• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh kepribadian dan sense of humor terhadap psychological well-being: studi pada jurnalis di DKI Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh kepribadian dan sense of humor terhadap psychological well-being: studi pada jurnalis di DKI Jakarta"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

i

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh :

IRLIENE FEBRIANA

NIM : 109070000144

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

D) Pengaruh Kepribadian dan Sense of Humor terhadap Psychological Well-Being (Studi pada Jurnalis di DKI Jakarta)

E) xiii + 110 + lampiran

F) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kepribadian the HEXACO model of personality (honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, & openness to experience) dan sense of humor (humor production, social uses of humor, attitudes toward humor and humorous people, & uses of humor for coping) serta variabel demografis (usia, jenis kelamin, penghasilan, & intensitas pekerjaan) terhadap psychological well-being jurnalis di DKI Jakarta.

Sampel berjumlah 150 orang jurnalis di DKI Jakarta yang diambil dengan teknik non-probability sampling, yakni accidental sampling. Ryffs Psychological Well-Being Scales, Skala HEXACO Personality Inventory-Revised (HEXACO-PI-R) yang dikembangkan oleh Lee dan Ashton, dan Multidimensional Sense of Humor Scale (MSHS) yang dikembangkan oleh Thorson dan Powell digunakan sebagai instrument pengumpulan data dan diadaptasi ke bahasa Indonesia. Pengujian validitas item menggunakan uji CFA dengan bantuan software LISREL 8.7, selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linear berganda dengan bantuan software SPSS 19.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis mayor diterima, artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara kepribadian the HEXACO model of personality, sense of humor, dan variabel demografis (usia, jenis kelamin, penghasilan, dan intensitas pekerjaan) terhadap psychological well-being. Hasil uji hipotesis minor menunjukkan opennes to experience, honesty-humility, penghasilan, dan intensitas pekerjaan sebagai prediktor yang signifikan untuk psychological well-being.

Pada hasil kategorisasi psychological well-being pada penelitian ini menunjukkan bahwa hasil sebaran paling banyak berada pada kategori rendah. Memperhatikan kondisi fisik dan menjaga kesehatan psikologis adalah suatu keharusan agar manusia dapat menjalankan hidupnya dengan bahagia, tenang, dan mampu mengatasi segala masalah maupun tekanan yang datang. Penelitian Ryff (1989) mengenai psychological well-being menyatakan, seseorang yang jiwanya sejahtera tidak sekadar bebas dari tekanan atau masalah mental. Lebih dari itu, ia juga memiliki penilaian positif terhadap dirinya dan mampu bertindak secara otonomi, serta tidak mudah hanyut oleh pengaruh lingkungan. Bila hal ini dikaitkan dengan dunia pekerjaan, maka tingkat psychological well-being seseorang akan berguna dalam komitmen individu, produktivitas kerja individu, target-target dalam pekerjaan, hubungan dengan rekan kerja, serta penguasaan lingkungan kerja (Horn, Taris, Schaufeli, & Schreurs, 2004).

(6)

vi

D) Influence of Personality and Sense of Humor to Psychological Well-Being (Study for Journalists in Jakarta)

E) xiii + 110 + attachment

F) This study has been done for knowing influence of personality the HEXACO model of personality (honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, & openness to experience) and sense of humor (humor production, social uses of humor, attitudes toward humor and humorous people, & uses of humor for coping) also demographic variables (age, sex, income, & job intensity) to journalist’s psychological well-being in Jakarta.

There was 150 journalists in Jakarta as sample that was taken by non-probability sampling techniques, the techniques are accidental sampling. Ryff’s Psychological Well -Being Scales, HEXACO Personality Inventory-Revised Scales (HEXACO-PI-R) which was improved by Lee and Ashton, and Multidimensional Sense of Humor Scales (MSHS) which are improved by Thorson and Powell, used for collecting data instrument and be adapted to Indonesian. Validity examination item use CFA test with software LISREL 8.7, then data was analyzed by use multiple linear regression analysis with software SPSS 19.

The result showed that major hypothesis is accepted, means there are significant influences between personality the HEXACO model of personality, sense of humor, and demographic variable (age, sex, income, & job intensity) to psychological well-being. Result of minor hypothesis showed openness to experience, honesty-humility, income, and job intensity as significant predictor for psychological well-being.

The categorization results of psychological well-being in this study indicate that most of the result distribution is in the low category. Consider the physical condition and maintain psychological health is a must for humans to live her/his life with a happy, calm, and able to overcome all the problems and pressures that come. Ryff (1989) research on the psychological well-being states, someone whose soul is prosperous not only free from pressure or problems. More than that, he/she also has a positive assessment of him and able to act autonomously, also not easily washed away by the influence of the environment. If it is associated with the world of work, then levels of person’s psychological well-being would be useful in an individual commitment, individual work productivity, targets in the work, relationships with colleagues, and also control of the work environment (Horn, Taris, Schaufeli, & Schreurs, 2004).

(7)

vii

diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Kepribadian dan Sense of Humor terhadap Psychological Well-Being (Studi pada

Jurnalis di DKI Jakarta)”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi kita semua, nabi Muhammad SAW. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, periode 2014-2019, Prof.Dr. Abdul Mujib, M.Ag, M.Si, beserta jajarannya.

2. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, periode 2009-2013, Jahja Umar, Ph.D, beserta jajarannya.

3. Dosen Pembimbing I Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si dan Dosen Pembimbing II S. Evangeline I. Suaidy, M.Si, Psi., terima kasih Ibu atas segala bimbingan, arahan, masukkan serta kritik yang membangun, dan juga waktu yang diberikan selama masa penelitian skripsi ini.

4. Dosen Pembimbing Akademik Solicha, M.Si., terima kasih Ibu atas segala perhatian, bimbingan dan nasehat selama penulis menjalani perkuliahan.

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terima kasih atas ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan, sekaligus seluruh karyawan fakultas yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi.

(8)

viii

terkasih. Terima kasih atas segala yang telah dilakukan dan atas setiap cinta yang terpancar serta doa dan restu yang selalu mengiringi tiap langkah penulis.

8. Anhar Rizki Affandi, yang senantiasa ada di kala suka maupun duka, melantunkan doa serta mengusahakan segala macam bantuan terkait penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas semua yang telah dilakukan serta telah senantiasa menguatkan, memberikan dukungan dan motivasi.

9. Arif, Wisti, dan Isnidiniyah yang telah membantu mengarahkan penulis dalam proses pengolahan data skripsi ini.

10.Kelas D Psikologi 2009. Terima kasih teman-teman atas segala kisah kasih, canda tawa dan persahabatan terhebat bersama kalian selama ini.

11.Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima saran serta kritik yang membangun. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan bagi pembaca. Terimakasih. Wassalam

Jakarta, Oktober 2014

(9)

ix

“Tidak ada masalah yang terlalu besar untuk dihadapi,

tidak ada langkah yang terlalu panjang untuk dijalani, dan tidak

ada orang yang terlalu sulit untuk dihadapi, ketika kita mampu

menyikapi setiap peristiwa yang terjadi dengan hati yang jernih

dan kepala dingin.”

