i
PENGARUH MOTIVASI KERJA DAN PSYCHOLOGICAL
WELL-BEING TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Oleh:
Leo Tri Hartantyo
NIM: 1110070000097
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, April 2015
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“MAN SHABARA ZHAFIRA”
“SIAPA YANG SABAR AKAN BERUNTUNG”
“MAN JADDA WA JADDA”
“SIAPA YANG BERSUNGGUH
-
SUNGGUH AKAN BERHASIL”
-Ahmad Fuadi-
vi
ABSTRAK
(A) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (B) April 2015
(C) Leo Tri Hartantyo
(D) Pengaruh Motivasi Kerja dan Psychological Well-Being terhadap Komitmen Organisasi.
(E)xvi + 91 halaman + lampiran
(F)Dewasa ini perhatian terbesar psikologi industri dan organisasi sekarang ini ialah komitmen organisasi (Meyer dan Allen, 1990). Hal ini dikarenakan masih terdapat pegawai yang tidak komitmen dengan organisasi. Pegawai yang memiliki komitmen rendah akan terus berpindah dari satu organisasi ke organisasi lain, kondisi ini dapat merugikan organisasi. Penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah ada pengaruh dari motivasi kerja dan psychological well-being terhadap komitmen organisasi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi berganda. Sampel berjumlah 200 orang karyawan PT. Kiriu Indonesia. Skala yang digunakan hasil adaptasi Allen dan Meyer (1991), McClelland dan Carol D. Ryff (1989). Uji validitas penelitian ini menggunakan metode Confirmatory Factor Analysis (CFA) dengan bantuan program lisrel. Sedangkan analisis statistik untuyk menguji hipotesis menggunakan metode analisis berganda dengan bantuan program SPSS.
Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh signifikan dari motivasi kerja dan psychological well-being terhadap komitmen organisasi. Berdasarkan hasil koefisien regresi menunjukkan 3 dimensi dari motivasi kerja dan psychological well-being yaitu need for affiliation, positive relation with others, dan environmental mastery yang pengaruhnhya signifikan terhadap komitmen organisasi.
vii ABSTRACT
(A) Faculty of Psychology Jakarta Islamic State University (B) April 2015
(C) Leo Tri Hartantyo
(D) Impact of Working Motivation and Psychological Well-Being to Organization Commitment
(E) xvi + 91 page + appendix
(F) Nowdays the biggest attention of industrial psychology and organisation is organization commitment (Meyer & Allen, 1990). Thus because there are several employee not commited to the organisation. Employee with lower commitment will keep move from one to another organisation, this condition can dissereve the organization. This research aim is to examine there any impact from working motivation and psychological well-being to organization commitment
The research is using quantitative approach with double regretion analyst. Samples amount 200 employe of PT. Kiriu Indonesia. Using the scale adapted from Allen and Meyer (1991), McClelland dan Carol D.Ryff. validity testing from this research was using Confirmatory Factor Analysis (CFA) with support from lisrel program. Whereas statistic analysist to examine the hypothesis using double analysis method with support from spss program.
The result of this research showed that there is a significant impact from working motivation and psychological well-being to organizational commitment. According to regretion co-efficient result showed three dimension from working motivation and psychological well-being such as need for affiliation, relationship with others, and environmental mastery that has significant impact to organizational commitment.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat
Allah SWT atas segala berkah, rahmat, hidayah dan kekuatan yang diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik yang berjudul “pengaruh motivasi kerja dan psychological well-being terhadap komitmen organisasi”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, pemimpin dan tauladan bagi umat manusia, yang membawa manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Abdul Mujib, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, atas arahan dan bimbingannya kepada seluruh mahasiswa demi terciptanya kemajuan ilmu pengetahuan yang disertai perilaku yang mencerminkan akhlak mulia. Bapak Abdul Rahman Shaleh, Bapak Ikhwan Luthfi, Ibu Diana Muthiah selaku Wakil Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bimbingan kepada seluruh mahasiswa sehingga atas bimbingannya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
2. Bapak Akhmad Baidun, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsiatas kesabaran dan keikhlasannya meluangkan waktu dan tenaga dalam memberikan bimbingan serta atas motivasinya selama penulis mengerjakan skripsi dan selama penulis menjalani pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
ix
4. Seluruh Staff bagian Akademik, Umum, Keuangan dan Perpustakaan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dalam proses birokrasi dan kemudahan bagi penulis dalam pembelajaran dikampus ini.
5. Selanjutnya keluarga penulis terutama kedua orang tua penulis Bapak H.Rachmadi Hadi Saputro dan Ibu Hj.Suharti untuk doa, kasih sayang, dukungan baik moril maupun materil, semangat dan kepercayaan yang selalu diberikan selama ini. Terima kasih karena tidak pernah bosan untuk mengingatkan, menasehati, membimbing, mendoakan karena berkat mereka penulis selalu termotivasi untuk menyelesaikan satu tanggung jawab ini dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan kebahagiaan yang berlimpah untuk Ibu dan Bapak. Kakak pertama penulis Agus Joko Susilo dan kakak ipar penulis Khuroturrosyidah serta anaknya Ahmad Fachri Saputro dan Akhmad Zaki Mubarok yang selalu memberikan dukungan dan mendoakan penulis sehingga penulis semakin bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Kakak kedua Penulis yakni Dwi Setiawan dan kakak ipar Penulis Dwi Endarwati yang ikut serta mendukung dalam penulisan skripsi ini.
6. Sahabat-sahabat penulis IPK 4,1 (Badai, Dwi, dan Ey). Selalu menemani penulis dalam keadaan sesulit apapun terima kasih selalu ada dan tidak pernah meninggalkan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sahabat IPK 4,1 merupakan sahabat terbaik yang penulis miliki.
x
semoga kelak kita dapat bertemu kembali dan telah menjadi sesuatu yang telah kita impikan selama ini. Semoga Allah SWT senantiasa bersama kalian 8. Teman-teman klub Basket (Dika, Umam, Jhon, Doreng, Awal) terima kasih
atas kegembiraan selama ini, semoga nanti kita dapat berjumpa lagi dengan keadaan yang sudah lebih baik. Teman-teman Basket Psikologi UIN (Hendra. S, Hendra. K, Hadi, Bagja, Arafat, Bijak, Sukma, Ilham, Reno, Ey, Lingga) yang telah berlatih bersama selama beberapa tahun sehingga penulis memiliki keluarga baru. Teman-teman FORSA UIN (Ilham, Sukma, Reno, Roufan, Toro, Coro, Ey, Gilang, Ismo, Ferico, Garith, Reza, Reza. R, Ricky, kak Zul, kak Uple, kak Mamang, dan kak Acunk) terima kasih karena telah bersama-sama membangun tim Basket UIN dan berjuang berbersama-sama di berbagai ajang turnamen tingkat DKI.
9. Semua pihak yang belum bisa disebutkan satu persatu, Karena dukungan moral, doa dan pengertian mereka, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Hanya kata terima kasih yang sebesar-besarnya penulis dapat ucapkan, semoga mereka mendapatkan balasan yang setimpal atas apa yang mereka berikan.
Hanya asa dan doa yang dapat penulis panjatkan. Semoga semua pihak yang membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini mendapatkan ridho dan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata, sangat besar harapan penulis agar skripsi ini memberikan manfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi siapa saja yang membaca dan berkeinginan untuk mengeksplorasi lebih lanjut.
