• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh psychological capital dan kepuasan kerja terhadap psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh psychological capital dan kepuasan kerja terhadap psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Disusun oleh Raina Fatia Karima

1110070000006

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

you love what you are doing, you will be successful.

― B ob Dylan

Kemenangan yang seindah – indahnya dan sesukar – sukarnya yang

boleh direbut oleh manusia ialah menundukan diri sendiri.

― Ibu Kartini

Happiness always looks small while you hold it in your hands, but let it go,

and you learn at once how big and precious it is.

(6)

vi

Persembahan:

(7)

vii

C) Raina Fatia Karima

D) Pengaruh Psychological Capital dan Kepuasan Kerja terhadap Psychological Well-Being pada Petugas Pemadam Kebakaran

E) xvi + 130 Halaman

F) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari setiap variabel yang dianalisis (independent variable) terhadap psychological well-being (dependent variable) pada petugas pemadam kebakaran. Independent variabel yang diteliti dalam penelitian ini antara lain psychological capital (self-efficacy, hope, resiliency, optimism) dan kepuasan kerja (pay, promotion, supervision, fringe benefit, contingen reward, operating condition, coworker, communication) serta variabel mana yang paling mempengruhi psychological well-being.

Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode analisis regresi berganda, serta pengujian validitas konstruk menggunakan teknik Analisa Faktor Konfirmatori (CFA). Sampel berjumlah 200 petugas pemadam kebakaran. Sampel penelitian di tentukan dengan menggunakan teknik non probability sampling. Instrument pengumpulan data menggunakan Ryff Scale of Psychological Well-being (RSPWB), Psychological Capital Questionnaire (PCQ-24) yang dikembangkan oleh Luthans, Avolio, et al., 2007dan Satisfaction Scales (JSS).

G) Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari psychological capital dan kepuasan kerja terhadap psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran. Hasil uji hipotesis minor yang menguji self-efficacy, hope, resiliency, optimism, pay, promotion, supervision, fringe benefit, contingen reward, operating condition, coworker dan communication, hanya optimisme saja yang memiliki pengaruh terhadap psychological well-being, sedangkan sisanya tidak berpengaruh terhadap psychological well-being.

(8)

viii

L) The influence of psychological capital and job satisfaction on Psychological well-being in fire fighter

M) xvi + 130 Pages

N) This study was done to see the extent of the influence of each variable were analyzed (independeny variable) on psychological well-being (dependent variable) in fire fighter. Independent variables examined in this study include psychological capital (self-efficacy, hope, resiliency, optimism) and job satisfaction (pay, promotion, supervision, fringe benefit, contingen reward, operating condition, coworker, communication), which variable most affect psychological well-being.

The approach used in this study is a quantitative method, analysis with multiple regression (SPSS 17.0), and testing construct validity using Confirmatory Factor Analysis (CFA). Sample are 200 fire fighte. The technique sampling is determined by using the non-probability sampling technique. Data collection instrument using a Likert scale, Ryff Scale of Psychological Well-being (RSPWB), Satisfaction Scales (JSS), and Psychological Capital Questionnaire (PCQ-24), scale was developed by Luthans, Avolio, et al., 2007.

Based on the results, that there are significant effect of job satisfaction and psychological capital on psychological well-being of fire fighter. The results of the minor hypothesis test that self-efficacy, hope, resiliency, optimism, pay, promotion, supervision, fringe benefit, contingen reward, operating condition, coworker and communication, only optimism which has an influence on psychological well-being, while the rest had no effect on psychological well-being.

(9)

ix

Syukur Allhamdulillah peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan kekuatan yang diberikan-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Psychological Capital dan Kepuasan Kerja terhadap Psychological Well-Being pada Petugas Pemadam Kebakaran”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, pemimpin dan tauladan kaum yang beriman, kepada keluarga, sahabat, dan seluruh umat yang senantiasa mencintainya. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Selama pengerjaan skripsi ini peneliti dihadapkan dengan beragam cobaan, kesulitan, rintangan dan penuh perjuangan serta kesabaran yang telah memberikan pelajaran hidup yang berarti bagi peneliti.

Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

(10)

x

dengan penuh kesabaran dan kesungguhan telah memberikan banyak saran dan kritik kepada peneliti selama masa penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas waktu yang berharga dan tenaganya untuk membimbing dan memberikan masukan kepada peneliti.

4. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan limpahan ilmu yang tidak ternilai dan banyak membantu peneliti.

5. Kepada kedua orang tua dan saudara-saudaraku, saya mengucapkan banyak terima kasih atas doa pada setiap sujudnya, mamah dan bapak yang tak pernah putus memberikan semangat, selalu penuh rasa cinta, kasih dan sayang, dan dukungan baik moril maupun materil. Teteh yang selalu siap membantuku saat kesulitan serta bersedia mendengarkan keluh kesah peneliti saat proses penyusunan skripsi ini

6. Sahabat-sahabat saya emmeku Dina, Okta, Ditta, Hanna, Ira, dan Rias khusunya Ira dan Rias yang selalu mendukung peneliti, selalu siap mendengarkan keluh kesah peneliti, tselalu dapat membuat peneliti memiliki energi yang lebih untuk dapat menyelesaikan penelitian ini. 7. Terima kasih kepada petugas pemadam kebakaran yang telah mau

(11)

xi

8. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat Peneliti sebutkan satu per satu, terima kasih untuk segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan untuk membantu Peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis berharap semoga amal baik serta jasa mereka senantiasa di terima Allah SWT. Selain itu mengingat kekeurangan dan keterbatasan Peneliti, maka segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan Peneliti sebagai bahan penyempurnaan. Serta semoga pembaca dapat memanfaatkan karya sederhana ini. Amin.

Jakarta, Desember 2014

(12)

xii

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

1.2.1 Pembatasan Masalah ... 8

1.2.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 11

2.1.1 Definisi Psychological Well-Being ... 14

2.1.2 Dimensi Psychological Well-Being ... 15

2.1.3 Faktor-faktor Psychological Well-Being ... .. 20

2.1.3.1 Faktor Demografis ... 20

2.1.3.2 Kepuasan Kerja ... 22

(13)

xiii

2.2.3 Pengukuran Psychological Capital... ... 32

2.3 Kepuasan Kerja ... 33 3.1 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 52

3.2 Variabel dan Definisi Operasional ... 52

3.3.1 Alat Ukur Psychological Well-Being ... 56

3.3.2 Alat Ukur Psychological Capital ... 57

3.3.3 Alat Ukur Kepuasan Kerja ... 58

3.4 Pengujian Validitas Konstruk ... 60

3.4.1 Uji Validitas Konstruk Psychological Well-Being ... 62

(14)

xiv

3.6 Prosedur Penelitian ... 84

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Hasil Penelitian ... 86

4.1.1 Ketegorisasi Skor Variabel Penelitian ... 88

4.2 Uji Hipotesis Penelitian ... 90

4.2.1 Pengujian Hipotesis Mayor ... 90

4.2.2 Pengujian Hipotesis Minor ... 92

4.2.3 Pengujian Proporsi Varians ... 95

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 99

5.2 Diskusi ... 99

5.3 Saran ... 105

5.3.1 Saran Metodologis ... 106

5.3.2 Saran Praktis ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 107

(15)

xv

Tabel 3.2 Blueprint Skala Psychological Well-Being ... 57

Tabel 3.3 Blueprint Skala Psychological Capital ... 58

Tabel 3.4 Blueprint Skala Kepuasan Kerja ... 59

Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian ... 87

Tabel 4.2 Norma Skor Variabel ... 88

Tabel 4.3 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian ………... 89

Tabel 4.4 Model Summary ………... 91

Tabel 4.5 Anova ………... 92

Tabel 4.6 Koefisien Regresi ………... 92

(16)
(17)

xvii

Lampiran 3 Analisis Konfirmatorik PWB (environmentl mastery) Lampiran 4 Analisis Konfirmatorik PWB (personal growth)