-Setengah Isi Setengah Kosong-

Skripsi ini kupersembahkan untuk ayah dan ibu,

(10)

x

1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 13

1.2.1. Pembatasan masalah... 14

1.2.2. Perumusan masalah... 15

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 16

1.3.1. Tujuan penelitian... 16

1.3.2. Manfaat penelitian... 17

1.4. Sistematika Penulisan... 17

BAB 2. LANDASAN TEORI... 19-52 2.1. Psychological Well-Being... 19

2.1.1. Definisi psychological well-being... 19

2.1.2. Dimensi psychological well-being... 21

2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being... 25

2.1.4. Pengukuran psychological well-being... 31

2.1.5. Penelitian terdahulu... 32

2.2. Kepribadian (Personality)... 33

2.2.1. Definisi kepribadian (personality)... 33

2.2.2. Definisi the HEXACO model of personality... 35

2.2.3. Pengukuran the HEXACO model of personality... 36

2.2.4. Penelitian terdahulu... 37

2.3. Sense of Humor... 38

2.3.1. Definisi humor... 38

2.3.2. Jenis-jenis humor... 39

2.3.3. Definisi kepekaan terhadap humor (sense of humor)... 41

2.3.4. Dimensi sense of humor... 43

2.3.5. Pengukuran sense of humor... 44

2.3.6. Penelitian terdahulu... 45

2.4. Kerangka Berpikir... 46

2.5. Hipotesis Penelitian... 51

2.5.1. Hipotesis mayor... 51

2.5.2. Hipotesis minor... 51

BAB 3. METODE PENELITIAN... 53-76 3.1. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel... 53

(11)

xi

3.4.2. Uji validitas skala the HEXACO model of personality... 61

3.4.2.1. Honesty-humility... 61

3.4.2.2. Emotionality... 62

3.4.2.3. Extraversion... 64

3.4.2.4. Agreeableness... 65

3.4.2.5. Conscientiousness... 65

3.4.2.6. Openness to experience... 67

3.4.3. Uji validitas skala sense of humor... 68

3.4.3.1. Humor production... 68

3.4.3.2. Social uses of humor... 69

3.4.3.3. Attitudes toward humor and humorous people... 69

3.4.3.4. Uses of humor for coping... 70

3.5. Teknik Analisis Data... 71

3.6. Prosedur Penelitian... 75

BAB 4. HASIL PENELITIAN... 77-96 4.1. Karakteristik Responden Penelitian... 77

4.2. Hasil Analisis Deskriptif... 79

4.3. Kategorisasi Hasil Penelitian... 81

4.3.1. Kategorisasi psychological well-being... 81

4.3.2. Kategorisasi honesty-humility... 82

4.3.3. Kategorisasi emotionality... 82

4.3.4. Kategorisasi extraversion... 82

4.3.5. Kategorisasi agreeableness... 83

4.3.6. Kategorisasi conscientiousness... 83

4.3.7. Kategorisasi openness to experience... 84

4.3.8. Kategorisasi humor production... 84

4.3.9. Kategorisasi social uses of humor... 85

4.3.10. Kategorisasi attitudes toward humor and humorous people... 85

4.3.11. Kategorisasi uses of humor for coping... 86

4.4. Uji Hipotesis Penelitian... 86

4.4.1. Uji regresi berganda... 86

4.4.2. Pengujian proporsi varians pada masing-masing variabel independen.. 93

(12)

xii

Tabel 3.3.2. Blue Print Skala The HEXACO Model of Personality... 57

Tabel 3.3.3. Blue Print Skala Sense of Humor... 58

Tabel 3.3.4. Skor Skala Model Likert... 59

Tabel 3.4.1. Muatan Faktor Psychological Well-Being... 61

Tabel 3.4.2.1. Muatan Faktor Honesty-Humility... 62

Tabel 3.4.2.2. Muatan Faktor Emotionality... 63

Tabel 3.4.2.3. Muatan Faktor Extraversion... 64

Tabel 3.4.2.4. Muatan Faktor Agreeableness... 65

Tabel 3.4.2.5. Muatan Faktor Conscientiousness... 66

Tabel 3.4.2.6. Muatan Faktor Openness to Experience... 67

Tabel 3.4.3.1. Muatan Faktor Humor Production... 68

Tabel 3.4.3.2. Muatan Faktor Social Uses of Humor... 69

Tabel 3.4.3.3. Muatan Faktor Attitudes Toward Humor and Humorous People... 70

Tabel 3.4.3.4. Muatan Faktor Uses of Humor for Coping... 71

Tabel 4.1. Karakteristik Responden Penelitian... 77

Tabel 4.2. Deskripsi Statistik Variabel Penelitian... 80

Tabel 4.3. Pedoman Interpretasi Skor... 81

Tabel 4.3.1. Kategorisasi Psychological Well-Being... 81

Tabel 4.3.2. Kategorisasi Honesty-Humility... 82

Tabel 4.3.3. Kategorisasi Emotionality... 82

Tabel 4.3.4. Kategorisasi Extraversion... 82

Tabel 4.3.5. Kategorisasi Agreeableness... 83

Tabel 4.3.6. Kategorisasi Conscientiousness... 83

Tabel 4.3.7. Kategorisasi Openness to Experience... 84

Tabel 4.3.8. Kategorisasi Humor Production... 84

Tabel 4.3.9. Kategorisasi Social Uses of Humor... 85

Tabel 4.3.10. Kategorisasi Attitudes Toward Humor and Humorous People... 85

Tabel 4.3.11. Kategorisasi Uses of Humor for Coping... 86

Tabel 4.4.1.1. RSquare... 87

Tabel 4.4.1.2. ANOVAb... 87

Tabel 4.4.1.3. Koefisien Regresi... 88

(13)
(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

1.1Latar Belakang Masalah

Informasi saat ini menjadi suatu kebutuhan yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Rasa ingin tahu yang merupakan sifat dasar manusia menjadi faktor pendorong terbesar akan kebutuhan tersebut. Manusia mencari informasi untuk pelbagai tujuan hidup. Selain menambah pengetahuan yang dapat memperluas cakrawala berpikir, informasi juga berperan sebagai salah satu sumber pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk mempertahankan hidup dan memperbaiki mutu kehidupan (Hidayat & Prakosa, 1997).

(15)

Tanggung jawab sebagai seorang jurnalis sangatlah besar karena jurnalis merupakan penghubung antara sumber berita dan masyarakat luas. Akurasi merupakan satu hal penting dalam kerja seorang jurnalis, lemahnya akurasi dapat menyebabkan tidak tepatnya penggunaan data, fakta, dan nama sehingga melahirkan kesalahan dalam sebuah berita dan masyarakat pun mendapatkan informasi yang salah. Jurnalis yang tidak mampu menyampaikan informasi secepatnya ke kantor dan menyebabkan berita tidak muncul di media tempat ia bekerja keesokan harinya akan berisiko kehilangan pekerjaannya. Hal ini disebabkan karena surat kabar mereka akan berisi berita-berita yang tidak aktual sehingga pada akhirnya akan ditinggalkan oleh para pembacanya (Muflih, 1997).

Kebebasan pers saat ini menuntut lebih banyak agar jurnalis mampu mengerahkan segenap pikiran dan tenaga untuk memberikan kepada masyarakat. Akibatnya, media pers yang mempekerjakan jurnalis meminta kontribusi yang maksimal mulai dari hasil karya hingga tuntutan jam kerja yang tidak beraturan. Sehingga, hal tersebut membuat jurnalis menghadapi pelbagai tekanan psikis yang memang menjadi risiko ketika berkecimpung di dunia jurnalistik.

(16)

membuat sebuah berita, diantaranya waktu yang terbatas, sulitnya mendapatkan sudut pandang dari peristiwa yang diliput serta sumber-sumber yang tidak kooperatif (Ishwara, 2005).

Psikolog Irma S. Martam dari Yayasan Pulih, mengatakan bahwa jurnalis adalah profesi yang rentan terkena gangguan psikologis, ini karena pola kerjanya yang berada di bawah tekanan baik dari segi deadline pembuatan berita serta kemungkinan tekanan dari lingkungan peliputan yang cenderung merupakan kondisi-kondisi abnormal (Susanto, 2009). Jurnalis yang bertugas di aura negatif seperti meliput kasus perampokan, pembunuhan, mayat dari segala kasus, seringnya menyaksikan kejadian-kejadian traumatis seperti kerusuhan atau bencana alam dan sebagainya, tentu akan dapat menimbulkan pengaruh psikologis dalam diri jurnalis. Beragam kekerasan (informasi negatif) yang sering dilaporkan jurnalis dalam kerjanya bisa saja membekas dalam pikiran bawah sadar.

AL Tompkins (dalam Hight & McMahon, 2006) dari Poynter Institut untuk Studi Media di Amerika Serikat menulis pernyataan berikut ini tidak lama setelah terjadinya serangan pada tahun 2001 di New York dan Washington, “Para wartawan, wartawan foto, sound engineer, juru suara dan produser lapangan

sering kali bekerja bahu-membahu dengan para petugas darurat. Gejala-gejala

stres traumatis dari para wartawan sangat mirip dengan para petugas kepolisian

dan para petugas pemadam kebakaran yang bekerja segera setelah terjadinya

suatu tragedi. Namun, para wartawan biasanya menerima sedikit sekali

(17)

keselamatan publik ditawari (dukungan psikologis) setelah trauma, sedangkan para wartawan hanya ditugaskan untuk mencari berita lain.”

