δq), dan sudut waktu bulan tq = LST – αq. Dengan tiga unsur yang

diketahui, maka tinggi bulan terhadap ufuk hakiki (aq) dapat dihitung dengan rumus

cosinus (I.2) sedangkan azimut bulan (Aq) dapat dihitung dengan rumus cosinus (I.3)

(20)

Gambar I.9. Diagram alir perhitungan kedudukan matahari dan hilal INPUT

Epoch pengamatan (magrib) DD(tgl), MM(bln), YYYY(thn)

jam, menit, detik (WIB)

HITUNG

Julian Date (JD) epok pengamatan Data astronomik matahari : αm , δm , dm , p, ET

Data astronomik bulan: αq , δq , dq , π

INPUT

Koordinat lokasi pengamatan ( ϕ, λ, H )

HITUNG

Jarak zenit matahari saat terbenam: zm

Azimut titik pusat matahari: A m

Sudut waktu matahari: t m

Sudut waktu bulan: t q

Tinggi titik pusat bulan: aq

Azimut titik pusat bulan: Aq

Umur Hilal

Selisih waktu terbenam matahari-bulan: ∆T Lebar hilal: w

Elongasi dan lain-lain

visibilitas hilal seperti data koordinat matahari, umur hilal, lama hilal di atas ufuk, lebar hilal, elongasi, dan sebagainya. Gambar I.9 berikut ini menampilkan diagram alir perhitungan kedudukan matahari dan hilal saat sunset.

(Sumber : Fahrurrazi, 2010)

Diagram alir pada gambar I.9 di atas menunjukkan urutan langkah perhitungan yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. pertama, dihitung data astronomik kedudukan matahari dan bulan pada epoch magrib pada hari terjadinya konjungsi atau satu hari sesudahnya 2. selanjutnya, dihitung jarak zenit matahari geosentrik (z m)

z m = 90 + dip + refraksi + d m/2 – p...(I.25)

dip = 1,757’ √ h (meter) dan refraksi ≈ 34,5’

Gambar I. 9. Diagram alir

perhitungan kedudukan

(21)

3. Azimut titik pusat matahari (saat terbenam)

A m = cos-1{(sin δm – sin ϕ cos z m)/(cos ϕ sin z m)}.…...(I.26)

4. Sudut waktu matahari (saat terbenam)

t m = cos-1{(cos z m – sin ϕ sin δm)/(cos ϕ cos δm)} ……...(I.27)

5. Sudut waktu bulan (saat matahari terbenam)

tq = (t m + αm) – αq…….…...(I.28)

6. Tinggi titik pusat bulan (saat matahari terbenam) geosentrik terhadap ufuk hakiki

aq = sin-1(sin ϕsin δq + cos ϕ cos δq cos tq) …….…...(I.29)

Gambar I. 10.Kedudukan bulan, bumi, dan matahari saat sunset setelah konjungsi

Berdasarkan gambar I.10 di atas, maka rumus tinggi hilal toposentrik serta beda tinggi hilal-matahari secara toposentrik dan geosentrik dapat ditentukan sebagai berikut:

(22)

7. Tinggi piringan bawah bulan (saat matahari terbenam) terhadap ufuk mar’i (toposentrik)

aqm = aq + dip + refraksi – dq/2 – pb…….…...(I.30)

dengan pb : paralaks horisontal bulan

8. Beda tinggi bulan-matahari toposentrik

Δht = aq – pb+ dip + ref + d m/2…….…...(I.31)

9. Beda tinggi bulan-matahari geosentrik

Δhg = aq + dip + ref – p + d m/2……...(I.32)

10. Azimut titik pusat bulan (saat matahari terbenam)

A q = cos-1{(sin δq – sin ϕ sin aq)/(cos ϕ cos aq)} …….…...(I.33)

11. Lebar bulan sabit (w) as = αq – αm

aL = cos-1(sin δm sin δq + cos δm cos δq cos as)

w = dq sin2(aL/2)... …….…...(I.34)

12. Selisih waktu terbenam matahari – bulan (moon lag time)

∆T = (as/360)(24 jam 50 menit) …….…...(I.35)

13. Selisih Azimut bulan-matahari

∆A= Aq - Am …….…...(I.36)

(Fahrurrazi, 2010)

14. Elongasi, adalah jarak sudut antara pusat bulan dan pusat matahari pada saat magrib di suatu lokasi pengamatan (toposentrik). Rumus elongasi dapat diturunkan, sesuai gambar I.10 di atas dangambar I.11 di bawah ini, dengan rumus cosinus (I.2)

(23)

Gambar I. 11.Perhitungan elongasi toposentrik

el = cos-1(cos zmt cos zbt + sin zmt sin zbt cos ∆A) ……...(I.37)

zmt = 90 + dip + ref + d m/2…….…...(I.38)

zbt = 90 – (aq – pb) …….…...(I.39)

dengan : el : elongasi

zmt : jarak zenit matahari toposentrik zbt : jarak zenit bulan toposentrik ΔA : selisih azimut bulan-matahari

I.5.7. Diskursus Penentuan Awal Bulan qamariyah di Indonesia

S}u>mu> li ru’yatihi wa aft}iru> li ru’yatihi, fa in gumma ‘alaikum fa istakmilu>hu

s\ala>s\i>na yauman yang artinya “Berpuasalah kalian karena melihat hila>l dan

berbukalah (berlebaranlah) kalian karena melihat hila>l. Bila kalian tertutup oleh mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” Demikianlah hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah yang sangat terkenal itu.

