• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PARENTAL ATTACHMENT, EMPATHY, DAN ORIENTASI RELIGIUS TERHADAP PERILAKU CYBERBULLYING PADA REMAJA MILLENIAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PARENTAL ATTACHMENT, EMPATHY, DAN ORIENTASI RELIGIUS TERHADAP PERILAKU CYBERBULLYING PADA REMAJA MILLENIAL"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Disusun Oleh: Sania Azizah Nur NIM 11160700000030

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

“SETIAP MANUSIA MEMILIKI KELEBIHAN DAN KEKURANGAN YANG HARUS DISYUKURI, KARENA KEDUANYA MERUPAKAN ANUGERAH

DARI TUHAN”

(6)

vi (C) Sania Azizah Nur

(D) Pengaruh Parental Attachment, Empathy, dan Orientasi Religius terhadap perilaku Cyberbullying Pada Remaja Millenial

(E) xvi+ 91halaman + lampiran

(F) Perilaku cyberbullying merupakan perbuatan kejam seseorang yang dilakukan terhadap orang lain dengan mengirimkan konten menyakitkan atau bentuk agresi sosial melalui internet atau teknologi digital lainnya. Perilaku cyberbullying menjadi fenomena yang penting untuk diteliti, mengingat semakin majunya perkembangan IPTEK pada saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah communication, trust, alienation, perspective taking, fantasy, empathy concern, personal distress, intrinsik, dan ekstrinsik berpengaruh signifikan terhadap perilaku cyberbullying pada remaja millennial. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi

berganda. Populasi merupakan remaja berusia 15-19 tahun yang aktif menggunakan internet dan berdomisili di DKI JAKARTA. Sampel berjumlah 306 responden terdiri dari 228 orang perempuan dan 78 orang laki-laki. Penelitian ini menggunakan model convenience sampling. Alat ukur yang digunakan terdiri dari alat ukur yang dikontruk berdasarkan teori cyberbullying dari Willard (2007), teori parental attachment dari Armsden & Greenberg (1987), teori empathy dari Davis (1980), dan teori orientasi religius dari Allport & Ross (1967). Uji validitas alat ukur yang digunakan adalah Teknik CFA (Confirmatory Factor Analysis) di Lisrel 8.7. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan multiple regression analysis di SPSS 16.

Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa alienation, perspective taking, dan empathy concern memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku cyberbullying. Sementara itu communication, trust, fantasy, personal distress, intrinsik, dan ekstrinsik pengaruhnya tidak signifikan terhadap perilaku cyberbullying. Hasil penelitian juga memperoleh R-square sebesar 0.141 atau 14.1%. Artinya, proporsi varians dari perilaku cyberbullying yang dijelaskan oleh seluruh variabel independent adalah 14.1%, sedangkan 85.9% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini. Penulis berharap implikasi dari hasil penelitian ini dapat dikaji kembali dan dikembangkan pada penelitian selanjutnya dengan menambahkan variabel-variabel lainnya.

(G) Daftar Bacaan : 58 ; buku : 4 + jurnal : 45 + skripsi :2+ disertasi : 1 + tesis : 1 artikel : 5

(H) Kata Kunci : perilaku cyberbullying, parental attachment, empathy, orientasi religius

(7)

vii (C) Sania Azizah Nur

(D) Effects of Parental Attachment, Empathy, and Religious Orientation in Cyberbullying on Behavior Millenial Adolescents

(E) xvi+ 91 page + attachment

(F) Cyberbullying behavior is a cruel act done by someone to others by sending or posting painful content or other forms of social aggression through the internet or other digital technology. Cyberbullying behavior is an important phenomenon to be investigated, given the increasingly rapid development of science and technology at this time. The study aims to examine whether communication, trust, alienation, perspective taking, fantasy, empathy concern, personal distress, intrinsic, and extrinsic have a significant effect on cyberbullying behavior in millennial adolescents.

This research used a quantitative approach with multiple regression analysis. The population is teenangers aged 15-19 years who actively use the internet and live in DKI JAKARTA. A sample of 306 respondents consisted of 228 woman and 78 men. This study used a model convenience sampling. The measuring instrument used consisted of measuring instruments based on theory cyberbullying from Willar (2007), theory parental attachment from Armsden & Greenberg (1987), theory empathy from Davis (1980), and religious orientation theory from Allport & Ross (1967). The validity test of the measuring instrument used was the CFA (Confirmatory Factor Analysis) technique in Lisrel 8.7. Hypothesis testing in this study used multiple regression analysis in SPSS 16.

The results of the analysis of research data indicate thet alienation, perspective taking, and empathy concern have a significant effect on behaviour cyberbullying. Meanwhile communication, trust, fantasy, personal distress, intrinsic, extrinsic have no significant effect on behavior cyberbullying. The results of the study also obtained an R-square of 0.141 or 14.1%. That is, the proportion of the variance of behaviour cyberbullying explained by all independent variables is 14.1%, while the remaining 85.9% is influenced by other variables outside this study. The author hopes the implications of the results of this study can be reviewed and developed in subsequent studies by adding other variables.

(G) Reading list; 58; books : 4 + journals : 45 + final papers : 2 + dissertation : 1 + theses :1 + articles : 5

(H) Keyword : behaviour cyberbullying, parental attachment, empathy, religious orientation

(8)

viii

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas kuasa, rahmat, dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Pengaruh Parental Attachment, Empathy, dan Orientasi Religius terhadap Perilaku Cyberbullying pada Remaja Millenial”. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan baik dari segi bahasa maupun isinya, karena keterbatasan penulis dalam hal pengalaman, kemampuan, dan pengetahuan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama bagi remaja. Skripsi ini tidak lepas juga dari bantuan berbagai pihak yang selalu memberikan bimbingan, saran, motivasi, dan semangat. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih tak terhingga kepada:

1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dr. Zahrotun Nihayah, M.Si beserta seluruh wakil dekan dan jajaran dekanat lainnya yang tiada hentinya berusaha menciptakan lulusan-lulusan psikologi yang semakin berkualitas.

2. Ibu Neneng tati Sumiati, M.Si, Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi dan dosen pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu, memberikan motivasi, kritik, saran, arahan, dan semangat secara terus menerus tentunya juga

(9)

ix

yang telah memberikan motivasi, kritik, dan saran yang membangun untuk penulis.

4. Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag. M.Si selaku dosen penguji seminar proposal yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan skripsi ini.

5. Bu Nia Tresniasari, M.Si selaku dosen penguji sidang munaqasah yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. 6. Bu Dr. Rena Latifa, M.Psi selaku dosen penguji sidang munaqasah yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. 7. Seluruh dosen dan staff tata usaha Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan dan kemudahan bagi penulis dalam setiap proses akademis dan administrasi perkuliahan.

8. Seluruh responden penelitian yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

9. Bapak Nurizal Arsyad (Ayah), Ibu Ina Kaniawati (Bunda), Ananda Nadia dan Shofwan adikku yang lucu, Bapak Ikod (Kakek), Ibu Lina Yulianti (Tante), Bapak Sukendar (Om), Ibu Reni Kurniawati (Tante), Bapak Yadi (Om), Ibu Ade Candrawati (Tante), Bapak Nandar (Om), Ibu Apriliani Ligahayu (Tante), Bapak Iwan (Om), Bapak Eman (Uwa), Ibu Aah Maryati (Bibi) yang selalu memberikan

(10)

x

kasih untuk kasih dan sayangnya yang selama ini diberikan untuk penulis.

10. Kak Afrizal Fauzan, Kak Vero, Atha, Brili, Intan, Suci, Risma, April, Bila, Liza, Anan, Nandita, Fadel, Uut, Kristi yang telah menyempatkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis dalam menyelesaikan skripsi.

11. Untuk sahabat tersayangku Atha, Brili, Intan, Suci, Tami, Syahda, April,yang selalu memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 12. Untuk anak-anak kelas A yang tidak bisa disebutkan satu persatu terima kasih

telah membantu penulis selama ini.