Sebuah penelitian menyebutkan tiga dari sepuluh jurnalis mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) setelah bekerja dalam tugas-tugas yang berbahaya, depresi, kecemasan, dan masalah dalam hubungan interpersonal juga dilaporkan terjadi (Witchel, 2005). Penemuan tersebut didukung oleh penelitian dari Anthony Feinstein, John Owen & Nancy Blair (2002) yang menemukan bahwa hampir 30 persen jurnalis yang ditempatkan di daerah konflik menunjukkan tanda-tanda Post-Traumatic Stress.

Dalam literatur psikologi terapan, pekerjaan jurnalis, di samping pekerjaan supir, pelawak, ataupun tentara, termasuk dalam kategori rentan penyakit dan memiliki harapan hidup rendah. Sebab, pekerjaan menjadi seorang jurnalis memiliki pola kerja yang tidak mengenal waktu, mereka harus siap meliput kapanpun ada peristiwa penting terjadi. Hal tersebut membuat waktu istirahat mereka berkurang, terlebih lagi mereka harus memenuhi tenggat waktu (deadline) pengumpulan berita yang diberikan perusahaan. Penelitian membuktikan bahwa desakan waktu kronis memberikan pengaruh tidak baik pada sistem cardiovascular, sehingga menyebabkan terjadinya serangan jantung prematur dan

tekanan darah tinggi (Friedman & Rosenman dalam Munandar, 2001). Selain itu, pekerjaan jurnalis yang selalu dikejar deadline tersebut telah mendorong akumulasi stres yang bisa menimbulkan penyakit syaraf (Broto, 2008).

(18)

Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat angka kekerasan terhadap jurnalis mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang dirilis AJI Indonesia, selama kurun waktu lima tahun terakhir, yaitu tahun 2008 - 2012, terjadi 89 kasus kekerasan fisik yang dialami oleh jurnalis. Kasus kekerasan yang menimpa jurnalis Indonesia beragam, mulai larangan peliputan, serangan fisik, teror dan intimidasi, hingga serangan peretas. Aksi kekerasan terhadap para jurnalis pun masih terus berlanjut pada tahun 2013 (Bambani, Rahardjo, Dwiyanto, Saefullah & Wulandari, 2013).

(19)

Permasalahan lain yang juga menambah beban kerja jurnalis adalah rendahnya tingkat kesejahteraan. Rendahnya gaji jurnalis juga disebabkan banyak perusahaan pers yang belum layak memenuhi standar perusahaan pers yang ideal atau sehat, yaitu sebuah perusahaan pers yang mampu memberikan gaji yang memadai kepada jurnalisnya, memiliki struktur karier yang jelas bagi jurnalisnya serta jaminan kesejahteraan lainnya. Berdasarkan data dari AJI Jakarta, secara keseluruhan total pengeluaran, perusahaan media di Indonesia masih relatif lebih rendah porsi pengeluran gaji untuk pegawainya (Rosadi, 2014). Hal yang sama juga dikatakan oleh Erik Tanjung, Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta bahwa upah jurnalis Indonesia untuk kawasan Asia Tenggara paling murah bila dibandingkan dengan beberapa negara Asia Tenggara (Sutanto, 2013).

Upah layak untuk jurnalis pemula di Jakarta pada 2014 sebesar Rp 5,7 juta per bulan. Namun, kenyataannya rata-rata upah jurnalis di Jakarta saat ini masih di bawah standar upah layak. Sebagian besar media di Jakarta menggaji jurnalisnya di kisaran Rp 3 juta hingga Rp 4 juta per bulan. Bahkan ada media di Jakarta menggaji di bawah Upah Minimum Provinsi di Jakarta sebesar Rp 2,2 juta (Rahadi, 2014).

(20)

penting dari industri media, nasib jurnalis seharusnya mendapat perhatian yang pantas dari pelaku industri media. Apalagi jika mengingat beban yang dipikulkan undang-undang kepada pekerja media, yaitu menjadi alat kontrol sosial, selain menjalankan fungsi pendidikan dan hiburan (Manan, 2011).

Berdasarkan pemaparan diatas, bahwa menjadi jurnalis berarti memasuki kawasan kerja yang bebannya berlipat-lipat dan rentan terhadap konflik. Tidak jarang dalam keseharian pekerjaannya mereka sering dihadapkan pada dilema antara mencari informasi dan menjaga keselamatan diri. Bekerja menjadi jurnalis memerlukan kualifikasi baik secara profesi maupun psikologis sehingga mampu bertahan dengan situasi penuh tekanan.Hal ini yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk meneliti mengenai bagaimana keadaan psychological well-being jurnalis dengan segala risiko, tuntutan, dan tanggung jawab dalam pekerjaannya. Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktifitas kehidupan sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya: ketidakpuasan hidup, kecemasan, dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif (misalnya: realisasi potensi atau aktualisasi diri) (Bradburn, 1995).

(21)

dengan rekan kerja, serta penguasaan lingkungan kerja (Horn, Taris, Schaufeli, & Schreurs, 2004).

Ryff (1995) mengemukakan enam komponen fungsi psychological well-being mencakup, evaluasi positif seseorang mengenai diri dan masa lalu (self-acceptance), pertumbuhan dan perkembangan individu (personal growth),

kepercayaan mengenai tujuan dan makna hidup individu (purpose in life), kualitas hubungan dengan individu lain (positive relations with other), kapasitas untuk mengatur kehidupan dan diri seseorang secara efektif (environmental mastery), dan perasaan self-determination (autonomy).

(22)

Barat, sedangkan dimensi yang berorientasi pada orang lain (seperti hubungan positif dengan orang lain) lebih menonjol pada budaya Timur.

Menurut Davis (dalam Rahayu, 2008), individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological well-being yang lebih tinggi. Berdasarkan faktor-faktor demografis yang telah dijelaskan, penulis menggunakan faktor usia, jenis kelamin, penghasilan, dan intensitas pekerjaan sebagai variabel demografis untuk ikut dianalisis pengaruhnya terhadap psychological well-being. Alasannya, karena faktor demografis tersebut sesuai karakteristik profesi sebagai seorang jurnalis.

Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi psychological well-being seseorang adalah dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup, locus of control (LOC), religiusitas, dan kepribadian (Ryff, 1989; Ryff, 1994; Ryff & Essex, 1992; Sarafino, 2011). Selain itu, dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa sense of humor terbukti dapat meningkatkan baik kesejahteraan fisik maupun psikologis seseorang (Martin, 2001; Kuiper, Martin, Olinger, Kazarian, & Jetté, 1998; Herzog & Strevey, 2008).

Kepribadian adalah salah satu prediktor paling kuat dan konsisten terhadap well-being. Ada juga beberapa bukti hubungan genetik antara kepribadian dan

well-being (Weiss, Bates, & Luciano dalam Aghababaei & Arji, 2013). Penelitian

(23)

kepribadian sebagai independent variable pertama untuk dianalisis pengaruhnya terhadap psychological well-being dalam studi pada jurnalis di DKI Jakarta.

Ada beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli untuk memahami kepribadian. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah teori trait. Pendekatan keterampilan dan trait terhadap kepribadian berusaha mencari beberapa dimensi utama yang dapat menggambarkan pola respons seseorang. Jumlah dimensi itu masih diperdebatkan. Pendekatan faktor terhadap kepribadian dari Cattell melihat perlu adanya 16 trait. Eysenck yakin bahwa teori harus mendasarkan seleksi faktor-faktor tersebut, dan ia menganggap bahwa semua trait berasal dari tiga sistem biologis, yaitu extraversion, neuroticism, dan psychoticism. Tetapi banyak peneliti setuju bahwa lima dimensi cukup

memuaskan untuk diterapkan di sebagian besar situasi–disebut Big Five, yang terdiri dari extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, dan openness to experience. Peneliti lain membantah klaim bahwa kepribadian yang

baik hanya dijelaskan oleh lima faktor. Ashton, mendorong kasus untuk enam faktor, model, HEXACO (Ashton & Lee dalam John, Robins, & Pervin, 2008). Enam faktor tersebut yaitu honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, dan openess to experience.