Jakarta, 16 April 2015
xi
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7
1.2.1 Pembatasan masalah ... 7
1.4 Sistematika Penulisan ... ... 10
BAB 2 LANDASAN TEORI ... 12
2.1Komitmen Organisasi ... 12
2.1.1 Pengertian komitmen organisasi ... 12
2.1.2 Dimensi komitmen organisasi ... 14
2.1.3 Faktor-faktor yang memengaruhi komitmen organisasi ... 15
2.1.4 Pengukuran komitmen organisasi ... 17
2.2 Motivasi Kerja ... 18
2.2.1 Definisi motivasi kerja ... 18
2.2.2 Dimensi motivasi kerja ... 20
2.2.3 Pengukuran motivasi kerja ... 22
2.3 Psychological well-being... 23
2.3.1 Definisi psychological well-being ... 23
2.3.1.1 Perkembangan pemikiran psychological well-being ... 24
xii
2.3.3Pengukuran psychological well-being... 29
2.4 Kerangka Berfikir... 29
2.5 Hipotesis Penelitian... 35
BAB 3 METODE PENELITIAN... 36
3.1 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel... 36
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 36
3.2.1 Variabel penelitian... 36
3.2.2 Definisi operasional variabel………... 37
3.3 Instrumen Pengumpulan Data……….... ... 39
3.4 Uji Validitas Konstruk……….... 42
3.4.1 Uji validitas konstruk komitmen organisasi ... 44
3.4.2 Uji validitas konstruk motivasi kerja ... 45
3.4.3 Uji validitas konstruk psychological well-being ... 48
3.5 Teknik Analisis Data……….... .. 54
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Analisis Deskriptif……….………... . 59
4.1.1. Gambaran umum subjek penelitian….……….…... 59
4.2 Hasil Analisis Deskriptif……….………. . 60
4.3 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian……….…………... . 61
4.3.1 Kategorisasi komitmen organisasi ... 62
4.3.2 Kategorisasi need of power ... 62
4.3.3 Kategorisasi need of achievement ... 63
4.3.4 Kategorisasi need of affiliation ... 63
4.3.5 Kategorisasi self-acceptance ... 64
4.3.6 Kategorisasi positive relation with others ... 65
4.3.7 Kategorisasi autonomy ... 65
4.3.8 Kategorisasi environmental mastery... 66
xiii
Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Positive Relation with Others ... 56
Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Autonomy ... 57
Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Environmental Mastery ... 58
Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Purpose in Life ... 59
Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Personal Growth ... 60
Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 64
Tabel 4.2 Statistik Deskriptif ... 65
Tabel 4.3 Pedoman Interpretasi Skor ... 66
Tabel 4.4 Kategorisasi Komitmen Organisasi ... 67
Tabel 4.5 Kategorisasi Need of Power ... 67
Tabel 4.6 Kategorisasi Need of Achievement ... 68
Tabel 4.7 Kategorisasi Need of Affiliation ... 68
Tabel 4.8 Kategorisasi Self-Acceptance ... 69
Tabel 4.9 Kategorisasi Positive Relation with Others ... 70
Tabel 4.10 Kategorisasi Autonomy ... 70
Tabel 4.11 Kategorisasi Environmental Mastery ... 71
Tabel 4.12 Kategorisasi Purpose in Life ... 71
Tabel 4.13 Kategorisasi Personal Growth ... 72
Tabel 4.14 Model Summary Analisis Regresi ... 73
Tabel 4.15 Tabel ANOVA Pengaruh Keseluruhan IV terhadap DV ... 74
Tabel 4.16 Koefisien Regresi ... 75
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Proses Motivasi ... 21
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Kuesioner Lampiran B Path Diagram
Lampiran C Output CFA Variabel MTL
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah
dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
1.1. Latar Belakang Masalah
Komitmen organisasi merupakan salah satu kajian yang penting pada ranah
psikologi industri. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Meyer dan Allen (1990)
bahwa perhatian terbesar psikologi industri dan organisasi sekarang ini ialah
komitmen organisasi. Dijelaskan pada artikel yang ditulis oleh Sersic (1999)
bahwa komitmen organisasi telah menjadi fokus utama pada 2 dekade terakhir.
Komitmen organisasi sudah menjadi penelitian intensif yang dikaitkan dengan
kepuasaan kerja.
Komitmen organisasi harus terus dikaji berdasarkan fenomena yang ada
sekarang agar hasil dari kajian itu memberikan dampak positif pada organisasi.
Penelitian mengenai komitmen organisasi terus tumbuh dan berkembang setiap
tahunnya (Meyer & Allen, 1990). Dikutip dari Sinclair (2005), perkembangan
yang terjadi pada komitmen organisasi saat ini akan memberikan dampak pada
pegawai dan organisasi dimasa yang akan datang.
Komitmen memiliki peran vital di dalam tubuh sebuah organisasi.
Dikatakan oleh Suma (2013) bahwa individu yang memiliki komitmen tinggi pada
organisasi akan menjadikan organisasi itu kuat. Komitmen organisasi relatif kuat
2
(Moway, Steers, & Porter, 1979). Oleh karena itu, komitmen pegawai amat
menentukan arah organisasi.
Komitmen organisasi pada umumnya mencerminkan ikatan psikologis
antara karyawan dan organisasi (Allen & Meyer, 1990). Komitmen organisasi
merupakan ukuran sejauh mana seorang karyawan memihak pada organisasi, serta
cara sebuah organisasi memelihara pegawai agar tetap memiliki komitmen
terhadap organisasi (Robbin, 1998). Jadi, jika seorang pegawai tidak merasa puas
dengan organisasi yang menaunginya maka komitmen itu akan cenderung
menurun dan komitmen pada organisasi pun akan rendah.
Komitmen organisasi dianggap suatu ikatan atau hubungan antara
individu dengan organisasi (Martin & Roodt, 2008). Artinya, individu saling
terkait dan dapat memberikan kontribusi bagi organisasi. Komitmen melibatkan
hubungan aktif dengan organisasi, sehingga individu bersedia mengerahkan
tenaganya agar dapat berkontribusi bagi organisasi (Richard, Mowday, & Steers,
1979). Jadi, untuk mempertahankan komitmen dan menilai komitmen ialah
dengan menjadi bagian dari organisasi dan memberikan kontribusi bagi
organisasi.
Menurut hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 13 Januari 2015
pada salah satu perusahaan swasta di daerah Cikarang, terdapat cukup banyak
pegawai yang berkerja dengan giat, serius, dan disiplin dalam melakukan
tugasnya. Namun, terdapat pula pegawai yang tidak berkerja sungguh-sungguh di
dalam perusahaan tersebut. Contohnya, terdapat pegawai yang merokok di kantin
3
lingkungan perusahaan. Perilaku kerja yang bertolak belakang tersebut menjadi
sebuah masalah.
Seringkali pegawai berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain.
Perilaku ini mencerminkan betapa rendahnya komitmen yang dimiliki pegawai
tersebut. Survei yang dilakukan oleh www.jobstreet.com terhadap 24.433 pegawai, 40,1% diantaranya mengatakan dengan berpindah kerja mereka bisa
mendapatkan pengalaman yang lebih banyak untuk pengembangan karir ke
depannya. Dari jumlah karyawan yang sering berpindah tersebut diketahui 41,9%
menyatakan pernah berkerja kurang dari 6 bulan pada 1 perusahaan. Alasan
mereka pindah beragam tetapi yang paling dominan merupakan persoalan gaji,
yaitu 42,9% mengatakan bahwa gaji yang didapatkan tidak sesuai dengan
kemampuan mereka.
Selain masalah gaji, kepuasan kerja juga menjadi penyebab utama pegawai
sering berpindah tempat kerja. Kepuasan kerja berkaitan erat dengan organisasi,
terlebih lagi pada komitmen organisasi. Williams dan Hazer (dalam Suma &
Lesha, 2013) menemukan hubungan langsung antara kepuasan kerja dan
komitmen organisasi, dimana kepuasan kerja merupakan anteseden komitmen
organisasi. Proses berpikir ini mengasumsikan bahwa orientasi karyawan terhadap
pekerjaan mendahului orientasinya ke seluruh organisasi. Jadi dapat disimpulkan
bahwa komitmen akan semakin kuat jika kepuasan kerja tercukupi.
