• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

V. B. Diskusi

Dari gambaran ideal-typical career path of male femaling pada kelima subjek penelitian, terlihat bahwa semua subjek telah melalui setiap tahapan dari proses tersebut. Pada masa prasekolah atau ketika duduk di bangku sekolah dasar, kelima subjek mengalami kejadian yang merupakan tanda awal dari kecenderungan mereka untuk menjadi perempuan. Tiga dari lima subjek penelitian (subjek I, III, dan IV), menggunakan pakaian perempuan, baik itu pakaian ibunya atau saudara perempuannya, subjek II suka mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang biasa dilakukan oleh anak perempuan, dan subjek V suka mencoba alat rias saudara perempuannya seperti celak. Hal ini sesuai dengan teori utama yang dikemukakan oleh Ekins (1997), yaitu individu akan melakukan perilaku awal femaling (initial femaling behavior) yaitu berupa perilaku individu yang tidak sesuai dengan tuntutan sosial dikaitkan dengan jenis kelaminnya, contoh yang paling umum adalah memakai baju perempuan, baik disengaja atau tidak. Walters & Ross (1986) menambahkan, pada usia antara enam sampai sepuluh tahun, anak laki-laki yang memiliki sifat keperempuanan, menggunakan pakaian perempuan, baik itu pakaian ibu atau saudara perempuannya.

Pada masa kanak-kanak (berkisar antara usia 3-12 tahun), semua subjek bermain dengan anak perempuan, dua subjek (subjek I, dan III), lebih suka bermain dengan anak perempuan, subjek IV bermain dengan anak perempuan karena teman sepermainannya yang kebanyakan anak perempuan, sedangkan subjek II dan V memilih untuk bermain dengan anak perempuan karena sering diejek oleh anak laki-laki dengan sebutan “bencong”. Temuan ini sesuai dengan

yang dikemukakan oleh Johnson & Gordon (1980), bahwa pelabelan merupakan hal yang penting dalam perkembangan waria. Label tersebut memberi status baru bagi waria, yang mengubah konsep dirinya dan konsep orang lain mengenai dirinya. Dari pelabelan tersebut, waria menerima stigma tertentu, dan label tersebut biasanya diberikan oleh anak laki-laki. Dampaknya adalah biasanya anak laki-laki tidak mengikutsertakan mereka dalam permainan. Walters & Ross (1986) menambahkan bahwa anak laki-laki yang memiliki kecenderungan keperempuanan seringkali diidentifikasi sebagai “orang yang berbeda”, kemudian digoda dan diberi panggilan tertentu dan dalam beberapa kasus disakiti secara fisik oleh teman-temannya.

Selain bergaul dengan anak perempuan, kelima subjek juga menyukai permainan anak perempuan, seperti lompat tali, boneka, masak-masak’an, dan juga bermain peran. Dalam permainan peran, mereka mengambil peran sebagai perempuan. Kecenderungan waria pada masa kanak-kanak memilih teman bermain perempuan dan memainkan permainan perempuan dijelaskan oleh Johnson & Gordon (1980). Mereka menyebutkan bahwa pada masa kanak-kanak, waria memiliki kecenderungan memainkan permainan anak perempuan seperti lompat tali dan boneka, serta lebih memilih untuk bermain dengan anak perempuan. Ditambahkan oleh Walters & Ross (1986), pada masa kanak-kanak, waria lebih menyukai permainan anak perempuan seperti boneka, daripada senjata mainan dan mobil-mobil’an, dan mereka acapkali mengadopsi peran perempuan saat melakukan aktivitas bermain.

Ketertarikan subjek atas dunia perempuan yang ditunjukkan dalam berbagai perilaku, namun hal tersebut menjadi rahasia bagi mereka. Hal ini dikarenakan mereka tidak ingin menerima konsekuensi dari tindakan mereka, dan merasa bahwa tindakan mereka tersebut salah. Kelima subjek memang sudah menampakkan perilaku femaling dari usia kanak-kanak, tapi mereka tidak mengungkapkan perasaan mereka dan rahasia perilaku femaling mereka kepada orang lain. Ekins (1997) menyebutkan bahwa, merahasiakan perilaku femaling (seperti perempuan) yang mereka lakukan merupakan salah satu karakteristik pada fase beginning male femaling.

