• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN CEPAT. PENCAPAIAN TARGET MDGs PADA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV dan AIDS DI DKI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN CEPAT. PENCAPAIAN TARGET MDGs PADA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV dan AIDS DI DKI JAKARTA"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN CEPAT

PENCAPAIAN TARGET MDGs PADA PROGRAM

PENANGGULANGAN HIV dan AIDS DI DKI JAKARTA

KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA bekerjasama dengan

Pusat Penelitian HIV-AIDS Unika Atma Jaya

Jakarta, Indonesia

2011

(2)

PENCAPAIAN TARGET MDGs PADA PROGRAM

PENANGGULANGAN HIV dan AIDS DI DKI JAKARTA

@

Pusat Penelitian HIV-AIDS Unika Atma Jaya, 2011

Emmy

Sari Lenggogeni

Gracia Simanullang

Hoshael Waluyo Erlan

Irwanto

(3)

Kata Pengantar

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas selesainya proses penulisan buku laporan Kajian Cepat Pencapaian Target MDGs Pada Program Penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta ini. Ucapan terima kasih atas kerja sama yang diberikan, kami sampaikan kepada seluruh tim Pusat Penelitian HIV/AIDS Unika Atma Jaya – sebagai bagian dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Unika Atma Jaya- yang telah bekerja keras mulai dari persiapan pelaksanaan penelitian sampai dengan penyusunan laporan akhir; staf Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI Jakarta, khususnya tim yang mendukung pelaksanaan penelitian ini; Subdit AIDS dan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI, PKBI DKI Jakarta, Lentera Anak Pelangi, Yayasan Pelita Ilmu, dan Yayasan Spiritia atas bantuan dalam peroleh data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, nara sumber yang berpartisipasi dalam kajian; serta berbagai pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung pelaksanaan kajian ini.

Kajian ini dilaksanakan sebagai bentuk kerja sama antara KPAP DKI Jakarta dengan Pusat Penelitian HIV/ADS Unika Atma Jaya Jakarta. Kami ucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan semoga kerja sama ini mencapai tujuan bersama yang disusun sebelumnya. Studi ini merupakan sebuah kajian cepat untuk mendapatkan gambaran mengenai pencapaian program-program penanggulangan HIV yang sudah dilakukan di propinsi DKI Jakarta berdasarkan indikator penanggulangan HIV/AIDS yang ditetapkan dalam Tujuan 6 dari Target Pembangunan Millenium 2015. Diharapkan berbagai paparan informasi dan diskusi yang telah dilakukan akan menjadi salah satu sumber informasi yang dapat bermanfaat bagi perencanaan dan pelaksanaan program intervensi HIV dan AIDS, agar dapat memenuhi target-target yang telah dicanangkan dalam tujuan keenam MDGs pada tahun 2015 nanti.

Kritik dan saran atas buku laporan ini akan kami sambut dengan tangan terbuka untuk meningkatkan kinerja kerja-kerja program penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta.

Atas perhatian dan dukungan semua pihak terhadap pelaksanaan kajian ini, sekali lagi kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, Feberuari 2011

(4)

Daftar Isi

BAB 1 PENDAHULUAN ...6 A.LATAR BELAKANG ...6 B.TUJUAN KAJIAN ...9 C.METODOLOGI ...9 C.1. Definisi Operasional ...9 C.2. Pelaksanaan Kajian ... 10

BAB 2 HASIL PENELITIAN ... 11

A.Sejarah dan Situasi Penanggulangan HIV/AIDS di DKI ... 11

B.Gambaran Pencapaian Indikator Tujuan 6 MDGs ... 14

b.1. Prevalensi HIV pada kelompok usia 15-24 tahun ... 15

b.2. Penggunaan Kondom pada Hubungan Seks Berisiko Tinggi ... 20

b.3. Proporsi usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV dan AIDS .... 23

b.4. Proporsi populasi orang yang berada pada tahap infeksi HIV lanjut yang bisa mengakses ARV ... 26

BAB 3 DISKUSI ... 29

BAB 4 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 36

A.KESIMPULAN ... 36

B.REKOMENDASI ... 37

DAFTAR ISTILAH ... 38

(5)

Daftar Tabel

Tabel 1. Layanan Program Penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta tahun 2009 ... 13

Tabel 2. Jumlah Layanan HIV dan AIDS di DKI Jakarta tahun 2010 ... 14

Tabel 3. Ketersediaan Dana Penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta th. 2008-2009 ... 14

Tabel 4. Prevalensi HIV pada Kelompok Risiko Tinggi di DKI Jakarta Tahun 2007... 16

Tabel 5. Proporsi Penggunaan Kondom dengan Pasangan Seks Komersial ... 21

Tabel 6. Konsistensi Penggunaan Kondom pada IDU ... 22

Tabel 7. Jumlah Distribusi Kondom di DKI Jakarta tahun 2009 ... 22

Tabel 8. Persentase Remaja menurut Pengetahuan mengenai Cara Pencegahan Penularan HIV di DKI Jakarta ... 26

Tabel 9. Persentase Remaja menurut Pengetahuan mengenai Cara Pencegahan HIV yang salah di DKI Jakarta ... 26

Tabel 10. Laporan Perawatan HIV di DKI Jakarta Tahun 2008 - 2010 ... 27

Tabel 11. Persentase Klien Yang Tidak Melanjutkan Pengobatan ARV di DKI Jakarta ... 28

Tabel 12. Akses Universal Perawatan ARV di DKI Jakarta Th. 2008 - 2010 ... 28

Tabel 13. Rangkuman Capaian Indikator MDGs untuk Program Penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta ... 30

Daftar Gambar

Gambar 1. Jumlah Kumulatif Kasus HIV dan AIDS di Provinsi DKI Jakarta ... 16

Gambar 2. Jumlah Kumulatif Kasus Baru HIV dan AIDS di DKI Jakarta th. 1987- 2010 ... 17

Gambar 3. Persentase Kumulatif Kasus HIV & AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin di DKI Jakarta s.d November 2010 ... 18

Gambar 4. Persentase Kumulatif Kasus HIV dan AIDS Berdasarkan Kelompok Umur di DKI Jakarta ... 19

Gambar 5. Persentase Kumulatif Kasus HIV dan AIDS Berdasarkan Wilayah di DKI Jakarta ... 19

Gambar 6. Persentase Kumulatif HIV dan AIDS Berdasarkan Faktor Resiko di DKI Jakarta s.d November 2010 ... 20

Gambar 7. Proporsi Kelompok usia 15-24 Berdasarkan Pengetahuan Cara Pencegahan di DKI Jakarta... 24

(6)

BAB 1 PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Millenium Development Goals (MDGs)1 sebagai komitmen Internasional dalam mengatasi persoalan-persoalan ketertinggalan pembangunan dan pengentasan kemiskinan memiliki peran startegis bagi seluruh Negara di dunia, termasuk Indonesia. Target pencapaian atau keberhasilan MDG’s adalah sesuai dengan yang di tandatangani dalam deklarasi Millenium. Beberapa poin penting dari deklarasi tersebut adalah komitmen atau janji untuk melakukan usaha mengurangi setengah dari angka kelaparan, memastikan semua anak dapat menempuh pendidikan dasar, menghilangkan ketidaksetaraan gender pada semua tingkat pendidikan, mengurangi dua pertiga dari angka kematian bayi dan balita serta mengurangi setengah dari proporsi orang yang tidak memiliki akses terhadap peningkatan kualitas sumber air pada tahun 20152.

Tujuan Pembangunan Milenium ini didasari kenyataan bahwa pembangunan yang hakiki adalah pembangunan manusia dengan terciptanya ruang partisipasi masyarakat yang luas serta berkelanjutan, hal tersebut bertujuan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Komitmen Indonesia dalam agenda MDGs adalah kebersamaan dan kesamaan visi warga masyarakat dunia untuk berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat yang mengalami ketertinggalan sebagai mana yang telah menjadi komitmen dalam Tujuan Pembangunan Milenium3 .

Laporan MDGs Indonesia tahun 2007, menyatakan beberapa kriteria yang menjadi tolak ukur masyarakat yang sejahtera, yaitu: masyarakat yang dapat menikmati kemakmuran secara utuh, tidak miskin, tidak menderita kelaparan, menikmati pelayanan pendidikan secara layak, mampu mengimplementasikan kesetaraan gender, dan merasakan fasilitas kesehatan secara merata. Dengan demikian terciptanya kesejahteraan kehidupan masyarakat adalah secara terukur dapat dilihat dengan berkurangnya penularan penyakit berbahaya seperti ; AIDS, TB (Tuberkulosis) dan Malaria. Di antara delapan tujuan pembangunan millennium yang ditetapkan, penghentian penularan dan penurunan kasus HIV/AIDS menjadi target keenam, bersama dengan pemberantasan malaria dan penyakit lainnya.