Lampiran 5 Analisis Konfirmatorik PWB (positive relations with others) Lampiran 6 Analisis Konfirmatorik PWB (purpose in life)

Lampiran 7 Analisis Kon firmatorik Psychological Well-Being (self-acceptance) Lampiran 8 Analisis Konfirmatori Psychological Well-Being (second order) Lampiran 9 Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (self-efficacy) Lampiran 10 Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (Hope) Lampiran 11 Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (Resiliency) Lampiran 12 Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (Optimisme) Lampiran 13 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Pay)

Lampiran 14 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Promotion) Lampiran 15 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Supervision) Lampiran 16 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Fringe Benefit) Lampiran 17 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Contingen Reward) Lampiran 18 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Operating Condition) Lampiran 19 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Coworker)

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Pemadam kebakaran merupakan petugas atau karyawan yang dilatih dan bertugas untuk memadamkan kebakaran dan penyelamatan. Petugas pemadam kebakaran selain terlatih untuk menyelamatkan korban dari kebakaran, juga dilatih untuk menyelamatkan korban kecelakaan lalu lintas, gedung runtuh, dan lain-lain (Gadis, 2013). Pemadam kebakaran sangat penting peranannya di Indonesia karena kondisi wilayah Indonesia yang sering mengalami bencana alam dan kebakaran, baik di pemukiman, perkantoran maupun tempat lainnya. Kebakaran di wilayah DKI Jakarta sepanjang tahun 2011 tercatat sekitar 963 kasus, tahun 2012 tercatat 1.008 kasus, tahun 2013 tercatat 486 kasus, dan sepanjang tahun 2014 (Januari sampai dengan April 2014) tercatat 280 kasus (Lenny, 2014).

(19)

bisa menjadi salah satu pemicu terjadinya kecelakaan kerja di kalangan pemadam kebakaran. Peristiwa kecelakaaan petugas pemadam kebakaran saat melakukan operasi pemadaman seringkali terjadi, seperti luka-luka bahkan meninggal dunia. Berdasarkan data Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta (Januari 2012 sampai dengan Desember 2012) terdapat 23 personel pemadam kebakaran yang mengalami kecelakaan. Jumlah kecelakaan kerja yang paling banyak terjadi pada September 2012, terdapat 7 petugas pemadam yang terluka saat bertugas oleh karena itu pemadam kebakaran membutuhkan asuransi jiwa untuk menunjang kesehatannya (Kompas, 2014).

Pemberian asuransi jiwa kepada petugas pemadam kebakaran menjadi hal yang mendasar dan menjadi perhatian utama. Bambang Mujianto mengatakan "Kalau sudah menyangkut korban manusia tidak boleh ditempatkan lebih rendah dari prioritas lain. Jika kebakaran menunjukkan kenaikan yang cukup tinggi, ada korban jiwa dan kerugian material maka itu harus menjadi prioritas (Fauzan, 2009). Petugas pemadam kebakaran memanfaatkan askes (Asuransi Kesehatan) untuk membayar perawatan, tetapi askes tidak dapat digunakan untuk menangani luka bakar. Sehingga untuk membayar biaya perawatan, para personel kebakaran menyisihkan uangnya untuk membantu personel lain yang terkena luka bakar.

(20)

yang ditemui indosiar di kantor Pusat Suku Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta Selatan, Jalan Baru Pasar Jumat, adalah Suroto (50 tahun) yang merupakan satu dari 100 pasukan pemadam kebakaran yang telah bekerja lebih dari 27 tahun. “Menurut Suroto, menjadi petugas pemadam kebakaran harus siap fisik dan mental” (Suprihatin, 2014).

Berdasarkan hasil survey di Amerika oleh Dow Jones (1997) mengenai jenis pekerjaan yang banyak menimbulkan stress. Pekerjaan sebagai petugas pemadam kebakaran menduduki peringkat kedua sebagai pekerjaan yang stressfull, karena tuntutan yang beresiko dan penuh dengan tantangan dalam

menjalankan tugasnya, pemadam kebakaran rentan terhadap stress yang cukup tinggi. Pemadam kebakaran harus memadamkan api dengan cepat agar dapat menolong korban, tempat atau barang yang terbakar. Selain itu pemadam kebakaran harus memikirkan keselamatannya sendiri.

(21)

saat terjadi kejadian darurat dan dapat menyebabkan trauma. Beaton dan Murphy (dalam Malek, 2010) mengemukakan bahwa stress kerja sebagai pemadam kebakaran rumit dan beragam.

Profesi sebagai petugas pemadam kebakaran memiliki jam kerja tidak teratur dan harus tetap siaga 24 jam. Akibatnya, petugas cenderung tidak bersemangat, tidak benergi, sulit berkonsentrasi, sakit kepala dan mengalami insomnia. Sehingga petugas kebakaran melakukan kesalahan dalam pekerjaannya, rentan kecelakaan (karena mengantuk), perubahan mood dan sering ijin karena sakit (Tryana, 2012). Dari fenomena di atas bahwa seorang petugas kebakaran memiliki tingkat stress yang cukup tinggi dan mungkin akan mempengaruhi psychologycal well-being para petugas pemadam kebakaran.

Psychological well-being merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan

apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, serta mengarah pada pengungkapan perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya (Ryff, 1989). Petugas pemadam kebakaran harus memiliki psychological well-being yang baik, karena dalam menjalankan tugasnya dibutuhkan fisik dan juga psikis yang sehat sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

Psychological well-being dapat dipengaruhi oleh psychological capital.

(22)

well-being pada karyawan. PsyCap memiliki empat dimensi yaitu Self-Efficacy, Hope, Optimism, dan Resiliency.

Penelitian yang dilakukan oleh Sandeep Singh dan Mansi (2009) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara well-being dan self-efficacy. Individu yang memiliki self- efficacy tinggi akan memiliki psychological well being yang tinggi, akan lebih percaya diri, tegas, memiliki aspirasi yang tinggi dan komitmen yang kuat terhadap apa yang ingin di capai. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi dapat mengelola dan mengatasi pengalaman buruk yang pernah dialami. Seorang petugas pemadam kebakaran harus memiliki self-efficacy yang tinggi, dimana petugas harus yakin terhadap kemampuannya dalam mengatasi kebakaran.

Individu yang memiliki harapan yang tinggi terhadap kehidupannya dan memiliki keinginan untuk mencapai suatu tujuan maka akan memiliki psychological well-being yang tinggi pula. Seorang petugas harus memiliki

harapan terhadap pekerjaan yang dilakukan sehingga akan mendapatkan hasil yang maksimal. Peneliti melakukan wawancara bahwa harapan seorang petugas pemadam kebakaran pada saat proses pemadaman masih sangat rendah, dimana terkadang petugas merasa putus asa pada saat proses pemadaman karena api yang tidak kunjung padam sehingga akan mempengaruhi psychological well-being petugas karena tidak berhasil memadamkan api.

Penelitian yang dilakukan oleh Sandeep Singh dan Mansi (2009)

(23)

yang penuh stres. Seseorang yang memiliki nilai yang tinggi terhadap optimisme maka memiliki tingkat kepuasan yang tinggi, rendahnya tingkat stress, anxiety dan gejala depresi. Power (dalam Sandeep Singh dan Mansi 2009) menyatakan bahwa optimisme lebih berorientasi terhadap pencapaian pada setiap tugas dalam hidup, pengambilan keputusan dengan cepat, dan memilih solusi yang terbaik dalam menangani masalah. Individu yang optimis memiliki kualitas hidup yang tinggi dan memiliki resiko yang lebih rendah dari semua penyebab kematian. Pekerjaan sebagai petugas pemadam kebakaran dapat menyebabkan stress, cemas dan gejala depresi sehingga dengan memiliki optimisme terhadap pekeraannya maka seorang petugas akan memiliki tingkat stress yang rendah dan akan mempengaruhi psychological well-beingnya.

