• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN...................................................... 97-111

5.2. Diskusi

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara kepribadian the HEXACO model of personality dan sense of humor terhadap psychological well-being (studi pada jurnalis di DKI Jakarta). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Naser Aghababaei dan Akram Arji (dalam Journal of Personality and Individual Differences, 2013) yang menunjukkan bahwa dimensi HEXACO signifikan memprediksi semua aspek psychological well-being dan penelitian Thomas R. Herzog dan Sarah J. Strevey (dalam Journal of Environment and Behavior, 2008) yang menunjukkan bahwa sense of humor adalah prediktor independent dan additive dari aspek-aspek tertentu dari psychological well-being.

Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa ada pengaruh positif dari dimensi honesty-humility dari the HEXACO model of personality terhadap psychological well-being dengan sumbangan varians terbesar sebanyak 6.4%. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa individu dengan skor honesty-humility yang tinggi cenderung memiliki psychological well-being yang tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Naser Aghababaei dan Akram Arji (2013) bahwa faktor honesty-humility terkait dengan tingkat yang lebih tinggi psychological well-being, dengan subfaktor honesty (aspek dan fairness) beroperasi sebagai pendorong utama untuk hubungan tersebut. Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa honesty-humility dari HEXACO PI-R berkorelasi dengan psychological well-being (aspek-aspek Ryff) dan dinyatakan signifikan.

Seseorang yang memiliki honesty-humility cenderung menghindari memanipulasi orang lain untuk keuntungan pribadi, merasa sedikit godaan untuk melanggar peraturan, tidak tertarik pada kekayaan mewah dan kemewahan, dan merasa tidak ada hak istimewa dengan status sosial tinggi (Lee & Ashton, 2002), sehingga dapat berpengaruh positif terhadap psychological well-being.

Selanjutnya, berdasarkan penelitian ini bahwa ada pengaruh positif dari dimensi openness to experience dari the HEXACO model of personality dengan sumbangan varians sebanyak 6.2% terhadap psychological well-being. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa individu dengan skor openness to experience yang tinggi cenderung memiliki psychological well-being yang tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Naser Aghababaei dan Akram Arji (2013) menggunakan skala Ryff versi 42 item sebagai alat ukur psychological well-being dan menggunakan 60 item skala dari HEXACO Personality Inventory-Revised untuk mengukur kepribadian. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa openness to experience dari HEXACO PI-R berkorelasi dengan psychological well-being (aspek-aspek Ryff) dan dinyatakan signifikan.

Openness to experience dapat membangun pertumbuhan pribadi. Dimensi kepribadian opennes to experience sering dikaitkan dengan intelektualitas, ketertarikan pada hal-hal yang baru, innovativeness, dan keterbukaan terhadap pengalaman baru (John & Srivastava, 1999). Individu ini memiliki keinginan dan keyakinan untuk dapat melakukan tugas-tugas yang dihadapinya. Pencapaian kreatifitas lebih banyak pada orang yang memiliki tingkat openness to experience yang tinggi dan tingkat agreeableness yang rendah (Costa & McCrae, 1992).

Seseorang yang kreatif, memiliki rasa ingin tahu, atau terbuka terhadap pengalaman lebih mudah untuk mendapatkan solusi untuk suatu masalah. Oleh karena itu, dimensi kepribadian openness to experience dapat berpengaruh positif terhadap psychological well-being.

Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian ini bahwa tidak ada pengaruh dari dimensi emotionality dari the HEXACO model of personality terhadap psychological well-being. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Naser Aghababaei dan Akram Arji (2013) bahwa dimensi emotionality dari HEXACO PI-R berkorelasi secara negatif dengan psychological well-being (aspek-aspek Ryff) namun dinyatakan signifikan.

Skor tinggi pada dimensi emotionality cenderung mengalami ketakutan bahaya fisik, pengalaman kecemasan dalam menghadapi tekanan hidup, merasa perlu dukungan emosional dari orang lain, serta merasa empati dan sentimental attachments dengan orang lain (Lee & Ashton, 2007). Sehingga, kepribadian emotionality kurang sesuai dengan karakteristik dari pekerjaan sebagai jurnalis.

Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian ini bahwa tidak ada pengaruh dari dimensi extraversion dari the HEXACO model of personality terhadap psychological well-being. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Naser Aghababaei dan Akram Arji (2013) yang menunjukkan bahwa dimensi extraversion dari HEXACO PI-R berkorelasi dengan psychological well-being (berdasarkan aspek-aspek Ryff) dan dinyatakan signifikan.

Seseorang dengan skor tinggi pada dimensi extraversion ini, disaat seseorang tersebut memiliki masalah maka dengan emosi positifnya ia dapat mengontrol emosi. Begitu pula dengan tingkat motivasi dalam bergaul biasanya cukup tinggi, sehingga memudahkan ia untuk berbagi dalam menyelesaikan masalah. Hal ini sangat mendukung untuk berpengaruh positif bagi psychological well-being. Namun, hasil penelitian untuk dimensi extraversion ini pada koefisien regresi dalam uji regresi berganda maupun proporsi varians pada masing-masing variabel independen menunjukkan hasil yang tidak signifikan, walaupun pada hasil kategorisasi paling banyak berada di kategori tinggi.

Bila dilakukan analisis lebih dalam terhadap item-item yang digunakan untuk mengukur kepribadian extraversion, pada item nomor 34 terdapat kalimat

yang ambiguitas, contohnya “Dalam situasi sosial, saya biasanya menjadi orang

yang memulai melakukan sesuatu hal pertama kali” atau dalam item aslinya “In social situations, Im usually the one who makes the first move”. Kalimat yang memiliki makna kurang jelas tersebut mungkin mengakibatkan sampel salah dalam menginterpretasikan item. Hal ini yang mungkin dapat menjadi penyebab mengapa hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian terdahulu.

Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian ini bahwa tidak ada pengaruh dari dimensi agreeableness dari the HEXACO model of personality terhadap psychological well-being. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Naser Aghababaei dan Akram Arji (2013) yang menunjukkan bahwa dimensi agreeableness dari HEXACO PI-R berkorelasi dengan

psychological well-being (berdasarkan aspek-aspek Ryff) dan dinyatakan signifikan.

Agreeableness dapat disebut juga social adaptibility atau likability yang mengindikasikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Berdasarkan penelitian, seseorang yang memiliki skor tinggi pada kepribadian agreeableness digambarkan sebagai seseorang yang memiliki nilai suka membantu, pemaaf, dan penyayang (John, Robins, & Pervin, 2001). Namun, ditemukan pula sedikit konflik pada hubungan interpersonal orang yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi. Selain itu, menghindar dari usaha langsung dalam menyatakan kekuatan sebagai usaha untuk memutuskan konflik dengan orang lain merupakan salah satu ciri dari seseorang yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi.

Berdasarkan yang telah dijelaskan pada bab 1 mengenai latar belakang masalah penelitian ini bahwa menjadi jurnalis berarti memasuki kawasan kerja yang bebannya berlipat-lipat dan rentan terhadap konflik. Bahkan, tidak jarang dalam keseharian pekerjaannya mereka sering dihadapkan pada dilema antara mencari informasi dan menjaga keselamatan diri. Sehingga, hasil dari penelitian ini menjadi tidak sejalan dengan penelitian terdahulu. Menurut hasil observasi penulis, dalam pekerjaan seorang jurnalis mereka cenderung menggunakan power yang tinggi, serta cenderung untuk lebih agresif dan kurang kooperatif akibat tuntutan dari sebuah profesi maupun perusahaan tempat ia bekerja.

Selanjutnya, dimensi conscientiousness dari the HEXACO model of personality juga tidak berpengaruh terhadap psychological well-being. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Naser Aghababaei dan Akram Arji (2013) yang menunjukkan bahwa dimensi conscientiousness dari HEXACO PI-R berkorelasi dengan psychological well-being (berdasarkan aspek-aspek Ryff) dan dinyatakan signifikan.