Berdasarkan data statistik terakhir, diperkirakan 33,3 juta orang hidup dengan HIV di seluruh dunia, 30 juta dari mereka hidup di negara miskin, 15,9 juta adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun, dan semakin banyak anak-anak yang merasakan dampaknya, mereka

1

Millenium Development Goals (MDGs)adalah sebuah perwujudan komitmen Internasional negara-negara di dunia untuk meningkatkan pembangunan manusia dan mengentaskan kemiskinan yang ditandai dengan penandatanganan deklarasi millennium oleh 189 pemimpin negara di dunia, termasuk Indonesia, dalam United Nations Millenium Summit pada tahun 2000

2 Lihat

United Nations in Indonesia, http://www.un.or.id/millennium-development-goals, 2010

3

Amiranda S. Alisjahbana, Laporan Pencapaian Tujaun Pembangunan Milenium Indonesia 2010, di terbitkan oleh kementrian perencanaan pembangunan nasional/badan perencanaan pembangunan nasonal (BAPPENAS) dan AUS Aid & UNDP , th 2010

(7)

kehilangan orang tua mereka karena AIDS.4 Penurunan kasus HIV dan AIDS adalah salah satu sasaran

yang dalam Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia tahun 2010 telah menunjukkan kecenderungan kemajuan yang baik namun masih memerlukan kerja keras untuk mencapai sasaran tersebut pada tahun 2015. Tingkat prevalensi HIV dan AIDS terus meningkat, khususnya di antara kelompok berisiko tinggi, seperti pengguna napza suntik dan pekerja seks komersil. Jumlah kumulatif kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan di Indonesia meningkat yaitu sebesar 21.770 kasus sampai dengan 30 Juni 2010, lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah kumulatif pada tahun 2006 sebesar 8.194 kasus.

Hingga saat ini belum ditemukan cara untuk menyembuhkan infeksi HIV. Epidemi HIV tidak hanya membawa dampak ekonomi tapi juga dampak sosial yang begitu besar. Kemiskinan dan ketidaksetaraan adalah dua akibat utama yang erat kaitannya dengan epidemi HIV, terutama pada negara berkembang yang seringkali tidak memiliki sumber daya dan infrastuktur yang cukup baik untuk dapat merespon epidemi HIV. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang merasakan dampak signifikan dari epidemi HIV. Jumlah kasus baru Infeksi HIV dan AIDS sejak tahun 1996 sampai tahun 2006 meningkat 17.5% dan diperkirakan 193.000 orang saat ini hidup dengan HIV di Indonesia.5 Epidemi AIDS

sekarang telah terjadi hampir di seluruh Indonesia. Berdasarkan Laporan Triwulan situasi perkembangan HIV-AIDS di Indonesia yang dilaporkan oleh Kementrian Kesehatan RI6, sejak pertama

kali ditemukannya kasus HIV di Bali tahun 1987, angka penularan terus bertambah hingga mencapai 21.770 untuk angka kumulatif AIDS sampai dengan 30 Juni 2010. Ditambah dengan kenyataan bahwa dalam lima tahun terakhir Indonesia belum sepenuhnya pulih dari krisis ekonomi tahun 1997/1998 tentunya Indonesia menghadapi tantangan global yang tidak ringan. Dalam lingkungan global yang kurang menguntungkan tersebut, Indonesia secara bertahap terus melakukan penataan dan pembangunan di segala bidang dengan tujuan utama meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan manusia serta mengentaskan kemiskinan. Oleh karena itu pemberantasan HIV dengan menghentikan penularan dan menurunkan kasus HIV/AIDS menjadi sangat relevan untuk dijadikan salah satu target dalam Tujuan Pembangunan Milennium ini.

Angka kasus HIV dan AIDS sebagian besar dijumpai di semua wilayah di Indonesia dengan jumlah kasus bervariasi. Berdasarkan Laporan Kemenkes 2010, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan jumlah kasus tertinggi. Laporan Triwulan Situasi Perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia sampai dengan November 2010 menunjukkan bahwa jumlah kumulatif kasus AIDS hingga November 2010 adalah 3950, dan meninggal karena AIDS berjumlah 999.7 Kasus AIDS ditemukan pertama kali di DKI Jakarta pada tahun

1987, dan jumlah tersebut terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Lonjakan kasus yang cukup signifikan terjadi sejak tahun 2004, dimana jumlah kasus meningkat 200% dari tahun sebelumnya,

4

(UNAIDS, 2010)

5

(IBBS, Laporan Kemenkes 2007)

6

(Laporan Kemenkes RI tahun 2010 sampai dengan 30 Juni 2010)

7

(8)

yaitu dari 21 kasus pada tahun 2003, melonjak menjadi 264 kasus pada tahun 2004. Sejak saat itu, jumlah kasus AIDS yang ditemukan setiap tahunnya terus meningkat. Berdasarkan cara penularan kasus AIDS yang dilaporkan hingga November 2010, menunjukkan bahwa infeksi HIV dan AIDS sebagian besar ditemukan pada kelompok heteroseksual sebanyak 44%, kelompok IDU sebesar 50% dan dari kelompok Lelaki Sex Lelaki (LSL) sebesar 2%. Sedangkan berdasarkan kelompok umur, kasus AIDS tertinggi berasal dari kelompok umur 25-44 tahun yaitu sebesar 79% diikuti dengan kelompok umur di atas 45 tahun sebesar 12% dan sebesar 6% dari kelompok umur 15-24 tahun. Dari data tersebut terlihat bahwa kasus AIDS yang terjadi berada pada rentang usia produktif (mulai usia 15 tahun). Yang lebih rnengkhawatirkan, presentase kasus AIDS di kalangan perempuan terus meningkat, yaitu 16% pada tahun 2006, dan meningkat menjadi 25% pada tahun 2010.

Peningkatan jumlah infeksi HIV di Indonesia berada pada tahap yang mengkhatirkan dan telah mendorong pemerintah untuk mengambil langkah-langkah penanggulangan di seluruh wilayah Indonesia agar dapat mewujudkan pemenuhan komitmen Indonesia untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium pada tahun 2015 nanti. Hingga saat ini, tidak sedikit pula upaya yang dilakukan baik dalam rangka pencegahan maupun penularan HIV dan AIDS di DKI Jakarta. Program-program pencegahan yang dilakukan oleh Pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat meningkat setiap tahunnya. Berbagai kegiatan outreach telah dilakukan, begitu juga dengan penyebaran leaflet, brosur bahkan kondom kepada kelompok-kelompok beresiko tinggi. Berbagai pojok informasi di terminal maupun pasar juga dimanfaatkan untuk kegiatan pemutaran film, pembagian brosur dan penyuluhan tentang IMS, HIV dan AIDS. Begitu juga dengan program-program yang dicanangkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta, yang terdiri dari empat komponen program yaitu: 1). Pencegahan; 2). Perawatan, Dukungan dan Pengobatan; 3). Mitigasi Dampak HIV-AIDS; dan 4). Pengelolaan program dan pengembangan kebijakan HIV-AIDS. Diharapkan keempat komponen program tersebut mampu memenuhi target Tujuan Pembangunan Millenium Indonesia yang ke enam, khususnya target untuk mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS hingga tahun 2015.

Untuk meningkatkan upaya pencapaian target MDGs secara Nasional. Pemerintah telah mengeluarkan Inpres No.3 tahun 2010 yang berisikan strategi-strategi yang perlu dilakukan dalam rangka percepatan pencapaian target MDGs tersebut. Penyesuaian target untuk setiap indikator ditetapkan untuk tahun 2011 nanti. Hal ini diharapkan agar kemajuan capaian target bagi setiap indikator dapat dipantau sehingga dapat strategi-strategi untuk pencapaian target tersebut dapat disesuaikan.

Pencapaian dari program-program yang dilaksanakan di DKI Jakarta ini tentunya akan mempengaruhi pencapaian Nasional terhadap indikator-indikator dalam mencapai Tujuan Pembangunan Milenium terkait HIV ini. Selama ini kajian terhadap keseluruhan program di DKI Jakarta hampir tidak pernah dilakukan terutama yang dikaitkan dengan indikator

(9)

pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium ini. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pencapaian indikator dari Tujuan Pembangunan Milenium khususnya yang terkait dengan HIV dan AIDS yaitu mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS hingga tahun 2015 di DKI Jakarta dan mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV dan AIDS bagi semua yang membutuhkan pada tahun 2010.

B.

TUJUAN KAJIAN

Tujuan dilaksanakannya kajian ini adalah mendapatkan gambaran mengenai pencapaian program-program penanggulangan HIV yang sudah dilakukan di propinsi DKI Jakarta berdasarkan indikator penanggulangan HIV/AIDS yang ditetapkan dalam Tujuan 6 dari Target Pembangunan Millenium 2015, yaitu:

a. Prevalensi HIV pada kelompok usia 15-24 tahun b. Penggunaan Kondom pada Kelompok Risiko Tinggi

c. Proporsi usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV/AIDS d. Proporsi populasi orang yang berada pada tahap infeksi HIV lanjut yang bisa mengakses ARV

C.

METODOLOGI

Kajian terhadap program-program penanggulangan HIV yang sudah dilakukan di Jakarta dilakukan dengan metode desk review terhadap data-data program terkait HIV dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan Sektor Pemerintahan terkait di Jakarta serta wawancara melalui e-mail yang dilakukan kepada salah seorang pengamat program penanggulangan AIDS di DKI Jakarta maupun Nasional.

C.1. Definisi Operasional

Target pembangunan Millenium 2015 untuk penanggulangan HIV-AIDS tertera pada tujuan keenam, yang digunakan dalam kajian ini bersumber pada definisi yang ditetapkan oleh UNDP, yaitu: penghentian penularan dan penurunan kasus HIV/AIDS, pemberantasan malaria dan penyakit lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut dibuatlah target-target dengan beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai alat ukur pencapaian target dan tujuan tersebut.

Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV/AIDS hingga tahun 2015

Indikator 1 : Prevalensi HIV pada kelompok usia 15-24 tahun Indikator 2 : Penggunaan Kondom pada Kelompok Risiko Tinggi

Indikator 3 : Proporsi usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV/AIDS

(10)

Target 6B: Mencapai akses universal bagi semua orang yang membutuhkan pengobatan HIV dan AIDS tahun 2010

Indikator : Proporsi populasi orang yang berada pada tahap infeksi HIV lanjut yang bisa mengakses ARV

C.2. Pelaksanaan Kajian

Penelitian dilakukan di Jakarta pada pertengahan bulan November sampai dengan pertengahan Desember 2010 oleh Tim Peneliti dari Pusat Penelitian HIV/AIDS Atma Jaya yang bekerja sama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Propinsi DKI Jakarta

(11)

BAB 2 HASIL PENELITIAN

Pelaksanaan program penanggulangan HIV dan AIDS di Jakarta difokuskan pada upaya pencegahan pada kelompok risiko tinggi dan upaya perawatan, dukungan dan pengobatan pada ODHA. Target program yang dicanangkan dalam rencana strategis Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI Jakarta adalah penjangkauan secara efektif kelompok risiko tinggi transmisi seksual dan jarum suntik sebanyak 80% pada tahun 2010 dengan target perubahan perilaku sebanyak 60% pada masing-masing kelompok. Fokus program ini terbukti efektif untuk tingkat epidemi yang masih terkonsentrasi pada kelompok risiko tinggi. Dalam skenario program ini, dengan target seperti di atas, diharapakan akan dapat mencegah infeksi baru sebesar 16,000 pada tahu 2010 dan 32,000 pada tahun 2012.8

Untuk mencapai target-target di atas, program penanggulangan HIV-AIDS di DKI Jakarta ditetapkan terdiri atas empat komponen program masing-masing; (1) Pencegahan, (2) Perawatan, Dukungan dan Pengobatan, (3) Mitigasi dampak HIV dan AIDS dan (4) Pengelolaan program dan pengembangan kebijakan HIV dan AIDS. Keempat komponen program ini dibuat untuk mencapai tujuan umum mencegah timbulnya kasus baru dan meningkatkan kualitas hidup ODHA serta mitigasi dampak sosial ekonomi HIV dan AIDS. Tujuan umum ini akan berkontribusi secara positif terhadap pencapaian Visi Renstra agarJakarta Sehat Terhindar dari HIV dan AIDS.

A.

Sejarah dan Situasi Penanggulangan HIV/AIDS di DKI

Kasus AIDS pertama di Indonesia ditemukan pada seorang wisatawan asing di Bali pada tahun 1987. Namun jauh sebelum itu, pada tahun 1983, dr. Zubairi Djoerban, staf Hematologi Penyakit Dalam FKI UI, melakukan penelitian pada kalangan homoseksual dan Waria di Jakarta terkait leukemia. Hasil penelitian ini teridentifikasi tiga orang Waria yang menunjukkan gejala hampir sama dengan AIDS, tetapi karena ketika pada saat itu definisi AIDS masih belum terlalu jelas, maka sindrom yang dikeluhkan oleh ketiga Waria tersebut dinamakan sebagai AIDS Related Complex (ARC). Pada tahun 1986, seorang perempuan berusia 25 tahun meninggal di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dengan gejala klinis menunjukkan AIDS dan dari tes darahnya dipastikan bahwa dia terinfeksi HTLV-III (yang kemudian dirubah namanya menjadi HIV). Tetapi kasus ini tidak dilaporkan oleh Depkes. Kemudian, pada tahun yang sama, Direktur RS Islam Jakarta, melaporkan kasus pasien yang meninggal di rumah sakit tersebut karena AIDS melalui surat kepada Menteri Kesehatan melalui Kanwil Depkes DKI Jakarta. Dari hasil tes ELISA yang dilakukan, ditemukan virus HTLV III dalam darah pasien. Seiring dengan mulai bermunculannya kasus HIV dan AIDS di banyak negara, beberapa doker dari RSCM Jakarta mengusulkan untuk melakukan survailan tes HIV terhadap kalangan yang dianggap berisiko tinggi tertular HIV, seperti pekerja seks dan homoseksual. Usulan tersebut kemudian

8

(12)

direalisasikan oleh sebuah tim dari Hematologi FKUI/RSCM, dengan melakukan pemeriksaan HIV menggunakan metode ELISA terhadap 7.464 orang yang berasal dari kalangan risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klinis AIDS pada kurun waktu April-September 1986. Pada tahun yang sama, Direktur RS Islam Jakarta, melaporkan kasus pasien yang meninggal di rumah sakit tersebut. Melalui tes darah dengan metode ELISA, ditemukan virus HTLV III dalam darah pasien. Terpicu dari kasus tersebut dan mulai maraknya kasus AIDS di negara-negara lain, beberapa akademisi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, terpanggil untuk memikirkan bagaimana bila suatu saat Indonesia juga menghadapi hal tersebut. Akhirnya, pada tanggl 8 Maret 1986 didirikanlah sebuah Kelompok Studi Khusus (Pokdisus) AIDS FKUI Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dengan visi utamanya membantu masyarakat dan pemerintah dalam menurunkan angka penyebaran HIV dan AIDS di Indonesia. Kemudian beberapa penelitian dan surveilans kepada kelompok yang dianggap berisiko tertular HIV di DKI Jakarta pun dilakukan oleh Pokdisus untuk memastikan kembali bahwa virus HIV sudah mulai menyerang masyarakat Jakarta9. Menurut data KPAP DKI Jakarta, sejak ditemukannya kasus HIV dan

AIDS sampai dengan tahun 1991, tercatat 11 kasus HIV dan 13 kasus AIDS di DKI Jakarta. Lima tahun kemudian meningkat menjadi 99 kasus HIV dan 61 kasus AIDS, dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Sampai dengan tahun 2010, jumlah kumulatif kasus HIV menjadi 3,954 kasus dan 3,424 kasus AIDS10.

Berbagai upaya penanggulangan HIV dan AIDS baik di tingkat Nasional maupun tingkat provinsi telah dilakukan. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI Jakarta yang dibentuk sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden RI No. 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional, merupakan koordinator dalam program penanggulangan HIV dan AIDS dengan kebijakan yang ditujukan untuk mencegah timbulnya infeksi baru HIV dan menyediakan perawatan, dukungan dan pengobatan untuk ODHA. Upaya penanggulangan HIV di DKI Jakarta juga didukung oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dengan berbagai program yang ditujukan sebagaian besar untuk kelompok risiko tinggi dengan layanan yang mencakup:

1. Layanan Voluntary Counseling & Tes ( VCT), 2. Infeksi Menular Seksual (IMS),

3. Program Terapi Rumatan Metadone (PTRM), 4. Program Pertukaran Jarum Suntik Steril (PJSS), 5. Prevention Mother to Child Transmission (PMTCT), 6. Program TB-HIV,

7. Care, Support & Treatment (CST) di RS Rujukan HIV-AIDS,

Tabel 1 menggambarkan cakupan layanan program HIV dan AIDS di DKI Jakarta berdasarkan target yang telah disepakati dalam Renstra KPAP pada tahun 2009.

9

( http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/03/menyoal-kapan-%E2%80%98kasus-aids-pertama%E2%80%99-di-indonesia/)

10

(13)

Dari tabel tsb, dapat kita lihat bahwa layanan yang paling banyak diakses adalah layanan penyebaran informasi melalui media KIE, sementara akses kepada pengobatan berkala masih terlihat rendah. Layanan-layanan tersebut diperuntukan bagi kelompok rentan tertular HIV, yaitu: Pengguna Napza Suntik (Penasun), Wanita Pekerja Seks (WPS) langsung, WPS tak langsung, Waria, Lelaki Suka dengan Lelaki (LSL), Pelanggan WPS, Warga binaan, dan masyarakat umum (yaitu ibu ruah tangga, anak dan pasangan Penasun)11.

Tabel 1. Layanan Program Penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta tahun 2009

Perkembangan upaya penanggulangan HIV di DKI Jakarta cukup meningkat, terlihat dari jumlah penyedia layanan bagi pasien yang terinfeksi HIV. Sampai saat ini, sudah terdapat layanan-layanan seperti pada tabel 2 di bawah ini12:

11

(Laporan Triwulan Program Penanggulangan AIDS, KPAP DKI, tahun 2009)

12

(14)

Tabel 2. Jumlah Layanan HIV dan AIDS di DKI Jakarta tahun 2010 NO LAYANAN JUMLAH 1 VCT 50 2 IMS 25 3 PTRM 18 4 LJSS 38 5 PMTCT 9 6 TB-HIV 25

Namun apabila dilihat dari segi pembiayaan, tidak terjadi peningkatan dukungan dana yang signifikan untuk program-program penanggulangan HIV dan AIDS13.

Tabel 3. Ketersediaan Dana Penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta th. 2008-2009

KERANGKA PROGRAM DANA YANG TERSEDIA

2008 2009

PENCEGAHAN 30,4 30,6

PENGOBATAN, DUKUNGAN DAN PERAWATAN

15,5 16,2

MITIGASI 3,5 3,8

KEBIJAKAN, ADVOKASI, ADMINISTRASI DAN RISET

1,5 1,8

JUMLAH 50,9 52,4

B.

Gambaran Pencapaian Indikator Tujuan 6 MDGs

Penghentian penularan dan penurunan kasus HIV/AIDS, pemberantasan malaria dan penyakit lainnya, yang merupakan tujuan keenam MDGs, diterjemahkan ke dalam beberapa target dan indikator. Indonesia mengadaptasi indikator-indikator yang disesuaikan dengan kondisi penyebaran HIV di Indonesia.

