Penyebaran infeksi HIV di DKI Jakarta masih terkonsentrasi pada subpopulasi risiko tinggi, yaitu pengguna napza suntik, wanita pekerja seks, laki-laki berisiko tinggi (Waria, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, dan pelanggan penjaja seks), terlihat dari masih tingginya prevalensi HIV pada subpopulasi tersebut. Sedangkan Prevalensi pada populasi umum masih belum dapat terpotret dengan baik, karena sampai saat ini masih belum pernah dilakukan survey untuk mengukur tingkat prevalensi HIV pada populasi umum tersebut. Oleh karena itu, untuk mencapaian target MDGs maupun target yang diinstruksikan oleh Presiden guna percepatan pencapaian MDGs, masih tetap perlu dipertahankan bahkan perlu adanya penguatan dan peningkatan program-program penanggulangan HIV dan AIDS kepada subpopulasi risiko tinggi tersebut. Juga, tidak semua indikator dalam tujuan keenam MDGs diadopsi oleh Indonesia. Indikator prevalensi pada ibu hamil yang seharusnya menjadi indikator pertama, diadaptasi oleh Indonesia menjadi prevalensi pada populasi umum, dan indikator keempat yaitu proporsi anak yatim usia 10-14 tahun yang mengikuti pendidikan formal juga tidak dijadikan sebagai indikator dalam tujuan menangani berbagai penyakit menular paling berbahaya di Indonesia. Hal ini menunjukkan belum adanya prioritas untuk program-program pada kelompok tertentu seperti Ibu hamil dan anak-anak.
Oleh karena itu sebagaian besar data-data yang diperoleh pada kajian ini adalah data-data pada subpopulasi tersebut. Secara umum, hasil kajian studi ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan penurunan prevalensi pada beberapa populasi kunci, peningkatan tingkat penggunaan kondom dibanding tahun-tahun sebelumnya untuk beberapa populasi, dan meningkatnya pengetahuan komprehensif tentang HIV pada remaja serta semakin banyaknya jumlah ODHA yang menerima perawatan ARV. Tabel berikut ini disusun berdasarkan target capaian MDGs dan Inpres 2010 yang dibandingkan dengan situasi pada populasi kunci dan remaja.
Tabel 13. Rangkuman Capaian Indikator MDGs untuk Program Penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta Indikator Target Capaian MDGs Inpres No.3 th. 2010
Prevalensi HIV < 0.5 < 0.5% Penasun 55%
LSL 8% Waria 34% WPS Langsung 10% WPS Tidak Langsung 6% Pelanggan Penjaja Seks 0 Penggunaan Kondom
pada Kelompok Risiko Tinggi
65% 35% (Perempuan) 20% (Laki-laki) Penasun 38% LSL 56% Waria 85% WPS Langsung 10% WPS Tidak Langsung 87% Pelanggan Penjaja Seks 39% Proporsi Remaja yang Memiliki
Pengetahuan Komprehensif mengenai HIV dan AIDS
95% 70% 21.7%
Proporsi Orang dengan infeksi HIV lanjut yang bisa mengakses ARV
100% 70% 49.87%
Indikator yang digunakan dalam target MDGs adalah prevalensi HIV pada kelompok usia 15-24 tahun. Sampai dengan tahun 2010, belum pernah dilakukan survey mengenai status infeksi HIV kepada populasi umum maupun remaja, sehingga untuk menjawab target indikator ini digunakan prevalensi pada subpopulasi risiko tinggi dengan menggunakan alur berfikir bahwa rata-rata umur pertama kali melakukan perilaku berisiko adalah 16-20 tahun18, dengan demikian kemungkinan mereka terinfeksi HIV juga pada rentang usia yang sama. Pada Tabel 9. di atas terlihat bahwa prevalensi HIV pada subpopulasi LSL, WPS langsung, WPS tidak langsung dan pelanggan penjaja seks, berkisar antara 0% – 10%. Angka tersebut diperoleh pada tahun 2007, sehingga untuk tahun 2011 nanti target prevalensi <0.5% dapat dicapai dengan mempertahankan program-program yang selama ini berhasil dilakukan pada subpopulasi tersebut. Namun yang akan menjadi pekerjaan rumah terberat adalah menurunkan prevalensi HIV pada kelompok Penasun dan Waria, karena angka prevalensi yang cukup tinggi pada kedua kelompok tersebut (Penasun 55%; dan Waria 34%). Untuk mendukung keberhasilan capaian indikator pertama ini, dua indikator lainnya yaitu, penggunaan kondom pada hubungan seks risiko tinggi dan pengetahuan komprehensif pada remaja juga perlu mendapat perhatian yang serius.