Meyer and Allen (dalam Suma & Lesha, 2013) menunjukan bahwa
komitmen individu terhadap organisasinya karena berbagai alasan, yakni, nilai
4
Literatur lain menyebutkan bahwa komitmen individu bukan hanya karena
perilaku dan konsekuensi yang akan diterimanya, tetapi juga berdasarkan
komponen afektif dan konatif yang terkait dengan kepuasaan kerja dan pikiran
tidak ingin berpindah (Martin & Roodt, 2008). Oleh karena itu komitmen
organisasi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Levy (2009) mengungkapkan konstruk pendukung yang mempengaruhi
komitmen organisasi memiliki 3 faktor besar, yaitu mekanisme organisasi,
karakteristik individu, dan faktor sosial. Lain hal dengan Allen dan Meyer (1991)
yang menyatakan bahwa komitmen organisasi memiliki 3 komponen utama, yakni
affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment. Pada penelitian kali ini, peneliti menggunakan teori dari Mayer dan Allen (1990)
karena teori ini sudah seringkali dijadikan landasan teori utama oleh peneliti lain.
Teori Meyer dan Allen telah menjadi teori yang dominan untuk studi
komitmen pada dunia kerja (Jaros, 2007). Menurut Sinclair (2005) teori Meyer
dan Allen selalu berkembang dan menjadi teori umum yang biasa digunakan.
Oleh karena itu, digunakan teori Meyer dan Allen sebagai teori utama pada
penelitian kali ini.
Menurut Suma dan Lesha (2013) “Salah satu kontribusi terbesar terhadap literatur tentang komitmen organisasi adalah karya Meyer dan Allen (1990)” dimana dikatakan Meyer dan Allen sudah memperpanjang definisi konstruk dan
mempelajarinya lebih mendalam. Eslami dan Gharakhani (2012) menganggap,
bahwa dimensi yang telah dipaparkan oleh Meyer dan Allen dapat terus
5
organisasi perlu terus dilanjutkan, sehingga memberikan masukan positif dan
konstruksi bagi ranah psikologi industri dan orgasnisasi.
Teori Allen dan Meyer merupakan teori yang secara jelas menjabarkan apa
itu komitmen organisasi dan menjelaskan bagaimana teori komitmen organisasi
dapat berimplikasi pada sebuah perusahaan maupun organisasi. Tiga model
komponen komitmen yang dikembangkan oleh Meyer dan Allen (dalam Jaros,
2007) dapat dikatakan mendominasi penelitian komitmen organisasi yang ada
pada saat ini.
Motivasi dianggap sebagai salah satu penentu kinerja pegawai. Karena
motivasi dapat meningkatkan kualitas kinerja pegawai terhadap organisasi.
Motivasi memiliki 2 faktor utama yakni ekstrinsik dan intrinsik (Singh, 2013).
Faktor ekstrinsik adalah motivasi berupa penghargaan yang terlihat, seperti gaji,
hadiah, atau barang. Faktor intrinsik adalah pemberian motivasi dengan
menghargai kinerja pegawai dengan memberikan dukungan berupa pujian.
Penelitian yang telah dilakukan pun telah banyak dan cukup memadai
untuk dijadikan alasan mengapa motivasi kerja menjadi salah satu faktor yang
signifikan memengaruhi komitmen organisasi. Motjaba et al., (2012) mengungkapkan bahwa pengaruh motivasi terhadap komitmen kerja sangat
signifikan. Menurut Idris dan Fauziah (2012) pada artikel yang berjudul ”Does motivational factor influence organizational commitment and effectiveness? A review of literature” mengatakan motivasi kerja pada umumnya memengaruhi hampir semua kultur budaya organisasi, dan motivasi kerja juga berperan aktif
6
Penelitian sebelumnya juga telah menemukan hubungan positif antara
motivasi kerja terhadap komitmen organisasi. Ketika pegawai sudah termotivasi,
pegawai akan merasa puas dengan organisasi dan akan menambahkan
komitmennya kepada organisasi (Meysam & Jamali, 2013). Menuurut Meyer dan
Thomas (2004) komitmen merupakan salah satu komponen dari motivasi, dan
dengan mengintegrasikan teori komitmen dan motivasi, kemudian dapat diperoleh
pemahaman yang lebih baik dari dua proses itu sendiri dan perilaku di tempat
kerja. Berdasarkan penjelasan yang dituturkan oleh Meyer dan Thomas, motivasi
dan komitmen organisasi merupakan satu kesatuan yang memiliki integrasi satu
dengan yang lain.
Penelitian Meyer dan Thomas (2004) telah mengungkapkan bahwa
motivasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap komitmen. Lalu Meysam
dan Jamali (2013) menerangkan dalam penelitiannya bahwa motivasi memiliki
hubungan yang positif terhadap komitmen kerja. Berdasarkan literatur penelitian,
motivasi kerja merupakan variabel dominan yang mempengaruhi komitmen
organisasi secara signifikan.
Variabel ke 2 yang memengaruhi komitmen kerja psychological well being. Diteliti oleh peneliti sebelumnya yakni Meyer dan Maltin (2010) bahwa, ada pengaruh yang signifikan antara komitmen dengan psychological well-being.
7
signifikan terhadap dimensi komitmen organisasi yaitu affective commitment dan normative commitment.
Selanjutnya, Rathi (2011) menemukan hubungan yang positif antara
psychological well-being dengan affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment. Selain itu ia juga menyebutkan bahwa psychological well-being juga dapat memprediksi ketiga komitmen tersebut dengan mengontrol variabel seperti usia, masa jabatan, dan latar belakang pendidikan. Harter,
Schmidt dan Hayes (2002, dalam Robertson & Cooper, 2009) melaporkan bahwa
well-being memiliki hubungan dengan absen kerja, kepuasan pelanggan, produktivitas dan turnover pegawai pada hampir 8000 unit bisnis yang terpisah
pada 36 perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas, mengkaji komitmen organisasi akan sangat
penting bagi perkembangan psikologi industri dan organisasi untuk kedepannya,
karena akan membantu menyelesaikan permasalah minimnya komitmen
organisasi pada dewasa ini. Berdasarkan latar belakang dan fenomena yang tengah
marak saat ini, maka dari itu peneliti tertarik melakukan riset mengenai
“Pengaruh Motivasi Kerja dan Psychological Well-Being terhadap Komitmen
Organisasi”.
1.2. Pembatasan dan perumusan masalah
1.2.1. Pembatasan masalah
Agar penelitian ini lebih terarah maka objek yang diteliti dibatasi hanya mengenai
8
organisasi. Adapun mengenai batasan konstruk tentang masing-masing variabel
penelitian, adalah sebagai berikut.
1. Komitmen organisasi adalah refleksi ikatan emosional terhadap organisasi,
kesadararan terhadap biaya yang harus dibayar jika meninggalkan organisasi,
dan tanggung jawab moral yang melekat. Ada pun dimensi dari komitmen
organisasi menurut Allen dan Meyer adalah affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment.
2. Motivasi Kerja yaitu suatu stimulus yang diberikan oleh seorang kepada orang lain, entah berupa reward yang terlihat ataupun bentukya intangilbe
atau peghargaan berupa ucapan-ucapan yang membuat seseorang merasa
semangat. Ada pun dimensi yang Motivasi kerja menurut McClelland adalah
need for achievement, need for power, dan need for affiliation
3. Psychological well-being adalah kondisi dimana individu memliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri
dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur
lingkungan yang cocok dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan
membuat hidup mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan
mengembangkan dirinya. Ada pun dimensi psychological well-being menurut
Ryff adalah self-acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth.
1.2.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah penelitian ini
9
1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan motivasi kerja (need for power, need for achievement, dan need for affiliation) dan psychological well-being
(self-acceptance, positive relation with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth) terhadap komitmen organisasi?
2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan motivasi kerja (need for power, need for achievement, dan need for affiliation) terhadap komitmen organisasi?
3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan psychological well-being ( self-acceptance, positive relation with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth) terhadap komitmen organisasi?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut di bawah ini.
