• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Prosedur Analisis Data

BAB III METODE PENELITIAN

III. E. Prosedur Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dimulai dengan mengorganisasikan data, koding, analisis dan terakhir adalah interpretasi (Poerwandari, 2001).

1. Organisasi Data

Data kualitatif sangat banyak dan beragam, sehingga perlu untuk diorganisasikan secara rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Highlen & Finley (dalam Peorwandari, 2001) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumetasikan analisis yang dilakukan serta menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan, kaset hasil rekaman), data yang telah dibubuhi kode spesifik dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis. 2. Koding dan Aanalisis

Langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan adalah menambahkan kode-kode pada materi-materi yang diperoleh. Langkah awal koding dapat

dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun transkrip verbatim (kata demi kata) atau catatan lapangan sedimikian rupa, sehingga ada kolom yang lebih besar disebelah kanan transkrip tersebut. Kemudian memberi penomoran secara berurutan dan kontinu pada baris-baris ktranskrip tersebut. Selanjutnya peneliti memberikan nama untuk msaing-masing berkas dengan kode tertentu. 3. Interpretasi Data

Kuale (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami dan secara lebih ekstensif sekaligus mendalam peneliti memiliki perspektif tersebut. Peneliti beranjak melalui apa yang secara langsung dikatakan oleh subjek, untuk mengembangkan struktur-struktur dan hubungan-hubungan bermakna yang tidak segera ditampilkan dalam data mentah. Proses interpretasi memerlukan distansi (upaya mengambil jarak) dari data, dicapai melalui langkah-langkah metodis dan teoritis yang jelas, serta melalui dimasukkannya data kedalam konteks konseptual yang jelas.

BAB IV ANALISA DATA

IV.A. Analisis Data Subjek 1

IV.A.1. Gambaran Umum Subjek 1

Tabel 1.

Gambaran Umum Subjek 1

Nama samaran Wenny

Usia 58 tahun

Agama Kristen

Suku Batak

Pendidikan terakhir Diploma (D3) Sekretaris

Pekerjaan Wiraswasta (Salon)

Status Belum menikah

Alamat Medan

Deskripsi Data Subjek 1

Dilahirkan di Siantar, 58 tahun yang lalu, Subjek merupakan anak ke empat dari lima bersaudara. Dia merupakan anak laki-laki pertama di keluarganya, memiliki tiga orang saudara perempuan, dan seorang adik laki-laki. Subjek lahir dari keluarga bersuku Batak Toba, ayah dan ibunya sama-sama bersuku Batak Toba. Semasa SD, Subjek tinggal bersama keluarganya di Ambarita, kemudian memasuki SMP, mereka sekeluarga bermukim di Siantar.

Sejak masa prasekolah, Subjek sudah menyukai dunia anak perempuan, di antaranya lebih menyukai bermain dengan perempuan dan melakukan permainan yang biasa dilakukan oleh anak perempuan. Ketika masih duduk di bangku SD,

saat orang tuanya tidak di rumah, dia pernah mencoba pakaian ibunya, dan berjalan bak seorang peragawati.

Subjek tertarik pada laki-laki saat duduk di bangku SMP, tapi dia kemudian merasakan cinta yang sesungguhnya saat dia memasuki SMA. Saat SMA pula, dia mulai mengenal komunitas waria, dia sering keluar malam dan “nongkrong” dengan komunitasnya tersebut. Hal ini tidak diketahui oleh orang tuanya, berbagai alasan digunakan untuk bisa keluar malam dan tetap menyembunyikan kegiatannya dengan komunitasnya.

Subjek meneruskan pendidikannya ke jenjang D3 di Medan. Jauh dari pengawasan orang tua dan keluarga membuatnya lebih berani untuk berpenampilan layaknya seorang wanita. Walaupun demikian, dia mengaku sudah berusaha untuk mengubah perilakunya tersebut, seperti mencoba berpacaran dengan perempuan, dan berpenampilan dan berteman dengan laki-laki, tetapi hal tersebut tidak berhasil.