Keluarga, terutama orang tua dan orang lain di sekitar mereka mungkin melihat perilaku mereka, tetapi tidak memberi perhatian penuh terhadap perilaku tersebut. Gejala seperti sangat umum terjadi, menurut pendapat Koeswinarno (2004), bahwa kehadiran waria dalam keluarga bukanlah hal yang tiba-tiba, kecenderungan anak menjadi waria sudah terlihat dari masa anak-anak hingga masa remaja. Namun, gejala tersebut tidak disadari oleh orang tua, sehingga perilaku tersebut menjadi perilaku yang menetap. Kesadaran orang tua baru muncul di kemudian hari, ketika perilaku keperempuanan anaknya sudah terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam hubungannya dengan keluarga, terlihat bahwa kelima subjek memiliki hubungan yang lebih dekat dengan ibunya, dan lebih lanjut memiliki hubungan yang lebih dekat dengan saudara perempuannya. Dalam kasus subjek IV, saudara perempuannya bahkan memakaikannya baju perempuan, yang kemudian ditentang oleh ayahnya. Green menyebutkan, bahwa dalam segi

pembagian peran orang tua, dalam penelitiannya ditemukan bahwa ibu dari anak laki-laki yang feminim merasa sangat dekat dengan anak mereka dibandingkan ayahnya. Hampir 75 % waria lebih menyukai ibunya daripada ayahnya (dalam Walters & Ross, 1986).

Pada fase kedua yaitu fantasying male femaling, Ekins (1997) menyebutkan bahwa waria memiliki fantasi dan pikiran mengenai dirinya seorang perempuan. Hal ini dialami oleh kelima subjek, mereka mempunyai fantasi atau khayalan, yang mengandaikan dirinya seorang perempuan, dan pada empat subjek fantasi tersebut (I, II, III dan V) dilengkapi dengan proporsi fisik dan penampilan tertentu. Ditambahkan lagi oleh Walters & Ross (1986) yang menyebutkan bahwa waria memiliki fantasi, bahwa mereka bisa berubah menjadi anak perempuan.

Empat dari lima subjek (subjek I, III, IV, dan V), selanjutnya mulai mencoba untuk berpenampilan seperti perempuan, baik itu sendiri, bersama orang lain yang memiliki kecenderungan yang sama, atau pun bersama komunitas waria. Kegiatan ini dapat disebut sebagai cross-dressing, yaitu berusaha untuk tampil sebagai jenis kelamin yang berbeda. Kegiatan ini dirahasiakan dari keluarga dengan berbagai strategi untuk mengelabui keluarganya, yaitu dengan cross-dressing di luar rumah tanpa sepengetahuan keluarga. Ekins (1997) menyebutkan bahwa cross-dressing merupakan gejala utama pada fase doing male femaling ini. Pada fase ini juga didapat kecenderungan bahwa individu melakukan cross-dressing dengan temannya sesama waria atau bersama komunitas, tetapi mereka tetap berusaha merahasiakannya dari keluarga atau orang tua (masked awareness context).

Dalam hal berpenampilan, dalam penelitian ini didapat temuan baru, bahwa waria mengadopsi penampilan dan perilaku seperti perempuan, dari waria-waria lainnya. Johnson & Gordon (1980), menjelaskan bahwa waria-waria lebih memilih untuk belajar berpenampilan seperti perempuan dari temannya sesama waria. Hal ini dikarenakan, mereka merasa memiliki masalah yang sama, dan menganggap perempuan tidak memberi informasi atau instruksi seperti yang mereka butuhkan.

Temuan lain pada fase ini adalah, waria memiliki ketertarikan pada laki-laki sejak kecil, dan ketika memasuki masa remaja, empat subjek (subjek II, III, IV dan V), mengaku telah melakukan aktivitas seksual dengan laki-laki. Kondisi ini dijelaskan oleh Walters & Ross (1997), yang menyebutkan bahwa pada usia pubertas, individu tidak tertarik secara seksual terhadap anak perempuan, tetapi berkeinginan melakukan hubungan seksual dengan laki-laki.