Di Indonesia, yang penduduk Muslimnya merupakan bagian terbesar negara bangsa ini, hampir selalu terjadi perbedaan di dalam memahami dan mengaplikasikan pesan hadis Rasulullah saw tersebut dalam menentukan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah. Implikasi lebih jauh adalah munculnya tiga arus utama “mazhab” pemikiran, pertama, Mazhab Ru’yah yang dipersentasikan oleh ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), kedua, Mazhab Hisab

(24)

dengan pengusung utama ormas Islam tertua di Indonesia, yaitu Muhammadiyah, dan ketiga, mazhab imka>nur-ru’yah yang merupakan penengah, mengupayakan hasil hisab sama dengan hasil ru’yah. Tampaknya perbedaan itu muncul dari perbedaan memahami kata li ru’yatihi yang artinya “karena melihat bulan”. Kata ‘melihat’ di sini apakah hanya berarti melihat secara langsung dengan mata, ataukah boleh juga diartikan “bi an-naz}ar” (melihat dengan penalaran, melalui ilmu hisab / perhitungan). Di titik inilah polemik itu muncul (Izzuddin, 2007).

Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan-bulan qamariyah sebenarnya menggunakan dasar-dasar hukum yang sama. Di antaranya adalah:

ﻪــــــــــَﻟ اوُرُﺪــــــــــْﻗﺎَﻓ ْﻢُﻜْﻴــــــــــَﻠَﻋ ﱠﻢــــــــــُﻏ ْنﺈــــــــــَﻓ اْوُﺮِﻄْﻓﺄــــــــــَﻓ ُﻩْﻮــــــــــُﻤُﺘْـﻳَأَر اَذإَو اﻮُﻣْﻮــــــــــُﺼَﻓ ُﻩْﻮــــــــــُﻤُﺘْـﻳَأَر اَذِا

)

ﻩاور

ا

يرﺎﺨﺒﻟ

(

ﲔــــــــﺛﻼﺛ َنﺎﺒﻌــــــــَﺷ َةﱠﺪــــــــِﻋ اﻮُﻠِﻤْﻛﺎــــــــَﻓ ْﻢُﻜْﻴــــــــَﻠَﻋ َِﱯــــــــُﻏ ْنﺈــــــــَﻓ ِﻪــــــــِﺘَﻳْؤُﺮِﻟ اْوُﺮــــــــِﻄْﻓَأَو ِﻪــــــــِﺘَﻳْؤُﺮِﻟ اْﻮُﻣْﻮــــــــُﺻ

)

ﻢﻠﺴﻣ ﻩاور

(

Dari dalil-dalil tersebut (terjemah teks-teks Arab disajikan pada lampiran A), Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa penetapan awal Ramadan wajib didasarkan atas ru’yatul hila>l bil fi’li (observasi secara langsung terhadap bulan baru / hila>l) atau

istikma>l (penyempurnaan tiga puluh hari), sesuai pemaknaan hadis di atas secara

tekstual. Kedudukan hisab, hanyalah sebagai pembantu dalam melakukan ru’yah. Lafaz Faqduru>lah di atas tidak bisa diartikan hisab-lah (sebagaimana pemahaman penganut hisab murni), namun diartikan sempurnakanlah tiga puluh hari (istikma>l). Penggunaan cara ini didasarkan pada hadis-hadis Nabi saw, dan penjelasan ulama-ulama salaf pada kitab-kitab yang mu’tabar. Nahdlatul Ulama berpandangan bahwa dalil-dalil tentang penentuan awal Ramadan adalah bersifat ta’abbudi—gair

al-ma’qu>l al-ma’na>>, dalam arti tidak dapat dikembangkan dan dirasionalisasikan

(25)

Namun, Nahdlatul Ulama juga mempertimbangkan hasil hisab (sebagai pemandu pelaksanaan ru’yah), sebagaimana disebutkan dalam pedoman Nahdlatul Ulama dalam penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah sebagai berikut:

“Hasil ru’yah hanya dapat ditolak dengan syarat:

a. Jika semua ahli h}isa>b dengan dasar-dasar yang qat}’i (pasti) sepakat tidak adanya imka>nur-ru’yah (kemungkinan dapat diru’yah)

b. Jika jumlah ahli h}isa>b itu mencapai batas mutawatir” (Sekjen PBNU 1994).