Prevalensi HIV pada ibu hamil usia 15-24 tahun yang menjadi indikator pertama, mengalami penyesuaian menjadi prevalensi HIV pada usia 15-24 tahun. Hal ini barangkali disebabkan karena kurangnya ketersediaan data mengenai ibu hamil serta masih minimnya program-program untuk kelompok tersebut. Program untuk ibu hamil dikemas dalam paket program PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission). Menurut informasi dari Prof. Samsuridjal Djauzi, salah seorang pemerhati permasalahan PMTCT, saat ini sudah tersedia sepuluh titik layanan PMTCT di DKI Jakarta, namun jumlah ibu hamil yang mengakses layanan tersebut masih sangat rendah, karena juga masih rendahnya cakupan program yang mendapat dukungan, yaitu hanya membiayai sepuluh orang ibu hamil HIV positif. Untuk RSCM saja terdapat sekitar 60 kasus pertahun belum

(15)

lagi di rumah sakit lain. Yang mendapat layanan (dengan atau tanpa program) mungkin sekitar 100 ibu hamil, padahal jumlah ibu hamil HIV positif di Jakarta menurut taksiran beliau lebih dari 500 orang. Masih kurangnya perhatian dan dukungan terhadap program PMTCT ini sangat disayangkan, karena program ini cukup efektif dalam menekan angka bayi positif. Pengalaman RS Cipto Mangunkusumo dalam menjalankan program ini, angka bayi positif dapat ditekan sampai dengan 4% dengan program PMTCT dari 35% tanpa program tersebut. Oleh karena itu, beliau merekomendasikan supaya pemerintah lebih memperhatikan program ini serta penyebaran informasi yang lebih luas akan manfaat program tersebut disamping peningkatan kapasitas bagi pelaksana layanan.

Indikator lain yang tidak diadaptasi oleh Indonesia adalah proporsi anak yatim usia 10-14 tahun yang mengikuti pendidikan formal. Belum banyak lembaga yang mendukung program pendampingan anak yang terdampak HIV di DKI Jakarta. Jumlah anak positif yang didampingi oleh tiga lembaga yang menjadi sumber data penelitian ini, hampir 200 anak. Hampir setengahnya adalah anak usia sekolah. Anak dengan status HIV positif yang saat ini mengikuti pendidikan formal lebih kurang 40% dari jumlah anak positif usia sekolah yang didampingi, dan pada umumnya anak-anak tersebut tidak membuka status mereka kepada pihak sekolah. Namun belum diperoleh data proporsi anak usia sekolah yang yatim karena HIV yang memperoleh pendidikan formal.

Hasil penelitian yang akan dipaparkan dalam bab ini adalah data yang diperoleh untuk empat indikator yang diadaptasi oleh Indonesia, yaitu prevalensi HIV pada usia 15-24 tahun, penggunaan kondom pada hubungan seksual risiko tinggi, proporsi remaja yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV dan AIDS, serta proporsi ODHA yang mendapatkan pengobatan ARV.

b.1. Prevalensi HIV pada kelompok usia 15-24 tahun

Prevalensi HIV pada kelompok usia 15-24 tahun menjadi salah satu indikator untuk mencapai target mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV hingga tahun 2015. Di Indonesia, prevalensi HIV terus meningkat dari tahun ke tahun. Prevalensi HIV dari total populasi Indonesia saat ini adalah sebesar 0.2% dan dalam target Tujuan Pembangunan Milenium diharapkan jumlah ini menurun sampai dengan tahun 2015. Jumlah kasus baru Infeksi HIV dan AIDS sejak tahun 1996 sampai tahun 2006 meningkat 17.5% dan diperkirakan 193.000 orang saat ini hidup dengan HIV di Indonesia.14 Prevalensi HIV di Indonesia

berdasarkan Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) tahun 2007 paling tinggi pada subpopulasi Penasun (52.4%) diikuti oleh Waria (24.4%), WPS langsung (10.4%), LSL (5.2%), WPS tak langsung (4.6%) dan yang terendah adalah Pelanggan Penjaja Seks (0.8%).

14

(16)

Angka kasus HIV dan AIDS sebagian besar dijumpai di semua wilayah Indonesia namun jumlah kasus bervariasi antar provinsi. Dalam Laporan Kemenkes 2010, diketahui bahwa di DKI Jakarta memberikan kontribusi paling banyak dalam jumlah kasus HIV positif dibandingkan dengan provinsi yang lain. Seperti halnya prevalensi HIV Nasional, prevalensi HIV di DKI Jakarta pun terkonsentrasi pada subpopulasi risiko tinggi. Pada tabel 4. terlihat bahwa prevalensi HIV tertinggi juga pada subpopulasi Penasun (55%) yang diikuti pada subpopulai Waria (34%). Sementara pada subpopulasi pelanggan penjaja seks yang mewakili populasi umum masih nol.

Tabel 4. Prevalensi HIV pada Kelompok Risiko Tinggi di DKI Jakarta Tahun 2007

Kelompok Prevalensi HV (%) Penasun 55 LSL 8 Waria 34 WPS langsung*1 10 WPS tak langsung*2 6

Pelanggan penjaja seks 0

Sumber: Laporan IBBS 2007 *1: Jakarta Barat

*2: Jakarta Utara

Berdasarkan Laporan Triwulan Situasi Perkembangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta sampai dengan November 2010 (Dinas Kesehatan DKI Jakarta Seksi Epidemologi HIV dan AIDS), diketahui bahwa jumlah kumulatif kasus AIDS di DKI Jakarta hingga November 2010 adalah 3.950 dan total jumlah kumulatif kasus HIV dan AIDS adalah sebanyak 7.898 kasus.

Gambar 1. Jumlah Kumulatif Kasus HIV dan AIDS di Provinsi DKI Jakarta

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 AIDS 1 2 3 7 13 21 31 40 50 61 70 93 108 192 268 319 340 604 1024 1453 2036 2405 3008 3950 HIV 2 4 6 9 11 21 34 52 75 99 112 151 215 440 664 783 783 947 1205 1592 1848 2072 2849 3948 JML 3 6 9 16 24 42 65 92 125 160 182 244 323 632 932 1102 1123 1551 2229 3045 3884 4477 5857 7898 MATI 0 0 0 0 0 0 0 0 0 36 1 7 4 31 7 11 2 74 123 122 109 70 166 227 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(17)

0 500 1000 1500 2000 2500 AIDS 1 1 1 4 6 8 10 9 10 11 9 23 15 84 76 51 21 264 420 429 583 369 603 942 HIV 2 2 2 3 2 10 13 18 23 24 13 39 64 225 224 119 0 164 258 387 256 224 777 1099 JML 3 3 3 7 8 18 23 27 33 35 22 62 79 309 300 170 21 428 678 816 839 593 1380 2041 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa jumlah kumulatif kasus AIDS di DKI Jakarta juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi sejak tahun 2003 (1.123 kasus) sampai dengan tahun 2010 (7.898 kasus). Lonjakan cukup tinggi juga terjadi pada kasus AIDS mulai tahun 2008 sebesar 2.405 kasus ke tahun 2009 sejumlah 3.008 kasus dan kemudian meningkat lagi pada tahun 2010 menjadi 3.950 kasus. Jumlah tersebut diperoleh dari pelaporan yang dilakukan oleh 64 Unit Pelayanan Kesehatan di Jakarta. Jumlah kasus baru setiap tahunnya dapat dilihat pada grafik di bawah ini (Gambar 2).

Gambar 2. Jumlah Kumulatif Kasus Baru HIV dan AIDS di DKI Jakarta th. 1987- 2010

Berdasarkan data dalam tabel di atas, bisa dilihat bahwa peningkatan cukup tajam dalam penambahan jumlah kasus baru HIV dan AIDS di DKI Jakarta terjadi pada tahun 1999 yaitu sebanyak 79 kasus yang bertambah menjadi 309 kasus di tahun 2000. Peningkatan jumlah ini terjadi pada kedua kasus HIV maupun kasus AIDS dan semakin meningkat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Demikian juga peningkatan kasus meningkat cukup signifikan pada tahun 2004 yaitu sebanyak 264 kasus baru HIV dan 164 kasus baru AIDS. Jumlah ini cukup mengejutkan dibandingkan dengan kasus baru pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2003, dimana jumlah kasus baru HIV hanya sebesar 21 kasus dan kasus AIDS tidak ada. Peningkatan yang cukup signifikan dalam jumlah kasus baru AIDS juga terjadi pada tahun 2009 yaitu sebanyak 777 kasus.

Dalam grafik tersebut dapat dilihat juga bahwa ada lonjakan yang cukup signifikan dari jumlah kasus baru HIV dan AIDS di DKI Jakarta pada tahun 2003 yaitu dari 21 kasus menjadi lebih dari 20 kali lipat pada tahun 2004 yaitu sebesar 428 kasus. Berdasarkan Laporan MenKes 2010 jumlah tersebut terus meningkat setiap tahunnya dengan adanya jumlah kasus baru, sehingga jumlah tersebut memberikan kontribusi paling tinggi terhadap jumlah kumulatif kasus HIV dan

(18)

AIDS di Indonesia. Demikian juga dari tahun 2008 sebesar 593 kasus meningkat cukup tinggi di tahun 2009 dengan penambahan kasus baru sebesar 1.380 dan tahun 2010 sebesar 2.041 kasus. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di Indonesia, jumlah kasus HIV positif yang dilaporkan dalam 10 tahun terakhir cenderung meningkat cukup tajam, yaitu dari 2.682 kasus pada tahun 2004, menjadi total 21.770 kasus hingga 30 Juni 2010. Jumlah kumulatif tersebut yaitu 21.770 kasus merupakan lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah kumulatif pada tahun 2006 sebesar 8.194 kasus. Jumlah kasus AIDS di Indonesia tersebut meningkat dengan adanya penambahan jumlah kasus baru sejak 3 tahun terakhir. Tercatat pada tahun 2007 terdapat sebanyak 2.947 kasus baru, tahun 2008 sebanyak 4.969 kasus baru, tahun 2009 terjadi penambahan jumlah kasus baru sebanyak 3.863 kasus dan tahun 2010 sampai dengan Juni sebanyak 1.797 kasus baru (Laporan Surveilans AIDS Depkes RI tahun 1987-Juni 2010). Lonjakan yang cukup signifikan dari penambahan kasus baru HIV dan AIDS yang ditemukan pada tahun 2003 yaitu sebanyak 316 kasus baru, hingga hampir mencapai tiga kali lipatnya pada tahun 2004 yaitu sebanyak 1.195 kasus baru.