Menandai fase selanjutnya, kelima subjek penelitian bertemu dengan sesama waria, dan kemudian menjadi anggota komunitas waria. Saat bertemu dengan waria, mereka mendapat pemahaman bahwa mereka tidak sendiri, sehingga mereka cenderung untuk berteman dengan sesama waria karena merasa memiliki kesamaan yaitu merasa dirinya perempuan. Mereka kemudian diperkenalkan pada komunitas waria dan menjadi anggotanya. Subjek penelitian juga melakukan penamaan atas diri mereka, mereka mengidentifikasi diri mereka sebagai perempuan yang memiliki fisik laki-laki, hal ini tidak saja terlihat dari data wawancara tetapi juga dari data observasi Ekins (1997), menyebutkan bahwa seiring dengan meningkatnya pengalaman dan aktivitas femaling, banyak dari

individu yang mencoba mencari penjelasan yang lebih serius akan diri mereka sendiri pada fase constituting male femaling. Pada fase ini, individu melakukan tindakan ‘penamaan’ atas diri mereka, dan fase ini biasanya terjadi di komunitas waria. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Heuken (dalam Koeswinarno, 2004), bahwa waria dalam konteks psikologis termasuk sebagai penderita transseksualisme, yakni seorang yang secara jasmani jenis kelaminnya jelas dan sempurna. Namun secara psikis cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenis.

Pada fase terakhir, tiga dari lima subjek (subjek I, III, dan V), menggunakan pakaian perempuan, riasan muka, mengubah cara berjalan, cara berbicara seperti perempuan. Dalam mengubah fisiknya, dua subjek melakukan penyuntikan payudara. Kegiatan cross-dressing di fase ini lebih tinggi frekuensi dan intensitasnya dibandingkan pada fase lainnya. Pada fase ini juga, subjek tersebut tidak lagi merahasiakan kegiatannya dari keluarganya. Sesuai dengan yang dikemukakan Ekins (1997), bahwa pada fase consolidating femaling, individu mulai berani mengekspresikan dirinya, berani memakai pakaian wanita, melakukan operasi atau penyuntikan hormon, dan lain-lain. Individu berkeinginan untuk terlihat dan berperilaku seperti perempuan yang sebenarnya. Penjelasan lebih lanjut mengenai kegiatan pengubahan fisik dan penampilan tersebut dikemukakan oleh Koeswinarno (2004), dia menambahkan bahwa, rekonstruksi pada tubuh yang dilakukan oleh waria didasari realitas bahwa secara biologis mereka adalah seorang laki-laki. Kegiatan seperti menghilangkan bulu kaki, merubah suara atau bergincu yang dilakukan waria merupakan bukti bahwa ciri-ciri biologis harus dirubah untuk menciptakan suatu konstrusksi sosial, bahwa

mereka ingin dipahami secara sosial seperti perempuan. Di samping itu, waria juga melakukan konstruksi bagian tubuh untuk memperindah penampilan, seperti mengubah dagu, hidung, pipi, penyuntikan payudara, dan sebagainya.

Dua subjek (subjek II dan IV) pada fase ini, melakukan cross-dressing pada kondisi tertentu. Alasannya antara lain, mereka takut ketahuan keluarga, merasa bahwa untuk berpenampilan seperti perempuan merupakan hal yang sulit, mereka tidak merasa kesulitan untuk mencari pasangan walaupun tidak berpenampilan seperti perempuan. Subjek II hanya melakukan cross-dressing pada acara komunitas waria tertentu, sedangkan subjek IV satunya lagi hanya melakukan cross-dressing di tempat dimana tidak ada orang yang mengenalnya dengan baik, seperti ketika berlibur ke luar negeri. Dari observasi yang dilakukan, peneliti melihat kesamaan proporsi fisik kedua subjek penelitian. Kedua subjek penelitian memiliki proporsi fisik lebih maskulin dibandingkan tiga subjek penelitian lainnya. Subjek II dan IV memiliki bahu yang lebar, otot lengan yang tampak jelas, kulit yang berbulu kasar, dan pada subjek IV tumbuhnya kumis pada wajah. Faktor fisik dalam menunjang penampilan waria, dijelaskan oleh Walters & Ross (1986), bahwa terkadang fisik yang maskulin dengan perkembangan otot yang jelas tidak dapat disembunyikan, menyebabkan adanya rasa menyesal. Sebaliknya ada juga yang memiliki berat ringan, kaki dan ukuran tangan yang kecil, dan tubuh yang terbentuk yang menunjang penampilan identitas mereka. Hal ini sesuai dengan data observasi, kedua subjek memang memiliki proporsi dan tampilan tubuh yang maskulin, otot yang terbentuk, bentuk tubuh, tulang rahang yang tampak jelas, kulit yang kasar, tumbuhnya rambut seperti kumis.