(24)

membandingkan dua model dengan serangkaian hierarchical regressions. Pada model pertama Big Five dimasukkan, dan kemudian dimensi HEXACO ditambahkan untuk menguji validitas tambahan. Dengan efek dari Big Five dikendalikan, dimensi HEXACO masih signifikan memprediksi semua aspek psychological well-being. Namun, dengan faktor-faktor HEXACO dikendalikan,

Big Five gagal untuk secara signifikan memprediksi otonomi, hubungan positif

dengan orang lain, dan tujuan hidup, tetapi berhasil memprediksi penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, dan penerimaan diri.

Sheehy (dalam Hasanat dan Subandi, 1998) dalam penelitiannya, menemukan bahwa kemampuan untuk melihat humor merupakan salah satu hal yang dapat digunakan untuk mengatasi krisis dalam hidup, sebagai perlindungan terhadap perubahan dan ketidaktentuan. Hubungan antara sense of humor dan

kecemasan sebagai krisis dalam kehidupan individu dikaji oleh O’Connel (dalam

Hasanat dan Subandi, 1998) dengan menyatakan bahwa melalui humor seseorang dapat menjauhkan diri dari situasi yang mengancam dan memandang masalah dari sudut kelucuannya untuk mengurangi kecemasan dan rasa tidak berdaya. Penelitian lain yang hampir serupa, yaitu penelitian Thorson dan Powell (1993) yang mengatakan bahwa rasa humor berkorelasi positif dengan adaptasi pada hidup yang aman, selain itu diperoleh korelasi negatif antara rasa humor dengan adaptasi yang buruk.

(25)

dan mempertahankan hubungan baik dalam sosial (sebagai alat kontrol sosial). Selain itu, McGee dan Shevlin (2009) yang melakukan penyelidikan mengenai keinginan dalam bersosialisasi (social desirability), menemukan bahwa sense of humor termasuk dalam karakteristik kepribadian yang dinilai paling

menguntungkan dalam kehidupan interpersonal individu. Kemampuan ini memupuk empati individu untuk lebih memahami lingkungannya dan menyadarkan kebutuhan untuk bersosialisasi dengan individu lainnya, sehingga kebahagiaan mengenai pemaknaan hidupnya dapat pula tercapai.

Berdasarkan beberapa penelitian di atas inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk meneliti lebih jauh lagi mengenai respon humor yang ada

pada jurnalis dalam menghadapi permasalahan dalam pembahasan ‘psychological

well-being-nya’. Sehingga, penulis menjadikan variabel sense of humor sebagai independent variable kedua untuk dianalisis pengaruhnya terhadap psychological

well-being dalam studi pada jurnalis di DKI Jakarta.

(26)

Jakarta merupakan kota dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Penduduk yang bermukim di Jakarta pun memiliki tingkat ekonomi yang beragam, mulai dari tingkat ekonomi menengah ke atas sampai menengah ke bawah pun ada di Jakarta. Selain itu, agama yang dianut oleh penduduk DKI Jakarta beragam. Jumlah penduduk dan komposisi etnis di Jakarta pun selalu berubah dari tahun ke tahun. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, tercatat bahwa setidaknya terdapat tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta. Jakarta merupakan pusat kegiatan sosial dan budaya yang paling lengkap memiliki sarana, prasarana terbaik dalam bidang pendidikan, budaya, olah raga, kesehatan, dan juga fasilitas pariwisatanya dibandingkan kota-kota lain di Indonesia. Bahkan, sampai saat ini, Jakarta masih dijadikan tujuan utama masyarakat sebagai tempat untuk mengejar masa depan. Para pendatang dari daerah luar Jakarta berbondong-bondong untuk tinggal, belajar, dan bekerja di ibukota.

Berangkat dari fenomena-fenomena yang telah dipaparkan di atas tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui “Apakah Kepribadian dan Sense of Humor berpengaruh terhadap Psychological Well-Being (Studi pada Jurnalis

di DKI Jakarta) ?”.

1.2Pembatasan dan Perumusan Masalah

(27)

1.2.1 Pembatasan masalah

a. Psychological well-being merupakan kondisi berfungsinya dengan penuh potensi-potensi sejati individu dalam menjalani tantangan eksistensial kehidupan (Ryff & Keyes, 1995) dilihat berdasarkan pada tingkat penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth).

b. Kepribadian adalah keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain (Robbins & Timothy, 2008). Teori yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah The HEXACO Model of Personality (Lee & Ashton, 2007), yaitu tipe

kepribadian yang terdiri dari enam dimensi, honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness dan

openness to experience.

c. Sense of humor ialah cara memandang dan berinteraksi dengan dunia melalui filter berupa hiburan, tawa, dan keceriaan (Martin et.al., 2003; Thorson & Powell, 1993). Sense of humor terdiri dari 4 dimensi, yaitu humor production, uses of humor for coping, social uses of humor dan attitudes toward humor and humorous

(28)

d. Sampel penelitian ini adalah pria dan wanita yang bekerja sebagai jurnalis di wilayah DKI Jakarta, dengan dua kelompok rentang usia yang dibatasi oleh Hurlock (1980) yaitu usia dewasa awal (20 - 39 Tahun) dan usia dewasa madya (40 - 59 Tahun).

1.2.2 Perumusan masalah

Berdasarkan hal-hal di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah ada pengaruh antara kepribadian the HEXACO model of personality dan sense of humor terhadap psychological well-being

jurnalis ?

2. Apakah ada pengaruh kepribadian the HEXACO model of personality honesty-humility, emotionality, extraversion,

agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience

terhadap psychological well-being jurnalis ?

3. Apakah ada pengaruh sense of humor humor production, social uses of humor, attitudes toward humor and humorous people, dan

uses of humor for coping terhadap psychological well-being

jurnalis ?

(29)

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh kepribadian dan sense of humor serta faktor demografis terhadap psychological well-being

jurnalis.

1.3.2 Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis, yaitu sebagai berikut :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur pengetahuan dalam bidang psikologi, khususnya Psikologi Klinis. Selain itu, dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi dan acuan dalam pengembangan bagi penelitian selanjutnya, khususnya mengenai pengaruh kepribadian dan sense of humor terhadap psychological well-being jurnalis.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, yaitu menambah wawasan bagi masyarakat umum terutama bagi para jurnalis, mengenai pengaruh kepribadian dan sense of humor terhadap psychological well-being, pentingnya menjaga

psychological well-being bagi seseorang, dapat membantu untuk

(30)

1.4Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan sistematika sebagai berikut :

BAB 1 : Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang dilakukannya penelitian mengenai pengaruh kepribadian dan sense of humor terhadap psychological well-being jurnalis, pembatasan dan perumusan masalah

penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB 2 : Landasan Teori, menguraikan sejumlah teori yang digunakan dalam penelitian diantaranya :

1. Penjabaran dan definisi psychological well-being, faktor-faktor yang mempengaruhi psychological being, dimensi psychological well-being, pengukuran psychological well-well-being, dan penelitian

terdahulu; definisi kepribadian, definisi the HEXACO model of personality, pengukuran the HEXACO model of personality, dan

penelitian terdahulu; definisi humor, jenis-jenis humor, definisi sense of humor, dimensi sense of humor, pengukuran sense of humor, dan

penelitian terdahulu.

2. Kerangka berpikir dan hipotesis.

(31)

BAB 4 : Hasil Penelitian, menguraikan tentang hasil pengolahan dari data yang terkumpul dari penelitian ini, meliputi gambaran umum dari subjek penelitian, serta hasil penelitian yang telah dilaksanakan.

(32)

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan dipaparkan tentang teori yang digunakan dalam penelitian ini, pengukurannya, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.