13. Keluarga besar Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2016 atas kebersamaannya.

Semoga Allah memberikan pahala yang tak henti-hentinya, sebagai balasan atas segala kebaikan yang diberikan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Jakarta, 30 Juni 2020

(11)

xi

LEMBAR PERNYATAAN ... ...iv

MOTTO ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB I... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Pembatasan Masalah dan Pembatasan Variabel ... 11

1.2.1 Pembatasan Masalah ... 11 1.2.2 Pembatasan Variabel ... 12 1.3 Perumusan Masalah ... 13 1.4 Tujuan Penelitian ... 14 1.5 Manfaat Penelitian ... 15 1.5.1 Manfaat Teoritis ... 15 1.5.2 Manfaat Praktis ... 15 BAB II ... 16 LANDASAN TEORI ... 16 2.1 Cyberbullying... 16 2.1.1 Pengertian Cyberbullying ... 16 2.1.2 Dimensi Cyberbullying ... 17

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Cyberbullying ... 18

2.1.4 Pengukuran Cyberbullying ... 19

2.2 Parental Attachment ... 20

2.2.1 Pengertian Parental Attachment... 20

2.2.2 Dimensi Parental Attachmet ... 21

2.2.3 Pengukuran Parental Attachment... 22

2.2.4 Pengaruh Parental Attachment dan Cyberbullying ... 23

2.3 Empathy ... 24

2.3.1 Pengertian Empathy... 24

2.3.2 Dimensi Empathy ... 25

(12)

xii 2.5 Kerangka Berfikir ... 30 2.6 Hipotesis Penelitian ... 34 2.6.1 Hipotesis Mayor ... 34 2.6.2 Hipotesis Minor... 34 BAB III ... 36 METODE PENELITIAN... 36

3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 36

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 36

3.2.1 Variabel Penelitian ... 36

3.2.2 Definisi Operasional... 37

3.3 Pengumpulan Data ... 39

3.3.1 Teknik Pengumpulan Data ... 39

3.3.2 Instrumen Pengumpulan Data ... 40

3.3.2.1 Alat ukur Cyberbullying... 40

3.3.2.2 Alat ukur Parental Attachment ... 42

3.3.2.3 Alat ukur empathy ... 42

3.3.2.4 Alat ukur Orientasi Religius... 44

3.4 Uji Validitas Konstruk ... 44

3.4.1 Uji Validitas Konstruk Cyberbullying... 46

3.4.2 Uji Validitas Konstruk Parental Attachment ... 48

3.4.2.1 Uji Validitas Konstruk Communication ... 48

3.4.2.2 Uji Validitas Konstruk Trust ... 49

3.4.2.3 Uji Validitas Konstruk Alienation... 50

3.4.3 Uji Validitas Konstruk Empathy ... 51

3.4.3.1 Uji Validitas Konstruk Perspective Taking... 51

3.4.3.2 Uji Validitas Konstruk Fantasy... 52

3.4.3.3 Uji Validitas Konstruk Empathy Concern ... 53

3.4.3.4 Uji Validitas Konstruk Personal Distress ... 54

3.4.4 Uji Validitas Konstruk Orientasi Religius ... 55

3.4.4.1 Uji Validitas Konstruk Intrinsik ... 55

3.4.4.2 Uji Validitas Konstruk Ekstrinsik ... 57

3.5 Teknik Analisis Data... 58

3.6 Prosedur Penelitian ... 60

3.6.1 Persiapan Penelitian ... 60

(13)

xiii

4.3.2 Analisis Proporsi Varians... 74

BAB V ... 77 KESIMPULAN ... 77 5.1 Kesimpulan ... 77 5.2 Diskusi ... 78 5.3 Saran... 84 5.3.1 Saran Teoritis ... 84 5.3.2 Saran Praktis... 85 DAFTAR PUSTAKA... 87 LAMPIRAN ... 92

(14)

xiv

Tabel 3.3 Blueprint Parental Attachment ... 42

Tabel 3.4 Blueprint Empathy ... 43

Tabel 3.5 Blueprint Orientasi Religius ... 44

Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Skala Cyberbullying ... 47

Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Skala Communication ... 49

Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Skala Trust ... 50

Tabel 3.9 Mutan Faktor Item Skala Alienation ... 51

Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Skala Perspective Taking... 52

Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Skala Fantasy ... 53

Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Skala Empathy Concern ... 54

Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Skala Personal Distress ... 55

Tabel 3.14 Muatan Faktor Item Skala Intrinsik ... 56

Tabel 3.15 Muatan Faktor Item Skala Ekstrinsik ... 57

Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden Penelitian... 62

Tabel 4.2 Skor Variabel Penelitian ... 65

Tabel 4.3 Rumus Kategorisasi ... 67

Tabel 4.4 Kategorisasi Variabel Penelitian ... 67

Tabel 4.5 Model Summary Analisis Regresi... 69

Tabel 4.6 Anova Pengaruh Keseluruhan ... 70

Tabel 4.7 Koefisien Regresi ... 71

(15)
(16)

xvi

Lampiran 2 Hasil Uji Validitas CFA ... 103 Lampiran 3 Hasil Analisis Regresi ... 112

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada abad ini perkembangan dunia di bidang teknologi dan informasi berkembang sangat pesat. Perkembangan ini berdampak pada semakin majunya penggunaan internet bagi masyarakat luas. Salah satu fasilitas yang dapat dinikmati oleh para pengguna internet yakni jejaring sosial. Berdasarkan survei hasil dari We Are Social data pengguna internet di Indonesia pada Bulan Januari 2016 mencapai 88,1 juta dengan 79 juta di antaranya merupakan pengguna aktif, 15% nya merupakan pengguna aktif facebook dan hampir 50% penggunanya adalah remaja usia 13-29 tahun (Rifauddin, 2016).

Selain itu, berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia atau (APJII) pada tahun 2018 disebutkan pengguna internet mencapai 171,17 juta jiwa. Angka ini naik 10,12% dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 143,26 juta jiwa. Untuk wilayah sendiri masih didominasi oleh Pulau Jawa sebesar 55%, Sumatera 21%, Sulawesi-Maluku-Papua 10%, Kalimantan 9%, Bali-Nusa Tenggara 5%. Sedangkan untuk rentang usia sendiri, penggunaan internet paling banyak ditemukan di usia remaja 15-19 tahun sebesar 91%, usia 20-24 tahun sebesar 88,5%, usia 25-29 tahun sebesar 82,7%, dan usia di atas 65 tahun sebesar 8,5% (Nabila, 2019).

Dengan adanya perkembangan jejaring internet yang begitu pesat memberikan dampak positif dan dampak negatif bagi penggunanya, terlebih lagi bagi remaja. Dampak

(18)

positif dari adanya jaringan internet bagi remaja merupakan sebagai wadah untuk membangun komunikasi online dan memperluas jaringan dengan teman, keluarga dan lainnya. Sedangkan, dampak negatif dari adanya jaringan internet yaitu permusuhan online, pelecehan online, bahkan cyberbullying (Valkenburg & Peter, 2009).

Cyberbullying merupakan perilaku yang dilakukan baik perseorangan maupun

kelompok secara sengaja dan berulang kali melakukan tindakan yang menyakit i orang lain melalui alat elektronik seperti komputer, telepon seluler, dan alat elektronik lainnya. Adapun bentuk dan macam-macam tindakan cyberbullying tersebut meliputi mengunggah foto korban, mengolok-olok korban, mengakses akun jejaring sosial korban, mengancam korban dan membuat masalah melalui email, dan membuat situs web untuk menyebar fitnah (Rifauddin, 2016).

Sejalan dengan itu, Willard (2007) juga menjelaskan cyberbullying merupakan perbuatan kejam seseorang yang dilakukan terhadap orang lain dengan mengirimkan atau mem-posting konten menyakitkan atau bentuk agresi sosial melalui internet atau teknologi digital lainnya. Cyberbullying dilakukan dengan sengaja untuk mengirimkan pesan atau konten yang menyakitkan dan merendahkan orang lain ke forum atau lingkungan publik yang banyak dikunjungi pengguna online lainnya (Hinduja & Patchin, 2008).

Kowalski (dalam Doleey et al.,2009) menjelaskan bahwa cyberbullying merupakan bentuk tindakan bullying. Terdapat dua hal yang saling berhubungan mengenai cyberbullying dan bullying. Pertama mengenai ketidakseimbangan kekuasaan, bullying lebih banyak menggunakan kekuatan fisik di dunia nyata, sedangkan

(19)

cyberbullying menggunakan kekuatan fisik dan psikis dengan memanfaatkan teknologi

dan fitur jejaring sosial, seperti anonimitas informasi pribadi agar korban tidak mengetahui dan tidak memiliki kekuatan untuk melawannya. Kedua, adanya pengulangan diantara bullying dan cyberbullying jika bullying pengulangan terjadi secara nyata sedangkan, cyberbullying terjadi melalui media social (Dooley et al., 2009). Adapun perbedaan dari cyberbullying dengan bullying hanya pada media yang digunakan, cyberbullying menggunakan media elektronik untuk mem-bully (Li, 2006).

Fenomena cyberbullying cukup marak terjadi di Indonesia, hal ini diperkuat dari hasil laporan tahunan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyatakan bahwa kasus bullying di media sosial pada tahun 2015 tidak ada sama sekali, baru pada tahun 2016 mulai mendapat laporan mengenai perilaku cyberbullying dan meningkat dari tahun ke tahun, dimana jumlah korban anak yang di bully di media sosial ada 34 kasus di 2016, kemudian meningkat menjadi 55 kasus di 2017, dan bertambah menjadi 109 kasus sepanjang 2018. Sedangkan, kasus anak sebagai pelaku cyberbullying lebih besar, pada tahun 2016 terdapat 56 anak yang menjadi pelaku cyberbullying, tahun 2017 menjadi 73 kasus, dan meningkat pada 2018 menjadi 117 kasus (Suciatiningrum, 2019).