Sedangkan Muhammadiyah pada awalnya berpendapat bahwa awal Ramadan dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu: ru’yah, istikma>l, dan h}isa>b (sesuai keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah tahun 1972 dan 1998). Namun dari tiga cara tersebut, Muhammadiyah lebih mengutamakan cara h}isa>b dengan mengartikan lafaz faqduru>lah dengan arti hisab-lah dengan merujuk dalil Al-Qur’an yaitu surah Yunus ayat 5 dan pendapat Mut}arrif yang diungkapkan oleh Ibnu Rusyd. Bahkan dengan keluarnya keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah tahun 2003 dan 2007, Muhammadiyah secara resmi telah meninggalkan ru’yah. Muhammadiyah berpandangan bahwa dalil-dalil tentang penentuan awal Ramadan adalah bersifat ta’aqquli (dapat diperluas, dikembangkan, atau dikontekstualisasikan), sehingga pemaknaan dalil dapat dirasionalisasikan. Muhammadiyah memandang bahwa Nabi saw dan sahabatnya mengamalkan ru’yah atau istikma>l, karena saat itu umat Islam belum pandai ilmu perhitungan (astronomis). Sehingga untuk konteks zaman sekarang, ketika umat Islam sudah menguasai ilmu perhitungan astronomis (ilmu hisab), sah-sah saja jika menentukan awal bulan qamariyah cukup hanya menggunakan h}isa>b, tanpa perlu ru’yah al-hila>l lagi (Izzuddin, 2007).

Pemikiran hisab ru’yah Muhammadiyah secara substansial diformulasikan dalam keputusan-keputusan Muktamar Tarjih yang berlangsung 23-28 April 1972 di Pencongan, Wiradesa, Pekalongan. Dari keputusan muktamar tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Berpijak pada pemahaman hadis-hadis hisab ru’yah dan Al-Qur’an Surah Yunus ayat 5, penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah adalah dengan ru’yah yang mu’tabar dan tidak berhalangan menggunakan hisab

(26)

2. Ru’yah yang mu’tabar menurut Muhammadiyah adalah bila dinyatakan oleh hisab bahwa hal ini sudah wujud. Mengenai kalimat ‘sudah wujud’ dalam keputusan Majlis Tarjih, mengandung pengertian:

a. Sudah terjadi ijtima>’ qabl al-guru>b,

b. Posisi bulan sudah positif di atas ufuk (saat terbenam matahari). Sedangkan tentang keputusan bahwa ru’yahlah yang mu’tabar, hal ini dengan syarat hilal sudah wujud. Bila hilal belum wujud (yaitu posisi bulan negatif terhadap ufuk) maka ketentuan “ru’yahlah yang mu’tabar” tidak berlaku (Izzuddin 2007). Dari pemikiran yang dikembangkan itu, maka sistem penentuan awal bulan qamariyah bagi Muhammadiyah adalah h}isa>b wuju>d al-hila>l atau h}isa>b mi>la>d al-hila>l. Awal bulan qamariyah ditetapkan ketika pada awal malam itu, bulan baru ‘sudah wujud’.

I.5.8. Mazhab Imka>nurImka>nurImka>nurImka>nur-Ru’yah

Menanggapi fenomena perbedaan tersebut, pemerintah menawarkan sebuah formulasi penyatuan, yaitu mazhab imka>nur-ru’yah (sistem ru’yah yang bersendikan hisab—meminjam istilah Ibrahim Husein). Dengan mazhab imka>nur-ru’yah ini, pada dasarnya pemerintah berupaya memadukan antara mazhab hisab dengan mazhab ru’yah di Indonesia. Dasar argumentasinya adalah pemaknaan klausa “s}u>mu> li ru’yatihi”. Al-Qalyubi mengartikan ru’yah di sini dengan “imka>nur-ru’yah” (posisi hilal mungkin dilihat) (al-Qalyubi 1956). Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan ru’yah adalah segala hal yang dapat memberikan dugaan kuat (z}anni) bahwa hilal dalam ‘kondisi’ telah ada di atas ufuk dan mungkin dapat dilihat. Karena itu, menurut al-Qalyubi, awal bulan dapat ditetapkan berdasarkan perhitungan yang secara pasti menyatakan ‘kondisi’ seperti itu. Sehingga kaitannya dengan ru’yah, posisi hilal dinilai berkisar pada tiga keadaan, yaitu: a) pasti tidak mungkin terlihat

(istih}a>lah ar-ru’yah), b) mungkin terlihat (imka>nur-ru’yah), c) pasti terlihat (al-qat}’u

bi ar-ru’yah) (Izzuddin, 2007). Keadan-keadaan ini hanya dapat ditetapkan setelah ditentukan kriteria-kriteria mengenai imka>nur-ru’yah / visibilitas hilal.

Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Agama, telah berusaha menghasilkan kriteria imka>nur-ru’yah dengan harapan dapat diterima oleh berbagai pihak terkait.

(27)

Hal ini juga didorong oleh keputusan Musyawarah Kerja Hisab Rukyah tahun 1997/1998 di Ciawi Bogor yang meminta diadakan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang imka>nur-ru’yah. Oleh karena itu, pada bulan Maret 1998 dilakukan pertemuan dan musyawarah ahli hisab dari berbagai ormas Islam, yang juga diikuti oleh ahli astronomi dan institusi terkait. Pertemuan tersebut di antaranya menghasilkan keputusan:

1. Penentuan awal bulan qamariyah didasarkan pada imka>nur-ru’yah, sekalipun tidak ada laporan ru’yah al-hila>l

2. Imka>nur-ru’yah yang dimaksud didasarkan pada tinggi hilal dua derajat

dan umur bulan delapan jam dari saat ijtima>’ pada saat matahari terbenam 3. Ketinggian dimaksud berdasarkan hasil perhitungan sistem h}isa>b h}aqiqi

tah}qiqi

4. Laporan ru’yah al-hila>l yang kurang dari 2 derajat dapat ditolak

Kriteria imka>nur-ru’yah tersebut dasarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (hanya berdasarkan adat kebiasaan). Ada dugaan bahwa kriteria ini kiranya (terkesan) asal mengekor pada keputusan Komite Penyelarasan Rukyah dan Taqwim Islam MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Salah satu hasil keputusannya menyatakan:

“Had/batas minimal ketinggian yang dijadikan pedoman imka>nur-ru’yah dan diterima oleh ahli h}isa>b falaki syar’i di Indonesia serta negara-negara MABIMS adalah dua derajat dan umur bulan minimal delapan jam dari saat

ijtima>’, perlu dikembangkan dengan proyek-proyek yang sistematis dan

ilmiah”. (Hasil Keputusan Musyawarah Ulama ahli hisab dan ormas Islam tentang kriteria imka>nur-ru’yah di Indonesia di Hotel USSU Cisarua Bogor, 24-26 Maret 1998)

Ikhtiar pemerintah ini belum menghasilkan kesepakatan bulat, terutama oleh dua ormas Islam besar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Sebagaimana Thomas Djamaluddin (peneliti dari LAPAN Bandung) menjelaskan bahwa wajar kiranya jika Muhammadiyah belum bersedia menerima kriteria

imka>nur-ru’yah tersebut, mengingat kriteria tersebut lebih rendah daripada kriteria

yang diakui secara ilmiah oleh para astronom. Sementara itu, Nahdlatul Ulama dalam keputusannya tentang penetapan Syawal 1418 H tampak telah mengamalkan mazhab

(28)

itu menolak laporan ru’yah dari Bawean dan Cakung karena posisi hilal di seluruh Indonesia pada waktu itu tidak mungkin terlihat (istih}a>lat ar-ru’yah) (Izzuddin, 2007).

Namun demikian, untuk mendapatkan kriteria imka>nur-ru’yah yang akurat sehingga hasilnya setara dengan hasil ru’yah, sebaiknya dilakukan proyek secara kontinu sehingga didapatkan kriteria imka>nur-ru’yah yang dapat digunakan selama kurun waktu tertentu. Dan sebaiknya kriteria tersebut juga menerima pembaharuan secara berkala untuk menyesuaikan teknologi yang selalu berkembang serta hasil pengamatan hilal (ru’yah) yang terbaru.

Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa mazhab imka>nur-ru’yah merupakan satu tawaran solusi dalam upaya memadukan mazhab hisab dan mazhab ru’yah di Indonesia, dengan harapan dapat menjembatani perbedaan pandangan dari berbagai pihak sehingga dapat meminimalisir perbedaan. Namun gagasan ini masih berupa konsep teoritis yang belum teruji secara praktis (Izzuddin, 2007).

I.5.9. Kriteria Visibilitas Hilal / Imka>nurImka>nurImka>nurImka>nur-Ru’yah MABIMS

MABIMS adalah kependekan dari Menteri-menteri Agama Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Yang dimaksud di sini adalah pertemuan tahunan Menteri-Menteri Agama atau Menteri yang bertanggung jawab dalam mengurus masalah agama keempat negara tersebut. Bentuk kesepakatan ini untuk menjaga kemaslahatan dan kepentingan umat tanpa mencampuri hal-hal yang bersifat politik negara anggota. Dalam perkembangan terakhir pertemuan diadakan tiap dua tahun sekali. MABIMS mulai diadakan pada tahun 1989 di Brunai Darussalam. Salah satu isu penting yang menjadi perhatian MABIMS adalah penyatuan Kalender Islam Kawasan. Persoalan ini ditangani oleh Jawatan Kuasa Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam. Musyawarah pertama Jawatan Kuasa Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam diadakan di Pulau Pinang, Malaysia pada tahun 1991/1412 H dan terakhir diadakan di Bali, Indonesia tahun 2012. Salah satu

(29)

keputusan penting terkait dengan kalender Islam adalah teori visibilitas hilal yang kemudian dikenal dengan istilah “Visibilitas Hilal MABIMS”.

Visibilitas hilal MABIMS mensyaratkan :

1. ketinggian hilal tidak kurang dari dua derajat, 2. elongasi tidak kurang dari tiga derajat, dan 3. umur bulan tidak kurang dari delapan jam.