Sejalan dengan data Nasional15, persentase kumulatif kasus HIV dan AIDS di DKI Jakarta juga

memiliki proporsi yang hampir sama, yaitu 3:1 antara Laki-laki dan Perempuan. Persentase kumulatif kasus HIV dan AIDS di DKI Jakarta sampai dengan November 2010 berdasarkan jenis kelamin, yaitu laki-laki sebanyak 75% dan perempuan sebanyak 25% (Gambar 3). Jumlah tersebut cukup mengkhawatirkan, mengingat presentase kasus AIDS di kalangan perempuan terus meningkat, yaitu 16% pada tahun 2006, dan meningkat menjadi 25% pada tahun 2010.

Gambar 3. Persentase Kumulatif Kasus HIV & AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin di DKI Jakarta s.d November 2010

75% 25%

Persentase Kumulatif Kasus HIV dan AIDS

Berdasarkan Jenis Kelamin di DKI Jakarta s.d

November 2010

Laki-laki Perempuan

15

(19)

Jika dilihat berdasarkan kelompok umur, kasus HIV dan AIDS di DKI Jakarta tertinggi berasal dari kelompok umur 25-44 tahun yaitu sebesar 79% diikuti dengan kelompok umur di atas 45 tahun sebesar 12% dan sebesar 6% dari kelompok umur 15-24 tahun (Gambar 4). Dari data tersebut terlihat bahwa kasus AIDS yang terjadi berada pada rentang usia produktif (mulai usia 15 tahun).

Gambar 4. Persentase Kumulatif Kasus HIV dan AIDS Berdasarkan Kelompok Umur di DKI Jakarta

Total kumulatif jumlah kasus di DKI Jakarta sampai dengan 30 November 2010 sebesar 7.898 kasus tersebut, tersebar dari kelima wilayah kota di DKI Jakarta. Kontribusi paling tinggi berasal dari Luar DKI Jakarta (tapi masih dalam wilayah pelaporan DKI Jakarta) sebesar 27%, diikuti dengan Jakarta Timur 21%, Jakarta Barat dan Pusat 14%, Jakarta Selatan 13% dan kontribusi paling rendah berasal dari Jakarta Utara (Gambar 5).

(20)

Berdasarkan cara penularan kasus HIV dan AIDS di DKI Jakarta yang dilaporkan hingga November 2010, diketahui bahwa infeksi HIV dan AIDS sebagian besar ditemukan pada kelompok heteroseksual sebanyak 44%, kelompok IDU sebesar 50% dan dari kelompok biseksual sebesar 2%. Penularan dari ibu ke anak menyebabkan 2% kasus pada perinatal, dan infeksi HIV yang ditularkan melalui transfusi darah sekitar 1% (Gambar 6).

Gambar 6. Persentase Kumulatif HIV dan AIDS Berdasarkan Faktor Resiko di DKI Jakarta s.d November 2010

1% 44% 2% 2% 1% 50%

Persentase Kumulatif HIV dan AIDS Berdasarkan

Faktor Resiko di DKI Jakarta s.d November 2010

Homoseksual Heteroseksual Biseksual Perinatal Transfusi IDU

Target yang ditetapkan oleh MDGs adalah prevalensi HIV menurun dan sampai pada tahun 2015 nanti prevalensi HIV lebih kecil dari 0.5, dan target yang ditetapkan oleh Inpres No.3 tahun 2010 adalah prevalensi HIV kurang dari 0.5% pada tahun 2011. Dilihat dari tabel 9. di atas, tampaknya sangat diperlukan kerja keras untuk mengejar target-target tersebut, terutama untuk subpopulasi Penasun dan Waria.

b.2. Penggunaan Kondom pada Hubungan Seks Berisiko Tinggi

Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi adalah perbandingan penduduk yang menggunakan kondom dalam melakukan hubungan seks terakhir dengan pasangan tidak tetap pada 12 bulan terakhir terhadap banyaknya penduduk yang melakukan hubungan seks dengan pasangan tidak tetap, yang dinyatakan dalam persentase. Indikator ini digunakan karena penggunaan kondom merupakan suatu ukuran untuk proteksi dari penularan HIV/AIDS. Penggunaan yang konsisten dengan pasangan tidak tetap akan mengurangi risiko penularan HIV/AIDS saat berhubungan seks.

Pada tingkat Nasional, sebagaimana terpapar dalam Laporan Survei Terpadu Biologi dan Perilaku 2007, tingkat pemakaian kondom pada seks komersial terakhir tertinggi dilaporkan

(21)

pada kelompok Waria (79%) diikuti pada kelompok WPS (66%), LSL (65%), Penasun (54%) dan yang terendah adalah kelompok PPS (29%). Sedangkan konsistensi pemakaian kondom dalam seks komersial pada satu minggu terakhir jauh lebih rendah, yaitu berkisar antara 15% (Pelanggan) – 38% (Waria). Begitu juga dengan konsistensi penggunaan kondom pada hubungan seks dengan pasangan tidak tetap dan non-komersial pada satu bulan terakhir, masih berkisar antara 14% (WPS Langsung) – 34% (Waria).

Data penggunaan kondom untuk DKI Jakarta yang tersedia adalah data penggunaan kondom pada subpopulasi berisiko tinggi yang diperoleh dari laporan IBBS 2004-2005 dan 2007, seperti yang terangkum dalam tabel 2 di bawah ini.

Tabel 5. Proporsi Penggunaan Kondom dengan Pasangan Seks Komersial

IBBS 2004-2005 IBBS 2007

Subpopulasi

Menggunakan kondom pada seks komersial terakhir (%) Selalu menggunakan kondom pada seks komersial (%) Menggunakan kondom pada seks komersial terakhir

(%)

Selalu menggunakan kondom pada seks

komersial (%) Penasun 31.5 10.2 38 5 LSL 66.7 48.2 56 21.6 Waria 80.6 56.1 85 15 WPS langsung 40.6 14.7 10 2 WPS tak langsung 45.5 26.0 87 34

Pelanggan penjaja seks 17.3 7.7 39 37

Dari tabel di atas terlihat bahwa penggunaan kondom pada hubungan seks terakhir dengan pasangan seks komersial untuk subpopulasi tertentu tampaknya sudah cukup tinggi, terutama untuk Waria (80.6% pada tahun 2004-205 dan 85% pada tahun 2007) dan subpopulasi WPS tidak langsung (87% pada tahun 2007). Pada subpopulasi WPS tidak langsung terjadi peningkatan yang cukup tinggi, dari penggunaan kondom 45.5% pada tahun 2004-2005 meningkat menjadi 87% pada tahun 2007. Sedangkan tingkat konsistensi penggunaan kondom pada hubungan seks komersial relatif rendah, kecuali pada Waria (56.1%) dan LSL (48.2%), namun itu pun mengalami penurunan pada tahun 2007 (Waria: 15%; dan LSL 21.6%).

Berdasarkan Evaluasi Program FHI (Pola penggunaan kondom pada Penasun dalam hubungan seksual dengan pasangan komersial, tidak tetap dan tetap, hal 23), berikut adalah deskripsi data dari pola penggunaan kondom pada Penasun yang terakhir berhubungan seks dengan pasangan komersial pada sample penelitian DKI Jakarta sebanyak 331 orang (49,3% dari populasi penelitian sebanyak 672 orang)

(22)

Tabel 6. Konsistensi Penggunaan Kondom pada IDU Pasangan yang dibayar (%) Pasangan yang membayar (%) Intensitas Periode Selalu Tidak Selalu Selalu Tidak Selalu 1 bulan terakhir 38.27 61.73 15 85 1 tahun terakhir 40.23 59.77 15.79 84.21

Berdasarkan data deskriptif di atas, nampak bahwa proporsi penggunaan kondom secara konsisten masih sangat rendah pada Penasun yang mengakses layanan seksual komersial. Dari sudut pandang pengguna layanan seksual, konsistensi penggunaan kondom untuk satu tahun terakhir lebih tinggi lebih tinggi yakni sebesar 40.23%, dibandingkan dengan konsistensi dari penyedia layanan seksual yang hanya sebesar 15.79% pada periode yang sama. Hal ini kemungkinan besar terkait dengan adanya bargaining power (daya tawar)yang lebih besar dari klien untuk menggunakan atau tidak menggunakan kondom daripada dari penyedia jasa layanan. Apabila klien atau pengguna jasa layanan menolak untuk menggunakan kondom, maka penyedia jasa layanan seksual cenderung tidak dapat menolak permintaan kliennya.

Tabel 7. Jumlah Distribusi Kondom di DKI Jakarta tahun 2009

Persentase kondom yang didistribusikan kepada kelompok-kelompok yang berisiko tinggi tertular HIV, masih rendah dan belum merata. Pada tabel 7. di atas, terlihat bahwa kelompok pelanggan penjaja seks di DKI Jakarta pada tahun 2009 memperoleh pasokan kondom paling banyak (41.16%) sedangkan kondom yang didistribusikan kepda kelompok lainnya masih di bawah 20%, sehingga tidak begitu mengherankan apabila tingkat penggunaan maupun tingkat konsistensi penggunaan kondom beberapa pada kelompok risiko tinggi masih rendah.