2.1 PsychologicalWell-Being

2.1.1 Definisi psychologicalwell-being

Secara umum, ada dua konsep atau pengertian tentang psychological well-being. Konsep pertama disampaikan oleh Bradburn (dalam Ryff, 1989) yang mengartikan psychological well-being sebagai kebahagiaan (happiness). Ia membuat penelitian untuk mengetahui pengaruh perubahan-perubahan sosial secara makro, misalnya perubahan dalam tingkat pendidikan, pola tenaga kerja, dan ketegangan politik terhadap kondisi psikologis individu. Saat menjabarkan kondisi psikologis individu, Bradburn (1969) menggunakan kebahagiaan yang dirujuk dari istilah eudaimonia (kebahagiaan yang dikemukakan oleh Aristoteles). Dimana menurut buku yang ditulis Aristoteles (berjudul ‘Nicoman Ethics’, 1947), mengatakan bahwa eudaimonia merupakan hal tertinggi yang dapat diraih manusia. Dalam penelitian tersebut,kebahagiaan dioperasionalkan sebagai adanya keseimbangan antara afek positif dan negatif.

Konsep kedua mengartikan well-being sebagai kepuasan hidup. Istilah kedua ini juga didapatkan dari penelitian yang tidak secara khusus mengukur psychological well-being. Life Satisfaction Index atau sering disingkat dengan

(33)

istilah LSI (Neugarten, Havighurst & Tobin dalam Ryff, 1989) misalnya, ditujukan untuk mengetahui perbedaan antara individu yang sukses dengan yang tidak pada kelompok lanjut usia. Alat ukur LSI ini tidak digunakan untuk mengukur psychological well-being tetapi kondisi psikologis individu sukses dan tidak sukses, yang diukur dalam alat ukur ini serupa dengan apa yang ingin digali dari konsep psychological well-being.

Menurut Ryff dan Keyes (1995), psychological well-being adalah saat dimana seseorang dapat hidup dengan bahagia berdasarkan pengalaman hidupnya dan bagaimana mereka memandang pengalaman tersebut berdasarkan potensi yang mereka miliki. Evaluasi terhadap pengalaman akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-being-nya rendah, atau berusaha memperbaiki keadaan hidupnya yang akan

membuat psychological well-being-nya meningkat. Sehingga, individu dengan psychological well-being berarti tidak hanya individu yang terbebas dari hal-hal

yang menjadi indikator mental negatif, akan tetapi mengetahui potensi-potensi positif yang ada pada dirinya.

Psychological well-being memimpin individu untuk menjadi kreatif dan

(34)

Ryff (1989) menyimpulkan bahwa individu berusaha berpikir positif tentang dirinya meskipun mereka sadar akan keterbatasan-keterbatasan dirinya (penerimaan diri). Mereka juga mencoba mengembangkan dan menjaga kehangatan dan rasa percaya dalam hubungan interpersonal (hubungan positif dengan orang lain) dan membentuk lingkungan mereka, sehingga kebutuhan pribadi dan keinginannya dapat terpenuhi (penguasaan lingkungan). Ketika mempertahankan individualitas dalam konteks sosial makro, individu juga mengembangkan self-determination dan kewibawaan (otonomi). Upaya yang paling penting adalah menemukan makna dari tantangan yang telah dilalui dan dari upaya-upaya yang dilakukan dalam menghadapinya (tujuan hidup). Terakhir, mengembangkan bakat dan kemampuan secara optimal (pertumbuhan pribadi) merupakan yang paling utama dalam psychological well-being (Ryff, 1989).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa psychological well-being merupakan kondisi psikologis ideal seseorang yang sejahtera ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal.

2.1.2 Dimensi psychological well-being

(35)

1. Penerimaan diri (self-acceptance)

Seorang individu dikatakan memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri apabila ia memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri, menghargai dan menerima pelbagai aspek yang ada pada dirinya, baik kualitas diri yang baik maupun yang buruk. Selain itu, orang yang memiliki nilai penerimaan diri yang tinggi juga dapat merasakan hal yang positif dari kehidupannya di masa lalu (Ryff & Keyes, 1995). Sebaliknya, seseorang dikatakan memiliki nilai yang rendah dalam dimensi penerimaan diri apabila ia merasa kurang puas terhadap dirinya sendiri, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupannya di masa lalu, memiliki masalah dengan kualitas tertentu dari dirinya, dan berharap untuk menjadi orang yang berbeda dari dirinya sendiri (Ryff & Keyes, 1995).

2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

(36)

hangat, peduli, dan terbuka dengan orang lain, terisolasi dan merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain. 3. Otonomi (autonomy)

Ciri utama dari seorang individu yang memiliki otonomi yang baik antara lain dapat menentukan segala sesuatu seorang diri (self-determining) dan mandiri. Ia mampu untuk mengambil keputusan tanpa tekanan dan campur tangan orang lain. Selain itu, orang tersebut memiliki ketahanan dalam menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dari dalam diri, serta dapat mengevaluasi diri dengan standar personal (Ryff & Keyes, 1995). Sebaliknya, seseorang yang kurang memiliki otonomi akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegang pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta bersikap konformis terhadap tekanan sosial (Ryff & Keyes, 1995).

4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

(37)

lingkungan yang kurang baik akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya, kurang peka terhadap kesempatan yang ada di lingkungannya dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan (Ryff & Keyes, 1995).

5. Tujuan hidup (purpose in life)

Seseorang yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi tujuan hidup memiliki rasa keterarahan (directedness) dalam hidup, mampu merasakan arti dari masa lalu dan masa kini, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta memiliki tujuan dan target yang ingin dicapai dalam hidup (Ryff & Keyes, 1995). Sebaliknya, seseorang yang kurang memiliki tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, memiliki sedikit tujuan hidup, kehilangan rasa keterarahan dalam hidup, kehilangan keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu (Ryff & Keyes, 1995).

6. Pertumbuhan pribadi (personal growth)

(38)

pengetahuan yang bertambah (Ryff & Keyes, 1995). Sebaliknya, seseorang yang memiliki pertumbuhan pribadi yang kurang baik akan merasa dirinya mengalami stagnansi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang lebih baik (Ryff & Keyes, 1995).

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being

Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being, antara lain : 1. Faktor demografis

Beberapa faktor demografis yang mempengaruhi psychological well-being antara lain adalah sebagai berikut :

a) Usia

Ryff dan Keyes (1995) mengemukakan bahwa perbedaan usia mempengaruhi perbedaan dalam dimensi-dimensi psychological well-being. Dalam penelitiannya, Ryff dan Keyes (1995) menemukan

(39)

signifikan dalam dimensi penerimaan diri selama usia dewasa muda hingga dewasa akhir.

b) Jenis kelamin

Penelitian Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995) menemukan bahwa dibandingkan pria, wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi.

c) Status sosial-ekonomi

Meliputi besarnya income (penghasilan) keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi, status sosial di masyarakat. Ryff dan Singer (2002) menemukan bahwa gambaran psychological well-being yang lebih tinggi dan jabatan tinggi dalam

pekerjaan, terutama untuk dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi. Adanya kesuksesan-kesuksesan termasuk (materi) dalam kehidupan merupakan faktor protektif yang penting dalam menghadapi stres, tantangan, dan musibah. Sebaliknya, mereka yang kurang mempunyai pengalaman keberhasilan akan mengalami kerentanan pada psychological well-being-nya.

(40)

Mereka yang menempati kelas sosial yang tinggi memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri dan masa lalu mereka, serta lebih memiliki rasa keterarahan dalam hidup dibandingkan dengan mereka yang berada di kelas sosial yang lebih rendah.

d) Budaya

Penelitian mengenai psychological well-being yang dilakukan di Amerika dan Korea Selatan menunjukkan bahwa responden di Korea Selatan memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan skor yang rendah pada dimensi penerimaan diri. Hal ini dapat disebabkan oleh orientasi budaya yang lebih bersifat kolektif dan saling ketergantungan. Sebaliknya, responden Amerika memiliki skor yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi (untuk responden wanita) dan dimensi tujuan hidup (untuk responden pria), serta memiliki skor yang rendah dalam dimensi otonomi, baik pria maupun wanita (Ryff, 1994).

2. Dukungan sosial

(41)

sumber, diantaranya pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, dokter, maupun organisasi sosial.