Menurut Henri Kasyfi selaku Sekjen APJII mengatakan berdasarkan hasil survey yang dilakukan selama bulan Maret hingga 14 April 2019 pada 5.900 sampel menunjukkan bahwa sebanyak 49 persen responden mengaku pernah di bully di sosial media, dan 47 persennya mengatakan tidak pernah. Lalu, dari 49 persen orang yang pernah menjadi sasaran bully 31,6 persen diantaranya mengaku kerap membiarkan

(20)

perlakuan tersebut dan 7,9 persen membalasnya dengan perlakuan yang sama (Pratomo, 2019).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) pada tahun 2014 yang melibatkan 400 responden dengan rentang usia 10-19 tahun di 17 provinsi menemukan fakta bahwa terdapat 13 persen anak pernah menjadi korban cyberbullying, adapun tindakan cyberbullying tersebut seperti pemberian nama ejekan secara online, mempermainkan pekerjaan orang tua mereka(seperti petani, nelayan dan sebagainya), atau menghina kekurangan fisik mereka (Dhani, 2016). Kemudian, hasil penelitian yang dilakukan oleh IPSOS yang bekerja sama dengan Reuters pada tahun 2011, 74% responden Indonesia menunjuk media sosial seperti Facebook menjadi tempat terjadinya perundungan siber (Rastati, 2016).

Penelitian lain yang dilakukan oleh UNICEF pada tahun 2016 menemukan fakta bahwa sebanyak 50% dari 41 remaja di Indonesia dalam kisaran usia 13 sampai 15 tahun telah mengalami cyberbullying. Beberapa tindakan tersebut adalah mempublikasikan data pribadi orang lain, stalker atau menguntit (penguntitan di dunia maya yang mengakibatkan penguntitan di dunia nyata), balas dendam berupa penyebaran foto atau video dengan tujuan dendam yang ditambah dengan tindakan intimidasi dan pemerasan (Kumparan.com, 2019).

Kasus cyberbullying yang cukup menyita perhatian publik pada beberapa bulan lalu yakni kasus Audrey. Berdasarkan penuturan salah satu pelaku mengatakan bahwa awal mula terjadinya kasus tersebut karena saling ejek di sosial media yang berujung pada kekerasan di dunia nyata. Pelaku mengatakan bahwa korban (Audrey) sering kali

(21)

mem-bully nya di sosial media, karena kesal pelaku membalas sakit hatinya kepada korban

dengan melakukan kekerasan di dunia nyata dibantu dengan beberapa temannya.

Di Indonesia fenomena cyberbullying memang banyak ditemukan pada usia remaja, hal ini sejalan dengan laporan APJII yang mengatakan bahwa pengguna internet terbanyak di Indonesia yaitu pada usia remaja berkisar 15-19 tahun, sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena cyberbullying banyak ditemukan di usia remaja. Hal tersebut diperkuat juga dari hasil penelitian terdahulu. Seperti penelitian yang dilakukan pada remaja usia 12-19 tahun (tingkat SMP dan SMA) di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang terdiri dari 363 responden dengan perentase laki-laki 50% dan wanita 25% menyatakan bahwa sebanyak 32% siswa mengatakan pernah melakukan cyberbullying dan 3% mengatakan sering melakukannya (Rahayu, 2013).

Penelitian lain yang dilakukan pada 364 remaja yang merupakan pelajar SMA di Kota Banda Aceh terdiri dari 182 siswa laki-laki dan 182 siswa perempuan menunjukkan bahwa terdapat 167 siswa laki-laki (45,8%) merupakan pelaku cyberbullying dan 167 siswa perempuan (45,8%) pelaku cyberbullying. Selain itu rentang usia tersebut berkisar pada 15-19 tahun dengan persentasi masing-masing yakni 15 tahun (5.6%), 16 tahun (48.35%), 17 tahun (39.1%) dan 18-19 tahun (7.2%) (Rachmatan & Ayunizar, 2017).

Penelitian lain yang juga dilakukan pada 165 siswa/i SMA Negeri 1 Purwosari sebanyak 87 siswa (52,7%) masuk dalam kategori perilaku cyberbullying yang tinggi dan sebanyak 78 orang (47,3%) termasuk dalam kategori perilaku cyberbullying yang rendah (Satalina, 2014). Sedangkan, penelitian lain yang dilakukan pada 353 remaja yang merupakan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kota Padang yang terdiri dari

(22)

157 responden laki-laki dan 196 responden perempuan berusia 12-15 tahun menemukan hasil bahwa terdapat 76 responden (21%) menjadi pelaku cyberbullying (Sartana & Afriyeni, 2017).

Adapun media sosial yang pelaku gunakan dalam mem-bully korban yaitu Facebook sebanyak (58%), SMS dan Instagram sebanyak (13%), WA dan Twitter sebanyak (6%) dan Line sebanyak (4%). Sedangkan, untuk teknik yang banyak digunakan pelaku untuk merundung korban yakni melalui tulisan (51%), melalui suara (49%), melalui gambar (24%) dan melalui video (6%). Selain itu, peneliti juga menemukan fakta bahwa alasan dari pelaku merundung korbannya diantaranya karena alasan sebagai berikut; 16 responden (21%) merundung korban dengan tujuan bercanda, 13 responden (17%) merundung karena ingin balas dendam, 5 responden (6%) merundung karena ciri fisik dan psikis korban, 5 responden (6%) tidak tahu untuk alasan apa, dan 5 responden (6%) merasa marah pada korban, 4 responden (5%) merundung karena ingin menghibur diri, dan 4 responden (5%) merundung di dunia maya karena tidak bertemu langsung dengan korban (Sartana & Afriyeni, 2017).

Dalam memperkuat asumsi di atas peneliti melakukan wawancara dengan 6 orang remaja millennial berusia (15-19) tahun, dari hasil wawancara diketahui bahwa 4 orang pernah melakukan cyberbullying, adapun perilaku cyberbullying yang dilakukan adalah memberikan komentar negatif kepada orang lain di dunia maya, mengirimkan pesan dengan kalimat kasar sedangkan 2 orang lainnya mengaku bahwa mereka tidak pernah melakukan hal tersebut.

(23)

Berdasarkan beberapa data penelitian yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa fenomena perilaku cyberbullying merupakan fenomena yang cukup menarik untuk diteliti, melihat kasus cyberbullying yang setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan yang cukup signifikan tentunya memiliki dampak psikologis tersendiri dari sisi pelaku maupun sisi korban. Menurut Bottino, Bottino, Regina, dan Correia (2015) dampak psikologis dari perilaku cyberbullying terutama dari sisi korban dapat menimbulkan masalah yang berhubungan dengan stress emosional, kecemasan sosial, penggunaan narkoba, depresi, dan upaya bunuh diri. Menurut Martin et al., (2012 dalam Khusnul & Apriana 2018) menjelaskan bahwa kemarahan yang d iungkapkan di internet kepada orang lain dalam jangka pendek akan menimbulkan efek lega bagi pelaku namun, dalam jangka panjang menghasilkan perasaan bersalah.

Banyak sekali faktor pendorong yang menyebabkan remaja melakukan cyberbullying. Seperti loneliness (Brewer et al., 2015;Sahin,2012), empathy (Joliffe &

Farrinton, 2006; Steffgen et al., 2011;Brewer et al., 2015), self-esteem (Hinduja Patchin,2010;G. Brewer et al., 2015), self control (vazsonyi et al,2012). Selain itu, motif lainnya bisa berasal dari keluarga. Menurut Khatrin. G, 2012 (dalam Pandie & Weismann, 2016) mengutip pendapat Schwartz, Shields, dan Cichetti menjelaskan keterlibatan dalam membullying orang lain berkaitan dengan prediktor-prediktor keluarga, seperti kelekatan

yang insecure, pendisplinan fisik yang keras dan korban pola asuh orang tua yang overprotektif (Pandie & Weismann, 2016).

Beberapa faktor dijelaskan sebagai pendorong dari cyberbullying, pertama parental attachment, menurut Armsden dan Greenberg (1987) parental attachment

(24)

adalah persepsi seorang anak tentang seberapa baik orang tua memberikan sumber keamanan psikologis bagi dirinya. Terdapat tiga hal dalam melihat attachment, yaitu, communication, trust, alienantion.