Setelah menamatkan pendidikan D3-nya, Subjek kemudian merantau ke luar Medan, seperti Jawa dan Banda Aceh. Beberapa pekerjaan dilakoninya, baik sebagai pegawai swasta, penyanyi, pemain sandiwara dan sebagai pegawai sebuah bank di Banda Aceh. Saat bekerja di bar sebagai pelayan dan penyanyi di Jakarta, dia berpakaian ala perempuan. Dia juga mengirimkan fotonya berpakaian perempuan pada keluarganya. Keluarganya yang sempat tidak mengetahui kabarnya selama hampir lima tahun, dan mengira bahwa dia sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan sesuai dengan pemberitaan sebuah media, merasa senang dapat berhubungan kembali dengan Subjek. Untuk memenuhi keinginan

keluarganya, Subjek pulang ke Medan, keluarganya menerima perubahan yang terjadi pada dirinya.

Sekarang Subjek aktif di kegiatan gereja dan lingkungannya. Dia tetap tampil dengan dandanan seorang perempuan, ini ditetapkannya setelah dia mempunyai penghasilan sendiri, didukung pengetahuan agama yang mendukungnya untuk menerima dirinya apa adanya dan tetap berbuat baik. Kedekatannya dengan keluarga tetap terjalin, saat ini dia tinggal dengan keluarga adiknya dan aktif mengikuti kegiatan ibadah dan arisan keluarga besar marganya.

Pekerjaan yang digelutinya sekarang, adalah di bidang kecantikan. Setelah menghabiskan lebih dari lima tahun belajar tata rias di beberapa salon, dia menjadi karyawan salon di beberapa salon. Setelah kenyang dengan pengalaman, tahun 1990, Subjek membuka salon pertamanya, tapi karena ketidakcocokan dengan sang pemilik rumah, dia kemudian pindah dan membuka usaha salon di daerah Menteng sekitar tahun 1992.

IV.A.2. Data Observasi Subjek I

Bulan Januari akhir 2007, peneliti berkenalan dengan Subjek di salonnya yang terletak di daerah Menteng. Saat mengemukakan maksud dan tujuan peneliti, dia bersedia membantu sebagai partisipan dalam penelitian peneliti, kemudian peneliti memberikan informasi mengenai hak-hak privasi dan penggunaan data wawancara yang nantinya didapat. Untuk mengakrabkan diri, peneliti sempat potong rambut di salon Subjek, sambil bercerita tentang berbagai hal, terutama mengenai dunia salon yang digelutinya.

Wawancara pertama, diadakan di salon Subjek pada hari Rabu, tanggal 11 Juli 2007, pukul 15.30-17.30 WIB. Pemilihan tempat merupakan kehendak Subjek sendiri karena dia menjalankan salonnya sendiri. Keadaannya memang tidak begitu nyaman untuk melakukan wawancara, karena salon Subjek berada di depan jalan raya yang ramai dilintasi oleh kendaraan dan pada saat itu listrik padam, sehingga ruangan panas dan suara genset di luar ruangan menambah suara bising. Saat itu, Subjek menggunakan daster berwarna krem, dan rambutnya dikucir ke belakang. Karena udara yang panas, sesekali Subjek mengipas-ngipas muka dan badannya dengan selembar koran, terkadang dia mengangkat kedua kakinya ke atas kursi dan beberapa saat kemudian menurunkannya kembali. Sebelum mengajukan pertanyaan-pertanyaan, peneliti berbasa-basi sejenak, dan setelah peneliti merasa Subjek sudah cukup nyaman dengan keberadaan peneliti, peneliti memulai wawancara. Subjek terlihat santai menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti, dengan suara khas dan cepat yang terkadang membuat peneliti kewalahan mencerna perkataan Subjek. Saat menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan kejadian dimana Subjek mendapat reaksi negatif dari orang lain, suara Subjek berubah menjadi lebih keras dan tegas, kakinya yang semula disilangkan di atas kursi diturunkan, badannya mencondong ke depan. Saat wawancara, pelanggannya datang, wawancara kemudian ditunda dan dilanjutkan kembali setelah Subjek selesai melayani pelanggan tersebut.