3. Evaluasi terhadap pengalaman hidup

Ryff (1989) mengemukakan bahwa pengalaman hidup tertentu dapat mempengaruhi kondisi psychological well-being seorang individu. Pengalaman-pengalaman tersebut mencakup pelbagai bidang kehidupan dalam pelbagai periode kehidupan.

Evaluasi individu terhadap pengalaman hidupnya memiliki pengaruh yang penting terhadap psychological well-being (Ryff & Keyes, 1995). Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Essex (1992) mengenai pengaruh interpretasi dan evaluasi individu pada pengalaman hidupnya terhadap kesehatan mental. Interpretasi dan evaluasi pengalaman hidup diukur dengan mekanisme evaluasi diri oleh Rosenberg (dalam Ryff & Essex, 1992) dan dimensi-dimensi psychological well-being digunakan sebagai indikator kesehatan mental individu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme evaluasi diri ini berpengaruh pada psychological well-being individu, terutama dalam dimensi penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan hubungan positif dengan orang lain.

4. Locus of control (LOC)

(42)

2007). Robinson et.al. (dalam Rahayu, 2008) mengemukakan bahwa locus of control dapat memberikan peramalan terhadap well-being seseorang.

Individu dengan locus of control internal pada umumnya memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi dibanding individu dengan

locus of control eksternal.

5. Faktor religiusitas

Penelitian-penelitian mengenai psikologi dan religiusitas yang dilakukan antara lain oleh Ellison dan Levin (1998), Ellison et.al. (2001), Koenig (2004), Krause dan Ellison (2003), menemukan hubungan positif antara religiusitas dan psychological well-being (Flannelly, Koenig, Ellison, Galek & Krause, 2006). Kemudian, Chatters dan Ellison (dalam Levin, 1994) juga menemukan adanya kaitan antara keterlibatan religius (religious involvement) dengan well-being.

Dalam penelitian yang berjudul “Religious Involvement Among Older African Americans” yang ditulis oleh Levin (1994) ditemukan beberapa hal yang menunjukkan fungsi psikososial dari agama yang antara lain : 1) Doa dapat berperan penting sebagai coping dalam menghadapi masalah pribadi, 2) Partisipasi aktif dalam kegiatan keagamaan dapat berdampak pada persepsi rasa penguasaan lingkungan dan meningkatkan self-esteem, 3) Keterlibatan religius merupakan prediktor evaluasi

(43)

6. Kepribadian

Individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial, seperti penerimaan diri, mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, coping skill yang efektif cenderung terhindar dari konflik dan stress. Para ahli berpendapat bahwa variabel kepribadian merupakan komponen dari kesejahteraan psikologis. Hal ini ditunjukkan salah satunya dari penelitian yang dilakukan Costa dan McCrae pada tahun 1980 yang menyimpulkan bahwa kepribadian extraversion dan neuroticsm berhubungan secara signifikan dengan kesejahteraan psikologis (Andrew & Robinson dalam Nurhayati, 2010).

7. Sense of humor

Penelitian dengan sampel nonklinis telah menunjukkan bahwa individu dengan humor tinggi menampilkan tingkat yang lebih rendah dari distress dan umumnya terlibat dalam interaksi yang lebih positif dengan lingkungannya (Deaner & McConatha, 1993; Kuiper & Martin, 1993 dalam Kuiper, Martin, Olinger, Kazarian, & Jetté, 1998). Kedua jenis temuan dapat dilihat sebagai indikator peningkatan psychological well-being. Sehubungan dengan tingkat distress, individu dengan rasa humor

(44)

lebih fasilitatif atau mengevaluasi situasi, dan menilai hasil dari peristiwa dengan cara yang lebih positif (Kuiper et.al., 1995; Kuiper, Martin, & Olinger, 1993). Akibatnya, individu dengan humor tinggi melaporkan tingkat yang lebih tinggi dari afek positif dan tingkat yang lebih rendah dari afek negatif (Kuiper et.al., 1995; Martin et.al., 1993).

2.1.4 Pengukuran psychological well-being

Pada umumnya untuk mengukur psychological well-being di beberapa penelitian sebelumnya, para peneliti menggunakan skala baku yang dibuat oleh Ryff (1996) yaitu Ryffs Psychological Well-Being Scales dengan versi aslinya berjumlah 120 item, selain itu terdapat versi lainnya yaitu 84, 52, 42, dan 18 item yang umumnya dengan jumlah item yang sama pada setiap aspeknya.

Secara teoritis Ryff’s PWB Scales adalah instrument yang secara khusus

mengukur enam dimensi dari psychological well-being, dimensi tersebut meliputi: penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth).

Pengukuran pada penelitian ini menggunakan alat ukur Ryff’s PWB Scales (1995) yang terdiri dari 18 item pernyataan, dimana item-item tersebut

terdiri atas: 3 item mengukur dimensi self-acceptance, 3 item mengukur dimensi positive relations with others, 3 item mengukur dimensi autonomy, 3 item

(45)

Pada penelitian ini, penulis menggunakan Ryff’s PWB Scales versi 18 item yang telah diadaptasi dari instrument bakunya yang berbahasa Inggris kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Selain itu, penulis juga melakukan modifikasi pada skala model likert, dimana pada skala aslinya menggunakan skala model likert dengan rentangan enam point dimodifikasi menjadi rentang skala empat point, untuk menghindari bias dan mempermudah subjek dalam merespon item.

2.1.5 Penelitian terdahulu

Ada beberapa penelitian terdahulu yang meneliti tentang psychological well-being. Berikut beberapa penelitian mengenai psychological well-being : Bradburn

(46)

2.2 Kepribadian (Personality)

2.2.1 Definisi kepribadian (personality)

Eysenck (dalam Suryabrata, 2010) mengatakan :

Personality is the sum-total of actual or potential behavior-pattern of the

organism as determined by heredity and environment; it originates and develops

through the functional interaction of the four main sectors into which these

behavior patterns are or the conative sector (character), the affective sector

(temperament), and the somatic sector (constitution).

Kepribadian adalah total-jumlah dari aktual atau potensial pola-perilaku organisme yang ditentukan oleh keturunan dan lingkungan, tetapi berasal dan berkembang pemikiran interaksi fungsional dari empat sektor utama dimana pola-pola perilaku atau sektor konatif (karakter), sektor afektif (temperamen), dan sektor somatik (konstitusi).

(47)

suatu ramalan mengenai perbuatan apa yang akan dilakukan seseorang dalam situasi tertentu.

Personality adalah tingkah laku yang ditampakkan ke lingkungan sosial (kesan mengenai diri yang diinginkan agar dapat ditangkap oleh lingkungan sosial) (Alwisol, 2009). Sedangkan menurut John dan Pervin (2001), kepribadian mewakili karakteristik individu yang terdiri dari pola-pola pikiran, perasaan, dan perilaku yang konsisten. Definisi tersebut memiliki arti yang cukup luas yang membolehkan kita untuk fokus pada banyak aspek yang berbeda pada setiap orang. Pada waktu yang bersamaan, hal tersebut menganjurkan kita untuk konsisten pada pola tingkah laku dan kualitas dalam diri orang tersebut yang diukur secara teratur.

Ada beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli untuk memahami kepribadian. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah teori trait. Pendekatan keterampilan dan trait terhadap kepribadian berusaha mencari beberapa dimensi utama yang dapat menggambarkan pola respons seseorang. Jumlah dimensi itu masih diperdebatkan. Pendekatan faktor terhadap kepribadian dari Cattell melihat perlu adanya 16 trait. Eysenck yakin bahwa teori harus mendasarkan seleksi faktor-faktor tersebut, dan ia menganggap bahwa semua trait berasal dari tiga sistem biologis, yaitu extraversion, neuroticism, dan psychoticism. Tetapi banyak peneliti setuju bahwa lima dimensi cukup

(48)

baik hanya dijelaskan oleh lima faktor. Ashton, mendorong kasus untuk enam faktor, model, HEXACO (Ashton & Lee dalam John, Robins, & Pervin, 2008). Enam faktor tersebut yaitu Honesty-Humility (H), Emotionality (E), eXtraversion (X), Agreeableness (A), Conscientiousness (C), dan Openess to Experience (O).