Berdasarkan hasil penelitian, didapat temuan bahwa waria yang sudah mencapai fase akhir pada usia muda, memiliki kecenderungan untuk merubah penampilan dan fisiknya seperti perempuan dalam waktu yang singkat. Dua subjek, yaitu subjek III, dan V, menunjukkan kondisi tersebut, mereka pada usia yang masih belasan sudah berani untuk berpenampilan seperti perempuan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan salah satunya melakukan penyuntikan hormon (subjek III). Menurut Walters & Ross (1986), cross-dressing dengan intensitas dan frekuensi yang tinggi pada usia yang relatif muda, menunjukkan gangguan yang semakin serius atau parah.

Pada kelima subjek, data penelitian menunjukan terdapat pengaruh faktor religi dalam perkembangan mereka, baik dalam hal yang positif ataupun negatif. Walters & Ross (1986) menyatakan bahwa agama harus dipertimbangkan sebagai variabel sosial yang memiliki pengaruh baik langsung atau tidak lansung dalam perkembangan transseksualisme.

Empat dari lima subjek (subjek I, II, IV, dan V), mengaku dalam hubungannya dengan masyarakat sekitar, masyarakat sejauh ini memberikan reaksi yang berbeda, baik positif ataupun negatif. Reaksi negatif yang diterima beragam dari mulai diejek, tidak diterima untuk mengontrak, tidak diterima untuk bekerja dan lain-lain. Menurut Koeswinarno (2004), reaksi negatif yang diterima oleh waria merupakan salah satu realitas yang ada saat ini. Ada kecenderungan masyarakat untuk menjauhi dan merasa jijik terhadap mereka. Tidak semua angkutan umum bersedia mengangkut waria, tidak semua tempat kos menerima waria, tidak semua instansi menerima waria untuk bekerja, tidak semua orang mau

mensejajarkan waria pada saat shalat, dan tidak semua orang bersedia memberi kesempatan pada waria untuk menunjukkan eksistensinya di masyarakat.

Dari diskusi di atas, dapat dilihat bahwa kelima Subjek penelitian menjalani kelima fase ideal-typical career path of male femaling yang dikemukakan oleh Ekins pada tahun 1997. Walaupun demikian masih banyak gejala atau perilaku lain yang berhubungan dengan proses individu “menjadi waria” yang belum dapat dijelaskan oleh teori ini, sehingga digunakan teori pendukung dari beberapa tokoh.

Kesesuaian rekapitulasi data hasil penelitian dengan teori utama yaitu ideal-typical career path of male femaling yang dikemukakan oleh Ekins (1997) dan dengan teori pendukung yang dikemukakan oleh beberapa tokoh dapat dilihat pada tabel 12 di bawah ini:

Tabel 12.

Rekapitulas Kesesuaian Data Hasil Penelitian Dengan Teori Utama dan Teori Pendukung

No. Data Teori Utama:

ideal-typical career path of male femaling oleh Ekins (1997)

Teori Pendukung

1. Pada masa kanak-kanak, terdapat

initial femaling behaviors, seperti

mencoba pakaian perempuan untuk pertama kali dan adanya ketertarikan pada dunia perempuan (terlihat dari pengambilan peran perempuan dalam permainan dan pekerjaan rumah tangga, dan memakai alat rias perempuan).

Fase beginning male femaling ditandai dengan adanya perilaku

femaling awal, yaitu berupa

perilaku yang tidak sesuai dengan tuntutan sosial yang dikaitkan dengan jenis

kelaminnya, contoh yang paling umum adalah memakai baju perempuan, baik disengaja atau tidak (Ekins, 1997)

Walters & Ross (1986) menyatakan bahwa, pada usia antara usia enam dan sepuluh tahun, anak laki-laki yang memiliki sifat keperempuanan, menggunakan pakaian

perempuan, baik itu pakaian ibu atau saudara perempuannya.

2. Waria pada masa kanak-kanak sering mendapat ejekan dari

Johnson dan Gordon (1980) menyebutkan bahwa salah satu

orang lain, terutama anak laki-laki dan pada beberapa kasus diejek dengan sebuta “bencong” atau “banci”

kejadian penting dalam perkembangan waria adalah pelabelan oleh orang lain. Label tersebut memberi status baru bagi waria yang mengubah konsep diri dan konsep orang lain mengenai dirinya. Waria menerima stigma tertentu, dan biasanya diberikan oleh anak laki-laki. Anak laki-laki tidak mengikutsertakan mereka dalam permainan .