Seseorang yang memiliki kepribadian conscientiousness biasanya mengatur waktu dan lingkungan fisik mereka, bekerja dengan cara disiplin terhadap tujuan mereka, berusaha untuk akurasi dan kesempurnaan dalam tugas-tugas mereka, dan sangat hati-hati ketika membuat keputusan sehingga dapat berpengaruh positif pada psychological well-being. Salah satu indikator dari conscientiousness, yaitu perfectionism dimana menilai kecenderungan secara menyeluruh dan sangat peduli dengan detail, selalu memeriksa dengan seksama suatu kesalahan dan melakukan perbaikan. Dengan pekerjaan sebagai jurnalis yang biasanya dikejar oleh deadline, maka mereka lebih mentolerir beberapa kesalahan dalam pekerjaan mereka dan cenderung mengabaikan detail.

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Thomas R. Herzog dan Sarah J. Strevey (dalam Journal of Environment and Behavior, 2008) yang menunjukkan bahwa sense of humor adalah prediktor independent dan additive dari aspek-aspek tertentu dari psychological well-being. Namun, di dalam hasil penelitian ini tidak ada dimensi dari sense of humor yang hasilnya signifikan terhadap psychological well-being. Hal ini berkaitan dengan hasil kategorisasi pada dimensi-dimensi sense of humor yang kebanyakan berada pada kategori

rendah, terutama pada dimensi humor production dan social uses of humor. Humor production adalah bagaimana seseorang dapat meghasilkan, memproduksi atau melontarkan humor dan social uses of humor adalah penggunaan humor untuk tujuan sosial.

Michael Mulkay (dalam Martin, 2007) mengemukakan bahwa fungsi lelucon mungkin lebih berkaitan dengan ekspresi sosial, topiknya biasa dianggap tabu oleh budaya. Ada beberapa jenis humor yang dianggap tidak pantas dikatakan pada situasi normal, namun ada pula yang dapat diterima oleh

lingkungan sosial karena dalam arti “hanya bercanda” atau tidak dianggap serius. Fenomena tersebut yang mungkin saja terjadi pada para jurnalis yang menjadi sampel dalam penelitian ini, dimana dalam mengekspresikan humor setiap orang tentunya akan berbeda-beda, begitu pula dengan selera humor mereka. Perbedaan situasi lingkungan sosial yang ada pada jurnalis inilah yang mungkin menjadi salah satu penyebab hasil dari penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu.

Variabel jenis kelamin tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap psychological well-being. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Creed dan Watson (2003) dimana dalam penelitiannya, ia meneliti apakah ada perbedaan antara pria dan wanita pada interaksi bekerja dan manfaat nyata dari bekerja sebagai prediktor psychological well-being. Hasilnya ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan tingkat psychological well-being antara pria dan wanita. Perez (2012) memperkuat hasil temuan dari penelitian ini. Ia menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada seluruh dimensi dari psychological well-being antara pria dan wanita. Perbedaannya pada wanita

memiliki skor yang lebih rendah pada dimensi autonomy dibandingkan dengan pria.

Menurut Pastor Shantha Sagara Hettiarachchi (2012), editor mingguan Katolik Gnanartha Pradeepaya (Cahaya Kebijaksanaan), perempuan tampaknya lebih baik dalam beberapa hal ketimbang rekan-rekan pria mereka. Menurutnya, wartawati lebih baik dalam laporan investigasi daripada pria. Oleh karena itu, ia juga berpendapat bahwa harus ada keseimbangan gender di media dan kita harus mendukung mereka (para wartawati). Sehingga hal tersebut dapat mendukung hasil dari penelitian ini, yang menyebutkan bahwa variabel jenis kelamin tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap psychological well-being.

Variabel usia juga tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap psychological well-being. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Arnold (2007) tentang hubungan antara transformational leadership dengan psychological well-being. Lebih lanjut Arnold (2007) juga melihat pengaruh usia dan jenis kelamin. Hasilnya tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap psychological well-being. Namun, hal ini tidak sesuai dengan Ryff dan Keyes (1995) yang mengemukakan bahwa perbedaan usia mempengaruhi perbedaan dalam dimensi-dimensi psychological well-being. Dalam penelitiannya, Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia, terutama dari dewasa muda hingga dewasa madya. Dimensi hubungan positif dengan orang lain juga mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia. Sebaliknya, dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi memperlihatkan penurunan seiring