Penggunaan kondom pada hubungan seks risiko tinggi, merupakan upaya efektif yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan virus HIV. Hampir semua kelompok risiko tinggi sudah mencapai target (30% untuk perempuan dan 20% untuk laki-laki) yang diinstruksikan oleh Presiden melalaui Inpres No. 3 tahun 2010, dalam hal penggunaan kondom pada hubungan seks yang berisiko. Namun untuk
pencapaian target MDGs, dimana penggunaan kondom pada hubungan seks risiko tinggi sebesar 65%, masih perlu pengawalan yang ketat dalam program-program promosi penggunaan kondom serta distribusinya. Banyak faktor yang mempengaruhi masih rendahnya tingkat penggunaan kondom di kalangan subpopulasi risiko tinggi. Adanya stigma yang berkaitan dengan pembelian, penjualan dan penggunaan kondom, seperti: pandangan bahwa orang yang membeli kondom akan melakukan hubungan seks yang tidak sah, persepsi di kalangan pria yang mengatakan bahwa kondom mengurangi kenikmatan, merupakan salah satu faktor penghambat penggunaan kondom. Kurangnya ketersediaan kondom di tempat pada waktu yang dibutuhkan juga merupakan hal lain yang dapat mempengaruhi rendahnya penggunaan kondom19. Bahkan kondom seringkali masih mendapat kendala dalam proses distribusinya. Salah satu kendala signifikan yang dialami adalah kurangnya dukungan politik yang kuat bagi implementasi program-program distribusi kondom. Meskipun di beberapa daerah sudah terdapat aturan-aturan yang mendukung, namun penegakan dan implementasi riil dari aturan-aturan tersebut masih sangat lemah atau tidak ada sama sekali. Hal ini juga terkait dengan pertimbangan politis dari para tokoh masyarakat dan pemangku kepentingan untuk menghindari membuat keputusan yang tidak populer apabila mendukung program penggunaan kondom. Perspektif religius yang konservatif di beberapa daerah juga berperan dalam menghambat program kondom.
Tidak hanya distribusi dan penggunaan kondom pada hubungan seks risiko tinggi yang mempengaruhi menekan penularan HIV, konsistensi penggunaan kondom juga sangat penting untuk diperhatikan. Masih rendahnya angka konsistensi penggunaan kondom, berkisar antara 5%-21%, pada kelompok risiko tinggi juga menambahkan satu lagi pekerjaan rumah yang perlu disiasati melalui program-program strategis untuk mengendalikan penyebaran dan menurunkan jumlah kasus HIV baru maupun guna memenuhi target indikator yang kedua, meningkatkan penggunaan kondom pada hubungan seks risiko tingga hingga tahun 2015 nanti.