1. Mengetahui pengaruh motivasi kerja dan psychological well-being terhadap komitmen organisasi.
2. Penelitian ini ingin membuktikan variabel prediktor yang pengaruhnya paling
dominan.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dibedakan menjadi 2, yaitu manfaat teoritis dan manfaat
10
1.3.2.1. Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian ini berguna untuk menambah wawasan, pengetahuan dan
pengalaman dalam bidang psikologi, khususnya dalam menganalisa
hubungan antara motivasi, psychological well-being, dan komitmen organisasi para pegawai.
2. Menambah koleksi dan bahan rujukan dalam penelitian psikologi, terutama
dalam bidang Psikologi Industri dan Organisasi.
1.3.2.2. Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan yang berharga bagi
individu dan institusi pendidikan untuk dapat lebih meningkatkan kesadaran
mengenai pentingnya komitmen organisasi dan memperkuat keinginan untuk
lebih berkomitmen dengan organisasi.
2. Penelitian ini juga dapat memberikan pemahaman yang baik bagi atasan
mengenai karakteristik individu yang ada pada setiap karyawan, khususnya
mengenai aspek motivasi kerja dan psychological well-being.
1.4. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahakan pembahasan dan penulisan proposal penelitian ini,
maka penulis menyusunnya dalam beberapa bab dengan sistematika sebagai
berikut:
BAB I. Pendahuluan
Bab I ini berisi latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah,
11
BAB 2. Landasan Teoritis
Bab 2 ini berisi deskripsi teoritik tentang komitmen organisasi, faktor-faktor yang
mempengaruhi komitmen organisasi, dimensi komitmen organisasi, motivasi
kerja dan psychological well-being, dimensi motivasi kerja, dan psychological well-being, pengaruh motivasi kerja dan psychological well-being terhadap komitmen organisasi, kerangka berfikir dan hipotesis penelitian.
BAB 3. Metode Penelitian
Bab 3 ini berisi tentang metodologi penelitian, definisi operasional variabel
penelitian, populasi dan sampel, teknik pengambilan data, uji validitas dan
reliabilitas instrumen, prosedur penelitian dan teknik analisis data.
BAB 4. Hasil Penelitian
Bab 4 ini berisi tentang gambaran umum responden penelitian, deskripsi data dan
uji hipotesis penelitian.
BAB 5. Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Bab 5 ini berisi tentang kesimpulan tentang keseluruhan hasil penelitian, diskusi
12
BAB 2
LANDASAN TEORITIS
Bab ini terdiri dari 5 subbab, yaitu pembahasan tentang komitmen organisasi
sebagai dependent variable. Selanjutnya pembahan motivasi kerja dan
psychological well-being sebagai independent variable. Bab ini juga membahas mengenai instrumen data serta analisis data yang digunakan untuk menemukan
jawaban atas hipotesis penelitian.
2.1. Komitmen Organisasi
2.1.1. Pengertian Komitmen Organisasi
Pada sub bab ini akan dipaparkan penjelasan mengenai definisi dari komitmen
organisasi yang disampaikan oleh para ahli. Kebanyakan para ahli mendefinisikan
komitmen sebagai keterlibatan maupun loyal terhadap organisasi. Meyer dan
Allen (1991) merumuskan definisi mengenai komitmen organisasi adalah sebagai
konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota dengan
organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk
melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Mowday et al., (dalam Meyer & Allen, 1991) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang
bersifat relatif dan individu terlibat dengan kegiatan di dalam organisasi.
Mathieu dan Zajac (dalam Suma & Lesha, 2013) menjelaskan bahwa
komitmen organisasi adalah ikatan atau hubungan individu dengan organisasi.
Jaros (dalam Suma & Lesha, 2013) mendefinisikan komitmen organisasi adalah
terlibatnya pegawai dalam kegiatan organisasi kemudian memberikan kinerja
13
komitmen organisasi sebagai konsep multi dimensi yang merangkul keinginan
karyawan untuk tetap dalam organisasi. Komitmen melibatkan hubungan aktif
dengan organisasi sehingga individu bersedia memberikan sesuatu dari dirinya
sendiri untuk berkontribusi pada kesejahteraan organisasi. 3 faktor internal yang
terkait pada komitmen organisasi, yaitu:
1. Keyakinan kuat dan penerimaan atas tujuan dan nilai organisasi.
2. Bersedia mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk organisasi.
3. Keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaannya di dalam
organisasi.
Roodt (dalam Adam Martin & Gert Roodt, 2008) komitmen adalah
kecenderungan kognitif terhadap fokus khusus, sejauh fokus ini memiliki potensi
untuk memenuhi kebutuhan, menyadari nilai-nilai dan mencapai tujuan. Steven
M Jex (2002) beranggapan bahwa, komitmen organisasi dapat dianggap sebagai
sejauh mana karyawan berkontribusi untuk organisasi yang memberi pekerjaan
dan bersedia untuk bekerja atas organisasi dan sampai kapan pegawai tersebut
akan bertahan dan tidak keluar dari organisasi. Menurut Levy (2009) komitmen
organisasi adalah kekuatan yang memperlihatkan sejauh mana pegawai akan
terlibat dan berkontribusi dengan organisasi. Jadi komitmen organisasi adalah
ikatan yang dimiliki oleh pegawai dengan organisasi dan pegawai bersedia
mengerahkan seluruh kemampuannya, bersikap loyal terhadap organisasi, dan
14
2.1.2. Dimensi Komitmen Organisasi
Teori untuk menjelaskan dimensi daripada komitmen organisasi ini ialah berasal
dari teori Meyer dan Allen (1991) yang telah meneliti komitmen organisasi
selama beberapa dekade ini. Berikut adalah dimensi dari komitmen organisasi
yang dipaparkan Meyer dan Allen:
2.1.2.1. Affective Commitment
Meyer dan Allen (1991) menyatakan bahwa karyawan organisasi yang
berkomitmen kepada organisasi yang didasari oleh afektif, akan terus bekerja bagi
organisasi karena individu memang menginginkan melakukan hal tersebut. Masih
pada artikel yang sama, Meyer dan Allen menambahkan bahwa karyawan harus
memiliki ikatan emosional dan adanya ikatan antara pegawai dan organisasi.
Menurut Meyer dan Allen (1997) komitmen afektif adalah keterikatan emosional
karyawan, identifikasi dan keterlibatan dalam organisasi. Menurut Levy (2009)
komitmen afektif diartikan sebagai kedekatan emosi yang ditandai dengan adanya
keyakinan yang kuat dan penerimaan tujuan dan nilai organisasi, kesediaan
mengerahkan usaha atas nama organisasi dan keinginan yang kuat untuk tetap
menjadi organisasi.
2.1.2.2. Continuance Commitment
Meyer dan Allen (1991) menjelaskan bahwa continuance commitment mengacu pada biaya yang terkait dengan meninggalkan organisasi. Selain itu karyawan
merasa rugi jika meninggalkan organisasi dan mendapat keuntungan jika tetap
berada di dalam organisasi. Karyawan yang memilih mengutamakan
15
karyawan harus melakukan hal tersebut. Menurut Levy (2009) kedekatan terhadap
organisasi sebagai fungsi dari apa yang telah karyawa dapat.
2.1.2.3. Normative Commitment
Meyer dan Allen (1991) menjelaskan normative commitment sebagai sebuah perasaan yang mencerminkan sebuah kewajiban untuk melanjutkan sebuah
pekerjaan. Lebih lanjut lagi Meyer dan Allen menambahkan pegawai harus dapat
bertanggung jawab terhadap organisasi dan mengikuti peraturan organisasi.
Normative commitment yang dipaparkan oleh Levy hampir serupa dengan yang disampaikan oleh Meyer dan Allen yakni, kedekatan terhadap organisasi yang
mencerminkan sebuah kewajiban untuk melanjutkan pekerjaan dengan organisasi.