Walters dan Ross (1986), menambahkan bahwa anak laki-laki yang feminin seringkali diidentifikasi sebagai “orang yang berbeda”, kemudian digoda dan diberi panggilan tertentu dan dalam beberapa kasus disakiti secara fisik oleh teman-temannya.

3. Pada masa kanak-kanak, waria lebih memilih untuk bermain bersama anak perempuan, dan memainkan berbagai permaianan anak perempuan seperti boneka, lompat tali, permainan peran, masak-masak’an.

Pada masa kanak-kanak, waria memiliki kecenderungan memainkan permainan anak perempuan seperti lompat tali dan boneka, serta lebih memilih untuk bermain bersama anak perempuan (Johnson & Gordon, 1980).

Mainan anak perempuan seperti boneka lebih disukai daripada senajata mainan dan mobil-mobil’an, dan peran perempuan diadopsi saat melakukan aktivitas bermain (Walters & Ross, 1986). 4. Pada masa kanak-kanak, waria

cenderung merahasiakan perasaan dan tindakan-tindakan

femaling yang dilakukannya.

Tindakan femaling yang dirahasiakan (private awareness

context) merupakan karakteristik

utama pada fase beginning male

femaling, karena mereka tidak

tindakan mereka, dan karena mereka merasa bahwa tindakan mereka tersebut salah (Ekins, 1997).

5. Walaupun terdapat beberapa perilaku keperempuanan yang tampak, orang tua cenderung tidak menyadari hal tersebut

Koeswinarno (2004) menyatakan bahwa, kehadiran waria dalam keluarga bukanlah hal yang tiba-tiba, kecenderungan anak menjadi waria sudah terlihat dari masa anak-anak hingga masa remaja. Namun, gejala tersebut tidak disadari oleh orang tua, sehingga perilaku tersebut menjadi perilaku yang menetap. Kesadaran orang tua baru muncul di kemudian hari, ketika perilaku keperempuanan anaknya sudah terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari.

6. Waria lebih dekat dengan sosok ibunya, dan merasa ibunya mengerti dan memahami perasaannya. Sementara hubungan waria dengan ayahnya buruk karena ayahnya tidak menyukai kecenderungan waria untuk tampil seperti perempuan

Dari segi pembagian peran orang tua, Green (dalam Walters & Ross, 1986) dalam penelitiannya menemukan bahwa, ayah dari waria sering memiliki peran yang sangat dominan. Ibu dari anak laki-laki yang feminin merasa sangat dekat dengan anak mereka dibandingkan ayahnya. Hampir 75% waria lebih menyukai ibunya daripada ayahnya . 7. Waria mempunyai khayalan atau

fantasi dirinya seorang

perempuan dengan proporsi fisik dan penampilan tertentu.

Ekins (1997), menyebutkan bahwa pada fase fantasying male

femaling, individu memiliki

fantasi dan pikiran bahwa dirinya seorang perempuan.

Walters dan Ross (1986), menambahkan bahwa waria memiliki fantasi, bahwa mereka dapat berubah menjadi anak perempuan.

8. Waria berpenampilan seperti perempuan baik itu sendiri, bersama teman yang memiliki kecenderungan yang sama ataupun bersama komunitas waria

(Ekins, 1997) menyebutkan bahwa pada fase doing male

femaling, seiring dengan perilaku doing femaling (seperti cross-dressing), terdapat

penejelasan mengenai apa yang terjadi. Ada beberapa yang mencari teman, atau kelompok yang senasib dengan individu 9. Waria mengadopsi penampilan

dan perilaku seperti perempuan dari waria-waria lainnya.

Waria lebih memilih untuk belajar penampilan sebagai perempuan dari temannya sesama waria. Hal ini dikarenakan mereka merasa memiliki masalah yang sama, dan menganggap perempuan tidak memberi informasi atau instruksi seperti yang mereka butuhkan (Johnson & Gordon, 1980).