Untuk indikator yang yang ketiga, proporsi remaja yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV dan AIDS masih dapat dikatakan rendah dalam pencapaiannya sampai dengan tahun 2010 ini. Walaupun proporsi remaja di DKI Jakarta yang mengetahui (pernah mendengar) mengenai HIV dan AIDS cukup tinggi (82.7%), tetapi hanya 21.7% yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV dan AIDS. Dari pengetahuan mengenai cara penularan HIV yang dimiliki oleh remaja, penularan melalui hubungan seksual merupakan cara penularan yang paling banyak mereka ketahui (93.9%, data IBBS 2007). Melihat pesan pencegahan yang seringkali disebarkan (himbauan untuk abstinen, no free sex, no drugs) terutama untuk orang muda, wajar jika pengetahuan cara penularan melalui hubungan seksual dan penggunaan jarum suntik menjadi cara penularan yang paling banyak diketahui, namun yang juga perlu mendapat perhatian adalah detail informasi yang dianggap penting untuk setiap komponen pengetahuan terkait (misalnya hubungan seks yang menularkan adalah dengan orang yang sudah tertular HIV, berbagi air pembersih jarum juga dapat menularkan virus HIV) dengan kedua cara penularan ini
karena hanya dengan mengetahui cara penularan tanpa tahu detail informasinya seringkali membuat orang muda gagal melindungi dirinya dari HIV dan AIDS atau penyakit menular lainnya.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, upaya peningkatan pengetahuan mengenai HIV pada kelompok usia ini menjadi sangat penting karena data-data yang ada menunjukkan bahwa perilaku berisiko sudah mulai dilakukan pada rentang usia ini, bahkan lebih muda. IBBS (Integrated Bio-Behavioral Survey) atau Surveilans Terpadu Biologi Perilaku (2007) pada kelompok berisiko menunjukkan bahwa responden mulai melakukan perilaku berisiko, termasuk penggunaan napza suntik dan perilaku seks yang tidak aman pada usia 13-20 tahun. Hasil penelitian terakhir mengenai jaringan seksual pada pengguna napza suntik (FHI & ARC, 2010) juga menunjukkan bahwa usia pertama kali responden mulai menggunakan napza adalah 13-16 tahun. Data-data ini semakin memperkuat alasan diperlukannya pengetahuan memadai mengenai HIV dan hal lain yang sangat erat kaitannya, yaitu napza, seksualitas dan kesehatan reproduksi sejak dini, juga menegaskan pentingnya peran sektor pendidikan mengingat sebagian besar dari populasi pada rentang usia 15-24 tahun seharusnya masih berada pada tingkat pendidikan menengah sampai perguruan tinggi. Strategi pencegahan berbasis sekolah harus memberikan penekanan pada usaha pencegahan melalui pendidikan ketrampilan dasar hidup, dan pengadaan materi-materi Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) serta strategi advokasi. Hingga saat ini, pemberian informasi kepada remaja di sekolah biasanya dilakukan melalui kegiatan penyuluhan, baik atas dasar inisiatif sekolah maupun lembaga di luar sekolah (pemerintah dan non pemerintah) yang memiliki program pemberian informasi mengenai HIV dan narkoba kepada remaja. Hasil SSP 2004-2005 menunjukkan 84.5% responden remaja di Jakarta pernah mendapat penyuluhan mengenai Narkoba, dan lebih dari 50% responden pernah mendapat penyuluhan tentang HIV di sekolah (57.6%). Namun hanya 30.2 % yang pernah mendapat pendidikan untuk menolak seks dan narkoba, dan hanya 17.9% yang pernah mendapat penyuluhan tentang kesehatan reproduksi di sekolah. Tidak jauh berbeda dengan data ini, hasil STBP 2007 menunjukkan persentase yang tinggi pada remaja di Jakarta yang pernah mendapat penyuluhan napza (81%) dan HIV/AIDS (62%), namun masih sangat rendah untuk intervensi dalam bentuk ketrampilan bernegosiasi untuk menolak seks dan napza (35%), penyuluhan kesehatan reproduksi (26%), pendidik sebaya/peer educator (20%), dan penyuluhan mengenai Infeksi Menular Seksual/IMS (17%) di sekolah. Menarik untuk dilihat lebih lanjut, hasil SSP (2004-2005) menunjukkan persentase lebih tinggi pada remaja di Jakarta yang mendapat penyuluhan HIV untuk berperilaku berisiko (27.8%) dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan penyuluhan (17.4%).
Namun pada kenyataannya usaha bersifat represif lebih sering dilakukan dibandingkan promosi terhadap usaha pencegahan.20 Lebih dari itu, penyedia informasi diharapkan dapat menjangkau generasi muda yang berada diluar sekolah karena biasanya mereka yang berada di luar sekolah lebih rentan untuk melakukan perilaku berisiko. Akses informasi harus tersedia bagi generasi muda dengan asumsi bahwa semakin dini mereka memperoleh informasi maka semakin cepat pula langkah antisipatif dilakukan untuk dapat melindungi mereka dari berbagai risiko tertular penyakit.