2.1.3. Faktor-Faktor Komitmen Organisasi
Dalam mengajukan konseptual dari komitmen organisasi, Meyer dan Allen (1991)
memberikan penjelasan adanya variabel yang menjadi penyebab dari komitmen
organisasi. Levy (2009) memaparkan faktor dari komitmen organisasi. Peneliti
akan memaparkan teori yang telah disampaikan oleh Levy karena menurut
peneliti, penelitian ini masih baru dibanding dengan teori Meyer dan Allen. Levy
(2009) menjelaskan ada 3 ketegori utama yakni organizational mechanism, individual/personal characteristic, dan social factor.
1. Organizational Mechanisms
Pernahkah anda melihat bagaimana sebuah organisasi melakukan seseuatu untuk
membuat karyawannya komit dengan organisasi?. Levy (2009) menjelas kan
bahwa beberapa struktur organisasi yang baik, yaitu dengan membuat sebuah
16
positif. Hadiah yang dimaksud Levy ialah menyediakan sertifikat untuk pegawai
terbaik bulan ini, membiayai pendidikan pegawai yang ingin melanjutkan sekolah,
dan lainnya (Levy, 2009). Meyer dan Allen (1997) melihat bahwa struktur seperti
mengarah pada komitmen afeksi, khususnya komunikasi yang mendukung
mereka, perlakuan yang cukup, dan meningkatkan perasaan saling memntingkan
dan kemampuan orang lain.
2. Individual/Personal Characteristic
Berbicara masalah struktur organisasi belum lengkap rasanya tanpa membahas
karakteristik individu. Setiap pegawai membawa banyak kualitas, sikap,
kepercayaan, dan kemampuan yang biasa disebut individual differences atau keunikan individu dan perbedaan ini sering berkaitan dengan perilaku kerja
seperti komitmen organisasi. Mathieu dan Zajac (dalam Levy, 2009) melihat
adanya keterkaitan antara personal characteristic dengan komitmen afeksi dan komitmen berkelanjutan tetapi baik Mathieu maupun Zajac tidak melihat hal yang
serupa pada komitmen normatif. Meskipun pengetahuan akan komitmen normatif
terbatas dibanding dengan 2 komponen yang lain, beberapa anteseden muncul
pada literatur lain. Singkatmya, meski pun tidak ada bukti yang mengarah pada
komitmen normatif, ada beberapa bukti yang tidak langsung memperlihatkan
bahwa pegawai yang menanamkan kepercayaan penuh pada tanggung jawab sama
halnya dengan komitmen normatif kepada organisasi (Allen & Meyer, 1997).
3. Social Factor
Sampailah kita pada teori terakhir mengenai anteseden komitmen organisasi yang
17
yang konsisten secara alami dan berkualitas ialah hubungan pegawai dan
supervisor. Maksudnya adalah sejauh mana bos memperlakukan dan
berkomunikasi secara terbuka dengan pegawai (Mathieu & Zajac dalam Levy,
2009). Peneliti menyimpulkan maka jika perlakuan sosial mendukung dan
membuat nyaman pegawai maka dengan sendirinya pegawai akan berkomitmen
dengan organisasi.
2.1.4. Pengukuran Komitmen Organisasi
Pada sub bab ini peneliti masih mengacu pada teori daripada Meyer dan Allen
(1997). Pengukuran komitmen organisasi menggunakan organizational commitment scale (OCS) yang dikembangkan dengan pengukuran komitmen organisasi berdasarkan konstruk model tiga dimensi (Meyer & Allen, 1997).
Meyer dan Allen (1997) menyoroti bahwa skala tersebut dimaksudkan untuk
mengukur tiga komponen dari komitmen organsiasi: affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment.
Mowday et all., (1979) juga telah membuat alat ukur komitmen organisasi yang diberi nama organizational commitment questioner (OCQ). Sama halnya dengan OCS milik Meyer dan Allen, OCQ ini juga mengukur komitmen
organisasi. Hanya saja disini peneliti akan memaparkan alat ukur yang telah
dibuat oleh Meyer dan Allen yakni OCS untuk mengukur komitmen organisasi.
OCS adalah kuesioner yang terdiri dari 24 pernyataan yang terstruktur atau item,
seluruh tersebut mengukur tiga dimensi dari komitmen organisasi yaitu afektif,
18
2.2. Motivasi Kerja
2.2.1. Pengertian Motivasi Kerja
Motivasi menurut Robbins dan Judge (1988) pengerian motivasi kerja adalah “As the processes that account for an individual’s intensity, direction, and persistance of effort toward attaining goal”. Maksudnya bahwa motivasi kerja adalah proses yang menjelaskan individu baik dalam intensitas, arah, dan juga upaya untuk
mencapai tujuannya. Lalu pada bukunya, Robbins dan Judge (1988) juga
menambahkan, secara umum motivasi berfokus terhadap upaya dalam meraih
tujuan individu, lalu dipersempit fokus itu ke dalam tujuan organisasi dan
direfleksikan lewat hubungan kerja. Motivasi dapat didefinisikan sebagai
keinginan yang berkembang pada diri seorang karyawan untuk melakukan tugas
dengan menggunakan kemampuan terbesarnya nya berdasarkan inisiatif individu
itu sendiri (Rudolf & Kleiner dalam Alhaji & Yusof, 2012).
Menurut penelitian yang dilakukan Ryan dan Deci (dalam Meyer et al.,
2004), Motivasi adalah keadaan dimana seseorang yang diberi energi dianggap
memiliki motivasi. Menurut Levy (2009) motivasi adalah sebuah paksaan yang
mendorong seseorang agar perilakunya bersemangat, langsung, dan menopang
dalam pekerjaan mereka. Motivasi adalah satu set kekuatan yang menyebabkan
seseorang untuk mendekati tindakan tertentu dengan kemampuan maksimal.
Prakteknya, motif termasuk kebutuhan, keinginan, hasrat dan kekuatan batin
seseorang yang merangsang dia untuk melakukan aktivitas tertentu. Dan perilaku
manusia terbentuk di bawah pengaruh motivasi untuk mencapai tujuan tertentu
19
Menurut Pinder (dalam Meyer et al., 2004) motivasi kerja adalah seperangkat kekuatan energik yang berasal baik dari dalam maupun dari luar
individu, untuk membentuk perilaku yang terkait dengan pekerjaan, dan untuk
menentukan bentuk, arah, durasi dan intensitas perilaku. Menurut Meyer et al.,
(2004) terdapat dua fitur penting dari definisi ini. Pertama, motivasi diidentifikasi
sebagai kekuatan energi, artinya adalah apa yang menyebabkan karyawan
bertindak atau berperilaku. Kedua, gaya ini memiliki implikasi kepada bentuk,
arah, intensitas, dan durasi perilaku. Artinya, menjelaskan apa yang membuat
karyawan termotivasi untuk mencapai tujuannya, bagaimana mereka akan
berusaha untuk mencapainya, seberapa keras mereka akan bekerja untuk
melakukannya, dan kapan mereka akan berhenti (Meyer et al., 2004).
Motivasi adalah disposisi internal seseorang untuk peduli dengan
pendekatan dan insentif positif dan menghindari insentif negatif (Alimohammadi
& Neyshabor, 2013). Kemudian menurut Sarlito (2010) motivasi merupakan
istilah yang lebih umum, yang merujuk kepada seluruh proses gerakan, termasuk
dorongan yang timbul dari dalam individu, perilaku yang ditimbulkan oleh situasi
tertentu dan merupakan sebuah tujuan atau akhir daripada tindakan atau
perbuatan. Jadi motivasi kerja adalah munculnya keinginan atau dorongan yang
didukung dengan mengerahkan usaha semaksimal mungkin karena individu ingin
20
Gambar 2.1 Proses Motivasi
Proses Motivasi. Diambil dari “The Motivation to Work: What We Know” oleh E. A. Locke dalam Meyer et all., 2004.
2.2.2. Dimensi Motivasi
McClelland memaparkan ada 3 kebutuhan penting dalam teori motivasi miliknya.
Peneliti akan menjelaskan aspek-aspek need yang telah ditulis oleh McLelland.