Dalam penelitian ini, penulis lebih memilih untuk menggunakan pendekatan the HEXACO model of personality dari Lee dan Ashton (2007) untuk memahami kepribadian pada studi jurnalis di DKI Jakarta karena mengacu pada hasil penelitian Naser Aghababaei dan Akram Arji (dalam Journal of Personality and Individual Differences, 2013), dimana dalam penelitian tersebut mereka

membandingkan dua model dengan serangkaian hierarchical regressions. Pada model pertama Big Five dimasukkan, dan kemudian dimensi HEXACO ditambahkan untuk menguji validitas tambahan. Dengan efek dari Big Five dikendalikan, dimensi HEXACO masih signifikan memprediksi semua aspek psychological well-being. Namun, dengan faktor-faktor HEXACO dikendalikan,

Big Five gagal untuk secara signifikan memprediksi otonomi, hubungan positif

dengan orang lain, dan tujuan hidup, tetapi berhasil memprediksi penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, dan penerimaan diri.

2.2.2 Definisi the HEXACO model of personality

(49)

Tipe kepribadian model HEXACO mirip dengan tipe kepribadian big five sehubungan dengan tiga dimensi extraversion, agreeableness, dan openness to experience. Perubahan yang penting adalah pada penambahan dimensi

kepribadian baru yaitu honesty-humility, yang mewakili perbedaan individu dalam kecenderungan untuk menjadi tulus, adil, dan sederhana dibandingkan manipulatif, serakah, dan megah. Kedua perubahan yang paling penting adalah rotasi big five pada dimensi honesty-humility dan emotionality (De Vries, 2011).

HEXACO-PI-R menilai enam faktor kepribadian dari HEXACO, masing-masing dari faktor memuat empat aspek, atau karakteristik kepribadian yang sempit. Tambahan 25 aspek yang sempit, disebut altruism, yang juga termasuk dan menampilkan perpaduan dari faktor honesty-humility, emotionality, dan agreeableness. Empat aspek dalam setiap faktor yang mengikuti adalah sebagai

berikut :

Tabel 2.2.2 Dimensi & Aspek The HEXACO Model of Personality

DIMENSI ASPEK

Honesty-Humility Tulus dalam bertindak, keadilan dalam hukum, tidak serakah, dan hidup sederhana.

Emotionality Rasa takut, kecemasan, ketergantungan, dan sentimental. Extraversion Harga diri sosial, keberanian sosial, suka bergaul, dan

keaktifan.

Agreeableness Memaafkan, bersikap lemah lembut, fleksibilitas, dan kesabaran.

Conscientiousness Keteraturan, ketekunan, kesempurnaan, dan kebijaksanaan.

Openness to Experience

Apresiasi estetika karya seni, rasa ingin tahu, kreativitas, dan hal yang tidak biasa.

2.2.3 Pengukuran the HEXACO model of personality

(50)

operasionalisasi kuesioner dari model kepribadian enam dimensi HEXACO Lee dan Ashton. Skala ini menggunakan 60 item berdasarkan enam dimensi yaitu Honesty-Humility (H), Emotionality (E), eXtraversion (X), Agreeableness (A),

Conscientiousness (C), dan Openness to Experience (O).

2.2.4 Penelitian terdahulu

Berikut ringkasan penelitian terdahulu mengenai sense of humor terhadap psychological well-being. Penelitian Naser Aghababaei dan Akram Arji (2013),

menyimpulkan bahwa dari HEXACO, extraversion berkorelasi paling kuat terhadap psychological well-being. Faktor honesty-humility terkait dengan tingkat yang lebih tinggi psychological well-being, dengan subfaktor honesty (aspek sincerity dan fairness) beroperasi sebagai pendorong utama untuk hubungan ini.

Dalam penelitian tersebut Naser Aghababaei dan Akram Arji (2013) membandingkan dua model kepribadian, yaitu Big Five dan HEXACO dengan hierarchical regressions. Pada model pertama Big Five dimasukkan, dan

(51)

2.3 Sense of Humor

2.3.1 Definisi humor

Seligman dan Peterson (2004) mendefinisikan humor sebagai berikut :

Humor is as an umbrella for all funny phenomena, including the capacities to

perceive, interpret, enjoy, create, and relay incongruous communications.”

Humor ialah istilah yang mencakup semua fenomena yang lucu, termasuk kemampuan untuk melihat, menginterpretasi, menikmati, menciptakan, serta menyampaikan hal yang tidak lazim.

Definisi di atas sejalan dengan definisi dari Sarwono (dalam Rumondor, 2007) yang mendefinisikan humor sebagai segala sesuatu baik keadaan, perbuatan, maupun perkataan yang bisa menimbulkan kesan lucu sehingga memancing reaksi tertawa. Agar menimbulkan kesan lucu maka perlu persyaratan tertentu, yaitu adanya kepekaan terhadap humor (sense of humor) pada pihak yang melihat kejadian humor tersebut.

(52)

Menurut Martin (2001) dalam perspektif psikologis :

Humor is a rather broad and multifaceted concept, which can be theoretically

and operationally defined in a number of ways. It involves cognitive, emotional,

behavioral, psychophysiological, and social aspects.”

Humor merupakan konsep yang luas dan memiliki banyak aspek yang dapat didefinisikan secara teoritis maupun operasional dengan pelbagai cara. Misalnya

aspek kognitif, emosional, perilaku, dan aspek sosial. Kata “humor” dapat

digunakan untuk menunjuk pada stimulus misalnya film komedi, proses mental misalnya persepsi atau penciptaan inkongruenitas yang menghibur, atau respon misalnya tawa.

Tawa adalah ekspresi perilaku yang paling umum dari pengalaman yang berkaitan dengan humor. Tawa melibatkan suatu pola pernapasan-suara-perilaku tertentu yang memiliki hubungan dengan faktor psikofisiologis tertentu. Humor dan tawa biasanya berhubungan dengan keadaan emosi yang menyenangkan. Secara kognitif, humor melibatkan persepsi dari inkongruenitas atau paradoks

dalam konteks “bermain-main”. Sebagai suatu fenomena sosial, humor dan tawa memainkan peranan penting dalam komunikasi interpersonal dan ketertarikan, sementara sense of humor atau kepekaan terhadap humor dapat menjadi komponen penting dalam kompetensi sosial (Martin, 2001).

2.3.2 Jenis-jenis humor

(53)

1. Jenis gerak (slapstick)

Humor jenis ini sangat sederhana dan mudah sehingga tidak memerlukan pemikiran yang canggih. Karena itu humor jenis ini bisa ditangkap oleh hampir semua orang. Contoh dari humor jenis ini ialah film kartun

anak-anak “Tom & Jerry”, Charlie Chaplin dan karakter The Three Stooges,

misalnya pada adegan kepala dipukul dengan panci, wajah dilempar dengan kue.

2. Jenis intelektual

Humor jenis ini memerlukan pemikiran dan daya tangkap tertentu untuk mencernanya. Contoh humor jenis ini misalnya pada teka-teki : dalam bahasa Inggris, kucing adalah cat (baca : ket), apa bahasa Inggrisnya kucing yang bisa menempel ? (jawab : lengket).

Humor jenis ini mengandalkan asosiasi-asosiasi dan harapan-harapan yang dibangun atau dikembangkan pada awal cerita dan ditutup dengan klimaks yang aneh atau tidak terduga pada akhir cerita. Faktor latar belakang sosial-budaya, pengetahuan, dan pengalaman dari si pembuat humor maupun pendengarnya sangat berpengaruh pada sukses atau tidaknya humor jenis ini.

3. Jenis gabungan

(54)

tradisional Jawa tiba-tiba menyanyikan lagu “Fly me to the moon” dengan bahasa Inggris yang fasih. Hal-hal tersebut mengusik rasa humor dan menyebabkan orang lain tertawa. Humor jenis ini juga membutuhkan persyaratan intelektual tertentu walaupun tidak secanggih jenis intelektual murni. Hal ini karena pada jenis humor ini masih terbantu oleh gerak dan gaya yang visual.