Wawancara kedua, diadakan di tempat yang sama, yaitu di salon Subjek pada hari Senin, 30 Juli 2007, pukul 14.45-16.00 WIB, untuk melengkapi data wawancara yang ternyata belum lengkap. Peneliti bertemu Subjek di luar salonnya

saat dia sedang berbicara dengan seorang ibu yang sedang menggendong anaknya. Dari seberang jalan, Subjek sudah mengenali peneliti dan melambaikan tangannya ke arah peneliti, kemudian setelah peneliti menyeberang, Subjek mengajak peneliti masuk. Penampilan Subjek terlihat simpel, dia mengenakan celana pendek warna krem dengan tank top berwarna senada. Tidak nampak polesan make-up di wajahnya, rambutnya yang pendek dikucir dan diikat ke belakang, tampilannya sederhana dan ramah. Sebelum wawancara dimulai, Subjek memakan sepotong kue yang dibawa oleh peneliti dan bercerita mengenai keponakannya yang juga sering membawa kue. Subjek sesekali menanyakan mengenai keluarga dan studi peneliti, kemudian peneliti menceritakan sekilas mengenai studi, keluarga dan rencana pulang kampung. Saat wawancara berlangsung, Subjek duduk di kursi di depan peneliti, kakinya disilangkan, tangan kanannya diletakkan di atas lututnya dan tangan kirinya memegang rambutnya, dan terkadang digunakan untuk memperbaiki rambutnya beberapa kali.

Wawancara yang merupakan ketigakalinya ini diadakan pada hari Kamis, tanggal 22 November 2007, mulai pukul 13.00-14.50 WIB. Seperti penampilan sebelumnya, Subjek menggunakan tank top dan celana pendek, tapi ada yang berbeda dengan rambutnya, terlihat lebih lurus, rapi dan di hi-lite (diwarnai), ternyata Subjek baru menjalani perawatan rambut smoothing. Salonnya terlihat ramai, ada empat orang anak perempuan yang menurut penuturan Subjek merupakan asistennya yang juga belajar di salonnya. Terdapat beberapa perubahan pada salonnya, yaitu penggantian keramik lantai, adanya papan pengumuman harga salon, dan adanya papan untuk penunjuk arah ke arah

salonnya. Dia menceritakan bahwa saat lebaran, dia mendapatkan penghasilan yang lumayan besar dan dengan uang tersebut dia dapat memperbaiki salonnya. Wajah Subjek terlihat lebih ceria dari sebelumnya, dan lebih sering tersenyum sambil menceritakan perkembangan salonnya. Saat wawancara, Subjek menyisipkan cerita keberhasilan usaha salonnya pada peneliti. Bahkan setelah wawancara usai, Subjek beberapa kali menceritakan cerita keberhasilan usaha salonnya sekarang. Selama menjawab pertanyaan, Subjek sering memperbaiki rambutnya yang ringan tertiup angin, kakinya disilangkan serta tangannya terkadang diayunkan saat menjawab beberapa pertanyaan. Setelah wawancara selesai, saat peneliti memandang ke sekeliling salon, ternyata foto Subjek saat menjadi Miss Waria Sumatera Utara telah dipajang, berderet dengan foto-foto lain saat Subjek menerima berbagai penghargaan dalam bidang kecantikan dan kejuaraan.

IV.A.3. Data Wawancara Subjek I a. Beginning Male Femaling

Sejak masa prasekolah, Subjek mengakui kalau dia sudah berperilaku seperti anak perempuan dan dia menyadarinya saat masih duduk di bangku SD, sekitar umur 12 tahun.

“Aku sejak dari ini mm.., dari SD, ..dari SD aku, sebelum sekolah pun saya da nampak kayak-kayak perempuan-perempuan gitu...kalo gak salah saya, umur 12 tahun saya da nampak gejala. Dari SD-SD la, mau masuk SMP gitu, uda kentara kali lah, uda nampak.”

Saat bermain, Subjek lebih memilih untuk bermain dengan anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki.

“Sama perempuan, tapi di sana misalkan kumpulan laki-laki sekalian bermain, saya gabung sama perempuan”.

(S1.W3/b.195-197/hal.7).

Menghabiskan waktu bermain dengan anak perempuan membuatnya akrab dengan permainan-permainan dan kegiatan-kegiatan anak perempuan pada umumnya. Subjek melakukan kegiatan seperti mencuci piring, menjahit, main boneka, menari, main pecal-pecalan dan kegiatan lain yang identik dengan kegiatan yang biasa dilakukan anak perempuan. Bahkan saat perayaan kemerdekaan, 17 Agustus, dia mengikuti kegiatan seperti menari dan pada saat karnaval, dia memakai baju perempuan.