10. Waria tertarik pada laki-laki sejak kecil dan melakukan hubungan seksual pada masa remaja.

Walter dan Ross (1986), menjelaskan bahwa pada usia pubertas, individu tidak tertarik secara seksual terhadap anak perempuan, tetapi berkeinginan melakukan hubungan seksual dengan laki-laki.

11. Waria bertemu dengan

sesamanya dan masuk komunitas waria. Waria mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan yang memiliki fisik laki-laki

Ekins (1997), menyebutkan bahwa seiring dengan meningkatnya pengalaman dan aktivitas femaling, banyak dari individu yang mencoba mencari penjelasan yang lebih serius akan diri mereka sendiri pada fase

constituting male femaling. Pada

fase ini, individu melakukan tindakan ‘penamaan’ atas diri mereka, dan fase ini biasanya terjadi di komunitas waria. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Heuken (dalam Koeswinarno, 2004), bahwa waria dalam konteks psikologis termasuk sebagai penderita transseksualisme, yakni seorang yang secara jasmani jenis kelaminnya jelas dan sempurna.

Namun secara psikis cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenis.

12. Waria menggunakan pakaian perempuan dan riasan muka, mengubah cara jalan, cara berbicara mirip seperti perempuan

Pada fase consolidating femaling, individu mulai berani

mengekspresikan dirinya sendiri, berani memakai pakaian wanita, melakukan operasi atau penyuntikan hormon, dan lain-lain. Individu berkeinginan untuk terlihat dan berperilaku seperti perempuan yang sebenarnya (Ekins, 1997).

Walter dan Ross (1986), menambahkan bahwa waria menggunakan kosmetik, pakaian dalam dan pakaian perempuan, dan dia merasa nyaman ketika berpakaian seperti permpuan. Koeswinarno (2004), menyebutkan bahwar

rekonstruksi pada tubuh didasari satu realitas bahwa secara biologis mereka adalah seorang laki-laki. Menghilangkan bulu kaki, merubah suara atau bergincu yang dilakukan waria, merupakan bukti bahwa ciri-ciri biologis harus dirubah untuk menciptakan satu konstruksi sosial, bahwa mereka ingin dipahami secara sosial seperti perempuan. Di samping melakukan penghilangan bagian tertentu, waria juga melakukan konstruksi bagian tubuh untuk memperindah penampilan. Bagian tubuh yang seringkali mengalami pengubahan adalah dagu, pipi, payudara, dan hidung. 13. Kondisi cross-dressing beragam,

ada waria yang cross-dress dengan intensitas dan frekuensi yang tinggi, dan ada yang tidak. Salah satu yang

mempengaruhinya adalah bentuk fisik. Jika bentuk fisiknya mendukung penampilannya, waria akan cenderung melakukan. Hal ini didukung

Menurut Walter dan Ross (1986), terkadang penampilan yang menonjol dengan perkembangan otot yang jelas tidak dapat disembunyikan, menyebabkan adanya rasa menyesal. Sebaliknya ada juga yang memiliki berat ringan, kaki dan ukuran tangan yang kecil, dan tubuh yang terbentuk yang

hasil observasi peneliti. menunjang penampilan identitas mereka.

14. Waria yang berusia muda, memiliki kecenderungan untuk merubah penampilan dan fisiknya seperti perempuan dalam waktu yang singkat.

Walters dan Ross (1986), menyatakan bahwa

cross-dressing dengan intensitas dan

frekuensi yang tinggi pada usia yang relatif muda, menunjukkan gangguan yang semakin seirus atau parah.

15. Faktor religi memiliki pengaruh dalam proses perkembangan waria

Walters & Ross (1986)

menyatakan, bahwa agama harus dipertimbangkan sebagai variabel sosial yang memiliki pengaruh baik langsung atau tidak langsung dalam perkembangan transeksualisme.

16. Masyarakat mempunyai reaksi yang beragam terhadap waria, baik negatif dan positif. Dalam perjuangan menerima jati dirinya dan hidup dengan jati dirinya tersebut, waria kerap menerima reaksi negatif dari masyarakat sekitar, seperti diejek, tidak diterima untuk mengontrak, pekerjaan, dan lain-lain.

Pada realitas masyarakat kita saat ini, tidak semua orang mau menerima waria sebagai teman. Yang ada adalah kecenderungan untuk menjauhinya dan merasa jijik. Tidak semua angkutan umum bersedia mengangkut waria, walaupun jumlahnya

Dokumen terkait