2.3.3 Definisi kepekaan terhadap humor (sense of humor)

Sense of humor ialah cara memandang dan berinteraksi dengan dunia melalui filter berupa hiburan, tawa, dan keceriaan (Martin et.al., 2003; Thorson & Powell, 1993). Hal ini dapat dilihat dari perbedaan kebiasaan individu dalam bentuk perilaku, pengalaman, perasaan, sikap, dan kemampuan berkaitan dengan hiburan, tawa, kelucuan, dan sebagainya (Martin, 2001).

Menurut Eysenck (1988), tokoh dan peneliti pada studi sense of humor, sense of humor adalah karakter kepribadian yang penting dan berharga, yang

(55)

Drever (dalam Roeckelein, 2002) juga menjelaskan bahwa sense of humor merupakan sensasi psikologis melalui rasa simpati (secara langsung) dan empati (secara tidak langsung) mengenai karakter dalam situasi kompleks yang membangkitkan kegembiraan dan tawa. Ruch (dalam Martin et.al., 2003) menyatakan bahwa sense of humor merupakan kontributor yang potensial, yang dimiliki individu dalam mencapai kebahagiaan hidup (good life).

Sense of humor dapat dikonseptualisasikan sebagai :

1. Kemampuan kognitif, misalnya kemampuan untuk menciptakan, mengerti, dan memproduksi ulang, serta mengingat lelucon (Feingold & Mazzella dalam Martin, Doris, Larsen, Gray, & Weir, 2003).

2. Respon estetis, misalnya apresiasi humor, dapat menikmati materi humor dengan jenis tertentu (Ruch & Hehl dalam Martin et.al., 2003).

3. Pola kebiasaan perilaku (habitual behavior pattern), misalnya kecenderungan untuk sering tertawa, menceritakan lelucon dan menghibur orang lain, menertawakan lelucon orang lain (Craik, Lampert & Nelson, 1996; Martin & Lefcourt dalam Martin et.al., 2003).

4. Temperament trait yang terkait dengan emosi, misalnya habitual cheerfulness (Ruch & Kohler dalam Martin et.al., 2003).

5. Sikap, misalnya pandangan kagum akan kehidupan (bemused outlook on life) dan sikap positif terhadap humor (Svebak dalam Martin et.al., 2003).

(56)

2.3.4 Dimensi sense of humor

Thorson, Powell, Schuller, dan Hampes (1997) mengelompokkan dimensi yang ada menjadi 4 (empat) dimensi sense of humor, yaitu :

1. Humor production : bagaimana seseorang dapat menghasilkan, memproduksi, atau melontarkan humor.

2. Social uses of humor (penggunaan humor untuk tujuan sosial), dan

3. Attitudes toward humor and humorous people (sikap-sikap terhadap humor dan orang-orang yang humoris).

4. Uses of humor for coping : penggunaan humor dalam menghadapi masalah (coping), mengatasi situasi sulit dengan menggunakan humor.

Svebak (dalam Martin, 2007) membedakan 3 (tiga) dimensi sense of humor, yaitu :

1. Meta-message sensitivity : kepekaan untuk mengenali atau mengidentifikasi situasi humor. Dimensi ini dengan komponen kognitif, yaitu cara pandang yang tidak serius atau memiliki kemampuan untuk mengubah perspektif dengan cara yang kreatif.

2. Liking or enjoyment of humor : kesukaan terhadap humor. Dimensi ini mencakup sikap yang menyenangkan dan tidak adanya pembelaan diri terhadap humor.

(57)

2.3.5 Pengukuran sense of humor

Saat ini, beberapa alat ukur dikembangkan dengan maksud untuk mengukur sense of humor, diantaranya adalah Situational Humor Response Questionnaire (SHRQ)

dan Coping Humor Scale (CHS) yang dikembangkan oleh Martin dan Lefcourt (1984). SHRQ mengukur respons (berupa rating tertawa/tersenyum yang ditampilkan, karena adanya stimulus tertentu). Sedangkan The Coping Humor Scale (CHS) untuk mengukur seberapa jauh individu merasa bahwa humor dapat

mengatasi stres yang sedang dialaminya. Di samping dua alat ukur sense of humor di atas, sebelumnya pada tahun 1974 juga telah dikembangkan oleh Svebak (dalam Martin, 2003), yaitu The Sense of Humor Questionnaire (SHQ) yang digunakan untuk mengukur 3 dimensi humor: (a) metamessage sensitivity (kepekaaan untuk mengenali/mengidentifikasi situasi humor), (b) liking/enjoyment of humor (kesukaan terhadap humor), dan (c) emotional

expressiveness. Alat ukur SHQ tidak signifikan terhadap Marlowe-Crowne Social

Desirability scale (Lefcourt & Martin dalam Martin, 2003). Hal ini menunjukkan

bahwa alat ukur SHQ tidak memiliki muatan social desirability, walaupun bentuk dari alat ukur ini berupa self-report. Alat ukur sense of humor lain yang cukup popular adalah Multidimensional Sense of Humor Scale (MSHS), yang dikembangkan oleh Thorson dan Powell pada tahun 1993.

(58)

multidimensional, sedangkan alat ukur humor yang selama ini sudah ada masih

bersifat unidimensional. MSHS terdiri dari empat dimensi humor, yaitu humor production, social uses of humor, attitudes toward humor and humorous people,

dan uses of humor for coping.

MSHS terdiri dari 24 item pernyataan yang telah diadaptasi dari instrument bakunya yang berbahasa Inggris kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu, penulis juga melakukan modifikasi pada skala model likert, dimana pada skala aslinya menggunakan skala model likert dengan

rentangan lima point dimodifikasi menjadi rentang skala empat point, untuk menghindari bias dan mempermudah subjek dalam merespon item. Semakin tinggi nilai total yang didapat, semakin tinggi pula rasa humor yang dimiliki. Thorson dan Powell (1993) melaporkan realibilitas alpha cronbach adalah sebesar 0.912, serta cenderung stabil dan netral secara gender maupun tingkat usia.

2.3.6 Penelitian terdahulu

Berikut ringkasan penelitian terdahulu mengenai sense of humor terhadap psychological well-being. Penelitian Thomas R. Herzog dan Sarah J. Strevey

(2008), menyimpulkan bahwa humor appreciation memiliki korelasi paling kuat (p < .001 for 12 of 14 correlations) dan humor tolerance adalah yang paling lemah (p < .001 for only one correlation). Selain itu, humor appreciation adalah satu-satunya prediktor signifikan dari emotional well-being dan personal development memiliki korelasi yang lebih besar dengan humor appreciation (.32).

Gambar

Tabel 2.2.2 Dimensi & Aspek The HEXACO Model of Personality
Gambar 2.4 Kerangka Berpikir
Tabel 3.3.1 Blue Print Skala Psychological Well-Being
Tabel 3.3.2 Blue Print Skala The HEXACO Model of Personality
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang didapat mengenai gambaran psychological well being pada wanita lajang dewasa madya yang pendidikan tinggi menekankan pada mengembangkan penghargaan hubungan

Hasil penelitian yang didapat mengenai gambaran psychological well being pada wanita lajang dewasa madya yang pendidikan tinggi menekankan pada mengembangkan penghargaan hubungan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Quality Of Life Therapy berpengaruh terhadap peningkatan psychological well-being pasien stroke, yang ditandai dengan perubahan pada pola

ini lebih tinggi dari tingkat psychological well-being caregiver formal panti jompo Medan dan Binjai, sehingga dapat disimpulkan bahwa subjek dalam penelitian ini memiliki hasil

Instrument pengumpulan data menggunakan Ryff Scale of Psychological Well-being (RSPWB), Psychological Capital Questionnaire (PCQ-24) yang dikembangkan oleh Luthans,

Berdasarkan hasil koefisien regresi menunjukkan 3 dimensi dari motivasi kerja dan psychological well-being yaitu need for affiliation, positive relation with others, dan

Temuan Penelitian Faktor Yang Mempengaruhi Psychological Well Being Istri Pertama Dalam Pernikahan Poligami .... Pembahasan Faktor Yang Mempengaruhi Psychological Well

Hasil penelitian ini pun menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif signifikan antara trait kepribadian neuroticism dan psychological well-being pada mahasiswa tingkat akhir