“Dari sebelum SD, saya uda ada pekerjaan perempuan, kewanitaan-kewanitaan saya da ada. Cuci piring, ngapel, jahit-menjahit, main-mainan kelereng-kelereng, main anak-anakan, main boneka-boneka sudah, joget-joget, nari-nari. Kalo sudah 17 Agustusan itu, saya da sering nari-nari gitu. Kalo ada-ada karnaval gitu da suka dibuat pake baju perempuan kan... Anak-anakan, trus main pecel-pecelan gitu.”

(S1.W1/b.18-27, 85-86/hal.1, 2).

Sewaktu kelas enam SD, Subjek menyukai permainan lain, seperti jinjing bakul, dan pada saat tersebut dia mengidentifikasi dirinya sebagai seorang anak perempuan

“Oooo...iya pernahlah waktu kelas-kelas enam la itu saya rasa. Saya kan dulu apa, sering main kain-kain jingjing bakul kan, ya iya la, saya kan perempuan, pernah itu mau omongan gitu memang pernah.”

(S1.W2/b.280-285/hal.7).

Hal ini tidak luput dari perhatian saudara-saudaranya dan orang tuanya, mereka tidak melarang Subjek, tetapi hanya memperingatkan dia, bahwa sebagai

seorang anak laki-laki, dia tidak boleh berbuat demikian. Ibunya memaklumi hal tersebut dengan alasan bahwa pada saat itu Subjek masih anak-anak.

“Eee, dilarang, gak dilarang, dilarang sih enggak. Cuman ya dikasi ingat, dikasi ingat gitu aja. ‘Jangan gitu la’ katanya, ‘Kau kan laki-laki’, itu katanya. Tapi dibiarkan saja, datang mamak saya, ‘Uda la gak papa, gitu aja, namanya anak-anak’, itu katanya.”

(S1.W1/b.99-105/hal.3).

Begitu juga dengan ayah dan saudara perempuannya, mereka hanya menyatakan keheranan mereka atas kesukaan Subjek terhadap barang-barang yang disukai anak perempuan.

Ya dari kecil, mereka sudah tahu, tidak pala mau dilarang, tidak pala mau di apa gitu. Cuman ayah, kakak saya bilang, “Kau kok kayak perempuan, suka kali kau barang-barang ke gitu”, katanya, itu aja.

(S1.W3/b.156-160/hal.4).

Pada kesempatan lain, Subjek berani memakai pakaian-pakaian ibu dan saudara perempuannya secara sembunyi-sembunyi atau bersama teman-temannya perempuan. dia memakai kebaya, kain sarung, sanggul dan sepatu serta menyobanya di depan kaca.

“Iya..pake-pake kebaya, kain sarung, pake-pake sanggul gitu...Iya, nyoba di depan kaca...Baju kakak saya, baju mamak saya, tapi kalo sepatu kakak saya pernah, baju mamak saya sepatu kakak saya la. Jalan-jalan kek gini-gini di ruangan gitu...Ga ada orang yang lihat, apa la, kadang-kadang bermain sama-sama perempuan la.”

(S1.W2/b.325-326, 328, 334-337, 339-341/hal.7, 8).

Setelah mengerti perbedaan antara laki-laki dan perempuan, Subjek menyadari bahwa dia merasa dirinya adalah seorang perempuan. Tingkah lakunya yang cenderung seperti perempuan semakin bertambah seiring pertambahan usianya, bahkan dia mulai tertarik terhadap laki-laki.

“Ya, saya uda tahulah tentang masalah-masalah perbedaan, laki-laki dengan perempuan. Trus hati sanubari saya itu merasa diri saya itu seorang, sama dengan seorang perempuan. Saya pun berteman sama

perempuan, trus itu di SD belum ada terasa, cuman tingkah laku da tingkah laku perempuan, ha.. di SMP, di SMP, udahlah, uda jadi, uda jadi tapi blum pas, blum pas, jadi di SMU, baru uda mulai. Kita uda mengenal cinta dan kasih sayang, itulah perhatian, rasa sama cowok gitu.”

(S1.W3/b.108-119/hal.3).

Keterarikan terhadap laki-laki tersebut dirasakannya sejak kelas tiga SMP hingga duduk di bangku SMA.