Kecelakaan yang terjadi dalam pekerjaan sebagai petugas pemadam kebakaran sering kali terjadi dan kecelakaan dapat menyebabkan individu trauma dan sulit untuk bangkit kembali dan menyesuaikan dengan lingkungan. Sehingga seorang petugas pemadam kebakaran harus memiliki resiliensi, dimana resiliensi yaitu dapat bangkit kembali dari pengalaman yang buruk dan juga dapat menyesuaikan dengan lingkungannya. Seorang petugas harus memiliki resiliensi yang tinggi, sehingga akan cepat bangkit kembali dari pengalaman buruknya dan juga akan mempengaruhi psychological well-beingnya.

(24)

& Palmer, 2010). Individu dengan psychological capital yang tinggi akan lebih fleksibel dan mudah beradaptasi untuk melakukan beberapa hal dalam memenuhi tuntutan pekerjaan. Dimana di saat yang bersamaan psychological capital yang dimiliki akan membantu mengembangkan dan meningkatkan kemampuan serta well-being yang dimiliki (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007).

Psychological well-being juga dapat di pengaruhi oleh kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh C Bravo-Yanez, dan A Jimenez-Figueroa (2011) terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan psychological well-being. Individu yang merasa puas dengan pekerjaannya cenderung merasa baik secara psikologis. Perilaku ini dapat dengan jelas terlihat dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh C Bravo-Yanez, dan A Jimenez-Figueroa (2011), bahwa apabila terdapat perbedaan yang ditemukan dalam sampel tentang kepuasan kerja juga ditemukan perbedaan dalam psychological well-being. Terdapat penelitian lain juga yang menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan terhadap psychological well-being. Individu yang merasa senang akan pekerjaannya maka akan puas secara pekerjaan dan juga psychological well-beingnya (Luthans dkk, 2010).

(25)

dilakukan oleh petugas pemadam kebakaran oleh pemerintah. Ketka terjadi kecelakaan kereta di bintaro, yang pertama kali datang ke TKP yaitu petugas pemadam kebakaran tetapi yang diberikan penghargaan hanya polisi dan tentara dan yang di sorot oleh media hanya tentara dan polisi. Sehingga petugas pemadam kebakaran merasa kurang dihargai dan diperhatikan. Selain itu, sebagai petugas pemadam kebakaran harus memiliki komunikasi dan rekan kerja yang baik sehingga dapat meningkatkan kepuasan terhadap pekerjaannya, tetapi petugas merasa kurang puas terhadap komunikasi antar petugas maupun rekan kerjanya. Sehingga pekerjaan yang petugas pemadam kebakaran lakukan kurang maksimal, dan akan merasa tidak puas terhadap pekerjaannya sehingga akan mempengaruhi psychological well-being ptugas.

Berdasarkan penelitian dan fenomena diatas peneliti tertarik untuk melakukan riset mengenai “Pengaruh Psychological Capital dan Kepuasan Kerja Terhadap Psychological Well-Being Petugas Pemadam Kebakaran”.

1.2Pembatasan dan Rumusan Masalah

1.2.1 Pembatasan Masalah

Untuk terarahnya pembahasan, maka peneliti membatasi masalah yang akan diteliti sebagai berikut:

(26)

kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya.

2. Psychological capital yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan kondisi perkembangan psychological state positif dari seseorang dengan karakteristik (1) memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan mengerahkan usaha yang cukup agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang (self-efficacy); (2) membuat atribusi yang positif tentang kesuksesan di masa kini dan masa depan (optimisme); (3) memiliki harapan dalam mencapai tujuan dan bila perlu mengalihkan jalan atau mencari jalan lain untuk mencapai tujuan (hope); dan (4) ketika dihadaptkan pada masalah dan halangan dapat bertahan dan bangkit kembali, bahkan melebihi untuk mencapai kesuksesan (resiliency).

3. Job satisfaction (kepuasan kerja) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu yang merasakan puas atau tidak puas terhadap pekerjaannya

1.2.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan self-efficacy terhadap psychological well-being?

2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan hope terhadap psychological well-being?

(27)

4. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan resiliency terhadap psychological well-being?

5. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan gaji terhadap psychological well-being?

6. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan promosi terhadap psychological well-being?

7. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan kepemimpinan terhadap psychological well-being?

8. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan tunjangan terhadap psychological well-being?

9. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan penghargaan terhadap psychological well-being?

10. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan prosedur kerja terhadap psychological well-being?

11. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan rekan kerja terhadap psychological well-being?

12. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan sifat pekerjaan terhadap psychological well-being?

(28)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Psychological capital dan kepuasan kerja terhadap psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran.

1.3.2. Manfaat Teoritis

Manfaat Teoriris dari penelitian ini yaitu:

Mengembangkan penerapan ilmu psikologi khususnya psikologi industri dan organisasi, sehingga dapat menjadi referensi bagi akademisi, praktisi, dan masyarakat yang berminat untuk melakukan penelitian tentang psychological well-being, psychological capital dan kepuasan kerja di bidang psikologi industri dan organisasi.

1.3.3. Manfaat Praktis

1. Psychological well-being bisa meningkatkan kepuasan kerja setiap petugas. Petugas yang puas terhadap pekerjaannya akan memiliki Psychological well-being yang baik.

2. Memberikan masukan terhadap instansi agar lebih memperhatikan psychological well-being para petugasnya.

(29)

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan mengenai psychological well-being, psychological capial dan kepuasan kerja.

Bab II Landasan Teori

Landasan teori berisi uraian mengenai teori-teori yang terkait dalam menjawab masalah penelitian yang telah diajukan, dalam hal ini adalah teori psychological well-being, psychological capial dan kepuasan kerja.

Bab III Metode Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan metode penelitian, yang meliputi permasalahan penelitian, hipotesis penelitian variabel penelitian, tipe dan desain penelitian, partisipasi penelitian, metode pengambilan data, instrumen penelitian, prosedur penelitian, dan teknik statistika yang digunakan dalam penelitian mengenai psychological well-being, psychological capial dan kepuasan kerja.

Bab IV Hasil dan Interpretasi Hasil Penelitian

(30)

analisis tambahan penelitian mengenai psychological well-being, psychological capial dan kepuasan kerja.

Bab V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

(31)

14

2.1 Psychological Well-Being

2.1.1 Definisi Psychological Well-Being

Istilah psychological well-being dipopulerkan oleh Ryff dengan konsep yang berawal dari adanya keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar tidak adanya penyakit fisik saja, tetapi juga berkaitan dengan kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis (psychologically well-being). Menurut Ryff (1989) manusia dapat dikatakan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik bukan sekedar bebas dari indikator kesehatan mental negatif, seperti terbebas dari kecemasan, tercapainya kebahagiaan dan lain-lain. Ryff (1989) merumuskan konsep psychological well-being yang merupakan integrasi dari beberapa teori perkembangan manusia, teori psikologi klinis, dan konsepsi mengenai kesehatan mental (Ryff, 1989). Berdasarkan teori tersebut, Ryff (1989) mendefinisikan psychological well-being sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap

yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya.

(32)

perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self-actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang

kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi. Kesejahteraan psikologis dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya tanda depresi (Ryff, 1995). Bradburn menyatakan bahwa happiness (kebahagiaan) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap individu (Ryff dan Singer, 1998). Berdasarkan uraian diatas, pada penelitian ini, peneliti menggunakan definisi psychological well being menurut Ryff (1998). Hal ini menjelaskan bahwa psychological well-being merupakan sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya

2.1.2 Dimensi Psychological Well-Being

(33)

1. Penerimaan diri (self-acceptance) merupakan bagian utama dari kesehatan mental. Ryff (1989) menyimpulkan bahwa penerimaan diri mengandung arti sebagai sikap yang positif terhadap diri sendiri. Sikap positif ini adalah mengenali dan menerima berbagai aspek dalam dirinya, baik yang positif maupun negatif, serta memiliki perasaan positif terhadap kehidupan masa lalunya. Sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik dan memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan memiliki pengharapan untuk menjadi pribadi yang bukan dirinya. Dengan kata lain tidak menjadi dirinya sendiri.