Dalam praktiknya penggunaan visibiltas hilal MABIMS antar anggota berbeda-beda. Indonesia yang dianggap sebagai “pengusung” teori visibilitas hilal MABIMS menggunakan secara kumulatif dan menunggu sidang isbat untuk menentukan awal Ramadan dan Syawal. Sementara itu Malaysia, sebelum menggunakan visibilitas hilal MABIMS, menggunakan visibilitas hilal hasil resolusi Istanbul 1978. Pada tahun 1992, menggunakan visibilitas hilal MABIMS, dengan syarat hilal mungkin dilihat apabila memenuhi salah satu, yaitu apabila matahari terbenam,

1. Altitude atau ketinggian hilal tidak kurang dari dua derajat, dan

2. Jarak lengkung (Elongasi) matahari ke bulan tidak kurang dari tiga derajat, atau

3. Ketika bulan terbenam umur bulan tidak kurang dari delapan jam.

Kebijakan Malaysia ini diikuti Singapura dalam menetapkan awal bulan Qomariah untuk pembuatan kalender hijriah. Berbeda dengan Malaysia dan Singapura, Brunai Darussalam menggunakan visibilitas hilal MABIMS sebagai pemandu observasi hilal. Jika berdasarkan data hasil hisab posisi hilal sudah memenuhi syarat-syarat visibilitas hilal MABIMS namun hilal tidak terlihat maka penentuan awal bulan Qomariah didasarkan pada ru’yatul hilal.

Akibat perbedaan penggunaan visibilitas hilal tersebut, sesama anggota MABIMS akan terjadi perbedaan dalam menentukan awal bulan Qomariah. Bukti kongkretnya adalah penentuan awal Syawal 1432 H yang lalu. Malaysia dan Singapura menetapkan awal Syawal 1432 H jatuh pada hari Selasa bertepatan dengan tanggal 30 Agustus 2011, sedangkan Indonesia dan Brunai Darussalam menetapkan

(30)

awal Syawal 1432 H jatuh pada hari Rabu bertepatan dengan tanggal 31 Agustus 2011 (Azhari, 2012).

Dalam perjalanannya Brunai Darussalam tidak lagi menggunakan visibilitas hilal MABIMS untuk menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal.

I.5.10. Kriteria Visibilitas Hilal / Imka>nurImka>nurImka>nurImka>nur-Ru’yah LAPAN 2010

Berdasarkan data dari kompilasi Keputusan Menteri Agama RI antara tahun 1962-1997 M yang menjadi dasar penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah, Thomas Djamaluddin pada tahun 2000 mengusulkan kriteria visibilitas hilal di Indonesia (dikenal sebagai Kriteria LAPAN) :

a. Umur hilal harus > 8 jam

b. Jarak sudut bulan-matahari harus > 5,6o

c. Beda tinggi > 3o (tinggi hilal > 2o ) untuk beda azimut ~ 6o, tetapi bila beda azimutnya < 6o perlu beda tinggi yang lebih besar lagi. Untuk beda azimut 0o, beda tingginya harus > 9o .

Kriteria LAPAN tersebut memperbarui kriteria MABIMS yang dipakai dengan ketinggian minimal dua derajat, tanpa memperhitungkan beda azimut. Kriteria LAPAN tersebut sebenarnya masih lebih rendah dari kriteria-kriteria visibilitas hilal internasional. Tetapi, itu merupakan kriteria sementara yang ditawarkan berdasarkan data yang tersedia setelah mengeliminasi kemungkinan gangguan pengamatan akibat pengamatan tunggal atau gangguan planet Merkurius dan Venus di horizon. Kriteria itu akan disempurnakan dengan menggunakan data yang lebih banyak.

Selanjutnya, untuk mendapatkan kriteria tunggal yang diharapkan menjadi rujukan bersama semua ormas Islam dan pemerintah (Kementerian Agama RI), perlu diusulkan kriteria baru yang dalam implementasinya tidak menyulitkan semua pihak. Kriteria berbasis beda tinggi bulan-matahari dan beda azimut bulan-matahari dianggap cocok, karena telah dikenal oleh para pelaksana hisab ru’yah dan sekaligus menggambarkan posisi bulan dan matahari pada saat ru’yatul hilal. Tinggal yang harus dirumuskan adalah batasannya.

(31)

Dua aspek pokok yang harus dipertimbangkan adalah aspek fisik hilal dan aspek kontras latar depan di ufuk barat. Aspek fisik hilal bisa diambilkan dari limit Danjon dengan alat optik, karena pada dasarnya, saat ini alat optik selalu dipakai sebagai alat bantu pengamatan. Limit Danjon 6,40 dari Odeh (untuk elongasi) dapat digunakan. Sedangkan kriteria Odeh yang menggunakan lebar sabit tampaknya kurang dikenal di kalangan pelaksana hisab ru’yah di Indonesia, sehingga kurang cocok untuk digunakan. Adapun aspek kontras latar depan di ufuk barat, dapat menggunakan batas bawah beda tinggi bulan-matahari dari Ilyas, Caldwell dan Laney, dan Sudibyo, yaitu minimal empat derajat.

Dengan demikian kriteria LAPAN 2000 dapat disempurnakan lagi menjadi “Kriteria Hisab-Ru’yah Indonesia” dengan kriteria sederhana sebagai berikut (lihat gambar I.12) :

a. Jarak sudut bulan-matahari (elongasi) > 6,4o dan b. Beda tinggi bulan-matahari > 4o (Djamaluddin, 2010).

Gambar I. 12.Kurva kriteria hisab-ru’yah Indonesia (Sumber : Djamaluddin, 2010)

Beda Azimut (derajat)

(32)

Dengan ketentuan:

1. Seandainya ada kesaksian ru’yah yang meragukan, di bawah kriteria tersebut, maka kesaksian tersebut harus ditolak.

2. Bila ada kesaksian ru’yah yang meyakinkan (lebih dari satu tempat dan tidak ada objek yang menggangu atau ada rekaman citra hilalnya), maka kesaksian harus diterima dan menjadi bahan untuk mengoreksi kriteria hisab ru’yah yang baru.