“Di SMP uda terasa la, uda pernah di..diapala, diajak-ajak bercinta gitu, tapi gak sampai kencan. Cuma ada sayang gitu, ada cinta la gitu, beda la beda. Dari SMP saya uda itu di kelas tiga. Uda mau masuk di SMU, tapi waktu di SMUnya ya uda, kita uda.”

(S1.W1/b.50-56/hal.2 ).

Ketertarikan tersebut berupa rasa sayang dan perhatian terhadap laki-laki, Subjek merasa sebagai seorang perempuan yang dicintai oleh laki-laki.

“Berbedalah. Berbeda, terasa sayang sama laki-laki itu, ada rasa perhatian, ada apa gitu”

(S1.W3/b122-124/hal.3).

“... diri ini merasakan perempuan, merasa dicintai, namun laki-laki, saya tidak tahu, tapi namun dia ada sayang gitu...”

(S1.W1/b.68-71/hal.2). b. Fantasying Male Femaling

Subjek pernah membayangkan dirinya seperti perempuan, hal ini biasanya terjadi ketika dia melihat perempuan yang cantik, dia akan bertanya pada dirinya sendiri apa bisa dia seperti perempuan tersebut

“.Ya...pernah...pernah, itu tentu ada, ada...ya perasaan kita itu kaya perasaan perempuan la. Kalo ada lihat ada perempuan cantik ya, ‘apa bisa saya kayak perempuan itu?’, begitu.”

Keinginannya untuk menjadi secantik perempuan yang dilihatnya, dia tuangkan dengan mengikuti sandiwara-sandiwara dan mengambil peran sebagai seorang perempuan.

“Ya kalo ada nengok perempuan yang cantik gitu kan? Maunya saya bisa secantik itu, kek menonton-nonton kita di TV, dengar-dengar sandiwara, ha, karena saya dulu pernah ikut-ikut sandiwara, ha, jadi saya itu selalu ikut-ikut jadi sebagai wanita la.”

(S1.W3/b.175-180/hal.4).

Selain itu, Subjek juga pernah mengikuti opera-opera, yang juga banyak diikuti oleh waria-waria. Dalam opera tersebut Subjek 1 mengambil peran sebagai perempuan.

“....apalagi pada opera itu pada umumnya orang waria-waria kebanyakan. Jadi peranan kalo agak tua jadi sebagai mamak, karena hari itu masuk umur-umur 20, aku sebagi anak gadis, sebagai gadis nakal, gitu-gitu la. Banyaklah peranan saya di situ.”

(S1.W2/b.369-375/hal.8).

c. Doing Male Femaling

Subjek mengenal waria sejak dari SD, saat SMP dia memiliki teman yang juga memiliki kecenderungan untuk menjadi perempuan.

“Saya dari SMP, dari SD pun saya uda ada kenal, uda ada teman, tapi saya gak mau pala terjun. Hanya sekedar gitu, ya karena masih sekolah, jadi karena masih sekolah gitu gak...Di SMP saya, saya uda ada teman-teman saya, dua di antara kami, dua tiga di lingkungan itu...”

(S1.W1/b.334-342/hal.8).

Memasuki SMA, bersama teman-teman sekelasnya, Subjek mulai sering keluar malam dan bergabung dengan komunitas waria.

“Sebelum SMA uda pernah-pernah juga. Sesudah SMA, waktu SMA ya sudah sering la keluar-keluar malam, uda gabung-gabung... Sama teman-teman. Ha...itu la teman-teman sekelas, marga Tarigan, marga Sinaga, marga Situmorang”

Bersama komunitas waria, Subjek diajak untuk berpenampilan seperti perempuan, pakaian yang dipakai biasanya adalah pakaian ibu, saudara perempuan, atau pakaian perempuan yang dibeli sendiri. Kemudian mereka pergi “mejeng” ke berbagai tempat hiburan, seperti restoran, kafe, bar, taman hiburan, kegiatan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

“...Uda SMA la, uda gabung dengan kawan. Kita uda mengenal dua tiga orang. Kadang-kadang kita malam-malam uda diajak kita dandan di tempat orang, ada spesial warung di situ. Kita uda membeli baju...ambil baju kakak kita ato mamak kita. Kita uda pakaian, nanti pagi uda ganti lagi seperti biasa, jangan sampai ketahuan sama keluarga begitu. Tapi namun kalau saya begitu dulu, cari uang tak pernah, blum pernah..tidak pernah. Cuma kalo kerja-kerja di diskotik ya..iya pernah...nyanyi-nyanyi di bar, di restoran pake baju perempuan. Dari jam sekian kita uda bangun, dandan, ntar kita uda pergi saja, kayak di taman Ria, kita ikut gabung kan dengan orang-orang, grup-grup, itu grup band.”