Akses informasi untuk orang muda mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas yang akurat sangat terbatas, tidak hanya di layanan kesehatan yang tersedia, tapi juga di sekolah dan di rumah, tempat dimana seharusnya mereka merasa aman mendapatkan informasi21. Situasi ini tentu saja tidak lepas dari pengaruh kultur yang mentabukan pembicaraan mengenai seksualitas di Indonesia. Membicarakan seks seringkali dianggap mendorong orang muda untuk bereksperimen dengan perilaku seksual mereka sehingga orang dewasa memiliki kecenderungan untuk tidak memberikan informasi atau kalaupun memberikan sudah dibungkus dengan pesan-pesan moral dan religius untuk mencegah mereka melakukan hubungan seksual. Selain itu, informasi juga cenderung diarahkan untuk menakut-nakuti sehingga seringkali informasi yang didapat tidak akurat.
Stigma dan diskriminasi masyarakat umum yang masih kental terhadap penderita HIV juga seringkali menjauhkan generasi muda dari akses informasi yang akurat mengenai kesehatan reproduksi dan HIV itu sendiri karena adanya anggapan bahwa HIV hanya menular pada mereka yang melakukan perilaku ‘asusila’. HIV seringkali dijelaskan sebagai konsekuensi dari perilaku seks bebas dan menyimpang, tanpa penjelasan yang memadai mengenai perilaku seks seperti apa yang dimaksud bebas dan menyimpang, serta bagaimana hubungannya dengan penularan HIV22. Informasi yang tidak netral dan kurang berorientasi pada kesehatan seringkali menjauhkan generasi muda dari kesadaran bahwa dirinya juga berisiko. Misalnya, anggapan bahwa HIV hanya ditularkan melalui hubungan seks dengan pekerja seks membuat remaja dan orang muda merasa tidak mungkin tertular meskipun mereka aktif berhubungan seksual dengan pasangan (pacar) tanpa menggunakan kondom. Padahal, kebanyakan kasus penularan pada wanita yang bukan dari kelompok berisiko adalah melalui pasangan mereka yang adalah pengguna napza suntik atau pembeli jasa seks komersil. Sekitar 43% dari infeksi baru di asia tahun 2005 terjadi di kalangan perempuan, yang mayoritas tertular dari suami atau pasangan yang melakukan seks berisiko tinggi atau telah menggunakan peralatan suntik yang terkontaminasi.23 Selain pengetahuan mengenai HIV dan AIDS, pengetahuan mengenai tempat layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) pada kelompok usia 15-24 tahun juga masih sangat rendah baik pada responden wanita maupun pria dalam SDKI 2007 (persentase tertinggi adalah mengetahui Rumah sakit sebagai salah satu tempat memperoleh layanan VCT, pada wanita hanya 3,5% dan pria 3,8%, sedangkan tempat lainnya seperti puskesmas, klinik dsb tidak mencapai 1% )
Penyampaian informasi mengenai HIV saat ini dilakukan melalui berbagai media. Media harus diakui memegang peranan yang sangat penting sebagai sumber informasi yang berfungsi dalam menyebarluaskan informasi terkait dengan usaha pencegahan penularan HIV. Pemilihan media yang tepat akan mempengaruhi keberhasilan penyebaran informasi pada komunitas tertentu. Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) 2002, televisi menjadi jenis media massa
21
(UNESCO& ARC, 2009)
22
(UNESCO& ARC, 2009)
yang paling digemari oleh orang muda; 79% wanita dan 77% pria melaporkan menonton televisi sedikitnya sekali seminggu. Sedangkan materi dalam bentuk cetakan ditemukan sebagai materi yang paling tidak populer, 24% untuk wanita dan 23% untuk pria. Selain televisi sebagai media favorit, SKRRI (2007) juga menunjukkan bahwa teman paling banyak dipilih sebagai orang yang diajak mendiskusikan kesehatan reproduksi. Hampir sama dengan hasil SKRRI diatas, hasil SSP (2004-2005) dan STBP (2007) menunjukkan persentase tertinggi pada televisi (96,5% & 96%) sebagai media yang paling banyak dipilih remaja menjadi sumber informasi tentang HIV/AIDS. Petugas kesehatan (24,3% & 39%) adalah sumber informasi yang paling tidak populer diantara teman (48,2% & 71%), guru (45,9% & 75%) dan keluarga (31,9% & 54%) bagi remaja untuk memperoleh informasi mengenai HIV/AIDS. Pada STBP 2007, 16% responden remaja di Jakarta memilih petugas LSM sebagai sumber informasi mengenai HIV/AIDS.