Berikut adalah 3 aspek yang dituturkan oleh McClelland (dalam Moore et all.,
2010):
1. Need for Power adalah keinginan untuk mengendalikan orang lain (McClelland, 1961, dalam Moore et all., 2010). Moore juga menambahkan bahwa pada need of power adalah keinginan seseorang untuk memimpin orang lain. Lalu Daft (dalam Moore et all., 2010) mendefinisikan kebutuhan akan kekuasaan sebagai keinginan untuk mempengaruhi atau mengendalikan
orang lain, bertanggung jawab untuk orang lain, dan memiliki kewenangan
21
memiliki keinginan untuk memiliki pengaruh dan ingin membuat dampak
yang besar bagi organisasi.
Keinginan untuk memebuat seseorang berperilaku sesuai kehendaknya,
memengaruhi orang lain, dan yang memiliki dampak bagi orang lain yang
mana mereka dipengaruhi tidak dapat menolak. Orang yang memiliki
kebutuhan berkuasa yang besar menyukai pekerjaan dimana mereka menjadi
pemimpin, dan mereka berupaya untuk dapat memengaruhi orang lain.
Penelitian mengungkapkan eksekutif manajer sebagian besar memiliki
kebutuhan ini.
2. Need for Achievement adalah kesuksean yang diraih melalui kompetisi yang mana pada kompetisi itu ada seseorang yang memiliki kemampuan dia atas
rata-rata dan dapat melakukan pekerjaan yang lebih baik di atas standar
(McClelland et all., 1958, dalam Moore 2010). Artinya, tujuan beberapa individu dalam materi ini adalah untuk menjadi sukses dalam hal persaingan
dengan beberapa standar keunggulan. Individu yang menunjukkan perlunya
prestasi atau penghargaan berusaha untuk mencapai tujuan yang realistis
tetapi menantang.
Hasrat untuk mencapai, untuk mendapatkan hubungan yang terstandar
dan keinginan untuk sukses. Need ini lebih ingin mendapatkan prestasi daripada hanya sekedar imbalan, pegawai akan bergairah dalam melakukan
sesuatu lebih baik dan efisien. Lebih lanjut McLelland menemukan bahwa
22
dari orang lain dalam keinginan kuat mereka untuk mendapatkan yang lebih
baik. Mereka juga yang memiliki kebutuhan prestasi yang tinggi lebih
menyukai pekerjaan yang memiliki tanggung jawab.
3. Need for Affiliation adalah membangun, memelihara, atau menjalin hubungan yang baik dengan orang lain. Hubungan ini paling memadai dijelaskan oleh
kata persahabatan keinginan untuk berteman dan menutup hubungan
interpersonal (McClelland, 1961 dalam Moore 2010). Dengan kata lain
kebutuhan individu untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.
Kebutuhan ini kurang sekali mendapat perhatian dan paling sedikit
diteliti. Mereka yang memiliki kebutuhan ini ingin sekali disukai dan diterima
oleh orang lain. Mereka lebih menyukai situasi-situasi kooperatif daripada
situasi kompetitif, dan sangat menginginkan hubungan-hubungan yang
melibatkan emosi dan saling pengertian. Individu akan berusaha menghindari
konflik.
2.2.3. Pengukuran Motivasi kerja
Terdapat beberapa jenis alat ukur untuk mengukur motivasi. menurut Sprangler
(1992) Alat ukur motivasi yang cukup sering digunakan oleh peneliti ialah
Thematic Apperception Test (TAT). Selama 4 dekade McClelland, Atkinson dan lainnya telah mempelajari dasar motivasi perilaku manusia. Karya McClelland
dan tokoh lainnya berkembang melalui laboratorium penelitian yang mengkaji
kebutuhan akan prestasi dan kebutuhan akan prestasi (Atkinson dan Litwin, 1960,
McClelland, 1965, dalam Sprangler, 1992). Karya ini juga menuai banyak kritikan
23
satu dimensi saja (Sprangler, 1992). Tetapi meskipun begitu TAT tetap menjadi
salah satu pilihan yang digunakan oleh banyak peneliti yang hendak mengukur
motivasi kerja.
Selain TAT ada skala yang didesain khusus untuk mengukur work motivasion, job satisfaction, and commitment (WMJSC) dikembangkan oleh Tella
et all., (2007). Pada penelitian kali ini peneliti akan mengadaptasi alat ukur yang digunakan oleh Steers dan Braunstein (1976) yakni McClelland’s Needs Asasement, alat ukur ini terdiri dari 15 pertanyaan, dimana setiap 5 item mewakili salah satu dari dimensi McClelland.
2.3. Psychological Well-Being
2.3.1 Definisi Psychological Well-Being
Pada sub bab ini akan memaparkan mengenai definisi dari psychological well-being yang telah dijelaskan oleh tokoh psychological well-being. Ryff (1989) memaparkan gagasan teorinya ialah karena berlandaskan pada teori positive
functioning milik Gordon Allport, hierarchical of needs milik Abraham Maslow,
dan fully functioning milik Carl Rogers. Ryff mendefinisikan psychological
well-being sebagai kondisi dimana individu memliki sikap yang positif terhadap diri
sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah
lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang cocok dengan
kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih
bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya (Ryff,
24
2.3.1.1 Perkembangan Pemikiran Psychological Well-Being
Penelitian well-being tampak sangat menonjol pada kajian psikologi empiris saat ini (Ryan dan Deci, 2001). Penelitian well-being mencerminkan peningkatan kesadaran well-being sebagai pengaruh positif yang menunjukan tidak adanya penyakit mental dan bukan sebagai pengaruh negatif (Cacioppo & Berntson dalam
Ryan & Deci, 2001). Karya Bradburns yang muncul pada tahun 1969 yang
berjudul “The Structure of Psychological Well-Being” dapat membedakan emosi
negatif dan positif. Bradburn berfokus pada kebahagiaan sebagai variabel hasil
dan menyatakan bahwa emosi negatif dan positif adalah dua hal yang berbeda,
dan keseimbangan pada keduanya merupakan ciri dari kebahagiaan (Ryff, 1989).
Ryff (1989) menerangkan bahwa kebahagiaan merupakan ciri dari
keseimbangan antara perasaan positif dan negatif yang pada dasarnya adalah satu
empiris. Artinya baik positif dan negatif memiliki fungsi yang sama yakni sebagai
indeks dari kebahagiaan. Psychological well-being memiliki dua konsep yakni
hedonic dan eudaimonic (Bowman, Brandenberger, Lapsley, Hill, & Quaranto, 2010; Henderson & Knight, 2012; Ryan & Deci, 2001; Ryff, Singer, & Love,
2004; Waterman, 1993 dalam Molix dan Nichols, 2013). Singkatnya,
kesejahteraan hedonis mengacu merasa baik, sedangkan kesejahteraan eudaimonic
mengacu pada hidup yang baik (misalnya, bermakna, berbudi luhur, atau otentik)
kehidupan (Henderson & Knight dalam Molix dan Nichols, 2013).
Terdapat 2 paradigma yang telah diterangkan oleh Molix dan Nichols
(2013), saat ini peneliti akan memaparkan penjelasan hedonis dan eudaimonic
25
perspektif hedonis umumnya disamakan dengan keadaan emosi positif yang
menyertai kepuasan dan juga keinginan, oleh karena itu pengalaman kesenangan,
kepedulian, dan kenikmatan dianggap mencerminkan kesejahteraan (Diener dalam
Henderson dan Knight, 2012). Filsuf hedonis percaya bahwa manusia pada
dasarnya ingin memaksimalkan pengalaman senang dan meminimalkan rasa sakit.
Kesenangan dan rasa sakit dipandang sebagai indikator kuat yang baik dan buruk
dan karenanya memaksimalkan kesenangan dipandang sebagai cara
memaksimalkan baik dalam kehidupan seseorang (Henderson & Knight, 2012).
Menurut Ryan dan Deci (2001) hedonic fokus pada pencapaian kepuasan dan menghindari rasa sakit.