3. Bila tidak ada kesaksian ru’yatul hilal karena mendung, padahal bulan telah memenuhi kriteria, maka diambil keputusan “telah dimulai bulan baru”, karena kriteria itu telah didasarkan pada data ru’yah jangka panjang (berarti tidak mengabaikan metode ru’yah sama sekali).

Kriteria baru hisab rukyat yang tunggal (bisa disebut “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia”) diperlukan agar menjadi rujukan pedoman bersama. Kriteria baru tersebut semestinya sederhana dan aplikatif, sehingga mudah digunakan oleh semua pelaksana hisab rukyat di ormas-ormas Islam, pakar individu, maupun di Badan Hisab Rukyat (BHR) sebagai badan kajian Kementerian Agama RI. Kriteria baru itu pun sebaiknya tidak terlalu berbeda dengan kriteria hisab yang selama ini dipakai. Tujuannya untuk meminimalkan terjadi resistensi atas perubahan dari kriteria semula. Kritera baru juga harus tetap merujuk pada hasil rukyat masa lalu di Indonesia agar kriteria itu pun tidak lepas dari tradisi rukyat yang mendasarinya dan kriteria itu dapat dianggap sebagai dasar pengambilan keputusan berdasarkan “rukyat jangka panjang”, bukan sekadar rukyat sesaat pada hari pengamatannya. Dengan demikian, kalau pun ada penolakan rukyat yang bertentangan dengan kriteria ini dapat dianggap sebagai penolakan “rukyat sesaat” oleh “rukyat jangka panjang”. Sehingga resistensi dari para penganut rukyat pun dapat diminimalisasi.

“Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” ini hanya merupakan penyempurnaan dari kriteria MABIMS yang selama ini digunakan oleh BHR, kriteria tinggi bulan 2o yang digunakan oleh Nahdlatul Ulama, kriteria wujudul hilal (setara dengan kriteria tinggi bulan 0o) yang digunakan Muhammadiyah, dan kriteria wujudul hilal di seluruh Indonesia yang sempat digunakan oleh Persatuan Islam (PERSIS). Penyempurnaan

(33)

pada “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” dilakukan untuk mendekatkan semua kriteria itu dengan fisis hisab dan rukyat hilal menurut kajian astronomi. Dengan demikian aspek rukyat maupun hisab mempunyai pijakan yang kuat, bukan sekadar rujukan dalil syar’i tetapi juga interpretasi operasionalnya berdasarkan sains-astronomi yang bisa diterima bersama. Dengan kriteria bersama itu hisab dan rukyat tidak didikotomikan lagi, tetapi dianggap sebagai suatu yang saling melengkapi. Kriteria ini pun harus dianggap sebagai kriteria dinamis yang harus dievaluasi secara berkala (misalnya setiap sepuluh tahun) untuk mengakomodasi perkembangan data pengamatan terbaru (Djamaluddin, 2010).

“Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” atau Kriteria LAPAN 2010 saat ini telah digunakan oleh ormas PERSIS (Persatuan Islam) sejak tahun 2012 dan di implementasikan dalam Almanak Islam 1434 H (Burhanuddin 2013). Karena didasarkan pada analisis astronomis, maka kriteria LAPAN itu sering disebut kriteria

imka>nur-ru’yah / IR astronomis. Dalam proyek ini, kriteria yang diperbaharui pada

tahun 2010 oleh Thomas Djamaluddin itu disebut kriteria LAPAN 2010.

I.5.11. Bahasa Pemrograman Delphi

1.5.11.1. Pengertian Delphi. Delphi adalah suatu bahasa pemrograman (development language) yang digunakan untuk merancang suatu aplikasi program. Delphi berguna untuk membuat aplikasi windows, merancang aplikasi program berbasis grafis, membuat program berbasis jaringan (client/server), dan merancang program berbasis internet.

Beberapa keunggulan Delphi adalah :

1. IDE (Integrated Development Environment) atau lingkungan pengembangan aplikasi sendiri adalah satu dari beberapa keunggulan Delphi, di dalamnya terdapat menu-menu yang memudahkan kita untuk membuat suatu proyek program

(34)

2. Proses kompilasi cepat, pada saat aplikasi yang kita buat dijalankan pada Delphi, maka secara otomatis akan dibaca sebagai sebuah program, tanpa dijalankan terpisah

3. Mudah digunakan, source kode Delphi yang merupakan turunan dari pascal, sehingga tidak diperlukan suatu penyesuaian lagi

4. Bersifat multi purphase, artinya bahasa pemrograman Delphi dapat digunakan untuk mengembangkan berbagai keperluan pengembangan aplikasi.

Borland Delphi telah mengalami perkembangan yang signifikan seiring perubahan waktu. Berikut ini sejarah perkembangan Borland Delphi.