Proporsi orang yang memperoleh pengobatan ARV di DKI Jakarta sebagai indikator akses universal untuk ART masih berkisar 50% dari total yang memenuhi syarat untuk memperoleh layanan ini. Walaupun jumlah pasien ODHA yang mengakses layanan kesehatan selalu meningkat mulai dari tahun 2008, dan jumlah pasien yang masih menerima ARV juga selalu meningkat, namun jumlah tersebut baru setengah dari pasien yang memenuhi syarat untuk menjalani terapi ARV, padahal target akses universal yang hendak dicapai adalah semua (100%) pasien ODHA yang memenuhi syarat untuk pengobatan ARV dapat menerima pengobatan ARV dengan baik.
Sebenarnya, secara Nasional, komitmen pemerintah untuk mewujudkan akses universal bagi pengobatan ARV bagi ODHA, terlihat cukup serius. Peningkatan subsidi yang diberikan pemerintah untuk obat ARV cukup signifikan. Pada tahun 2008, subsidi obat ARV yang didanai oleh APBN adalah 37 miliar rupiah, pada tahun 2009 meningkat menjadi 43 miliar rupiah, dan pada tahun 2010 melonjak hingga 84 miliar rupiah (JOTHI, 2010). Namun, apabila kita perhatikan, dana yang dialokasikan oleh KPAP DKI Jakarta untuk program pengobatan, perawatan dan dukungan hanyalah 30.45% dari jumlah dana yang diperuntukkan bagi program penanggulangan HIV dan AIDS secara keseluruhan pada tahun 2008 dan tidak mengalami peningkatan yang signifikan di tahun 2009 (30.92%). Presentase terbesar masih diperuntukkan bagi program pencegahan yaitu hampir 60% baik di tahun 2008 maupun tahun 2009.
Meskipun perhatian pemerintah pusat sudah cukup besar dalam pemenuhan kebutuhan ARV, beberapa hal masih perlu menjadi perhatian seperti, pengaturan rantai pasokan (terutama di kota satelit atau kota-kota kecil) dan ketersediaan ARV bagi pediatrik.24 Keberhasilan terapi ARV sangat dipengaruhi oleh kepatuhan dalam mengkonsuminya. Ketidakteraturan dalam meminum ARV dapat mengakibatkan kekebalan dalam tubuh ODHA, sehingga ARV menjadi tidak efektif lagi. Oleh karena itu ketersediaan dan manajemen distribusi dan logistik ARV menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan terapi ARV. Disamping itu, peranan Pengawas Minum Obat (POM) juga sangat penting dalam menjaga efektifitas ARV bagi pasien yaitu dengan menjaga kedisiplinan pasien dalam mengkonsumsi ARV. Keluarga dan Petugas LSM dapat berperan sebagai POM. Penelitian UIC-ARC (2010) juga
mengungkapkan hal yang sama bahwa peranan Orang tua, pasangan dan petugas LSM (petugas penjangkau maupun manajer kasus) memiliki andil yang cukup besar dalam memberikan dukungan bagi ODHA untuk menjaga kepatuhan mereka dalam menjalankan terapi ARV. Hal tersebut sangat penting diperhatikan untuk mensiasati pasien-pasien yang berhenti mengakses pengobatan ARV tanpa dapat ditelusuri jejaknya, juga untuk terus menurunkan angka kematian setelah mengkonsumsi ARV. Proporsi ODHA yang meninggal setelah menjalani terapi ARV tidak dapat dikatakan rendah, walaupun dari tahun 2008 sampai dengan 2010 mengalami penurunan (tahun 2008: 33.7%; tahun 2009: 29.44; tahun 2010: 28.43%). Karena perawatan ARV membutuhkan kedisiplinan yang tinggi, maka penyampaian informasi di awal perencanaan terapi sangatlah penting. Namun tak kalah penting juga untuk diingat bahwa, tanpa didukung oleh program pencegahan yang efektif, kebutuhan akan ART pada kelompok usia 15-49 tahun diproyeksikan meningkat tiga kali lipat dari 30.100 pada tahun 2008 menjadi 86.800 pada tahun 2014.25