2. Hubungan yang positif dengan orang lain (positive relationship with others) merupakan dimensi yang mencerminkan kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan hangat, saling mempercayai, dan saling peduli akan kebutuhan serta kesejahteraan pihak lain. Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama dari kondisi mental yang sehat. Selain itu, teori self-actualization mengemukakan konsep hubungan positif dengan orang lain sebagai perasaan empati dan afeksi serta kemampuan untuk membina hubungan yang mendalam. Membina hubungan yang hangat dengan orang lain merupakan salah satu dari criterion of maturity. Teori perkembangan manusia juga menekankan intimacy dan generativity sebagai tugas utama yang harus dicapai manusia dalam tahap perkembangan tertentu.

(34)

Dalam dimensi ini, individu yang dikatakan tinggi atau baik ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, dan juga memiliki rasa afeksi dan empati yang kuat terhadap orang lain. Sementara itu, individu yang dikatakan rendah atau kurang baik dalam dimensi ini ditandai dengan memiliki sedikit hubungan dengan orang lain, sulit bersikap hangat dan enggan memiliki ikatan dengan orang lain (Ryff & Keyes, 1995).

3. Otonomi (autonomy) adalah pribadi mandiri, dapat menentukan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Individu memiliki internal locus of evaluation, yakni tidak mencari persetujuan orang lain melainkan mengevaluasi dirinya dengan standar yang telah ditetapkan sendiri. Oleh karena itu, individu tidak memikirkan harapan dan penilaian orang lain terhadap dirinya. Individu yang otonom juga tidak menggantungkan diri pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan. Individu tidak menyesuaikan diri terhadap tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dalam bentuk tertentu.

(35)

individu yang tidak terpengaruh dengan persepsi orang lain dan tidak bergantung dengan orang lain adalah individu yang memiliki autonomy yang baik, sedangkan individu yang mudah terpengaruh serta bergantung pada orang lain adalah individu yang memiliki autonomy yang rendah (Ryff & Keyes 1995).

4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery) menggambarkan adanya suatu perasaan kompeten dan penguasaan dalam mengatur lingkungan, memiliki minat yang kuat terhadap hal-hal di luar dirinya, dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas serta mampu mengendalikannya. Menurut Ryff (1989), individu yang memiliki penguasaan lingkungan adalah orang yang memiliki kemampuan dan kompetensi untuk mengatur lingkungannya. Individu seperti mampu mengendalikan kegiatannya yang kompleks sekalipun, juga dapat menggunakan kesempatan yang ada secara efektif, dan mampu memilih, atau bahkan menciptakan lingkungan yang selaras dengan kondisi jiwanya.

(36)

mengatur kehidupan sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar (Ryff & Keyes 1995).

5. Tujuan hidup (purpose in life) adalah kondisi mental sehat sehingga memungkinkan individu untuk menyadari bahwa seseorang memiliki tujuan tertentu dalam hidup yang dijalaninya, serta mampu memberikan makna pada hidup yang pernah dilakukan. Teori perkembangan juga menekankan pada berbagai perubahan tujuan hidup sesuai dengan tugas perkembangan dalam tahap perkembangan tertentu. Definisi kematangan juga menekankan pemahaman yang jelas tentang tujuan hidup dan rasa. teori life span development mengacu pada berbagai perubahan tujuan atau tujuan dalam hidup, seperti menjadi produktif dan kreatif. Dengan demikian, orang yang berfungsi secara positif memiliki tujuan, niat, dan rasa keterarahan, yang semuanya berkontribusi terhadap perasaan bahwa hidup itu bermakna.

(37)

Individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sendiri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu, serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan luas (Ryff, 1995). Sebaliknya, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang kurang baik akan merasa dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu mengembangkan sikap dan tingkah laku yang lebih baik (Ryff, 1995).

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being seseorang adalah faktor demografi, dukungan sosial, dan religiusitas antara lain:

2.1.3.1 Faktor Demografis

Beberapa faktor demografis yang mempengaruhi psychological well-being antara lain adalah sebagai berikut:

(38)

Dimensi hubungan positif dengan orang lain juga mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia. Sebaliknya, dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi memperlihatkan penurunan siring bertambahnya usia, penurunan ini terutama terjadi pada dewasa madya hingga dewasa akhir. Dari penelitian tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam dimensi penerimaan diri selama usia dewasa muda hingga dewasa akhir.

2. Jenis Kelamin. Penelitian Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995) menemukan bahwa dibandingkan pria, wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Psychological well-being memiliki empat aspek, keempat aspeknya konsisten tida memiliki pengaruh yang signifikan antara laki-laki maupun wanita.

(39)

4. Budaya. Penelitian mengenai psychological well-being yang dilakukan di Amerika dan Korea Selatan menunjukkan bahwa responden di Korea Selatan memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan skor yang rendah pada dimensi penerimaan diri. Hal ini dapat disebabkan oleh orientasi budaya yang lebih bersifat kolektif saling ketergantungan. Sebaliknya, responden Amerika memiliki skor yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi (untuk responden wanita) dan dimensi tujun hidup (untuk responden pria), serta memiliki skor yang rendah dalam dimensi otonomi, baik pria maupun wanita.

2.1.3.2 Kepuasan Kerja

Psychological well-being secara konsisten memiliki hubungan yang positif terhadap kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh C Bravo-Yanez dan Jimenez-Figueroa (2011) yang berjudul ”Psychological well-being, perceived

organizational support and job satisfaction amongs Chilean prison employees”

menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan psychological well-being, yang artinya bahwa individu yang merasa puas terhadap pekerjaannya cenderung akan merasa baik secara psikologisnya. Perilaku dapat dengan jelas terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh C Bravo-Yanez dan Jimenez-Figueroa (2011) adalah ketika terdapat perubahaan pada kepuasan kerja, maka ditemukan juga perubahan pada psychological well-beingnya.

(40)

dan psychological well-being. Individu yang merasa senang terhadap pekerjaannya maka akanpuas terhadap pekerjaannya dan juga psychological well-beingnya.

2.1.3.3 Dukungan Sosial

Menurut Davis (Pratiwi, 2000; Rahayu, 2008), individu-individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi. Dukungan sosial sendiri diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan oleh individu yang didapat dari orang lain atau kelompok (Cobb, 1976; Gentry & Kobasa, 1984; Wallston, Alagna, DeVellis, & De Vellis, 1983; Wills, 1974; Sarafino, 1990; Rahayu 2008). Dukungan dapat datang dari siapa saja, termasuk keluarga, teman, rekan kerja ataupun lingkungan sekitar. Dari penelitian yang dilakukan oleh Cobb (1976), Cohen & McKay (1984), House (1984), Schaefer, Coyne, & Lazarus (1981), dan Wills (1984), ada empat jenis dukungan sosial (dalam Sarafino, 1990), yaitu:

1. Dukungan Emosional (Emotional Support) melibatkan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap seseorang. Dukungan ini memberikan rasa nyaman, aman, dimiliki, dan dicintai pada individu penerima, terutama pada saat-saat stress.

(41)

3. Dukungan Instrumental (tangible or instrumental support) melibatkan tindakan konkrit atau memberikan pertolongan secara langsung.

4. Dukungan Informasional (informational support) meliputi nasehat, petunjuk, saran, atau umpan balik terhadap tingkah laku seseorang.