1. Delphi versi 1 (berjalan pada windows 3.1 atau windows 16 bit) 2. Delphi versi 2 (berjalan pada windows 95 atau Delphi 32 bit)

3. Delphi versi 3 (berjalan pada windows 95 ke atas dengan tambahan fitur internet atau web)

4. Perkembangan selanjutnya diikuti dengan Delphi versi 4, 5, dan 6

5. Versi terkini dari Delphi adalah versi 7 dengan tambahan vitur .net dengan tambahan file XML (Anonim, 2006).

1.5.11.2. IDE Delphi. Langkah-langkah mengaktifkan Delphi : a. Klik start

b. Pilih program files c. Pilih Borland Delphi d. Pilih dan klik Delphi 7

(35)

Gambar I. 13. Jendela utama Delphi

Jendela utama Delphi terdiri dari berbagai macam tampilan-tampilan atau bagian-bagian. Bagian-bagian itu adalah :

1. Object Tree View

Merupakan sebuah diagram pohon yang menggambarkan hubungan logis semua komponen yang terdapat dalam suatu proyek program. Komponen tersebut meliputi form, modul, atau frame. Fungsinya digunakan untuk menampilkan seluruh daftar komponen program dalam sebuah aplikasi program sesuai dengan penempatannya.

2. Object Inspector

Merupakan jendela yang digunakan untuk mengatur tampilan komponen pada form. Misal, bagaimana mengubah tulisan button pada comman button menjadi simpan, atau menghapus tulisan pada label dan mengganti nama menjadi Nama Mahasiswa, atau memberikan perintah tertentu pada sebuah komponen sehingga ada interaksi ketika program dijalankan. Secara umum, Object Inspector terbagi menjadi dua, yaitu :

a. Properties

Digunakan untuk mengatur tampilan pada sebuah komponen baik itu meliputi penggantian nama, warna, jenis huruf, border, dan lain-lain.

(36)

b. Events

Merupakan jendela properties yang digunakan untuk memberikan fungsi yang lebih detail dari fungsi sebenarnya. Misalnya, ketika tombol simpan diklik, maka program akan menjalankan perintah penyimpanan data. Dari kalimat tersebut, ada event klik untuk mengeksekusi sebuah tombol simpan. Perintah even klik tersebut dapat diberikan melalui jendela events.

3. Form Designer

Merupakan tempat untuk merancang semua aplikasi program yang diambil dari komponen pallete.

4. Component Pallete

Merupakan kumpulan icon yang digunakan untuk merancang suatu aplikasi user interface. Dalam komponen pallete, semua icon dikelompokkan dalam berbagai komponen sesuai dengan fungsi dan kegunaannya.

(37)

5. Code Editor

Bagian dari delphi yang digunakan untuk menuliskan kode program. Pada bagian code editor terdapat tiga bagian utama, yaitu : bagian paling kiri yang berupa angka menunjukkan baris dan kolom, keterangan modified menunjukkan bahwa telah terjadi modifikasi terhadap baris program, dan yang paling kanan menunjukkan status keyboard tentang tombol insert atau overwrite.

6. Code Explorer

Jendela yang digunakan untuk menampilkan seluruh variabel, tipe, dan routine yang didefinisikan pada sebuah unit.

Gambar I. 15.Code editor (jendela kanan) dan code explorer (jendela kiri)

7. Code Diagram

Merupakan fasilitas pada Delphi yang digunakan untuk mendesain sebuah diagram atas komponen-komponen yang digunakan dalam suatu rancangan aplikasi (Anonim, 2006).

(38)

Gambar I. 16.Code diagram

1.5.11.3. File Proyek Delphi. File proyek Delphi terdiri atas : 1. File Proyek

File ini disimpan dengan berekstensi .dpr. file ini berisi informasi mengenai seluruh proyek program.

2. File Unit

File ini merupakan kumpulan dari barisan kode program yang terdapat di jendela code editor, baik itu yang dituliskan oleh programmer maupun oleh sistem. Extention file ini adalah .pas.

File unit dibagi menjadi dua : a. Bagian interface

Barisan ini dimulai dari kata interface (setelah nama unit), berisi seluruh deklarasi variabel, tipe data object maupun deklarasi tambahan.

b. Bagian implementation

Dimulai dari kata kunci implementation dan diakhiri dengan kata end. Fungsi digunakan untuk menuliskan kode program sebagai bagian dari interaksi antar komponen ataupun dengan user.

3. File Form

Berisi tentang seluruh informasi yang ada kaitannya dengan form yang dibuat, meliputi tinggi, lebar, posisi form, atau tentang komponen di

(39)

dalamnya. Penggunaan file ini tidak dianjurkan karena untuk pengaturan sudah disediakan object inspector sebagai media pengaturan semua komponen (Anonim, 2006).

1.5.11.4. Struktur Pemrograman Delphi. Pemrograman Delphi menggunakan bahasa dan logika yang hampir sama dengan bahasa Pascal. Struktur suatu program Delphi dapat terdiri dari:

1. Judul Program 2. Blok Program a. Bagian Deklarasi Deklarasi label Deklarasi konstanta Deklarasi tipe Deklarasi variabel Deklarasi prosedur Deklarasi fungsi b. Bagian Pernyataan

Suatu program Pascal yang paling sederhana adalah program yang hanya terdiri dari sebuah bagian pernyataan saja. Bagian pernyataan (statement part) merupakan bagian yang terakhir dari suatu blok. Bagian ini diawali dengan reserved word Begin dan diakhiri dengan reserved word End. Jadi suatu program Pascal yang paling sederhana dapat berbentuk (Anonim, 2009) :

Begin {pernyataan} End.