Triwulan 1 Triwulan 2 Triwulan 3 Triwulan 4 Total %

Penasun 2,702 3,416 3,652 5,803 15,573 19.89 WPS L 2,211 2,797 3,478 2,776 11,262 14.39 WPS TL 891 1,267 2,363 945 5,466 6.98 Waria 1,300 1,961 1,768 1,564 6,593 8.42 LSL 1,522 1,208 924 1,887 5,541 7.08 PPS 10,822 10,822 6,045 4,535 32,224 41.16 Pop Lainnya 391 391 494 348 1,624 2.07 Warga binaan - - - - - 0.00 Total 19,839 21,862 18,724 17,858 78,283 100.00

(23)

b.3. Proporsi usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif

mengenai HIV dan AIDS

Indikator ketiga ini digunakan untuk mengukur efektifitas program penyebarluasan informasi, pendidikan, program komunikasi, dan upaya-upaya untuk meningkatkan pengetahuan tentang cara pencegahan penularan penyakit HIV dan AIDS, khususnya pada populasi orang muda berusia 15-24 tahun. Perhitungan terhadap pencapaian indikator ini didapatkan melalui perbandingan penduduk usia 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang bahaya penyakit HIV dan AIDS terhadap penduduk kelompok usia yang sama, dan dinyatakan dalam persentase. Pengetahuan komprehensif yang dimaksud terdiri dari beberapa variasi, karena masing-masing data yang dipaparkan sebagai hasil dari berbagai pengukuran menggunakan standar yang berbeda-beda untuk mendefinisikan pengetahuan komprehensif dan komponen yang harus terdapat di dalamnya. Namun hasil review menunjukkan antara pengukuran satu dengan yang lainnya memiliki definisi dan komponen yang hampir sama mengenai pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS.

Melihat persentase kasus kumulatif AIDS di Indonesia terbanyak ada pada kelompok usia 20-29 tahun, yaitu 48,1%16, maka pengetahuan komprehensif mengenai HIV dan AIDS pada kelompok

usia 15-24 tahun menjadi kebutuhan yang mutlak penting, karena memiliki pengetahuan merupakan langkah pertama untuk melindungi diri mereka dari risiko penularan HIV. Secara Nasional, hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menunjukkan persentase pengetahuan komprehensif yang sangat rendah baik pada responden pria (12,7%) maupun wanita (9,1%). Khususnya pada responden usia 15-24 tahun, hanya sekitar 9,5% responden wanita dan 14,7% responden pria yang memiliki pengetahuan komprehensif (sampel terbatas hanya pada wanita pernah kawin dan pria kawin). Sedangkan data Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) 2007 menunjukkan hanya 14,3% orang muda berusia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV dan AIDS, walaupun telah terjadi peningkatan dari 11,3% pada tahun 2002-2003 namun dirasa masih sangat rendah (UNGASS Report 2009). Memiliki pengetahuan komprehensif disini maksudnya adalah mengetahui bahwa penggunaan kondom saat berhubungan seksual dan hanya memiliki satu pasangan seksual yang tidak terinfeksi dapat mengurangi risiko penularan HIV, mengetahui bahwa orang yang tampak sehat dapat terkena HIV serta menolak 2 persepsi salah yang paling umum tentang penularan HIV yaitu bahwa HIV dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk dan berbagi makanan dengan ODHA.

Konsisten dengan data yang ditunjukkan oleh survey Nasional, hasil Riset Kesehatan Dasar (RKD) 2007 untuk Propinsi DKI Jakarta menunjukkan dari 2278 responden berusia 15-24

16

(24)

tahun, 79% pernah mendengar (mengetahui) mengenai HIV dan AIDS. Sedangkan yang memiliki pengetahuan mengenai cara pencegahan dan penularan tergambar pada Gambar 7 dan 8.

Gambar 7. Proporsi Kelompok usia 15-24 Berdasarkan Pengetahuan Cara Pencegahan di DKI Jakarta

*sumber: Riset Kesehatan Dasar 2007

Dari grafik di atas terlihat bahwa untuk masing-masing komponen pengetahuan mengenai cara pencegahan HIV terdapat variasi jumlah responden usia 15-24 tahun yang mengetahuinya. Komponen pengetahuan mengenai tidak berhubungan seksual dengan orang yang bukan pasangan tetap menjadi komponen pengetahuan yang paling banyak dimiliki responden usia 15-24 tahun, disusul dengan pengetahuan cara pencegahan terkait penggunaan jarum suntik dan kondom dengan persentase yang hampir sama. Sedangkan untuk dua komponen yang paling sedikit diketahui sebagai cara pencegahan terkait dengan penggunaan pisau cukur dan abstinensia (tidak melalukan hubungan seksual sama sekali).

(25)

Gambar 8. Proporsi Kelompok usia 15-24 tahun Berdasarkan Pengetahuan Cara Penularan di DKI Jakarta

*Gambar 11&12 :Populasi Sampel : 2882 , responden usia 15-24 tahun : 2278 orang Sumber : Riset Kesehatan Dasar 2007, Litbangkes,Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Untuk pengetahuan mengenai cara penularan HIV, melalui hubungan seksual merupakan cara penularan yang paling banyak diketahui oleh kelompok responden usia 15-24 tahun, diikuti dengan pengetahuan mengenai cara penularan melalui penggunaan jarum suntik. Pengetahuan terkait cara penularan HIV dari Ibu ke bayi, baik selama hamil maupun melalui proses menyusui (memberikan ASI) masih menunjukkan persentase yang sangat rendah.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (RKD) terakhir, tahun 2010 menunjukkan masih terdapat kesenjangan yang besar antara responden yang pernah mendengar dengan yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV dan AIDS di Provinsi DKI Jakarta, yaitu 82,7% responden pernah mendengar dan hanya 21,7% yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV dan AIDS. Pengetahuan komprehensif dalam RKD 2010 didefinisikan hampir sama seperti SDKI 2007, namun dengan penambahan komponen pengetahuan bahwa dengan tidak menggunakan jarum suntik bersama akan mencegah penularan HIV. Selain kesenjangan yang besar antara pernah mendengar dan memiliki pengetahuan komprehensif, data RKD 2010 juga menunjukkan bahwa Laki-laki memiliki persentase lebih tinggi dalam hal pernah mendengar (L : 62,1%; P:53,1%) dan memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV dan AIDS (L:13%; P: 9,8%) dibandingkan perempuan.

Hampir sama dengan data yang ditunjukkan oleh RKD 2010, hasil Survey Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Indonesia (SSP) 2004-2005 menunjukkan 99,8% remaja di Jakarta tahu mengenai HIV/AIDS, 96,4% tahu bahwa HIV dapat dicegah. Persentase yang ada menunjukkan hampir semua responden remaja dalam survey tahu mengenai HIV. Namun secara keseluruhan (baik responden remaja laki-laki dan perempuan), 79,4% tahu setidaknya salah satu cara pencegahan penularan HIV (penularan melalui seks atau penggunaan jarum suntik bersama)

(26)

dan hanya 21,9% yang tahu semua cara pencegahan HIV. Berikut adalah persentase responden remaja di Jakarta menurut pengetahuan tentang cara pencegahan HIV dari SSP 2004-2005 dan STBP 2007.

Tabel 8. Persentase Remaja menurut Pengetahuan mengenai Cara Pencegahan Penularan HIV di DKI Jakarta

Cara Pencegahan yang diketahui SSP 2004-2005 %

STBP 2007 % Tidak berhubungan seksual sebelum menikah 64,4 63 Berhubungan seksual sebaiknya hanya dengan

1 pasangan yang setia 48,6 57

HIV dapat dicegah dengan menggunakan

Kondom saat berhubungan seksual 67,2 73

Tidak menggunakan jarum suntik bersama-sama

Dapat mencegah HIV 82,7 92

Terkait dengan pengetahuan mengenai cara pencegahan, masih ditemukan adanya pengetahuan yang salah mengenai cara pencegahan penularan HIV di kalangan remaja di Jakarta berdasarkan hasil SSP 2004-2005 dan STBP 2007 seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 9. Persentase Remaja menurut Pengetahuan mengenai Cara Pencegahan HIV yang salah di DKI Jakarta

Cara Pencegahan HIV yang salah SSP 2004-2005 % STBP 2007 %

Minum obat sebelum berhubungan seksual 2,7 2

Menghindari gigitan nyamuk/serangga 4,2 5

Tidak menggunakan pakaian atau alat makan bersama-sama 18,6 20

Makan makanan bergizi 10,3 16

Bisa mengetahui orang yang sudah terinfeksi hanya dengan

melihatnya NA 36

b.4. Proporsi populasi orang yang berada pada tahap infeksi HIV lanjut yang bisa

mengakses ARV

Perawatan, dukungan dan pengobatan merupakan salah satu komponen program dalam kerangka penanggulangan HIV dan AIDS. Di Indonesia, akses pengobatan bagi ODHA sudah dimulai sejak dari awal ditemukannya kasus HIV dan AIDS. Sampai sekarang, berbagai upaya telah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pengobatan dan perawatan bagi mereka yang terinfeksi HIV. Penyediaan Obat Antiretroviral (ARV), sebagai bagian dari komponen tersebut, menjadi salah satu intervensi yang paling penting dalam strategi untuk mencegah kematian dan penyebaran infeksi HIV lebih lanjut. Perhatian dan komitmen pemerintah untuk memenuhi kebutuhan ARV ini, mulai terlihat dengan dikeluarkannya Kepres No.83 tahun 2004 yang menjamin penggunaan lisensi wajib dua jenis obat ARV di Indonesia (Nevirapin dan Lamivudine) yang kemudian dilanjutkan pada tahun 2007, Presiden mengeluaran Kepres yang mengatur lisensi wajib tiga jenis obat ARV (Nevirapin, Lamivudine dan Efavirenze). Pada tahun yang sama pemerintah juga menyediakan obat ARV generik dan diberikan secara gratis,

(27)

terutama kepada ODHA yang miskin. Pada tahun 2004 tersebut, pemerintah juga telah menetapkan 25 rumah sakit yang ditunjuk untuk memberikan layanan pengobatan ARV, yang kemudian meningkat menjadi 75 rumah sakit di tahun 2007 dan 123 rumah sakit rujukan dan 26 rumah sakit satelit yang memberikan layanan pengobatan ARV.