Penelitian yang dilakukan di Indonesia yang membahas mengenai kelekatan ayah, ibu, dan teman sebaya menunjukkan bahwa kelekatan ibu, ayah memiliki hubungan yang negatif dengan kecendrungan anak menjadi pelaku bullying. Selain itu, ditemukan juga ada hubungan yang negatif dari kelekatan orang tua terutama ayah dengan kecendrungan anak menjadi korban bullying (Arif & Wahyuni, 2017). Penelitian lain juga mengemukakan bahwa parental attachment yang buruk ditemukan pada cyberbully-victim (Bayraktar et al., 2015). Pada konteks penelitian ini peneliti lebih menekankan

parental attachment pada sisi pelaku, mengingat pada zaman sekarang ini fenomena bully

di dunia maya sudah sangat memperhatinkan ditambah lagi karena pengaruh jaringan internet yang semakin pesat.

Menurut Michele Ybarraa, Kimberly Mitchell (2004 dalam Bayraktar et al., 2015), pelaku cyberbullying memiliki ikatan emosional yang lebih buruk terhadap orang tua dibandingkan dengan mereka yang tidak terlibat (Bayraktar et al., 2015). Hal ini dapat diperjelas bahwa hubungan yang buruk antara orang tua dan anak dapat membuat anak memiliki emosi yang tidak stabil, keterampilan komunikasi yang buruk, menghindari keintiman dengan orang lain (Carter, 2012). Menurut Wong (dalam Niandya,2018) menemukan bahwa anak-anak yang menjadi pelaku cyberbullying secara massif memiliki pemantauan orang tua yang terbatas, disiplin orang tua yang lebih kuat, dan memiliki

(25)

ikatan emosional yang lemah dibandingkan dengan anak-anak yang tidak melakukan cyberbullying (Indah Niandya, 2018).

Selanjutnya, penelitian lain juga ditemukan berkaitan dengan parental attachment dan cyberbullying, dimana penelitian tersebut bertolak belakang dengan penelitian di atas. Penelitian yang dilakukan pada 4000 remaja di Korea menunjukkan bahwa parental attachment bukan merupakan prediktor yang signifikan terhadap perilaku cyberbullying

(Lee & Shin, 2017). Dengan adanya perbedaan penelitian tersebut mendorong peneliti untuk mengkaji ulang dan membuktikan keterkaitan antara parental attachment dan perilaku cyberbullying.

Kemudian empathy, menurut Davis (1980) empathy merupakan kemampuan seseorang untuk menafsirkan dan memahami pengalaman dan perasaan orang lain. Respon empathy ini terdiri dari dua respon, yakni respon kognitif atau reaksi intelektual dan respon afektif. Penelitian menunjukkan bahwa empathy, self-esteem, dan loneliness ketiganya memprediksi adanya perilaku cyberbullying pada kalangan remaja (Brewer & Kerslake, 2015). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Steffgen et al., (2011) menjelaskan bahwa empati yang rendah ditemukan pada pelaku cyberbullying dibandingkan dengan mereka yang bukan pelaku cyberbullying. Penelitian lain yang dilakukan oleh Brewer et al., (2015) menunjukkan bahwa empathy yang rendah pada remaja dapat meningkatkan perilaku cyberbullying.

Selanjutnya, penelitian lain juga ditemukan berkaitan dengan empathy dan cyberbullying, dimana penelitian tersebut bertolak belakang dengan penelitian di atas.

(26)

empathy bukan merupakan prediktor yang signifikan pada perilaku cyberbullying baik

dari segi pelaku, korban, ataupun pengamat (Balakrishnan & Fernandez, 2018). Dengan adanya perbedaan penelitian tersebut mendorong peneliti untuk mengkaji ulang dan membuktikan keterkaitan antara empathy dan perilaku cyberbullying .

Selanjutnya orientasi religius, menurut Allport & Ross (1967) orientasi religius merupakan suatu cara pandang seseorang terkait kedudukan agama dalam hidupnya yang menentukan pola relasi individu dengan agamanya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kinanti & Hartati (2018) mengemukakan bahwa orientasi religius berpengaruh signifikan dengan intensi perilaku cyberbullying. Namun, dalam konteks penelitian ini peneliti memfokuskan pada perilaku cyberbullying bukan intensi perilaku cyberbullying. Eslea dan Mukhtar (2000, dalam Kinanti & Hartati, 2018) melihat adanya

perilaku bullying terhadap anak laki-laki sebanyak 57% dan 43% anak perempuan pada sampel beragama Islam, Hindu, Pakistan kemungkinan terjadi karena adanya perbedaan agama atau budaya. Menurut Rigby (2007, dalam Suciati & Soeharto, 2018) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi individu dalam melakukan bullying adalah faktor religius. Rendahnya individu dalam menginternalisasi nilai-nilai keagamaan yang ada dalam agamanya memungkinkan individu untuk melakukan perilaku yang tidak baik seperti membully.

Untuk saat ini, penelitian yang bertolak belakang mengenai orientasi religius dan cyberbullying belum ada. Alasan inilah yang membuat peneliti ingin membuktikan

keterkaitan antara orientasi religius dan cyberbullying. Akan tetapi, penelitian lain membuktikan bahwa tingkat religius dan praktik keagamaan tidak membantu secara

(27)

penuh dalam tindakan agresi seseorang. Penelitian eksperimental dan pengisian kuesioner skala religius pada 62 sampel menunjukkan bahwa individu yang memiliki orientasi religius intrinsik lebih rendah dalam tindakan agresi dibandingkan dengan individu dengan orientasi religius ekstrinsik. Akan tetapi, secara luas individu dengan orientasi religius intrinsik dan individu dengan orientasi religius ekstrinsik tidak terlalu berbeda dalam perilaku agresi dan penurunan tingkat agresi (Leach et al., 2008).

Cyberbullying merupakan salah satu tindakan agresi yang terjadi di sosial media.

Sesuatu dapat dikatakan tindakan agresi apabila sudah merugikan atau menyakiti orang lain. Cyberbullying, merupakan penyatuan agresi remaja dan elektronik yang pertumbuhannya memprihatinkan (Hinduja & Patchin, 2008). Cyberbullying, merupakan bentuk agresi sosial melalui internet atau digital lainnya yang bertujuan untuk menimbulkan bahaya atau ketidaknyamanan pada orang lain (Willard,2007; Tokunaga, 2010).

Dari beberapa faktor pendorong yang telah dijabarkan di atas maka penelitian ini diberi judul “Pengaruh Parental Attachment, Empathy, dan Orientasi Religius

terhadap Perilaku Cyberbullying pada Remaja Millenial”

1.2 Pembatasan Masalah dan Pembatasan Variabel 1.2.1 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah pada penelitian ini yaitu mengenai perilaku cyberbullying pada remaja millennial berusia 15-19 tahun yang berdomisili di DKI JAKARTA. Willard (2007) merupakan perbuatan kejam seseorang yang dilakukan terhadap orang lain dengan mengirimkan atau mem-posting konten menyakitkan atau bentuk agresi sosial melalui

(28)

internet atau teknologi digital lainnya. Dalam penelitian ini juga dibatasi oleh beberapa variabel yang dimungkinkan memiliki pengaruh terhadap perilaku cyberbullying yaitu, parental attachment, empathy, dan orientasi religius

1.2.2 Pembatasan Variabel

1. Willard (2007) cyberbullying merupakan perbuatan kejam seseorang yang dilakukan terhadap orang lain dengan mengirimkan atau mem-posting konten menyakitkan atau bentuk agresi sosial melalui internet atau teknologi digital lainnya. Pada penelitian ini dibatasi bahwa responden penelitian adalah pelaku cyberbullying.

2. Armsden & Greenberg (1987) parental attachment adalah persepsi seorang anak tentang seberapa baik orang tua memberikan sumber keamanan psikologis bagi dirinya. Terdapat tiga hal dalam melihat attachment, yaitu, communication, trust, alienantion.

3. Davis (1980) empathy merupakan kemampuan seseorang untuk menafsirkan dan memahami pengalaman dan perasaan orang lain. Respon empathy ini terdiri dari dua respon, yakni respon kognitif atau reaksi intelektual dan respon afektif. 4. Allport & Ross (1967) orientasi religius merupakan suatu cara pandang seseorang

terkait kedudukan agama dalam hidupnya yang menentukan pola relasi individu dengan agamanya.

5. Subjek pada penelitian ini adalah remaja millennial (generasi Y) berusia 15-19 tahun yang berdomisili di DKI JAKARTA.

(29)

1.3 Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan parental attachment, empathy, dan orientasi religius terhadap perilaku cyberbullying?

2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan communication pada variabel parental attachment terhadap perilaku cyberbullying?

3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan trust pada variabel parental attachment terhadap perilaku cyberbullying?

4. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan alienation pada variabel parental attachment terhadap perilaku cyberbullying?

5. Apakah terdapat pengaruh yang siginifikan perspective taking pada variabel empathy terhadap perilaku cyberbullying?

6. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan fantasy pada variabel empathy terhadap perilaku cyberbullying?

7. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan empathic concern pada variabel empathy terhadap perilaku cyberbullying?

8. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan personal distress pada variabel emphaty terhadap perilaku cyberbulling?

9. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan intrinsik pada variabel orientasi religius terhadap perilaku cyberbullying?

10. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan ektrinsik pada variabel orientasi religius terhadap perilaku cyberbullying?

(30)

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk menguji pengaruh parental attachment, empathy, dan orientasi religius terhadap perilaku cyberbullying

2. Untuk menguji pengaruh communication dimensi parental attachment terhadap perilaku cyberbullying

3. Untuk menguji pengaruh trust dimensi parental attachment terhadap perilaku cyberbullying

4. Untuk menguji pengaruh alienation dimensi parental attachment terhadap perilaku cyberbullying

5. Untuk menguji pengaruh perspective taking dimensi empathy terhadap perilaku cyberbullying

6. Untuk menguji pengaruh fantasy dimensi empathy terhadap perilaku cyberbullying 7. Untuk menguji pengaruh empathic concern dimensi emphaty terhadap perilaku

cyberbullying

8. Untuk menguji pengaruh personal distress dimensi emphaty terhadap perilaku cyberbullying

9.Untuk menguji pengaruh intrinsik dimensi orientasi religius terhadap perilaku cyberbullying

10. Untuk menguji pengaruh ekstrinsik dimensi orientasi religius terhadap perilaku cyberbullying

(31)

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah keilmuan pada bidang psikologi perkembangan bagi seluruh civitas academic, pembaca, dan bagi peneliti sendiri mengenai perilaku cyberbullying pada remaja.

1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh parental attachment, communication, trust, alienation, empathy, perspective taking, fantasy, emphatic concern, personal distress, orientasi religius, intrinsik, dan ekstrinsik terhadap perilaku cyberbullying pada remaja yang berdomisili di Jakarta Selatan. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat khususnya bagi remaja agar dapat terhindar dari perilaku cyberbullying. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan memberikan efek yang positif sehingga perilaku cyberbullying di kalangan remaja dapat diminimalisir.

(32)

16 BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Cyberbullying

2.1.1 Pengertian Cyberbullying

Cyberbullying adalah segala perilaku yang dilakukan melalui media elektronik atau

digital oleh individu atau kelompok secara berulang kali dengan mengirimkan pesan yang bermusuhan atau agresif yang bertujuan untuk menimbulkan bahaya atau ketidaknyamanan pada orang lain (Tokunaga, 2010). Cyberbullying adalah tindakan agresi yang terjadi melalui pesan internet atau teks dan dilakukan secara berulang-ulang kepada orang lain, dan diantara individu yang melakukan cyberbullying adalah individu yang cenderung ahli dalam teknologi (Kowalski et al., 2016).

Cyberbullying adalah perilaku seseorang dengan niat untuk membahayakan orang

lain dan terjadi secara berulang-ulang melalui media elektronik (Pieschl et al., 2013). Cyberbullying adalah tindakan agresif dan disengaja yang dilakukan oleh suatu kelompok

atau perorangan menggunakan bentuk kontak elektronik yang terjadi secara berulang kali kepada individu lain yang lemah (Smith et al., 2008). Adapun perbedaan dari cyberbullying dengan bullying hanya pada media yang digunakan, cyberbullying

menggunakan media elektronik untuk mem-bully (Li, 2006).

Cyberbullying adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk mengirimkan pesan atau konten yang menyakitkan dan merendahkan orang lain ke

(33)

forum atau lingkungan publik yang banyak dikunjungi pengguna online lainnya (Hinduja & Patchin, 2008). Cyberbullying merupakan perbuatan kejam seseorang yang dilakukan terhadap orang lain dengan mengirimkan atau mem-posting konten menyakitkan atau bentuk agresi sosial melalui internet atau teknologi digital lainnya (Willard, 2007).

Pada penelitian ini, penulis memfokuskan definisi cyberbullying dari Willard (2007) cyberbullying merupakan perbuatan kejam seseorang yang dilakukan terhadap orang lain dengan mengirimkan atau mem-posting konten menyakitkan atau bentuk agresi sosial melalui internet atau teknologi digital lainnya.

2.1.2 Dimensi Cyberbullying

Menurut Willard (2007) terdapat beberapa dimensi dari cyberbullying, yaitu:

1. Flaming, yaitu mengirimkan pesan teks yang isinya mencakup bahasa yang ofensif (menyinggung), kasar, menghina

2. Harassment, yaitu mengirimkan pesan yang berisi gangguan yang dikirimkan secara terus-menerus melalui media elektronik

3. Denigration, yaitu proses menyebarkan berita atau status buruk yang tidak benar adanya mengenai target ke internet

4. Impersonation, yaitu berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan pesan-pesan atau status tidak baik ke target

5. Trickery, yaitu membujuk target dengan tipu daya tertentu untuk mendapat rahasia pribadinya

6. Outing, yaitu menyebarluaskan rahasia atau informasi pribadi target ke ruang lingkup publik untuk mempermalukannya.

(34)

7. Exclusion, yaitu secara sengaja dan kejam mengeluarkan seseorang dari sebuah grup online di sosial media

8. Cyberstalking,yaitu mengirim pesan berbahaya berisi ancaman, mengintimidasi, atau melibatkan pemerasan secara berulang kali.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Cyberbullying

Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, dijelaskan faktor penyebab cyberbullying yaitu sebagai berikut:

1. Loneliness, ditemukan bahwa harga diri, empati, dan juga kesepian ketiganya memprediksi adanya tindakan cyberbullying pada kalangan remaja (Brewer & Kerslake, 2015). Loneliness memainkan peranan yang penting dibandingkan depresi dalam pengembangan penggunaan internet yang bermasalah (Caplan, 2003)

2. Empathy, berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa empati yang rendah ditemukan pada pelaku cyberbullying dibandingkan dengan mereka yang bukan pelaku cyberbullying (Steffgen et al., 2011)

3. Parental Attachment, ditemukan bahwa cyberbully-victim memiliki parental attachment yang buruk (Bayraktar et al., 2015)

4. Orientasi Religius, ditemukan bahwa orientasi religius memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intensi perilaku cyberbullying. Eslea dan Mukhtar (2000, dalam Kinanti & Hartati,2018) menemukan adanya perbedaan budaya dan agama dalam perilaku bully (Kinanti & Hartati, 2018). Menurut Rigby (2007, dalam Suciati & Soeharto, 2018) menjelaskan bahwa religius merupakan salah satu faktor seseorang melakukan bullying.

(35)

5. Self – Control, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara rendahnya self-control dengan kemungkinan secara langsung maupun tidak langsung individu menjadi pelaku atau korban dari perilaku cyberbullying (Vazsonyi et al., 2012)

6. Gender, terdapat perbedaan yang signifikan gender dalam cyberbullying, lelaki cenderung menjadi pelaku cyberbullying dibandingkan perempuan (Li, 2006).

Pada penelitian ini, peneliti memilih parental attachment, empathy, dan orientasi religius sebagai independent variable. Alasan peneliti menggunakan variabel tersebut karena masih jarang peneliti lain yang menggunakan ketiga variabel tersebut dalam penelitian. Selain itu, peneliti juga ingin menguji apakah prediktor keluarga (parental attachment), individu (empathy), dan konteks keagamaan (orientasi religius) merupakan

prediktor kuat dalam mempengaruhi perilaku cyberbullying pada remaja millennial di DKI JAKARTA.

2.1.4 Pengukuran Cyberbullying

Terdapat beberapa alat ukur yang digunakan dalam mengukur tindakan cyberbullying yaitu:

1. A Questionare of Cyberbullying (QoCB) dan Cyberbullying and Cybervictimization Scale. A Questionare of Cyberbullying (QoCB) terdiri atas 21 multiple-choice. Alat

ukur ini dikembangkan oleh Smith et al., (2008) dalam penelitiannya yang dilakukan untuk korban anak usia 11-16 tahun.

(36)

2. Menurut Willard (2007) dalam mengukur tindakan cyberbullying terdiri atas beberapa dimensi yakni: flamming, harrasment, denigration, impersonation, trickery, outing, exclusion, and cyberstalking.