2.1.4 Pegukuran Psychological Well-Being

Pengukuran psychological well-being yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ryff Scales of Psychological Well-being yang merupakan skala untuk mengukur psychological well-being yang disusun oleh Carol D. Ryff yang sudah teruji validitas dan reliabilitasnya. Skala ini disusun berdasarkan enam dimensi dari psychological well-being, yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan perkembangan pribadi. Dalam Ryff Scale of Psychological Well-being (RSPWB) terdapat 42 item, secara teoritis instrumen fokus terhadap pengukuran enam dimensi psychological well-being dan setiap dimensi memuat 7 item namun pada penelitian ini diadaptasi

menjadi 26 item. Pada skala asli terdapat enam pilihan jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, agak setuju, agak tidak setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju, namun sesuai dengan kebutuhan peneliti, skala dibuat menjadi empat pilihan jawaban yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.

2.2 Psychological Capital (PsyCap)

2.2.1 Definisi Psychological Capital (PsyCap)

(42)

is an individual’s psychological state of development and is characterized

by: (1) having confidence to take on and put in the necessary effort to succed at

challenging tasks (self-efficacy); (2) making a positive attribution about succeeding now and in the future (optimisme); (3) persevering toward goals and when necessarry, redirecting paths to goals in order to succeed (hope); and (4)

when beset by problems and adversity, sustaining and bouncing back and even beyond to attain success (resiliency).

Dengan kata lain, Luthans, Youssef dan Avolio (2007), mendefinisikan psychological capital sebagai sebuah kondisi perkembangan psychological state

positif dari seseorang dengan karakteristik (1) memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan mengerahkan usaha yang cukup agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang (self-efficacy); (2) membuat atribusi yang positif tentang kesuksesan di masa kini dan masa depan (optimisme); (3) memiliki harapan dalam mencapai tujuan dan bila perlu mengalihkan jalan atau mencari jalan lain untuk mencapai tujuan (hope); dan (4) ketika dihadaptkan pada masalah dan halangan dapat bertahan dan bangkit kembali, bahkan melebihi untuk mencapai kesuksesan (resiliency).

PsyCap mengacu pada keadaan psikologis positif individu yang terdiri dari empat komponen yaitu: self-efficacy, hope, optimisme, dan resiliensi (. Luthans et al, 2007a). PsyCap berasal dari positive organizational behaviour (POB). POB didefinisikan sebagai studi dan penggunaan "positive human strengths and psychological capacities", dapat dikembangkan dan diatur untuk meningkatkan

(43)

mempertimbangkan yang menjadi bagian konstruk POB, Luthans (2002) berpendapat bahwa individu harus melibatkan karakteristik state-like yang bertentangan dengan karakteristik trait. Karakteristik state-like adalah emosi manusia dan suasana hati yang fleksibel dan rentan terhadap perubahan berdasarkan konteks atau situasi, seperti kebahagiaan dan kesenangan, sedangkan trait lebih statis dan sulit untuk berubah, seperti kecerdasan dan bakat (Luthans, 2002; Luthans et al., 2007a).

Dalam hal ini penting untuk mengetahui bahwa Psychological capital merupakan psychological states positif dari individu dan bukanlah psychological traits (Envick, 2005). Allport dan Odbert (Feist & Feist dalam Mahardini, 2009) menjelaskan bahwa trait merupakan karakteristik yang secara relatif menetap pada diri individu, sedangkan state melibatkan tingkah laku, pikiran dan tindakan yang bisa dipelajari dan dikembangkan oleh setiap orang (Envick, 2005). Luthans, Youssef dan Avolio (2007) juga menjelaskan bahwa psychological capital merupakan psychological state sehingga psychological capital dapat berubah sepanjang waktu, baik meningkat maupun menurun. Tidak seperti traditional human dan social capital, psychological capital dapat berkembang secara terus

menerus sepanjang waktu (Luthans, Youssef & Avolio, 2007). Froman (2009) juga menjelaskan bahwa Psychological capital dilihat sebagai aset yang dapat dikembangkan, sehingga dapat membantu perusahaan dalam mencapai performa kerja yang efektif dan hasil perusahaan yang diinginkan (Froman, 2009).

(44)

psychological capital dapat digunakan untuk meningkatkan kompetisi dalam mencapai keuntungan dan kesuksesan perusahaan dengan melihat potensi secara keseluruhan dari sumber daya manusia yang dimiliki (Avolio dalam Luthan, Youssef & Avolio, 2007). Selain itu Avey, Luthans, Smiths, dan Palmer (2010) juga menjelaskan bahwa karyawan dengan Psychological capital tinggi, maka kesejahteraan individu di lingkungan kerja akan tinggi. Dengan adanya Psychological capital diharapkan dapat meningkatkan potensi sumber daya manusia dalam organisasi (Mahardini, 2009), individu yang mengembangkan konsep yang lebih sehat atau positif pada diri sendiri, akan mempertinggi produktivitas individu dan kesuksesan dari organisasi (Schultz, dalam Mahardini, 2009). Maka dapat disimpulkan bahwa psychological capital sebagai sebuah kondisi perkembangan psychological state positif dari seseorang dengan karakteristik-karakteristik self-efficacy, optimisme, hope, dan resiliency. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan definisi Luthans, Youssef dan Avolio (2007), yang mendefinisikan psychological capital sebagai sebuah kondisi perkembangan psychological state positif dari seseorang dengan karakteristik (1) memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan mengerahkan usaha yang cukup agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang (self-efficacy); (2) membuat atribusi yang positif tentang kesuksesan di masa kini dan

(45)

2.2.2 Dimesi dari Psychological Capital (PsyCap)

Terdapat empat dimensi yang menyusun Psychological capital (Luthans, Youssef & Avolio, 2007), yaitu:

1. Efikasi Diri (Self-Efficacy)

Albert Bandura (1997), mengemukakan self-efficacy didefinisikan sebagai "kepercayaan akan kemampuan dirinya mengarahkan motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan agar berhasil dalam melaksanakan tugas tertentu "(Stajkovic & Luthans, 1998b, p. 66).

Bandura (1997) telah mengidentifikasi empat sumber yang diakui secara luas pengembangan efficacy. Pertama, ketika individu berhasil menyelesaikan tugas yang menantang, individu pada umumnya lebih percaya diri terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan tugas. Kedua, personal efficacy dipengaruhi ketika individu merasakan sendiri belajar dengan cara mengamati (yaitu, modeling) dapat menyelesaikan tugas yang diberikan. Jika berhasil pada tugas

yang diberikan, maka personal efficacy meningkat. Dampak dari modeling tergantung pada seberapa mirip individu melihat dirinya sendiri dengan melihat peran yang dilakuakn berhasil menyelesaikan tugas. Jika proses meniru individu snagat mirip, maka proses pengembangan efficacy menjadi lebih efektif (Bandura, 1997).

(46)

self-efficacy yang tinggi akan berani untuk menetapkan tujuan dan dapat mengendalikan diri sendiri dalam keadaan sulit, berani menerima tantangan, memiliki motivasi yang kuat, mampu mengerahkan segala usaha dalam mencapai tujuan dan tetap gigih walaupun menghadapi rintangan (Luthans, Youssef & Avolio, 2007). Singh dan Manshi (2009) menyatakan bahwa individu dengan tingkat self-efficacy tinggi memiliki psychological well-being yang tinggi pula, individu akan merasa lebih percaya diri, memiliki aspirasi yang tinggi dan komitmen yang kuat terhadap apa yang ingin di capai.

2. Harapan (Hope)

Konstruk hope dalam psikologi positif memiliki perkembangan teoritis yang cukup pesat dan secara umum dianggap sebagai "empowering way of thinking" (Snyder, 1994, p. 2). Dalam merumuskan teori hope, Snyder dengan asumsinya, bahwa individu pada umumnya berorientasi pada tujuan yaitu individu berperilaku seperti, mencoba untuk mencapai sesuatu. Harapan atau hope didefinisikan oleh Envick (2005) sebagai hasrat atau keinginan yang disertai dengan pengharapan akan pemenuhan dari hasrat atau keinginan tersebut.

