• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan bahwa communication, trust, alienation, perspective taking, fantasy, empathy concern, personal distress, intrinsik, dan

ekstrinsik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku cyberbullying pada remaja millenial. Dalam penelitian ini, keseluruhan uji analisis regresi dari independent variable diperoleh hasil sebesar 14,1% terhadap dependent variable (cyberbullying)

sedangkan, 85.9% disumbangkan oleh variabel lain di luar penelitian ini. Selanjutnya, dari keseluruhan variabel independen terdapat empat variabel yang memberikan pengaruh signifikan terhadap perilaku cyberbullying. Dimensi tersebut yaitu alienation, perspective taking, dan empathy concern.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa parental attachment merupakan salah satu prediktor perilaku cyberbullying. Parental attachment yang buruk akan menghasilkan alienation antara orang tua dan anak. Semakin tinggi alienation antara orang tua dan anak

maka kemungkinan anak terlibat dalam perilaku cyberbullying juga semakin tinggi. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bayraktar et al., (2015) menyatakan bahwa parental attachment yang buruk dapat ditemukan pada cyberbully-victim. Penelitian lain

yang dilakukan oleh Arif & Wahyuni (2017) juga mengatakan bahwa kelekatan ayah,ibu, memiliki hubungan yang negatif dengan perilaku bully, terutama dalam sisi pelaku bully.

Berdasarkan hasil analisis data terdapat satu dimensi dari parental attachment yang signifikan dan memiliki pengaruh terhadap perilaku cyberbullying. Variabel alienation merupakan dimensi dari parental attachment yang signifikan dan memiliki

pengaruh yang signfikan terhadap perilaku cyberbullying dengan koefisien regresi bertanda positif, yang berarti semakin tinggi alienation antara orang tua dan anak maka akan semakin tinggi pula perilaku cyberbullying pada anak. Alienation erat kaitannya dengan perasaan terasing, marah, dan pengalaman perpisahan dengan figur attachment. Orang tua yang memiliki tingkat alienation tinggi dengan anak dapat menyebabkan anak terlibat dalam perilaku cyberbullying. Pada konteks ini peneliti berasumsi mengapa alienation yang tinggi pada orang tua dapat meningkatkan perilaku cyberbullying pada

remaja, hal ini dipengaruhi oleh kebutuhan emosional yang kurang dari orang tua dimana orang tua sering kali memberikan penolakan terhadap hal-hal yang dilakukan anaknya sehingga anak merasa marah, tidak dipedulikan, terasingkan. Remaja yang sering mendapatkan penolakan dari orang tuanya cenderung memiliki perasaan marah yang tinggi, perasaan marah yang tinggi ini sering kali dilampiaskan ke luar rumah bahkan bisa dapat berperilaku agresif yang merugikan orang lain seperti mem-bully temannya sendiri. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Salleh et al., (2018) menjelaskan bahwa alienation merupakan dimensi parental attachment yang signifikan dan memiliki

pengaruh terhadap pengalaman perilaku cyberbullying pada anak. Alienation merupakan prediktor bagi perilaku cyberbullying dan perilaku delikuen lainnya yang dilakukan oleh anak.

Selanjutnya, dimensi dari parental attachment yang tidak signifikan terhadap perilaku cyberbullying adalah communication. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Salleh et al., (2018) yang menjelaskan bahwa communication bukan prediktor dalam pengalaman perilaku cyberbullying pada anak.

Komunikasi yang baik antara orang tua dan anak dapat membantu anak untuk terhindar dari perilaku cyberbullying dan perilaku agresi lainnya.

Selain itu, dimensi lain dari parental attachment yang tidak signifikan terhadap perilaku cyberbullying adalah trust. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Salleh et al., (2018) yang menjelaskan bahwa trust bukan prediktor dalam pengalaman perilaku cyberbullying pada anak. Rasa percaya yang tinggi antara anak dengan orang tuanya ataupun sebaliknya dapat membantu dalam meminimalisir perilaku cyberbullying pada anak.

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa empathy merupakan salah satu prediktor dalam terjadinya perilaku cyberbullying pada remaja millenial. Remaja yang memiliki tingkat empathy yang rendah kepada orang lain maka akan semakin tinggi kemungkinan untuk terlibat dalam perilaku cyberbullying. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Steffgen et al., (2011) yang menjelaskan bahwa pelaku cyberbullying memiliki tingkat empathy yang rendah dibandingkan dengan mereka yang bukan pelaku cyberbullying. Selain itu, penelitian yang dilakukan G. Brewer et al., (2015) juga menunjukkan bahwa empathy yang rendah pada remaja dapat meningkatkan perilaku cyberbullying.

Pada penelitian ini, terdapat dua dimensi dari empathy yang signifikan dan memiliki pengaruh terhadap perilaku cyberbullying. Dimensi perspective taking dan dimensi empathy concern signifikan dan berpengaruh terhadap perilaku cyberbullying pada remaja millenial. Perspective taking memiliki pengaruh yang signifikan terhadap cyberbullying dengan koefisien regresi bertanda negatif, yang berarti semakin tinggi

perspective taking seseorang maka akan semakin rendah perilaku cyberbullying.