3. Revised Cyberbullying Inventory (RCBI) dikembangkan oleh Topcu dan Erdur-Baker (2010), terdiri dari 14 item yang mengukur perilaku cyberbullying dan 14 item mengukur cybervictimization. Pengukuran menggunakan model skala Likert (0=tidak pernah, 1=sekali, 2=dua sampai tiga kali, dan 4= lebih dari tiga kali) (Topcu dan Erdur Barker, 2012)

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur berupa kuesioner yang dibuat sendiri oleh peneliti yang mengacu pada teori Willard (2007). Alat ukur ini terdiri dari 8 dimensi antara lain: flamming, harrasment, denigration, impersonation, trickery, outing, exclusion, and cyberstalking. Pengukuran yang digunakan yakni model skala Likert 1-4 (sangat tidak sering-sangat sering)

2.2 Parental Attachment

2.2.1 Pengertian Parental Attachment

Parental attachment yaitu ikatan cinta kasih dan emosional dengan intensitas yang besar

antara anak dan orang tuanya dengan memberikan rasa aman dan dukungan bagi anak. Ada tiga dimensi attachment yaitu: komunikasi, kepercayaan, dan keterasingan. Bagaimana attachment orang tua dan anak akan sangat mempengaruhi kehidupan anak di masa yang akan mendatang (Bowlby, 1970; Ainsworth & Bell, 1978; Armsden dan Greenberg (dalam Yusuf, 2015)

(37)

Bowlby (1982) memberikan istilah parental bonding dalam menjelaskan attachment. Dalam pembahasan tersebut dijelaskan bahwa adanya perbedaan individu

mengenai hubungan emosional antara bayi dan pengasuhnya dan bagaimana pengalaman antara bayi dan pengasuhnya pertama kali turut mempengaruhi perkembangan sosial, kognitif, emosional di masa mendatang.

Parental attachment adalah persepsi seorang anak tentang seberapa baik orang tua memberikan sumber keamanan psikologis bagi dirinya. Terdapat tiga hal dalam melihat attachment yaitu, communication, trust, alienantion (Armsden & Greenberg, 1987)

Pada penelitian ini, penulis memfokuskan definisi parental attachment dari Armsden & Greenberg (1987), parental attachment adalah persepsi seorang anak tentang seberapa baik orang tua memberikan sumber keamanan psikologis bagi dirinya.Terdapat tiga hal dalam melihat attachment, yaitu, communication, trust, alienantion

2.2.2 Dimensi Parental Attachmet

Menurut Armsden & Greenberg (dalam Gorrese & Ruggieri,2012) terdapat tiga dimensi dalam parental attachment yaitu sebagai berikut:

1. Communication

Communication merupakan persepsi anak terkait seberapa baik kualitas komunikasi verbal antara orang tua dan dirinya. Kualitas komunikasi antara orang tua dan anak dapat dilihat dari sejauh mana orang tua dapat peka (sensitive) dan responsif terhadap kebutuhan emosional mereka.

(38)

2. Trust

Trust menggambarkan kepercayaan anak bahwa orang tua memahami dan menghargai

kebutuhan serta keinginan mereka. Kepercayaan yang tumbuh antara anak dengan orang tuanya akan mengahasilkan sebuah kelekatan yang aman bagi anak.

3. Alienation

Alienation merujuk pada penolakan orang tua terhadap keberadaan anaknya.

Penolakan menyebabkan anak merasa sendiri, marah, dan emosi negatif lainnya. Anak merasa tidak bisa bergantung pada orang tuanya karena orang tua tidak dapat mengertinya.

2.2.3 Pengukuran Parental Attachment

Terdapat beberapa alat ukur dalam mengukur attachment yaitu: 1. Relationship Scale Questionnaire (RSQ)

RSQ dikembangkan oleh Horowitz dan Bartholomew (1991), digunakan untuk mengukur empat attachment, yaitu secure, fearful, dismissing, dan preoccupied attachment style. Alat ukur ini terdiri dari 7 rating point scale yang dimana itemnnya

merupakan hasil adaptasi dari alat ukur kelekatan milik Hazan dan Shaver (1987). 2. Inventory of Parents and Peer Attachment (IPPA)

IPPA dikembangkan oleh Armsden & Greenberg (1987), bertujuan untuk menilai persepsi remaja tentang dimensi afektif, kognitif positif dan negatif dari kelekatan dengan orang tua dan teman dekat. Kerangka teoritis dari pengembangan alat tes ini yakni dari teori attachment Bowlby (1970). Sampel awal pengembangan tes IPPA pada usia 16-20 tahun. Kemudian, pada tahun 2005 IPPA direvisi ulang oleh Gullone

(39)

dan Robinson (2005) menjadi IPPA- Revised yang terdiri dari 28 item mengukur parents attachment dan 25 item mengukur peer attachment .

Pada penelitian ini, penulis menggunakan alat ukur hasil adaptasi dari Armsden dan Greenberg (1987) yang telah direvisi ulang oleh Gullone dan Robinson (2005) menjadi IPPA-Revised. Pengukuran menggunakan skala Likert 1-4 (sangat tidak sesuai-sangat sesuai) yang telah disesuaikan dengan kebutuhan penelitian ini.

2.2.4 Pengaruh Parental Attachment dan Cyberbullying

Penelitian yang dilakukan di Indonesia yang membahas mengenai kelekatan ayah, ibu, dan teman sebaya menunjukkan bahwa kelekatan ibu, ayah memiliki hubungan yang negatif dengan kecendrungan anak menjadi pelaku bullying. Selain itu, ditemukan juga ada hubungan yang negatif kelekatan orang tua terutama ayah dengan kecendrungan anak menjadi korban bullying (Arif & Wahyuni, 2017). Penelitian lain juga mengemukakan bahwa parental attachment yang buruk ditemukan pada cyberbully-victim (Bayraktar et al., 2015). Pada konteks penelitian ini peneliti lebih menekankan parental attachment pada sisi pelaku, mengingat pada zaman sekarang ini fenomena bully di dunia maya sudah sangat memperhatinkan ditambah lagi karena pengaruh jaringan internet yang semakin pesat.

Menurut Michele et al., (dalam Bayraktar et al., 2015), pelaku cyberbullying memiliki ikatan emosional yang lebih buruk terhadap orang tua dibandingkan dengan mereka yang tidak terlibat (Bayraktar et al., 2015). Hal ini dapat diperjelas bahwa hubungan yang buruk antara orang tua dan anak dapat membuat anak memiliki emosi yang tidak stabil, keterampilan komunikasi yang buruk, menghindari keintiman dengan

(40)

orang lain. (Carter, 2012). Menurut Wong (2010 dalam Niandya,2018) menemukan bahwa anak-anak yang menjadi pelaku cyberbullying secara massif memiliki pemantauan orang tua yang terbatas, disiplin orang tua yang lebih kuat, dan memiliki ikatan emosional yang lemah dibandingkan dengan anak-anak yang tidak melakukan cyberbullying (Indah Niandya, 2018)

2.3 Empathy

2.3.1 Pengertian Empathy

Penelitian pada perbedaan individu secara konsisten menunjukkan bahwa orang tidak hanya berbeda secara fisik, mereka juga berbeda secara psikologis. Perbedaan psikologis menjelaskan bagaimana setiap orang menilai segala sesuatu secara berbeda pada sebuah situasi yang merugikan. Perbedaan ini salah satunya mencakup pada rasa empathy. Empathy dianggap sebagai sifat yang agak stabil pada kepribadian manusia, empathy

merupakan kemampuan seseorang untuk merasakan emosi orang lain dan mengasimilasikan keadaan emosi dari orang lain (Lazuras et al., 2012)

Empathy dipandang sebagai kognitif, afektif, atau keduanya. Komponen tersebut

penting dalam perilaku prososial dan perkembangan moral. Empathy yang rendah cenderung dikaitkan dengan perilaku antisosial dan perilaku agresif yang tinggi. Pelaku yang memiliki rasa empathy yang rendah enggan untuk membangun hubungan baik dengan orang lain dan menciptakan jarak di antara keduanya. Empathy juga berkaitan dengan simpati dimana empathy dan sympathy yang rendah mendorong individu untuk memiliki perilaku yang agresi (Jolliffe & Farrington, 2006)

(41)

Empathy dilambangkan sebagai sebuah kemampuan untuk dapat merasakan

perwakilan emosi seseorang ketika mengamati orang lain dalam kesulitannya. Perasaan empathy mendorong seseorang untuk merasa iba atas apa yang diderita orang lain.

Empathy melibatkan kemampuan kognitif dan afektif, saat kita merasakan emosi orang lain kita juga akan memikirkannya (Steffgen et al., 2011)

Empathy merupakan kemampuan seseorang untuk menafsirkan dan memahami

pengalaman dan perasaan orang lain. Respon empathy ini terdiri dari dua respon, yakni respon kognitif atau reaksi intelektual dan respon afektif (Davis, 1980)

Pada peneilitan ini, penulis menggunakan pengertian empathy dari Davis (1980) Empathy merupakan kemampuan seseorang untuk menafsirkan dan memahami

pengalaman dan perasaan orang lain. Respon empathy ini terdiri dari dua respon, yakni respon kognitif atau reaksi intelektual dan respon afektif

2.3.2 Dimensi Empathy

Menurut Davis (1980) terdapat empat dimensi dari empathy yaitu sebagai berikut:

1. Perspective Taking

Kecendrungan seseorang untuk mengambil sudut pandang atau perspektif orang lain secara kebetulan. Perspective taking dapat membantu dalam memahami kondisi orang lain dengan pemaknaan sikap dan perilaku yang dapat terlihat. Perspective taking berorientasi pada kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan sendiri.