bertambahnya usia, penurunan ini terutama terjadi pada dewasa madya hingga dewasa akhir. Namun, pada dimensi penerimaan diri dalam penelitian tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan selama usia dewasa muda hingga dewasa akhir.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa usia tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap psychological well-being dapat disebabkan karena sampel penelitian pada usia dewasa awal jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan sampel penelitian pada usia dewasa madya. Selain itu, hasil kategorisasi psychological well-being dari hasil sebaran pada variabel psychological well-being paling banyak berada pada kategori rendah. Sehingga, ini berarti bahwa psychological well-being jurnalis di wilayah DKI Jakarta mungkin memang masih rendah, yang salah satunya dapat diakibatkan oleh kesejahteraan hidupnya yang masih rendah dan belum terjamin, sementara pekerjaannya lebih banyak menguras waktu, tenaga, serta pikiran setiap harinya. Selain itu, pekerjaan jurnalis memang sudah dikenal sebagai pekerjaan yang beresiko tinggi dan penuh tekanan. Resiko teror, dimaki narasumber atau terjebak kerusuhan, hanyalah sebagian dari resiko tersebut. Selain banyak berhubungan dengan manusia lain, tekanan juga bisa datang dari keredaksian (kantor), karena jurnalis dituntut untuk memperoleh berita yang profesional sesuai dengan deadline yang ditentukan. Bahkan, tekanan tersebut juga datang dari lingkungan keluarga, di mana seorang jurnalis memiliki keluarga yang harus diperhatikan dan diayomi.

Selanjutnya ditemukan hasil bahwa variabel penghasilan dengan > 7 juta cenderung lebih memiliki psychological well-being. Hasil ini sesuai dengan Ryff,

dkk (dalam Ryan & Deci, 2001) yang mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan pribadi. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya. Menurut Davis (dalam Rahayu, 2008), individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological well-being yang lebih tinggi. Adanya kesuksesan-kesuksesan (termasuk materi) dalam kehidupan merupakan faktor protektif yang penting dalam menghadapi stres, tantangan, dan musibah (Ryff & Singer, 2002).

Variabel terakhir yaitu intensitas pekerjaan, ditemukan hasil bahwa intensitas pekerjaan dengan rata-rata 19 - 24 jam/hari lebih memiliki psychological well-being. Intensitas pekerjaan 19 - 24 jam/hari dalam penghitungannya dijadikan sebagai grup reference dan hanya diwakili sebanyak 15 orang (11.33%) dari jumlah sampel yang ada. Namun dari hasil tersebut menunjukan bahwa variabel intensitas pekerjaan secara negatif berpengaruh signifikan terhadap psychological well-being maka grup reference-lah yang hasil akhirnya lebih memiliki psychological well-being.

Secara umum ketidaksesuaian/perbedaan yang dihasilkan dari penelitian ini baik dengan hasil penelitian terdahulu maupun dengan asumsi penulis mungkin disebabkan oleh prosedur penelitian yang kurang baik. Beberapa hal yang dikeluhkan pada saat pengambilan data oleh sampel penelitian ini adalah pada lembar kuisioner yang dicetak dengan huruf terlalu kecil, yaitu times new

roman 11 dengan dua halaman dibuat menjadi satu; item yang cukup banyak (102 item); serta ada beberapa pertanyaan yang tidak sesuai dengan jawaban dalam kolom.

Selain prosedur penelitian yang kurang baik, teknik pengambilan sampel ini juga menggunakan teknik non probability sampling, yaitu accidental sampling dimana metode pengambilan sampel dengan memilih siapa yang kebetulan ada/dijumpai. Sehingga, terdapat kemungkinan telah menyamaratakan pengalaman yang sudah dijalani oleh para jurnalis. Kemudian, hal lain yang menyebabkan hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya adalah dalam mengadaptasi alat ukur masih terdapat kerancuan dari segi bahasa sehingga memunculkan social desirability dalam alat ukur tersebut. Oleh karena itu, dari kelemahan-kelemahan tersebut sangat memungkinkan sekali hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan penulis.

Dokumen terkait