Kedua, eudaimonic berorientasi pada hidup yang memiliki makna dan keinginan seseorang dalam memuaskan dirinya sendiri. Hal ini mendefinisikan
well-being sebagai tingkat tertentu dimana seseorang menjadi pribadi yang
sepenuhnya berfungsi (Ryan & Deci, 2001). Eudaimonic sering kontras dan dianggap filosofis yang menentang, tradisi hedonis (Deci & Ryan dalam
Henderson & Knight, 2012). Konsep eudaimonia pertama kali dijelaskan oleh
Aristoteles, dan juga telah dikaitkan dengan filsuf kuno lainnya seperti Plato dan
Zeno dari Citium (Grinde dalam Henderson dan Knight, 2012). Aristoteles
menyatakan bahwa hidup kontemplasi dan kebajikan, sesuai dengan satu sifat
yang melekat (yaitu hidup otentik, atau kebenaran seseorang 'daimon') adalah
jalan menuju kesejahteraan (Norton dalam Henderson & Knight, 2012).
Lebih lanjut lagi konsepsi Aristoteles tentang eudaimonia telah didominasi
26
berdasarkan keunggulan dan kebajikan (McDowell dalam Henderson & Knight,
2012). Pendekatan ini merupakan kekhawatiran bahwa kebahagiaan dan kepuasan
hedonis dapat dihasilkan dari perilaku tercela, dan oleh karena itu laporan
subjektif kebahagiaan tidak harus dianggap sebagai indikasi yang baik, apakah
kehidupan dijalani dengan baik. Sebagai kebahagiaan yang subjektif dapat dialami
pada banyak konteks (misalnya melalui penggunaan obat-obatan terlarang),
laporan subjektif positif tidak selalu mencerminkan kebaikan. Ini akan
menunjukkan bahwa filsuf eudaimonic lebih peduli dengan hal apa yang membuat seseorang bahagia, daripada jika seseorang kebahagiaan (Henderson dan Knight,
2012).
2.3.2. Dimensi Psychological Well-being
Ryff memaparkan bahwa ada 6 aspek psychological well-being yang terdapat pada teorinya. Enam dimensi ini tidak lepas dari penggabungan Ryff dari berbagai
teori yang menjadi rumusan dasar dari psychological well-being (dalam Ryff,
1989).
1. Self-acceptance. Penerimaan diri dikatakan sebagai fitur utama dari sehat mental sebagai karakteristik dari aktualisasi diri, fungsi diri yang optimal, dan
kedewasaan. Memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri merupakan
karakteristik dari positive psychological functioning (Ryff, 1989). Sikap positif ini adalah mengenali dan menerima berbagai aspek dalam dirinya, baik
yang positif maupun negatif, serta memiliki perasaan positif terhadap
kehidupan masa lalunya. Orang yang memiliki nilai yang tinggi pada aspek
27
mengenali dan menerima berbagai aspek dalam dirinya, termasuk hal-hal
yang baik maupun yang buruk, dan dapat melihat pada masa lalu dengan
perasaan yang positif (Ryff & Keyes, 1995).
2. Positive relationship with others. Hubungan positif dengan orang lain. Banyak teori-teori sebelumnya menekankan pentingnya kehangatan, percaya,
dan hubungan interpersonal. Manusia yang memiliki positive relation with others yang baik akan menjadi pribadi yang ramah pada setiap pegawai, percaya kepada orang lain, dan membuat orang lain senang. Orang yang
beraktualisasi diri digambarkan memiliki rasa empati dan afeksi yang kuat
terhadap manusia dan dapat memiliki cinta yang mendalam, persahabatan
yang kuat, dan memiliki identifikasi yang sempurna terhadap yang lain.
Teori tahapan perkembangan juga menekankan pada keberhasilan intimacy
dan juga generativity. Inti dari konsep psychological well-being ini ialah hubungan positif dengan lingkungan sekitar.
3. Autonomy. Individu yang sepenuhnya mandiri digambarkan memiliki locus of control yang baik, dimana orang tersebut tidak selalu membutuhkan pendapat dan persetujuan dari orang lain, namun mengevaluasi dirinya sendiri dengan
standar personal. Nilai yang tinggi pada aspek ini menunjukkan indivdidu
yang berkemauan kuat dan independen, dapat menahan tekanan sosial dan
bertindak dengan pandangan penilaian personal. Individu ini dicirikan dengan
mengevaluasi diri dengan menggunakan standar personal (Ryff & Keyes,
28
4. Environmental mastery. Penguasaan lingkungan. Individu yang memiliki karakteristik mental yang sehat ialah dengan memiliki kemampuan untuk
memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikis nya.
Menurut Ryff (1989), individu yang memiliki penguasaan lingkungan adalah
orang yang memiliki kemampuan dan kompetensi untuk mengatur
lingkungannya. Individu tersebut secara efektif dapat menggunakan peluang
yang muncul dan dapat memilih atau menciptakan konteks yang sesuai
dengan kebutuhan dan nilai personal mereka.
5. Purpose in life. Tujuan hidup. Seseorang yang memiliki sifat mental yang sehat dikatakan memiliki perasaan untuk menyadari bahwa terdapat tujuan
dan makna dalam hidup. Definisi dari kedewasaan sendiri juga menekankan
tujuan hidup yang menyeluruh, memiliki arah (sense of directedness) dan juga tujuan (intentionality) (Ryff, 1989).
6. Personal Growth. Dimensi ini melihat pentingnya kemampuan seseorang untuk menyadari potensi dan bakat untuk mengembangkan potensi yang lain.
Kebutuhan terhadap aktualisasi diri dan menyadari potensi diri merupakan hal
yang utama dalam perspektif klinis terhadap pengembangan diri. Terbuka
terhadap pengalaman merupakan salah satu ciri dari fully functioning person.
Teori perkembangan menambahkan pentingnya individu untuk terus
berkembang guna menghadapi tantangan baru dalam setiap periode pada
29
2.3.3. Pengukuran Psychological Well-Being
Pengukuran psychological well-being menggunakan alat ukur yang dibuat oleh
Ryff, yaitu Psychological Well-Being Scales (PWBS). Skala pengukuran
disesuaikan dengan teori milik Ryff mengenai psychological well-being dengan
membaginya kedalam 6 dimensi, yaitu self-accpetance, positive relation with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth
(Ryff, 1989). Skala pengukuran milik Ryff ini sendiri dibuat dengan format skala
likert dengan 6 kemungkinan jawaban yang disediakan, mulai dari sangat tidak
setuju hingga sangat setuju.
2.4. Kerangka Berpikir Penelitian
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, setiap organisasi harus memiliki skenario
yang kuat untuk mempertahankan eksistensinya di dunia industri. Singh dan
Gupta (2008) menerangkan bahwa dibutuhkan kedisiplinan sistem dan budaya
organisasi yang kuat untuk mempertahankan keberadaan organisasi ditengah
persaingan dunia industri pada zaman modern sekarang ini. Maka dari itu peran
karyawan sangat penting untuk mempertahankan dan bersaing pada era
globalisasi saat ini (Singh & Gupta, 2008).
Untuk bertahan dari ketatnya persaingan industri, setiap perusahaan
maupun organisasi harus memiliki cara agar mereka dapat bertahan dari
persaingan yang setiap harinya semakin ketat. Singh dan Gupta (2008)
menyebutkan agar sebuah organisasi dapat bertahan dari persaingan yang semakin
ketat ialah dengan mengembangkan ikatan antara organisasi dan karyawan.
30
organisasi sehingga muncul rasa komitmen terhadap organisasi yang timbul di
dalam hati pegawai. Simo (2010) menambahkan jika komitmen organisasi sudah
tumbuh pada setiap pegawai maka akan timbul efisiensi dan produktivitas, dengan
ke 2 hal itu perusahaan dapat bertahan dan bersaing di tengah padatnya
persaingan industri.