Snyder (dalam Avey, Luthans, Smiths, & Palmer, 2010) mendefinisikan harapan sebagai positive emotional state dengan dua komponen penting yaitu (1) agency (energi untuk mencapai tujuan) dan (2) pathways (perencanaan untuk

(47)

cara lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan ketika cara pertama mengalami kendala disebut pathway.

3. Optimisme (Optimisme)

Dalam PsyCap, optimisme adalah individu yang mengharapkan peristiwa positif dan diinginkan di masa yang akan datang (Luthans, Youssef, et al., 2007). Individu yang optimis dan kehilangan pekerjaannya akan menghubungkan penyebab kehilangan pekerjaannya ke dalam keadaaan situasi sementara. Carver dan Scheier (2002) ketika individu memiliki harapan positif, individu akan terus berusaha meskipun menghadapi kesulitan. Sebaliknya, individu yang pesimis adalah individu yang secara konstan memiliki pikiran yang negatif dan meyakini peristiwa yang tidak diinginkan akan terjadi. Dapat disimpulkan bahwa individu yang optimis akan melakuakan sesuatu dengan lebih baik dibandingkan dengan pesimis.

(48)

yang optimis, sedangkan individu yang menjelaskan secara universal adalah individu yang pesimis.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa optimisme memiliki hubungan positif dengan well-being. Misalnya dalam konteks kewirausahaan ditemukan bahwa optimisme bertentangan dengan pesimis, optimis sering mengalami berbagai jenis pengalaman yang sulit (Scheier, Carver, & Bridges, 2001). Sedangkan pesimis cenderung mudah putus asa terhadap kesulitan yang dihadapinya, optimis dapat bertahan, siap terhadap tantangan yang diberikan, dan dapat mencapai tujuannya (Carver, & Scheier, 2003). Individu optimis cenderung mensyukuri setiap perubahan yang terjadi, mampu melihat kesempatan yang tersedia dan fokus dalam mendapatkan kesempatan tersebut (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Singh dan Manshi (2009) melengkapi definisi dari optimismee diatas sebagai harapan atau dugaan terhadap hal yang positif, keyakinan bahwa segala sesuatau adalah baik dan akan mendapat hasil yang terbaik pula.

4. Resilienci (Resiliency)

(49)

Menurut Masten dan Reed (2002), resiliensi merupakan positif coping dan dapat beradaptasi kembali dari kesulitan yang dihadapi. Ketika resiliensi diterapkan di tempat kerja, dapat digambarkan sebagai positif psikologi untuk dapat bangkit kembali dari keterpurukan, ketidakpastian, konflik, kegagalan, atau bahakan perubahan positif dan meningkatnya tanggung jawab (Luthans, 2002a, p. 702). Selain itu menurut Block dan Kremen (1996), Coutu (2002), serta Masten (2001), individu yang memiliki resiliensi tinggi cenderung lebih efekti dalam berbagai pengalaman, termasuk penyesuaian. Richardson (2002) menemukan bahwa resiliensi dapat meningkat bahkan tumbuh setelah individu mengalami peristiwa buruk. Artinya bahwa individu dapat lebih resilien terhadap situasi yang merugikan dan dapat bangkit kembali dari peristiwa sebelumnya.

2.2.3 Pengukuran Psychological Capital

Pengukuran psychological capital dalam penelitian ini menggunakan PCQ-24 (analisis validitas ditemukan oleh Luthan, Avolio, et al., 2007, dan Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). PsyCap memiliki 4 aspek, setiap aspek terdiri atas 6 item dan total setiap item yaitu 24 item. Aspek Psycap yaitu hope, self-efficacy, resilience dan optimisme. Semua item menggunakan 6 poin skala likert dengan respon pilihan dari 1 = strongly disagree to 6 = strongly agree. Setiap item menggambarkan penetapan skala sebelum di terbitkan dan diuji. Item hope

diadaptasi dari Snyder dan rekannya (1996). Contoh item dari subscale hope

yaitu: “There are lots ways around any problem,” dan “Right now I see my self as

being pretty successful at work”. item self- efficacy diadaptasi dari Parker’s

(50)

feel confident analyzing a long-term problem to find a solution,” and “I feel confident presenting information to a group of colleagues”.

Item resiliensi diadaptasi dari Wagnild dan Young’s (1993), contoh item

resiliency: “I usually manage difficulties one way or another at work,” and “I feel

I can handle many things at a time at this job.” Item optimismee diadaptasi dari Scheier dan Carver’s (1985), contoh item optimismee “I’m optimistic about what will happen to me in the future as it pertains to work” and “I approach this job as if ’every cloud has a silver lining.” Psychological capital dalam penelitian ini

menggunakan skala Likert dan menggunakan alat ukur Psychological Capital Questionnaire (PCQ-24) yang dikembangkan oleh Luthans, Avolio, et al., 2007). Konsisten dengan 4 subscale, setiap subscale terdiri atas 6 item dengan total jumlah item yaitu 24. Setiap subscale terdiri atas self-efficacy, hope, optimisme, and resilience.

2.3 Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)

2.3.1 Definisi Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)

Ada pernyataan yang mengatakan bahwa kepuasan adalah suatu perasaan yang menyenangkan merupakan hasil dari persepsi individu dalam rangka menyelesaikan tugas atau memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh nilai-nilai kerja yang pneting bagi dirinya. Penjelasan kepuasan kerja tersebut dipertegas oleh Wagner III & Hollenbeck (1995, hlm. 206-207) yang mengutip ungkapan Locke, bahwa kepuasan kerja adalah: “a pleasurable feeling that results from the

perpection that one’s job fulfills or allows for the fulfillment of one’s important

(51)

dengan kepuasan atau ketidakpuasan kerja cenderung lebih mencerminkan penaksiran dari karyawan yang berhubungan dengan pengalaman kerja pada waktu sekarang dan masa lalu daripada harapan untuk masa yang akan dating. Kemudian Locke (1976) mendefinisikan bahwa kepuasan kerja sebagai suatu tingkat emosi positif dan menyenangkan individu. Dengan kata lain, kepuasan kerja adalah hasil pemikiram individu terhafap pekerjaan atau pengalaman positif dan menyenangkan dirinya

Howell dan Dipboye 1986 (dalam munandar, 2001) memandang kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya, dengan kata lain kepuasan kerja memcerminkan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya. Menurut Fleisman dan Bass (1977) kepuasan kerja merupakan suatu tindakan efektif karyawan terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja tersebut dianggap sebagai hasil pengalaman karyawan dalam kaitannya dengan penilaian terhadap diri sendiri seperti apa yang dikehendaki atau diharapkan dari pekerjaannya.

(52)

tidak puas terhadap pekerjaanya (Spector 1997). Berdasarkan uraian diatas, pada skripsi ini peneliti menggunakan teori spector (1997).

2.3.2 Aspek Kepuasan Kerja

Menurut Spector (1997) terdapat sembilan aspek yang sangat berpengaruh terhadap kepuasan kerja seseorang. Diantaranya aspek tersebut adalah

1. Gaji (pay) : kepuasan imbalan jasa berupa uang yang diterima karyawan sesuai dengan beban yang telah ditanggugnya.

2. Promosi (promotioni): kepuasan akan mendapatkan kesempatan bagi karyawan untuk tumbuh dan berkembang dalam pekerjaan atau jabatan.

3. Kepemimpinan (supervision): kepuasan terhadap perilaku atasan. Termasuk dalam pengarahan, masukan dan pengawasan atasan.

4. Tunjangan (fringe benefits): kepuasan akan keuntungan atau tunjangan yang didapatkan.

5. Penghargaan (contingent rewards): kepuasan terhadap penghargaan yang diberikan terhadap performa yang baik.

6. Prosedur kerja (operating conditions): kepuasan akan peraturan dan prosedur yang ada diperusahaan. Termasuk didalmnya adalah prosedur perusahaan yang berupa administrasi, peraturan yang ditetapkan serta kebijakan perusahaan. 7. Rekan kerja (coworkers): kepuasan terhadap rekan kerja. Seberapa jauh

kesesuaian yang dirasakan ketika berinteraksi dengan rekan kerja.