2. Fantasy

Kecendrungan seseorang untuk mengubah dirinya sama dengan karakter imajinatifnya. Karakter imajinatif ini dapat berasal dari buku yang dibaca, drama, atau

(42)

film tertentu yang ditonton. Kemudian, pemaknaan pada sesuatu yang fiktif tersebut diasosiakan dengan dirinya sendri.

3. Empathy Concern

Kecendrungan seseorang untuk peduli dan perhatian terhadap masalah yang dialami orang lain. Empathy concern menciptakan perasaan hangat, rasa iba, dan peduli. Empathy concern ditunjukkan pada pengalaman negatif yang dirasakan orang lain.

4. Personal distress

Reaksi terhadap penderitaan orang lain yang diekspresikan secara berlebihan seperti takut, cemas, dan tidak nyaman. Personal distress ditunjukkan pada perasaan tidak nyaman yang berlebihan akibat pengalaman negatif orang lain yang diasosiakan terhadap diri sendiri.

2.3.3 Pengukuran Empathy

Terdapat beberapa alat ukur dalam mengukur empathy yaitu sebagai berikut:

1. Interpersonal Reactivity Index (IRI) merupakan pengukuran yang dikembangkan oleh Davis (1980) menggunakan pngukuran multidimensional dan disposisional. Pengukuran terdiri dari 28 item yang mengukur perbedaan empathy pada setiap orang. Alat ukur ini terdiri dari empat dimensi yaitu perspective taking (PT), fantasy scale, emphatic concern (EC), dan personal distress (PD).

2. Baron-Cohen dan Wheelright (2004) mengembangkan alat ukur empati yang diberi nama Empathy Quetionnaire (EQ) yang merupakan kritikan dan gabungan dari alat ukur yang sebelumnya, yaitu Interpersonal Reactivity Index (IRI). Empathy

(43)

Quetionnaire (EQ) lebih cocok diaplikasikan pada bidang klinis, dan telah berhasil

mengidentifikasi beberapa individu yang termasuk ke dalam gangguan psikologis, yakni kecendrungan autis dan psikopat.

Pada penelitian ini, penulis menggunakan alat ukur hasil adaptasi dari Davis (1980) yang bernama Interpersonal Reactivity Index (IRI). Pengukuran dalam alat ukur ini menggunakan skala Likert 1-4 (sangat tidak sesuai-sangat sesuai).

2.3.4 Pengaruh Empathy dan Cyberbullying

Penelitian menunjukkan bahwa empathy, self-esteem, dan loneliness ketiganya memprediksi adanya perilaku cyberbullying pada kalangan remaja (Brewer & Kerslake, 2015). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Steffgen et al., (2011) menjelaskan bahwa empati yang rendah ditemukan pada pelaku cyberbullying dibandingkan dengan mereka yang bukan pelaku cyberbullying. Penelitian lain yang dilakukan oleh G. Brewer et al., (2015) menunjukkan bahwa empathy yang rendah pada remaja dapat meningkatkan perilaku cyberbullying,

2.4 Orientasi Religius

2.4.1 Pengertian Orientasi Religius

Menurut Paloutzian (2017) mengemukakan bahwa orientasi religius mengacu pada pendekatan seseorang terhadap keyakinannya, seperti apa yang mereka yakini, rasakan, lakukan, ketahui, dan bagaimana mereka merespon keyakinan mereka. Paloutzian (2017) juga mengemukakan bahwa orientasi religius berkaitan dengan bagaimana individu memandang agama dalam kehidupannya yang akan menentukan pola relasi individu dengan agamanya tersebut.

(44)

Orientasi religius merupakan suatu cara pandang seseorang terkait kedudukan agama dalam hidupnya yang menentukan pola relasi individu dengan agamanya. Perbedaan orientasi religius intrinsik dan ekstrinsik terfokus pada cara pandang individu. Orientasi religius intrinsik memfokuskan bagaimana individu menginternalisasikan nilai -nilai agama di dalam kehidupannya, sedangkan orientasi ekstrinsik berkaitan dengan bagaimana individu menggunakan agama untuk tujuan lain di hidupnya (Allport & Ross, 1967)

Menurut Batson dan Ventis (2015, dalam Hisban Thaha dan Edhy Rustan, 2017) menjelaskan orientasi religius merupakan istilah yang sering digunakan oleh para psikolog untuk menunjukkan bagaimana individu hidup dengan mempraktikkan nilai-nilai dari agamanya.”Religius orientation is the term employed by psychologists to refer to the way in which a person practices or lives out his or her religius belief and values”.

Pada penelitian ini, penulis menggunakan teori orientasi religius dari Allport & Ross (1967), orientasi religius merupakan suatu cara pandang seseorang terkait kedudukan agama dalam hidupnya yang menentukan pola relasi individu dengan agamanya

2.4.2 Dimensi Orientasi Religius

Menurut Allport & Ross (1967) orientasi religius memiliki dua dimensi sebagai berikut: 1. Dimensi Intrinsik

Dimensi intrinsik pada orientasi religius berkaitan dengan bagaimana cara pandang individu terkait agamanya, yakni berkaitan dengan pemahaman nilai agama tersebut. Konteks ini menjelaskan seseorang dengan religius intirnsik adalah orang yang

(45)

menginternalisasi keyakinan agamanya secara baik,bukan hanya sekedar kehadiran di tempat ibadah semata.

2. Dimensi Ekstrinsik

Dimensi ekstrinsik pada orientasi religius berkaitan dengan bagaimana individu menggunakan agamanya sebagai tujuan hidupnya dan kepentingan pribadinya. Dalam konteks ini dapat dijelaskan bahwa agama digunakan individu untuk hal seperti, status sosial, kepentingan pembenaran diri, atau tujuan-tujuan lain yang diinginkan individu tersebut.

2.4.3 Pengukuran Orientasi Religius

Terdapat beberapa alat ukur yang mengukur mengenai orientasi religiusitas, di antaranya: 1. Religious Orientation Scale, merupakan alat ukur religiusitas yang dibuat oleh Allport & Ross (1967). ROS terdiri dari 12 item dimensi ekstrinsik dan 9 dimensi intrinsik. 2. The Duke University Religion Index (DUREL). Instrument ini dikembangkan oleh

Koening et al., (1997) terdiri dari lima item yang mewakili dan tiga dimensi di dalamnya, yakni organizational religiosity, non-organizational religiosity, dan instrinsic religiosity.

Pada penelitian ini, penulis mengkonstruk alat ukur sendiri dari teori Allport &Ross (1967), hal ini dilakukan karena alat ukur Allport &Ross kurang tepat digunakan dalam konteks Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

2.4.4 Pengaruh Orientasi Religius dan Cyberbullying

Kinanti & Hartati (2018) mengemukakan bahwa orientasi religius berpengaruh signifikan dengan intensi perilaku cyberbullying. Namun, dalam konteks penelitian ini peneliti

(46)

memfokuskan pada perilaku cyberbullying bukan intensi perilaku cyberbullying. Eslea dan Mukhtar (2000, dalam Kinanti & Hartati, 2018) melihat adanya perilaku bullying terhadap anak laki-laki sebanyak 57% dan 43% anak perempuan pada sampel beragama Islam, Hindu, Pakistan kemungkinan terjadi karena adanya perbedaan agama atau budaya. Menurut Rigby (2007, dalam Suciati & Soeharto, 2018) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi individu dalam melakukan bullying adalah faktor religius. Rendahnya individu dalam menginternalisasi nilai-nilai keagamaan yang ada dalam agamanya memungkinkan individu untuk melakukan perilaku yang tidak baik seperti membully.

2.5 Kerangka Berfikir

Menurut Willard (2007) cyberbullying, merupakan perbuatan kejam seseorang yang dilakukan terhadap orang lain dengan mengirimkan atau mem-posting konten menyakitkan atau bentuk agresi sosial melalui internet atau teknologi digital lainnya. Cyberbullying dilakukan dengan sengaja untuk mengirimkan pesan atau konten yang

menyakitkan dan merendahkan orang lain ke forum atau lingkungan publik yang banyak dikunjungi pengguna online lainnya (Hinduja & Patchin, 2008).