(S1.W1/b.219-237/hal.5-6)

“Iya ada...itu ada teman kita. Kita bergabung dengan kakak kelas kita, sama yang uda senior-senior kita, kita bergabung, mereka itu uda ada baju tersedia, sepatu tersedia. Tapi terkadang masalah selop takut gak pas, kita ambil selop mamak kita, ato kakak kita gitu, lalu kita jalan-jalan... Kalo masalah bedak-bedak, baju dari mereka. Jadi nanti ada warung di situ, nanti di situ la kita gabung, ada kafenya. Jadi nanti kan, kita satu persatu dipanggil nyanyi gitu, pake baju perempuan, joget-joget, melayang-melayang gitu. Apala...gitu...orang-orang dunia yang ada, supir-supir yang mabukla, namanya kafe, duduk di situ la dulu, mejeng di Siantar.”

(S1.W2/b.186-193, 195-204/hal.5)

Subjek pulang ke rumah sekitar pukul satu sampai dua pagi, melalui pintu belakang dan terkadang harus memanjat.

“Pergi gitu aja uda, cuman sampai pagi sih enggak, paling la kadang-kadang jam satu malam, jam dua malam ke rumah, masuk pintu belakang la gitu, ya kadang manjat la.”

(S1.W2/b.173-177/hal.4)

Kebiasaan Subjek keluar malam mendapat larangan dari keluarganya, tetapi larangan tersebut tidak membuatnya kapok untuk keluar malam.

“Ya didiamkan, mungkin nanti dilarang. Ya memang dilarang juga, jangan kek gitu, jangan kemana-mana gitu, tapi mereka itu tidak tahu bahwa saya pacaran sama cowok...Saudara-saudara saya itu belum

tahu saya begituan, cuman da tau gerak-gerik saya itu da tau saya keperempuanan.”

(S1.W2/b.165-169, 180-182/hal.4).

Setamat SMA, Subjek merantau ke Medan dan kuliah di sana. Setelah jauh dari orang tua, dia sering berpenampilan seperti perempuan, dan sering mengikuti kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan dunia kecantikan bersama-sama temannya sesama waria.

“Di medan ini, saya kuliah di Darma Agung, di ASMI.” (S1.W2/b.631-632/hal.14)

“Tapi yang terjun kali, sesudah tamat SMAla, kita harus tamatkan dulu SMA kita ini baru sesudah tamat kita SMA, sesudah mahasiswa baru kita sering-sering pakai pakaian baju perempuan malam hari, kadang nonton gitu kan, main-main gitu... Uda tamat, uda mahasiswa saya kadang-kadang mau ada acara gitu di hotel Danau Toba, ada ini... dari salon, jadi kita dandan, pake baju perempuan bersama-sama teman.” (S1.W1/b.194-198, 334-349/hal.5, 8)

Selain memperkenalkannya ke dunia kecantikan atau salon, teman-temannya sesama waria juga mengajaknya mengikuti berbagai kegiatan seperti menari, menyanyi, dan mengikuti berbagai acara, seperti acara mode dan sandiwara.

“Dari teman la. Jadi kita terjun ke salon, lagi, kawan itu la yang mengajari kita terjun ke salon, gabung, trus nanti ada acara nonton sandiwara atau fashion show, kita uda ikut menari-menari, ia...nyanyi-nyanyi, joget-joget, ya itu la menjadi-jadi menjadi la. Ya kita tidak mau lagi biasa-biasa, bergabung dengan masyarakat biasa. Kita harus dipandang orang la...kita...kita kek ada kelebihan ada keanehan gitu la. (S1.W1/b.726-736/hal.16).

Saat berumur sekitar 22 tahun, Subjek mengirimkan fotonya yang sedang menggunakan baju perempuan kepada keluarganya.

“Ooo, keluarga itu tahu, waktu saya merantau dulu, saya kirim foto

Dokumen terkait