(53)

9. Komunikasi (communication): yaitu kepuasan komunikasi yang terjalin dalam perusahaan.

2.3.3 Teori kepuasan kerja

Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual karena setiap orang memiliki tingkat kepuasan kerja yang berbeda. Semakin positif penilaian seseorang terhadap suatu pekerjaan, semakin tinggi pula kepuasan kerjanya. Begitu pun sebaliknya, semakin negatif penilaian seseorang terhadap suatu pekerjaan semakin rendah kepuasan kerjanya. Adapun teori mengenai kepuasan kerja yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah sebagai berikut: 2.3.3.1 Teori Proses-Bertentangan (Opponent-Process Theory)

Teori proses-bertentangan dari Landy (dalam Munandar, 2001) memadang kepuasan kerja dari perspektif yang berbeda secara mendasar daripada pendekatan yang lain. Teori ini menekankan bahwa orang ingin mempertahankan suatu keseimbangan emosional (emotional equilibrium). Teori proses-bertentangan mengasumsikan bahwa kondisi emosional yang ekstrim tidak memberikan kemaslahatan. Kepuasan atau ketidakpuasan kerja (dengan emosi yang berhubungan) memacu mekanisme fisiologikal dalam system pusat saraf yang membuat aktif emosi yang bertentangan atau berlawanan. Di hipotesiskan bahwa emosi yang berlawanan, meskipun lebih lemah dari emosi yang asli, akan terus ada dalam jangka waktu yang lebih lama.

(54)

menurun sedemikian rupa sehingga orang merasa agak sedih sebelum kembali ke normal. Ini dikarenakan emosi tidak senang (emosi yang berlawanan) berlangsung lebih lama. Berdasarkan asumsi bahwa kepuasan kerja bervariasi secara mendasar dari waktu ke waktu, akibatnya bahwa pengukuran kepuasan kerja perlu dilakukan secara periodik dengan interval waktu yang sesuai.

2.3.3.2 Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy Theory)

Teori ini pertama kali dipopulerkan oleh Proter. Ia berpendapat bahwa mengukur kepuasan dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara apa yang seharisnya dengan kenyataan yang dirasakan pegawai. Locke (dalam wijono, 2010) mengembangkan bahwa kepuasan kerja pegawai bergantung pada perbedaan antara apa yang didapat dan apa yang diharapkan oleh pegawai. Apabila yang didapat pegawai ternyata lebih besar daripada apa yang diharapkan maka pegawai tersebut menjadi puas. Sebaliknya, apabila yang didapat pegawai lebih rendah daripada yang diharapkan, akan menyebabkan pegawai tidak puas.

(55)

supervisor tersebut akan memberi ranking yang lebih tinggi pada aspek kenaikan jabatan dibanding dengan kenaikan gaji.

Sementara itu, Locke juga mengatakan bahwa perasaan puas atau tidak puas yang dimiliki oleh individu sangat bersifat pribadi. Mengapa demikian? Karena perasaan tersebut muncul tergantung dari cara individu mempersepsikan ketidaksesuaian atau pertentangan antara keinginan dan hasil yang telah dicapainya. Pemindahan individu dari tempat kerja dengan ruangan yang sempit ke tempat kerja yang mempunyai ruangan luas, akan menunjang kepuasan individu lain yang merasa perubahan tempat kerja yang ruangannya lebih luas yang tidak memberi perasaan nyaman bagi dirinya. Contohnya, individu yang mengalami “fobia” pada tempat kerja yang ruangannya luas akan menjadi “nervous” dan tidak senang bila ditempatkan pada ruangan kerja yang lebih luas. 2.3.3.3 Model dari Kepuasan Bidang/Bagian (Facet Satisfaction)

Kapuasan bidang menurut model (Lawler dalam Wijono, 2010) mempunyai kaitan erat dengan teori keadilan J. Adams. Model Lawler mengatakan bahwa individu akan merasa puas terhadap bidang tertentu dari pekerjaan mereka (misalnya, hubungan antara rekan kerja, atasan dan bawahan, dan / atau gaji). Individu dapat menerima dan melaksanakan pekerjaannya dengan senang hati dalam bidang yang dia persepsikan, maka hasilnya akan sama dengan jumlah yang dia persepsikandari yang secara aktual mereka terima.

(56)

memuaskan. Jika hal tersebut terwujud, maka dapat menunjang produktivitas kerjanya karena hubungan interaksi antara dirinya dengan atasannya tersebut secara nyata terjadi dibandingkan dengan rekan kerjanya. Tetapi, jika individu mempersepsikan tentang hubungan interaksinya dengan atasan jauh melebihi dari rekan kerjanya yang lain, maka dia akan merasa bersalah dan tidak adil. Sebaliknya, jika dia mempersepsikan bahwa hubungan interaksinya yang dialami kurang baik dan lancar dari yang sesungguhnya terjadi, maka dia merasa tidak puas.

Kedua, adanya persepsi individu terhadap jumlah “income” yang

seharusnya dia terima atas dasar hasil penelitian prestasi kerjanya dengan persepsinay tentang income yang secara nyata dia terima. Seandainya individu mempersepsikan income yang dia terima lebih besar dari yang sesungguhnya dia terima, maka dia akan merasa bersalah dan tidak adil. Sebaliknya, jika dia mempersepsikan bahwa income yang dia terima kurang dari yang sepatutnya dia terima, maka dia merasa tidak puas.

Sementara itu, Lawler juga mengatakan bahwa jumlah dari bidang yang dipersepsikan individu akan menjadi sesuai tergantung dari bagaimana individu mempersepsikan nilai dari pekerjaan dan karakteristik pekerjaannya. Selain itu, persoalan yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana individu mempersepsikan “input and ouptut” dari orang lain yang digunakan sebagai pembanding bagi

(57)

nyata individu terima dan hasil output yang dipersepsikan dari orang dengan siapa individu akan membandingkan dirinya sendiri.

2.3.3.4 Teori Dua Faktor dari Herzberg

Mneurut Herzberg, orang menginginkan dua macam faktor kebutuhan, yaitu: (Herzberg’s dalam Dessler, 2000 : 334). Pertama, kebutuhan akan kesehatan atau

kebutuhan akan pemeliharaan. Hal ini berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh ketentraman lahiriyah. Faktor pemeliharaan meliputi balas jasa, kondisi kerja fisik, dan bermacam-macam tunjangan lainnya. Hilangnya faktor pemeliharaan ini dapat menyebabkan timbulkan ketidakpuasan (Dissatisfier = faktor hygienis) dan tingkat absensi karyawan serta turnover akan meningkat. Faktor-faktor pemeliharaaan ini perlu mendapat perhatian yang wajar dari pimpinan agar kepuasan dan kegairahan kerja karyawan dapat ditingkatkan.

Kedua, faktor pemeliharaan ini menyangkut kebutuhan psikologis seseorang. Kebutuhan ini meliputi serangkaian kondisi intrinsik, kepuasan pekerjaan (job content) yang apabila terdapat dalam pekerjaan akan menggerakkan tingkat motivasi yang kuat yang dapat menghasilakan prestasi kerja yang baik. Jika kondisi ini tidak ada maka konidisi ini ternyata tidak menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan. Serangkaian faktor ini dinamakan Satisfier atau motivator yang meliputi: prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, kemajuan, dan pengembangan potensi individu. 2.3.4 Pengukuran Kepuasan Kerja

(58)

Satisfaction Survey (JSS). Pengukuran kepuasan kerja yang sering digunakan adalah Job Descriptive Index (JDI) yang dikembangkan di Negara maju (Smith, Kendall & Hulin, dalam Schlutz, & Schlutz, 2006). JDI mengukur lima dimensi kepuasan kerja, yaitu kepuasan terhadap gaji, peluang promosi, pengawasan dan rekan kerja. JDI dapat diselesaikan dalam waktu 15 menit dan sudah diterbitkan dalam berbagai bahasa. MSQ (Weiss, Dawis, Lofquist, & England, 1966), skala ini memiliki dua bentuk yaitu item yang versi panjang dan vesi pendek sebanyak 20 item.