Berdasarkan laporan Kementrian Kesehatan sampai dengan Juni 2010, sudah 29,581 (76.20%) ODHA yang mendapatkan pengobatan ARV dari 38,817 ODHA yang menjalani pengobatan dan memenuhi syarat untuk pengobatan ARV di 182 rumah sakit seluruh Indonesia yang menyediakan pelayanan dan pengobatan HIV. DKI Jakarta, sebagaimana Nasional, juga mencanangkan program terapi ARV sebagai elemen penting dalam upaya penanggulangan HIV. Berdasarkan proyeksi ODHA di DKI Jakarta pada tahun 2007 yang berjumlah 29,030 dan akan terus meningkat menjadi 68,140 pada tahun 2012, sepuluh persen dari jumlah ini diperkirakan memerlukan pengobatan ARV dan pelayanan kesehatan lainnya.17 Gambaran capaian

pelaksanaan program perawatan ARV di DKI Jakarta terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 10. Laporan Perawatan HIV di DKI Jakarta Tahun 2008 - 2010

Jumlah

Periode Klien yang

Masuk Perawatan HIV Klien yang memenuhi syarat ARV Klien yang pernah menerima ARV

Klien yang masih menerima ARV

Sept 2008 12,953 8,721 7,004 4,351

Sept 2009 17,280 12,158 9,555 6,135

Sept 2010 22,234 16,853 12,773 8,404

Sumber: Data Subdit AIDS, Kementrian Kesehatan RI

Sampai dengan September 2010, telah 22,234 orang terinfeksi HIV yang mengakses layanan kesehatan di 20 rumah sakit di DKI Jakarta. 75.80% dari mereka, memenuhi syarat untuk mengakses ARV dan 75.79% dari yang memenuhi syarat ARV tersebut, pernah menerima pengobatan ARV. Dari catatan subdit AIDS Kementrian Kesehatan tersebut, terlihat sedikit penurunan proporsi pasien yang pernah mengakses ARV terhadap pasien yang memenuhi syarat ARV, dari 80.31% di tahun 2008 menjadi 78.60% di tahun 2009 dan 75.80% di tahun 2010. Namun pasien yang masih menjalankan terapi ARV menunjukkan kenaikan walaupun tidak terlalu besar. Pada tahun 2008, 62.12% ODHA yang tetap menjalankan pengobatan ARV, angka ini naik menjadi 64.21% pada tahun 2009 dan juga mengalami kenaikan di tahun 2010 menjadi 65.80%.

17

(28)

Tabel 11. Persentase Klien Yang Tidak Melanjutkan Pengobatan ARV di DKI Jakarta Persentase (%)

Periode Meninggal LFU Rujuk ke Luar Berhenti

September 2008 33.72 16.27 6.00 4.99 September 2009 29.44 15.47 4.40 6.44 September 2010 28.43 11.66 5.57 6.33

Sumber: Data Subdit AIDS, Kementrian Kesehatan RI

Ada beberapa alasan yang tercatat pada data Subdit AIDS, Kementrian Kesehatan RI mengapa seorang pasien tidak melanjutkan pengobatan ARVnya. Pada Tabel 11 di atas, terlihat bahwa pasien tidak melanjutkan lagi pengobatannya karena meninggal merupakan presentase paling tinggi, namun angka tersebut tampak cenderung menurun dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010.

Akses universal dari program perawatan ARV ini, dapat dilihat dari proporsi pasien yang masih menerima ARV terhadap pasien yang memenuhi syarat pengobatan ARV. Akses universal program perawatan ARV ini merupakan indikator akses universal bagi semua orang yang membutuhkan pengobatan HIV dan AIDS yang menjadi salah satu target MDGs. Tampak pada Tabel 12 di bawah ini, setengah dari pasien HIV yang memenuhi syarat pengobatan ARV sudah mendapatkan pengobatan ARV, walaupun dari tahun 2008 sampai dengan 2010, dapat dikatakan tidak ada peningkatan yang cukup signifikan dalam akses universal perawatan ARV di DKI Jakarta.

Tabel 12. Akses Universal Perawatan ARV di DKI Jakarta Th. 2008 - 2010

Periode

Universal Akses Program Perawatan ARV

(%)

September 2008 49.89

September 2009 50.46

September 2010 49.87

(29)

BAB 3 DISKUSI

Penyebaran infeksi HIV di DKI Jakarta masih terkonsentrasi pada subpopulasi risiko tinggi, yaitu pengguna napza suntik, wanita pekerja seks, laki-laki berisiko tinggi (Waria, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, dan pelanggan penjaja seks), terlihat dari masih tingginya prevalensi HIV pada subpopulasi tersebut. Sedangkan Prevalensi pada populasi umum masih belum dapat terpotret dengan baik, karena sampai saat ini masih belum pernah dilakukan survey untuk mengukur tingkat prevalensi HIV pada populasi umum tersebut. Oleh karena itu, untuk mencapaian target MDGs maupun target yang diinstruksikan oleh Presiden guna percepatan pencapaian MDGs, masih tetap perlu dipertahankan bahkan perlu adanya penguatan dan peningkatan program-program penanggulangan HIV dan AIDS kepada subpopulasi risiko tinggi tersebut. Juga, tidak semua indikator dalam tujuan keenam MDGs diadopsi oleh Indonesia. Indikator prevalensi pada ibu hamil yang seharusnya menjadi indikator pertama, diadaptasi oleh Indonesia menjadi prevalensi pada populasi umum, dan indikator keempat yaitu proporsi anak yatim usia 10-14 tahun yang mengikuti pendidikan formal juga tidak dijadikan sebagai indikator dalam tujuan menangani berbagai penyakit menular paling berbahaya di Indonesia. Hal ini menunjukkan belum adanya prioritas untuk program-program pada kelompok tertentu seperti Ibu hamil dan anak-anak.

Oleh karena itu sebagaian besar data-data yang diperoleh pada kajian ini adalah data-data pada subpopulasi tersebut. Secara umum, hasil kajian studi ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan penurunan prevalensi pada beberapa populasi kunci, peningkatan tingkat penggunaan kondom dibanding tahun-tahun sebelumnya untuk beberapa populasi, dan meningkatnya pengetahuan komprehensif tentang HIV pada remaja serta semakin banyaknya jumlah ODHA yang menerima perawatan ARV. Tabel berikut ini disusun berdasarkan target capaian MDGs dan Inpres 2010 yang dibandingkan dengan situasi pada populasi kunci dan remaja.

(30)

Tabel 13. Rangkuman Capaian Indikator MDGs untuk Program Penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta Indikator Target Capaian MDGs Inpres No.3 th. 2010

Prevalensi HIV < 0.5 < 0.5% Penasun 55%

LSL 8% Waria 34% WPS Langsung 10% WPS Tidak Langsung 6% Pelanggan Penjaja Seks 0 Penggunaan Kondom

pada Kelompok Risiko Tinggi

65% 35% (Perempuan) 20% (Laki-laki) Penasun 38% LSL 56% Waria 85% WPS Langsung 10% WPS Tidak Langsung 87% Pelanggan Penjaja Seks 39% Proporsi Remaja yang Memiliki

Pengetahuan Komprehensif mengenai HIV dan AIDS

95% 70% 21.7%

Proporsi Orang dengan infeksi HIV lanjut yang bisa mengakses ARV

100% 70% 49.87%

Indikator yang digunakan dalam target MDGs adalah prevalensi HIV pada kelompok usia 15-24 tahun. Sampai dengan tahun 2010, belum pernah dilakukan survey mengenai status infeksi HIV kepada populasi umum maupun remaja, sehingga untuk menjawab target indikator ini digunakan prevalensi pada subpopulasi risiko tinggi dengan menggunakan alur berfikir bahwa rata-rata umur pertama kali melakukan perilaku berisiko adalah 16-20 tahun18, dengan demikian kemungkinan mereka terinfeksi

HIV juga pada rentang usia yang sama. Pada Tabel 9. di atas terlihat bahwa prevalensi HIV pada subpopulasi LSL, WPS langsung, WPS tidak langsung dan pelanggan penjaja seks, berkisar antara 0% – 10%. Angka tersebut diperoleh pada tahun 2007, sehingga untuk tahun 2011 nanti target prevalensi <0.5% dapat dicapai dengan mempertahankan program-program yang selama ini berhasil dilakukan pada subpopulasi tersebut. Namun yang akan menjadi pekerjaan rumah terberat adalah menurunkan prevalensi HIV pada kelompok Penasun dan Waria, karena angka prevalensi yang cukup tinggi pada kedua kelompok tersebut (Penasun 55%; dan Waria 34%). Untuk mendukung keberhasilan capaian indikator pertama ini, dua indikator lainnya yaitu, penggunaan kondom pada hubungan seks risiko tinggi dan pengetahuan komprehensif pada remaja juga perlu mendapat perhatian yang serius.