Judul bersifat opsional, artinya tidak mempengaruhi eksekusi program. Bagian deklarasi digunakan jika di dalam program menggunakan pengenal (identifier) bisa berupa label, konstanta, variabel, prosedur, atau fungsi.

(40)

a. Deklarasi label. Label berguna untuk menandai suatu pernyataan. Tanda ini selanjutnya dapat diacu oleh suatu pernyataan (yaitu goto)

b. Deklarasi konstanta. Nilai konstanta tidak akan berubah dalam suatu program. Pendeklarasiannya diawali dengan kata Const dengan format seperti contoh sebagai berikut :

Const

Pi = 3.14; Begin

Writeln (‘Nilai pi adalah ’,pi); End.

Output programnya adalah : Nilai pi adalah 3.14

c. Deklarasi variabel. Nilai dalam variabel dapat diubah-ubah dalam suatu program. Bentuk pendeklarasiannya diawali dengan kata var seperti dalam contoh sebagai berikut :

Var

Panjang, lebar, luas : real; Begin

Panjang := 4; Lebar := 2.5;

Luas := panjang*lebar;

Writeln (‘Luasnya adalah ’,luas); End.

Output programnya adalah : Luasnya adalah 10

d. Deklarasi subprogram. Bagian deklarasi subprogram digunakan untuk mendeklarasikan subprogram (prosedur atau fungsi yang dibuat sendiri oleh user). Subprogram dipanggil dengan mengetikkan namanya.

(41)

Contoh :

Procedure hitungluas(radius,luas : real); Begin

Luas := pi*radius*radius; End;

{Mulai program utama} Var

X : real; Begin

Hitungluas(7,x);

Writeln(‘Luas lingkaran dengan radius 7 adalah ’,x); End.

Output programnya adalah :

Luas lingkaran dengan radius 7 adalah 153.93804

Ada perbedaan antara prosedur dan fungsi. Kalau prosedur berdiri sendiri sebagai pernyataan dan tidak memberikan hasil saat dipanggil. Sedangkan fungsi berdiri sebagai operand dalam ekspresi dan memberikan hasil berupa suatu nilai saat dipanggil (Kadir, 2007).

I.5.12. Accurate Times

Accurate Times adalah program resmi yang diadopsi oleh Kementrian Urusan Islam Yordania untuk menghitung waktu shalat di Yordania. Program ini berjalan di bawah Windows, dan dikembangkan oleh Mohammad Odeh, ketua the Islamic Crescents' Observation Project (ICOP).

Accurate Times dapat menghitung peristiwa astronomis sebagai berikut : 1. Waktu shalat

2. Waktu edaran matahari (Awal dan akhir senja, terbit matahari, terbenam matahari, dan transit matahari)

3. Waktu edaran bulan (terbit bulan, terbenam bulan, dan transit bulan) 4. Fase bulan (geosentrik atau Toposentrik)

(42)

5. Kenampakan bulan sabit untuk bulan baru dan bulan lama

6. Peta dunia kenampakan bulan sabit untuk bulan baru dan bulan lama 7. Perhitungan efemeris matahari dan bulan

8. Arah kiblat

9. Waktu Kiblat (Waktu dimana bayangan matahari adalah arah kiblat) 10. Konversi kalender Hijriah–Gregorian (Odeh, 2013)

Tampilan jendela utama Accurate Times ditunjukkan oleh gambar I.17 di bawah ini :

Gambar

Gambar I. 1. Konjungsi ( ijtima&gt;’ )  (Sumber : Fahrurrazi, 2010)
Gambar I.3. Segitiga bola ABC B A O θθθθ R A  B C  C Bα 1 ααα
Gambar I.4.  Contoh bola langit di lintang 25 o  LS Meridian langit  Ekuator langit Horizon (ufuk)   Orbit bulan M NKsL ≈25P VE AE N Z B U S KuL KKu NT SS WS Ekliptika 9
Gambar I. 5. Ilustrasi piringan bulan  (Sumber : Nugraha, 2013)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam publikasi tersebut belum memuaskan karena terdapat beberapa kesalahan, seperti kesalahan penulisan kata

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan kejadian depresi pada siswa penyandang tuna rungu berdasarkan jenis kelamin dan status pubertas di SLB-B YRTRW Surakarta.. Metode

Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang pemenuhannya setelah kebutuhan primer terpenuhi, namun tetap harus dipenuhi, agar kehidupan manusia berjalan dengan baik. Contoh: pariwisata

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK &amp; MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

Ini menjadi faktor penting dalam berkembangnya fenomena korupsi di Indonesia, dengan adanya kelas-kelas elit politik, pemegang kekuasaan (pemerintahan) yang dapat menekan

Latar Belakang: Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat

Apabila rasio antara tinggi struktur bangunan gedung dan ukuran denahnya dalam arah pembebanan gempa sama dengan atau melebihi 3, maka 0.1V harus dianggap beban horizontal