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku cyberbullying, menurut Khatrin mengutip pendapat Schwartz, Shields, dan Cichetti (2012, dalam Pandie & Weismann, 2016) menyatakan bahwa keterlibatan dalam membullying orang lain berkaitan dengan prediktor-prediktor keluarga seperti kelekatan yang insecure, pendisplinan fisik yang keras, dan korban pola asuh orang tua yang overprotektif. Penelitian yang dilakukan oleh Bayraktar et al., (2015) menemukan bahwa parental attachment yang buruk terdapat pada cyberbully-victim. Parental attachment menurut

(47)

Armsden & Greenberg (1987) adalah persepsi seorang anak tentang seberapa baik orang tua memberikan sumber keamanan psikologis bagi dirinya.Terdapat tiga hal dalam melihat attachment yaitu; communication, trust, alienantion.

Orang tua yang memiliki hubungan komunikasi yang baik dengan anaknya dimana orang tua responsif dan peka terhadap kebutuhan anaknya tentunya akan menciptakan kelekatan yang aman. Hubungan komunikasi yang baik antara orang tua dan anak juga dapat membantu anak untuk terhindar dari perilaku agresi seperti cyberbullying. Selain itu, dimensi lain dari parental attachment yaitu trust, kepercayaan anak terhadap orang tuanya dan begitu pun sebaliknya antara orang tua dengan anaknya dapat menciptakan kelekatan yang aman bagi anak. Orang tua yang menghargai dan mempercayai anaknya dengan sepenuhnya akan membuat anak merasa dihargai dan diperdulikan. Kepercayaan yang tinggi antara orang tua dan anak dapat membantu anak untuk terhindar dari perilaku agresi seperti cyberbullying. Selanjutnya, dimensi alienation dari parental attachment erat kaitannya dengan penolakan dan termasuk ke dalam kelekatan yang tidak aman. Orang tua yang kurang dekat dan menghindari intimacy dengan anaknya tentunya anak akan merasa bahwa dirinya terisolasi, sendiri, marah, kecewa, dan perasaan negatif lainnya. Semakin tinggi alienation dapat berdampak buruk bagi anak, anak yang sering mendapatkan penolakan dari orang tuanya dapat menjadi pribadi yang impulsif dan agresif serta tidak menutup kemungkinan anak dapat terlibat juga dalam perilaku agresi seperti cyberbullying.

Faktor selanjutnya, empathy menurut Davis (1980) empathy merupakan kemampuan seseorang untuk menafsirkan dan memahami pengalaman dan perasaan orang lain. Respon empathy ini terdiri dari dua respon, yakni respon kognitif atau reaksi

(48)

intelektual dan respon afektif Penelitian yang dilakukan oleh Steffgen et al., (2011) menemukan bahwa pelaku cyberbullying memiliki empathy yang rendah dibandingkan dengan mereka yang bukan pelaku cyberbullying. Terdapat empat dimensi dalam empathy yaitu, perspective taking, fantasy, emphatic concern, dan personal distress. Individu yang memiliki rasa empathy kepada orang lain maka ia akan menghindari perilaku yang merugikan orang lain.

Perspective taking menunjukkan kecendrungan seseorang untuk mengambil

perspektif dari orang lain secara kebetulan. Semakin individu dapat mengerti perspektif seseorang maka semakin baik pula kemampuan empathy nya dalam memahami perasaan dan pemikiran orang lain, hal ini dapat membantu dalam menghindari perilaku agresi seperti cyberbullying. Selanjutnya, fantasy berkaitan dengan kecendrungan seseorang untuk merubah dirinya sama dengan karakter imajinasinya. Dalam konteks ini tontonan dan sesuatu yang kita baca dapat menentukan perilaku kita. Maka dari itu, tontonan dan bacaan yang baik dapat menghindari kita untuk berperilaku yang menyakiti orang lain seperti cyberbullying. Kemudian, empathy concern erat kaintannya denga perasan peduli, iba, kasihan dengan pengalaman negatif orang lain semakin tinggi empathy concern yang dimiliki seseorang maka akan semakin rendah untuk dapat terhindar dari perilaku agresi seperti cyberbullying. Terakhir, personal distress erat kaitannya dengan perasaan tidak nyaman yang berlebih terhadap pengalaman orang lain. Terlalu banyak melihat pengalaman negatif orang lain (bystander) dan merespon pengalaman negatif tersebut secara berlebihan dapat lebih mudah terlibat dalam perilaku cyberbullying (menjadi pelaku), hal ini dapat dipengaruhi karena empathy yang rendah.

(49)

Faktor selanjutnya orientasi religius, dalam penelitian yang dilakukan oleh Kinanti& Hartati (2018) menemukan bahwa orientasi relgius berpengaruh signifikan terhadap intensi perilaku cyberbullying. Eslea dan Mukhtar(2000, dalam Kinanti &Hartati 2018) melihat adanya perilaku bullying terhadap anak laki-laki sebanyak 57% dan 43% anak perempuan pada sampel beragama Islam, Hindu, Pakistan kemungkinan terjadi karena adanya perbedaan agama atau budaya. Menurut Rigby (2007, dalam Suciati & Soeharto, 2018) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi individu dalam melakukan bullying adalah faktor religius. Rendahnya individu dalam menginternalisasi nilai-nilai keagamaan yang ada dalam agamanya memungkinkan individu untuk melakukan perilaku yang tidak baik seperti membully.

Menurut Allport dan Ross (1967), orientasi religius merupakan suatu cara pandang seseorang terkait kedudukan agama dalam hidupnya yang menentukan pola relasi individu dengan agamanya. Terdapat dua dimensi dalam orientasi religius yaitu dimensi intrinsik dan dimensi ekstrinsik. Dimensi intrinsik berkaitan dengan bagaimana individu menginternalisasi nilai agamanya. Individu yang menginternalisasi nilai agama dengan baik maka perilakunya akan terarah dan sebisa mungkin menghindari perilaku negatif yang dapat merugikan orang lain. Sedangkan, dimensi ektrinsik berkaitan dengan bagaimana individu menggunakan agamanya untuk tujuan hidup. Dalam konteks ini dapat dijelaskan bahwa agama digunakan individu untuk tujuan pribadi seperti status sosial, kepentingan pembenaran diri, atau tujuan-tujuan lain yang diinginkan individu. Sehingga, individu yang memiliki dimensi ekstrinsik yang tinggi dapat menggunakan agamanya untuk hal-hal yang negatif misalnya perilaku agresi yang menyakiti orang lain

(50)

seperti cyberbullying. Untuk mempermudah dalam membahas mengenai faktor pendorong perilaku cyberbullying maka peneliti membuat kerangka berfikir seperti di bawah ini :

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir

2.6 Hipotesis Penelitian

2.6.1 Hipotesis Mayor

H0: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan parental attachment (communication, trust,

alienation), empathy (perspective taking, fantasy, emphatic concern, personal distress), orientasi religius (intrinsik, ekstrinsik) terhadap perilaku cyberbullying

2.6.2 Hipotesis Minor

H1: Terdapat pengaruh yang signifikan communication pada variabel parental attachment

terhadap perilaku cyberbullying

H2: Terdapat pengaruh yang signifikan trust pada variabel parental attachment terhadap

perilaku cyberbullying Parental Attachment Communication Trust Alienation Empathy Perspective Taking Fantasy Empathy Concern Personal Distress Orientasi Religius Intrinsik Ekstrinsik Cyberbullying

Gambar

Tabel 3.1 Skor Jawaban Kuesioner
Tabel 3.2 Blueprint Cyberbullying
Tabel 3.3 Blueprint Parental Attachment
Tabel 3.4 Blueprint Empathy
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini memnunjukan bahwa kualitas audit, komite audit, komisaris independen dan kepemilikan institusioanl secara simultan berpengaruh terhadap integritas

Berlatarbelakangkan fenomena peng-agenda-an isu Cagub dalam Pilgub Sulsel 2018 pada TRIBUN- TIMUR.COM edisi Rabu, 23 Maret 2016, penelitian ini mempertanyakan

Pada seluruh kalimat dalam lirik lagu tersebut jelas menggambarkan penderitaan seseorang yang telah memiliki kekasih tetapi dia masih mencintai seorang di masa lalunya

Penelitian merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pertanyaan peserta didik sebagai indikator

Berdasarkan kajian pustaka dan hasil interview yang didapat dari tiga sampel, maka dapat dijelaskan lebih lanjut mengenai tantangan apa saja yang dihadapi

Hasil penelitian menjelaskan bahwa terdapat ketidakseragaman bentuk penerapan International Financial Reporting Standard (IFRS) sehingga terdapat 4 (empat) kelompok

Pada Gambar 3 menjelaskan proses yang dapat dilakukan oleh pengendara adalah melakukan olah data pengendara, meliputi data pengendara, node tujuan dan

Adapun kuesioner ini berkaitan dengan penelitian yang sedang saya lakukan mengenai “Pengaruh Lingkungan Kerja, Disiplin Kerja dan Turnover Intention Terhadap Kinerja