Perspective taking sendiri berkaitan dengan bagaimana individu dapat membantu dalam

memahami kondisi orang lain dengan pemaknaan sikap dan perilaku yang dapat terlibat. Perspective taking berorientasi pada kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan sendiri. Sehingga, remaja yang memiliki tingkat perspective taking yang tinggi kemungkinan besar tidak akan terlibat dalam perilaku yang merugikan orang lain seperti cyberbullying. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Richardson et al., (1994)

menyatakan bahwa perspective taking yang baik pada seseorang dapat menghambat hubungan yang agresi dengan orang lain. Semakin individu mampu memahami kondisi orang lain maka kemungkinan akan perilaku agresi seperti cyberbullying semakin rendah. Selanjutnya, dimensi kedua dari empathy yang signifikan dan memiliki pengaruh terhadap perilaku cyberbullying adalah empathy concern. Empathy concern memiliki pengaruh yang signifikan terhadap cyberbullying dengan koefisien regresi bertanda negatif, yang berarti semakin tinggi empathy concern seseorang maka akan semakin rendah perilaku cyberbullying. Empathy concern sendiri berkaitan dengan perasaan peduli kepada orang lain dan perhatian terhadap masalah yang dialami orang lain. Empathy concern menciptakan perasaan kehangatan, rasa iba, dan peduli. Rasa empathy

ditunjukkan pada pengalaman negatif yang dirasakan orang lain. Sehingga, remaja yang memiliki tingkat empathy concern yang tinggi kemungkinan besar tidak akan terlibat dalam perilaku yang merugikan orang lain seperti cyberbullying. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Van Cleemput et al., (2014) menngemukakan bahwa empathy concern merupakan prediktor yang signifikan terhadap perilaku reaktif remaja. Remaja

yang memiliki empathy concern yang rendah cenderung bersikap acuh terhadap perasaan orang lain, dimana remaja dengan empathy concern yang rendah sering kali ditemukan terlibat dalam perilaku bully.

Dimensi lain dari empathy yang tidak signifikan terhadap perilaku cyberbullying yaitu fantasy dan personal distress. Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Setianingrum (2015) juga menemukan hubungan yang tidak signifikan dari variabel fantasy dan personal distress terhadap perilaku cyberbullying pada remaja. Fantasy

berkaitan dengan bagaimana seseorang mengubah dirinya secara imajinatif dalam memaknai perasaan dan tindakan dari karakter khayalannya yang dikemudian diasosiasikan pada dirinya sendiri. Fantasy ini dapat dipengaruhi dari film yang ditonton atau buku yang dibaca. Semakin individu memiliki fantasy yang baik maka semakin rendah kemungkinan terlibat dalam perilaku cyberbullying. Pada konteks ini peneliti berasumsi hasil tontonan atau buku bacaan yang mendidik dapat membuat remaja memiliki imajinasi yang positif, semakin remaja memiliki imajinasi yang positif maka kemungkinan untuk terlibat dalam perilaku cyberbullying semakin menurun.

Selanjutnya, variabel personal distress. Variabel personal distress berkaitan dengan bagaimana individu merespon pengalaman negatif orang lain secara berlebihan, yang ditandai dengan adanya perasaan cemas, takut, tidak nyaman. Semakin individu memiliki perasaan cemas, takut, atau tidak nyaman yang tinggi maka akan semakin tinggi juga kemungkinan terlibat dalam perilaku cyberbullying. Pada konteks ini peneliti berasumsi, remaja yang sering melihat pengalaman negatif orang lain (bystander) dan merespon pengalaman negatif tersebut secara berlebihan dapat lebih mudah terlibat dalam

perilaku cyberbullying (menjadi pelaku), hal ini bisa dipengaruhi karena empathy yang rendah atau faktor lainnya seperti pengaruh kepribadian, teman sebaya, konformitas,dan lainnya

Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian ini juga diketahui bahwa variabel orientasi religius intrinsik dan variabel orientasi religius ekstrinsik tidak signifikan terhadap perilaku cyberbullying pada remaja millenial. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian eksperimental dan pengisian kuesioner skala religius yang dilakukan oleh Leach et al., (2008) pada 62 sampel menunjukkan bahwa individu yang memiliki orientasi religius intrinsik lebih rendah dalam tindakan agresi dibandingkan dengan individu dengan orientasi religius ekstrinsik. Akan tetapi, secara luas individu dengan orientasi religius intrinsik dan individu dengan orientasi religius ekstrinsik tidak terlalu berbeda dalam perilaku agresi dan penurunan tingkat agresi. Cyberbullying merupakan salah satu tindakan agresi yang terjadi di sosial media (Hinduja &Patchin,2008). Berdasarkan hasil yang telah dijabarkan di atas peneliti berasumsi terkait dengan tidak signifikannya pengaruh orientasi religius intrinsik d an ekstrinsik terhadap perilaku cyberbullying dipengaruhi karena karakteristik responden yang kurang spesifik, seperti remaja yang aktif dalam kegiatan keagamaan atau organisasi keagamaan tertentu.

Dari keseluruhan diskusi di atas, peneliti menyadari bahwa masih banyak keterbatasan yang ada dalam penelitian ini. Keterbatasan penelitian yang terdapat dalam penelitian ini misalnya, pada karakteristik sampling. Pada penelitian ini data demografi (seperti jenis kelamin, usia, atau penggunaan jaringan internet) yang diperoleh hanya digunakan sebagai data identitas responden saja, sehingga untuk penelitian selanjutnya

mungkin data demografi dapat diikutsertakan dalam analisis regresi untuk mendapatkan hasi penelitian yang lebih komprehensif.

Dokumen terkait