Penggunaan kondom pada hubungan seks risiko tinggi, merupakan upaya efektif yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan virus HIV. Hampir semua kelompok risiko tinggi sudah mencapai target (30% untuk perempuan dan 20% untuk laki-laki) yang diinstruksikan oleh Presiden melalaui Inpres No. 3 tahun 2010, dalam hal penggunaan kondom pada hubungan seks yang berisiko. Namun untuk

18

(31)

pencapaian target MDGs, dimana penggunaan kondom pada hubungan seks risiko tinggi sebesar 65%, masih perlu pengawalan yang ketat dalam program-program promosi penggunaan kondom serta distribusinya. Banyak faktor yang mempengaruhi masih rendahnya tingkat penggunaan kondom di kalangan subpopulasi risiko tinggi. Adanya stigma yang berkaitan dengan pembelian, penjualan dan penggunaan kondom, seperti: pandangan bahwa orang yang membeli kondom akan melakukan hubungan seks yang tidak sah, persepsi di kalangan pria yang mengatakan bahwa kondom mengurangi kenikmatan, merupakan salah satu faktor penghambat penggunaan kondom. Kurangnya ketersediaan kondom di tempat pada waktu yang dibutuhkan juga merupakan hal lain yang dapat mempengaruhi rendahnya penggunaan kondom19. Bahkan kondom seringkali masih mendapat kendala dalam proses

distribusinya. Salah satu kendala signifikan yang dialami adalah kurangnya dukungan politik yang kuat bagi implementasi program-program distribusi kondom. Meskipun di beberapa daerah sudah terdapat aturan-aturan yang mendukung, namun penegakan dan implementasi riil dari aturan-aturan tersebut masih sangat lemah atau tidak ada sama sekali. Hal ini juga terkait dengan pertimbangan politis dari para tokoh masyarakat dan pemangku kepentingan untuk menghindari membuat keputusan yang tidak populer apabila mendukung program penggunaan kondom. Perspektif religius yang konservatif di beberapa daerah juga berperan dalam menghambat program kondom.

Tidak hanya distribusi dan penggunaan kondom pada hubungan seks risiko tinggi yang mempengaruhi menekan penularan HIV, konsistensi penggunaan kondom juga sangat penting untuk diperhatikan. Masih rendahnya angka konsistensi penggunaan kondom, berkisar antara 5%-21%, pada kelompok risiko tinggi juga menambahkan satu lagi pekerjaan rumah yang perlu disiasati melalui program-program strategis untuk mengendalikan penyebaran dan menurunkan jumlah kasus HIV baru maupun guna memenuhi target indikator yang kedua, meningkatkan penggunaan kondom pada hubungan seks risiko tingga hingga tahun 2015 nanti.

Untuk indikator yang yang ketiga, proporsi remaja yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV dan AIDS masih dapat dikatakan rendah dalam pencapaiannya sampai dengan tahun 2010 ini. Walaupun proporsi remaja di DKI Jakarta yang mengetahui (pernah mendengar) mengenai HIV dan AIDS cukup tinggi (82.7%), tetapi hanya 21.7% yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV dan AIDS. Dari pengetahuan mengenai cara penularan HIV yang dimiliki oleh remaja, penularan melalui hubungan seksual merupakan cara penularan yang paling banyak mereka ketahui (93.9%, data IBBS 2007). Melihat pesan pencegahan yang seringkali disebarkan (himbauan untuk abstinen, no free sex, no drugs) terutama untuk orang muda, wajar jika pengetahuan cara penularan melalui hubungan seksual dan penggunaan jarum suntik menjadi cara penularan yang paling banyak diketahui, namun yang juga perlu mendapat perhatian adalah detail informasi yang dianggap penting untuk setiap komponen pengetahuan terkait (misalnya hubungan seks yang menularkan adalah dengan orang yang sudah tertular HIV, berbagi air pembersih jarum juga dapat menularkan virus HIV) dengan kedua cara penularan ini

19 Lihat harian Pelita

(32)

karena hanya dengan mengetahui cara penularan tanpa tahu detail informasinya seringkali membuat orang muda gagal melindungi dirinya dari HIV dan AIDS atau penyakit menular lainnya.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, upaya peningkatan pengetahuan mengenai HIV pada kelompok usia ini menjadi sangat penting karena data-data yang ada menunjukkan bahwa perilaku berisiko sudah mulai dilakukan pada rentang usia ini, bahkan lebih muda. IBBS (Integrated Bio-Behavioral Survey) atau Surveilans Terpadu Biologi Perilaku (2007) pada kelompok berisiko menunjukkan bahwa responden mulai melakukan perilaku berisiko, termasuk penggunaan napza suntik dan perilaku seks yang tidak aman pada usia 13-20 tahun. Hasil penelitian terakhir mengenai jaringan seksual pada pengguna napza suntik (FHI & ARC, 2010) juga menunjukkan bahwa usia pertama kali responden mulai menggunakan napza adalah 13-16 tahun. Data-data ini semakin memperkuat alasan diperlukannya pengetahuan memadai mengenai HIV dan hal lain yang sangat erat kaitannya, yaitu napza, seksualitas dan kesehatan reproduksi sejak dini, juga menegaskan pentingnya peran sektor pendidikan mengingat sebagian besar dari populasi pada rentang usia 15-24 tahun seharusnya masih berada pada tingkat pendidikan menengah sampai perguruan tinggi. Strategi pencegahan berbasis sekolah harus memberikan penekanan pada usaha pencegahan melalui pendidikan ketrampilan dasar hidup, dan pengadaan materi-materi Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) serta strategi advokasi. Hingga saat ini, pemberian informasi kepada remaja di sekolah biasanya dilakukan melalui kegiatan penyuluhan, baik atas dasar inisiatif sekolah maupun lembaga di luar sekolah (pemerintah dan non pemerintah) yang memiliki program pemberian informasi mengenai HIV dan narkoba kepada remaja. Hasil SSP 2004-2005 menunjukkan 84.5% responden remaja di Jakarta pernah mendapat penyuluhan mengenai Narkoba, dan lebih dari 50% responden pernah mendapat penyuluhan tentang HIV di sekolah (57.6%). Namun hanya 30.2 % yang pernah mendapat pendidikan untuk menolak seks dan narkoba, dan hanya 17.9% yang pernah mendapat penyuluhan tentang kesehatan reproduksi di sekolah. Tidak jauh berbeda dengan data ini, hasil STBP 2007 menunjukkan persentase yang tinggi pada remaja di Jakarta yang pernah mendapat penyuluhan napza (81%) dan HIV/AIDS (62%), namun masih sangat rendah untuk intervensi dalam bentuk ketrampilan bernegosiasi untuk menolak seks dan napza (35%), penyuluhan kesehatan reproduksi (26%), pendidik sebaya/peer educator (20%), dan penyuluhan mengenai Infeksi Menular Seksual/IMS (17%) di sekolah. Menarik untuk dilihat lebih lanjut, hasil SSP (2004-2005) menunjukkan persentase lebih tinggi pada remaja di Jakarta yang mendapat penyuluhan HIV untuk berperilaku berisiko (27.8%) dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan penyuluhan (17.4%).

Namun pada kenyataannya usaha bersifat represif lebih sering dilakukan dibandingkan promosi terhadap usaha pencegahan.20 Lebih dari itu, penyedia informasi diharapkan dapat menjangkau generasi muda

yang berada diluar sekolah karena biasanya mereka yang berada di luar sekolah lebih rentan untuk melakukan perilaku berisiko. Akses informasi harus tersedia bagi generasi muda dengan asumsi bahwa semakin dini mereka memperoleh informasi maka semakin cepat pula langkah antisipatif dilakukan untuk dapat melindungi mereka dari berbagai risiko tertular penyakit.

20

Gambar

Tabel 1. Layanan Program Penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta tahun 2009
Gambar 1. Jumlah Kumulatif Kasus HIV dan AIDS di Provinsi DKI Jakarta
Gambar 3. Persentase Kumulatif Kasus HIV &amp; AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin di DKI Jakarta s.d November 2010
Gambar 4. Persentase Kumulatif Kasus HIV dan AIDS Berdasarkan Kelompok Umur di DKI Jakarta
+7

Referensi

Dokumen terkait

- Menimbang, bahwa selanjutnya dalam mempertimbangkan suatu perbuatan pidana, sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri Para Terdakwa, maka dalam hukum pidana terdapat dua hal

Jenis tanaman berperawakan rendah di pekarangan Kecamatan Teluknaga, Citeureup dan Pacet ( K = konstansi keterdapatan ) No. Cabe besar Pandan wangi Belitung Panglai Opiopogon

Mencermati Dugaan Kasus Manipulasi Pajak Asian Agri, (Jawa Pos Online, tanggal 8 November 2007), internet, diunduh tanggal 4 April 2008 Dali Bouzoraa, Transfer Pricing

Peserta mampu memahami, menjelaskan, dan menganalisis konsep dan aplikasi balanced score card pada Instansi Pemerintahan. Hasil belajar ini dituangkan ke dalam

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat terselesaikannya Skripsi dengan judul “RISK MANAGEMENT KESELAMATAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis wacana kritis Fairclough yang memadukan kombinasi tradisi analisis tekstual bahasa dalam ruang tertutup, dengan konteks masyarakat

Rangsangan maksimal merupakan rangsangan yang lebih besar daripada rangsangan liminal dan mampu menimbulkan kontraksi otot maksimal, sementara rangsangan supramaksimal merupakan

Perbandingan di sini dapat berarti membandingkan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat dalam beberapa bahasa atau dapat pula berarti membandingkan unsur unsur kebahasaan yang