Komitmen organisasi pada individu dibangun oleh tiga faktor besar, yang
pertama adalah mekanisme organisasi, kemudian karakteristik individu, dan yang
terakhir adalah faktor sosial (Levy, 2009). Penelitian ini memiliki fokus pada
karakteristik individu sebagai variabel yang dapat mempengaruhi komitmen
organisasi pada individu. Motivasi kerja dan psychological well-being merupakan variabel dari karakteristik individu yang disebutkan oleh Levy.
Faktor pertama yang akan dibahas oleh peneliti ialah motivasi kerja, pada
faktor ini peneliti mengacu pada statement Meyer et al., (2004) yang menurut mereka komitmen merupakan salah satu dari komponen dari motivasi dan akan
lebih baik jika kedua teori itu saling dikaitkan. Terkait temuan Ryan dan Deci
(dalam Meyer et al., 2004) memaparkan bahwa motivasi berkontribusi terhadap perilaku kerja, komitmen organisasi merupakan salah satunya. Menurut Ryan dan
Deci dengan adanya motivasi arah perilaku kerja menjadi jelas, pegawai jadi
memiliki alasan dan juga tujuan yang jelas, menurut kedua peneliti di atas hal
tersebut sudah menjadi bentuk komitmen.
31
dalam Moore, 2010), merupakan kebutuhan yang diperlukan untuk menjadi
seorang pemimpin. Ketika seseorang sudah menjadi pemimpin atau menjadi yang
paling dominan di organisasi maka tentu individu tersebut akan memiliki
tanggung jawab. Karena tanggung jawab ini lah maka individu akan terikat
dengan organisasi dan akan memberikan kontribusi bagi organisasi.
Dimensi kedua dari teori motivasi yang digunakan peneliti merupakan
need for achievement. Kebutuhan akan penghargaan ini didasari karena individu ingin menjadi sukses dan berhasil pada kompetisi (McClelland et al., 1958 dalam Moore et al., 2010). Kebutuhan untuk menjadi yang terbaik, menjadi bagian terpenting dari komitmen organisasi karena individu yang memiliki rasa
kompetitif yang tinggi maka individu akan berusaha sekuat mungkin untuk
mencapai prestasi tertinggi dan menjadi yang terdepan. Ketika prestasi itu sudah
berhasil di raih tak pelak akan berimplikasi kepada organisasi, prestasi itulah yang
menjadi komitmen individu bagi organisasi.
Need for affiliation menjadi dimensi pelengkap daripada dimensi motivasi kerja. Menurut McClelland (dalam Moore et al., 2010) need for affiliation ini berarti memebangun afiliasi atau kerja sama dan membangun hubungan yang
positif dengan orang lain. Ini berarti ketika seseorang sudah dapat membangun
hubungan dengan banyak orang maka kemungkinan individu itu menjadi nyaman
sangat tinggi. Hal ini dikarenakan kebanyakan manusia membutuhkan teman
untuk bicara dan di dunia ini manusia harus dapat bersosialisasi dengan baik jika
ingin bertahan dari kerasnya persaingan organisasi. Individu akan menjadi sangat
32
itulah kebutuhan afiliasi ini melengkapi 3 dimensi yang dipaparkan oleh
McClelland.
Faktor ke dua yang memengaruhi komitmen organisasi adalah
psychological well-being, kerangka berpikir ini diperkuat dengan adanya beberapa artikel yang telah meneliti mengenai pengaruh psychological well-being terhadap komitmen organisasi. Rathi (2011) menemukan hubungan yang positif antara
psychological well-being dengan affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment. Psychological well-being terdiri dari 6 dimensi yang akan diteliti lebih lanjut oleh peneliti.
Dimensi pertama self-acceptance atau penerimaan diri, sebab ketika individu telah berhasil menerima diri apa adanya maka akan mudah baginya untuk
terbuka. Dijelaskan oleh Ryff (1989) konsep penerimaan diri ini adalah fungsi
utama dari kesehatan mental. Individu ketika sudah berhasil menerima dirinya
dengan baik maka sikap yang akan ditunjukan pun akan positif, ketika individu
sudah memiliki perasaan yang positif individu akan memiliki berproduktifitas
dengan tinggi hal ini lah yang membuat individu dapat berkomitmen dengan
organisasi yang menaunginya.
Positif relation with others menjadi dimensi ke 2 pada teori Ryff (1989) yang akan dijelaskan peneliti di dalam sub bab kerangka penelitian kali ini.
Hampir sama dengan kebutuhan untuk berafiliasi pada teori McClelland yang
sudah dijelaskan di atas. dimensi ini menjelaskan bahwa individu harus memiliki
33
dan sejahtera. Hubungan positif ini yang membangun komitmen pada di individu
sehingga individu dapat loyal dengan organisasi.
Dimensi ke 3 yang tidak kalah penting ialah autonomy atau kemandirian. Mengacu kepada teori Ryff (1989) aspek ini dipusatkan kepada locus of control,
yang artinya seorang pegawai dapat menahan tekanan sosial dan bertindak dengan
pandangan penilaian personal. Pegawai yang memiliki autonomi yang bagus tidak
akan goyah oleh godaan perusahaan lain yang mengajaknya bergabung, individu
tersebut akan teguh pada organisasi yang sekarang.
Environmental mastery merupakan dimensi ke 4 berdasarkan teori Ryff (1989) yang memengaruhi komitmen organisasi. Seseorang yang mampu
menciptakan suasana yang kondusif bagi dirinya tentu akan mudah untuk
memberikan kontribusi kepada organisasi. Menurut Ryff individu yang dapat
menguasai keadaan seperti ini tidak akan pernah melewatkan kesempatan sekecil
apa pun. Individu yang memiliki kemampuan seperti ini tentulah akan mudah
baginya untuk melibatkan diri dengan segala kegiatan organisasi dan itulah cara
individu itu berkomitmen dengan organisasinya.
Purpose in life tak kalah penting dari ke 4 dimensi di atas, aspek ini penting karena setiap orang harus memiliki tujuan hidup. Seseorang yang
memiliki tujuan hidup tentunya akan memiliki arah dan juga pandangan yang
cukup luas. Individu seperti ini tidak mudah untuk bimbang karena dia pasti
memiliki tujuan yang ingin dicapai dan jika tujuan hidup ini di dukug oleh
organisasi makan komitmen organisasi orang ini pun akan meningkat karena baik
34
Dimensi terakhir dari psychological well-being yang dikembangkan oleh Ryff (1989) ialah personal growth. Organisasi yang memberikan kesempatan bagi pegawai yang ingin berkembang pastilah akan sangat di hargai. Pegawai yang
mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan dirinya pun akan membalas
dengan cara berkomitmen penuh terhadap organisasi. Komitmen akan terus
berlanjut jika pengembangan itu konsisten dilakukan.
Motivasi Kerja
Psychological well-being
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir
2.5. Hipotesis Penelitian
Hipotesis Mayor
Ada pengaruh yang signifikan Motivasi Kerja dan Psychological Well-Being
terhadap komitmen organisasi pada karyawan di organisasi?
Need for Power Need for Achievement Need for Affiliation
Purpose in Life Self-Accepted
Relationship with Other Autonomy
Environmental Mastery
Personal Growth
35
Hipotesis Minor
H1 : Ada pengaruh yang signifikan need for power terhadap komitmen organisasi.
H2 : Ada pengaruh yang signifikan need for achievement terhadap komitmen organisasi.
H3 : Ada pengaruh yang signifikan need for affiliation terhadap komitmen organisasi.
H4 : Ada pengaruh yang signifikan self-acceptance terhadap komitmen organisasi.
H5 : Ada pengaruh yang signifikan relationship with others terhadap komitmen organisasi.
H6 : Ada pengaruh yang signifikan autonomy terhadap komitmen organisasi. H7 : Ada pengaruh yang signifikan environmental mastery terhadap komitmen
organisasi.
H8 : Ada pengaruh yang signifikan purpose in life terhadap komitmen organisasi.