Selain JDI, kepuasan kerja dapat diukur dengan menggunakan gabungan Sembilan sub-skala dari Job Satisfaction Survey (JSS). Alat ukur ini dikembangkan oleh Spector (1985). Sub-skala ini adalah pay, promotion, supervision, fringe benefist, contingen rewards, operating procedures, coworkers,

nature of work, dan communication. Pada skala JSS, setiap sub-skala memiliki empat pertanyaan denga total pertanyaan sebanyak 36 item. Skala ini menggunakan 6 skala likert, mulai dari sangat tidak setuju sampai sangat setuju untuk menunjukkan tingkat kepuasan kerja peserta. Vaiditas dari JSS sendiri telah dibandingkan dengan skala JDI, yang merupakan skala yang sebagian besar mengukur kepuasan kerja.

(59)

adalah skala yang terperinci dalam mengukur kepuasan kerja dan sesuai dengan teori yang peneliti gunakan pada penelitian ini.

2.4 Kerangka Berpikir

Kesejahteraan pekerja (employee wellbeing) merupakan salah satu faktor yang tidak bisa lepas dari isu penting dalam suatu perusahaan, karena kesejahteraan pekerja memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengefektifkan biaya yang berhubungan dengan penyakit dan kesehatan pekerja (Danna & Griffin, 1999), ketidakhadiran (absenteeism), pergantian pekerja (turnover), (Spector, 1997), performa kerja (job performance), dan kepuasan kerja (job satisfaction) (Russel, 2008).

Berdasarkan Page dan Vella-Brodrick (2009) terdapat 3 komponen dari employee wellbeing, yaitu subjective well-being (kepuasan kehidupan dan dispositional affect), workplace wellbeing (kepuasan kerja dan hal-hal terkait pekerjaan) dan yang terakhir adalah psychological wellbeing (penerimaan diri, hubungan interpersonal positif, penguasaan lingkungan, otonomi, tujuan hidup, dan perkembangan diri). Ryff (1989) mendefinisikan psychological well-being sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya.

(60)

peneliti telah menyadari bahwa kesehatan dan well-being yang rendah dapat memberikan efek negatif terhadap karyawan dan organisasi. Kesehatan pekerja dan kesejahteraan psikis harus menjadi perhatian yang lebih penting karena kesadaran bahwa unsur lain di tempat kerja menimbulkan risiko bagi pekerja. Maka dari itu penting bahwa setiap karyawan memiliki psychological well-being karena dapat mempengaruhi kinerja karyawan. Psychological well-being juga dapat dipengaruhi oleh psychological Capital seperti Self-Efficacy, Hope, Optimisme, Resiliency juga berpengaruh terhadap psychological well-being.

Sandeep Singh dan Mansi (2009), menyatakan bahwa psychological capital (self-efficacy) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap psychological

well-being. Dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin tinggi individu

memiliki self-efficacy maka semakin tinggi pula psychological well-beingnya. Self-efficacy sebagai keyakinan diri individu terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam mengarahkan segala usaha agar berhasil dan sukses dalam melaksanakan tugas yang dihadapinya, sehingga karyawan yang memiliki self-efficacy tinggi akan memiliki psychological well-being yang tinggi.

Petugas yang memiliki hope (harapan) yang tinggi terhadap tujuan yang dimilikinya dan memiliki keinginan untuk mewujudkannya maka memiliki psychological well-being yang baik. Petugas yang selalu memiliki harapan

(61)

Penelitian yang dilakukan oleh Sandeep Singh dan Mansi (2009)

menunjukkan bahwa optimisme dapat meningkatkan psychological well-being dan dapat memiliki penyesuaian yang lebih baik terhadap peristiwa kehidupan yang penuh stress. Petugas yang memiliki optimsime yang tinggi maka akan memiliki tingkat stress yang rendah, karena ketika petugas memadamkan kebakaran harus memiliki optimisme yaitu cara petugas dalam mencapai tujuannya agar berhasil serta pengambilan keputusan yang cepat sangat dibutuhkan pada saat proses pemadaman. Individu yang memiliki optimisme tinggi maka memiliki psychological well-being yang tinggi pula, karena dengan adanya optimisme individu akan selalu berfikir positif dalam setiap kejadian yang dialaminya ssehingga dapat melaksanakan pekerjaan dengan maksimal dan dapat meningkatkan psychological well-beingnya.

Individu yang memiliki resiliency yang tinggi dapat bertahan dan bangkit kembali dari pengalaman negatif dan dapat beradaptasi kembali dengan adanya perubahan dari stress yang dihadapinya. Individu yang pernah mengalami suatu pengalaman negatif dan bisa bangkit lagi dari pengalaman negatifnya akan memiliki psychological well-being yang tinggi karena individu tersebut pernah mengalami pengalaman negatif dan tidak ingin mengalaminya kembali. Sehingga resiliency dapat mempengaruhi psychological well-being.

(62)

Penelitian yang dilakukan oleh C Bravo-Yanez, dan A Jimenez-Figueroa (2011) terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan psychological well-being. Individu yang merasa puas dengan pekerjaannya cenderung merasa baik secara psikologis. Perilaku ini dapat dengan jelas terlihat dalam hasil penelitiannya, bahwa apabila terdapat perbedaan yang ditemukan dalam sampel tentang kepuasan kerja juga ditemukan perbedaan dalam psychological well-being.

Kepuasan kerja memiliki Sembilan aspek yaitu gaji, promosi, supervisi, tunjangan, penghargaan, prosedur kerja, rekan kerja, sifat pekerjaan dan komunikasi. Kepuasan terhadap gaji yaitu kepuasan terhadap uang yang diterima oleh karyawan sebagai hasil dari pekerjaan yang dikerjakannya. Gaji merupakan faktor utama dalam kepuasan kerja, apabila gaji yang dirasakan sesuai dengan harapan, maka individu akan merasa puas. ketika individu sudah memiliki kepuasan yang tinggi maka individu akan merasa aman dan nyaman ketika bekerja sehingga semakin puasnya individu terhadap gaji maka semakin tinggi pula psychological well-beingnya.

Gambar

Tabel 3.1     Format Skoring Skala Likert  ...........................................................
Gambar 2.1  Kerangka Berpikir ...........................................................................
Gambar 2.1 Pengaruh Kepuasan Kerja dan Psychological Capital terhadap Psychological
Tabel 3.1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Lebih jauh lagi, kegagalan remaja dalam menguasai kecakapan-kecakapan sosial akan menyebabkan sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat

 Peserta test wawancara adalah peserta yang menempati rangking 1 s/d 3 dari hasil penggabungan nilai Test TPA dan Test Kecakapan dari masing-masing formasi.. Sedangkan

Akan tetapi tidak semua perempuan tersebut ditampilkan sebagai sampul majalah, hanya beberapa di antara mereka yang ditampilkan dalam sampul, dan direpresentasikan

Pakaian atau sandang merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi dalam kehidupan rumah tangga, namun demikian, perlu diperhatikan masalah sandang dalam konsep

Tetapi setelah dilakukan teguran oleh Pengadilan, pihak yang kalah tidak mengindahkan, maka putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap itu tidak dapat

(1) wajib Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi tidak dapat membayar Retribusi sesuai dengan waktu yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Wajib

Berikut ini adalah hasil dari eksperimen yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan CLSC pada data uji ketiga dengan menggunakan algoritma Simulated Annealing

• High Demand For Steel •High demand for Supporting industry • Strategic Industry INDUSTRI PERKAPALAN Offshore Fabrication Power Plant Fabrication R&D Center Ship Repair Design