• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cekaman kekeringan merupakan salah satu faktor lingkungan terpenting yang menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman yang menghambat aktivitas fotosintesis dan translokasi fotosintat (Yakushiji et al. 1998; Savin & Nicolas 1996), selanjutnya mempengaruhi produktivitas tanaman. Istilah kekeringan ini menunjukkan bahwa tanaman mengalami kekurangan air akibat keterbatasan air dari lingkungan tumbuhnya yaitu media tanam.

Kondisi cekaman kekeringan sangat mempengaruhi performa tanaman. Tanaman yang diberi perlakuan cekaman kekeringan menunjukkan respon yang berbeda-beda sesuai kemampuan tanaman mengubah morfologi dan mengatur mekanisme fisiologis tubuhnya. Setiap tanaman harus dapat menyeimbangkan antara proses kehilangan air dan proses penyerapannya, bila proses kehilangan air tidak diimbangi dengan penyerapan melalui akar maka akan terjadi kekurangan air di dalam sel tanaman yang dapat menyebabkan berbagai kerusakan pada banyak proses dalam sel tanaman (Taiz & Zeiger 2002).

Gambaran morfologi umum yang ditunjukkan oleh tanaman dimulai dari pelayuan, perubahan warna daun menjadi kuning kecoklatan, penggulungan ujung daun, perubahan ukuran daun menjadi lebih kecil dan tipis hingga pengguguran daun. Sejalan dengan penjelasan Wang et al. (1995) bahwa cekaman kekeringan yang dialami tanaman pada setiap periode pertumbuhan dan perkembangan dapat menurunkan hasil produksi meskipun besar penurunannya tergantung fase pertumbuhan pada saat terjadi dan lamanya cekaman. Pada fase pertumbuhan vegetatif, ketersediaan air berpengaruh pada beberapa asfek fisiologi serta morfologi, antara lain menurunkan laju kecepatan fotosintesis dan luas daun. Jika tanaman terkena cekaman kekeringan, potensial air daun akan menurun, pembentukan klorofil daun akan terganggu dan struktur kloroplas akan mengalami disintegrasi (Alberte et al. 1997).

Kramer (1996) menjelaskan lebih lanjut bahwa pengaruh cekaman kekeringan pada pertumbuhan vegetatif terutama pada penurunan perluasan area daun dan pertumbuhan tunas baru dan nisbah akar-tajuk. Pertumbuhan reproduktif mengakibatkan ketidaknormalan pembungaan, aborsi embrio, ketidaknormalan perkembangan biji dan buah. Ditambahkan oleh Sloane et al. (1990) bahwa

56

tanaman pada fase perkembangan reproduktif sangat peka terhadap cekaman kekeringan. Kondisi cekaman kekeringan dapat menyebabkan gugurnya bunga,polong, dan biji yang telah terbentuk. Hal ini berhubungan dengan penurunan kecepatan fotosintesis akibat keterbatasan ketersediaan air.

Pengamatan terhadap bobot kering tajuk tanaman rumput (Tabel 7) menunjukkan bahwa perlakuan disiram dan diberi FMA (W0M1) direspon sangat baik oleh tanaman Chloris gayana dengan rataan bobot kering tajuk tertinggi sebesar 169,75 g. Namun, rataan total bobot kering tajuk tertinggi bukanlah tanaman Chloris gayana, melainkan tanaman Paspalum dilatatum. Hal ini dikarenakan pada tanaman Paspalum dilatatum perlakuan disiram baik diberi atau tanpa FMA menunjukkan respon yang sama. Sebaliknya tanaman Chloris gayana

menunjukkan perbedaan sangat nyata antar perlakuan W0M0 dan W0M1, hal ini dikarenakan pemberian FMA pada tanaman Chloris gayana dalam kondisi disiram memiliki peranan lebih untuk memproduksi tajuk tanaman lebih banyak. Perlakuan cekaman kekeringan tanpa diberi FMA direspon paling buruk oleh tanaman Ischaemum timuriensis pada perlakuan M0W1 dengan rataan bobot kering tajuk sebesar 29,10 g/pot tanaman. Perbedaan produksi bobot kering tajuk tanaman yang memiliki nilai tertinggi dan terendah ini sejalan dengan ketahanan umur tanaman dalam merespon cekaman kekeringan. Tanaman yang memproduksi tajuk yang banyak (Paspalum dilatatum dan Chloris gayana) mengalami layu permanen tercepat yaitu 32 hari setelah kekeringan, sebaliknya tanaman Ischaemum timuriensis dengan produksi tajuk paling sedikit mengalami layu permanen paling akhir yaitu 48 hari setelah kekeringan. Hal ini dapat dijelaskan karena berhubungan dengan luasan total tajuk dalam melakukan transpirasi yang artinya pergerakan air secara kontinyu dari sistem akar ke tanaman ke atmosfir. Semakin besar luasan tajuk maka semakin tinggi terjadi proses transpirasi yang berakibat cukup tingginya kehilangan air.

Pengamatan di rumah kaca untuk kelompok tanaman legum memberikan hasil tanaman yang paling awal mencapai layu permanen adalah Clitoria ternatea

yaitu hari ke 32 setelah kekeringan, sebaliknya tanaman Stylosanthes guianensis

Berbeda dengan tanaman Ischaemum timuriensis pada kelompok tanaman rumput, tanaman Centrosema pascuorum menunjukkan rataan bobot kering tajuk terendah (Tabel 16) namun tidak dapat bertahan lama dalam kondisi kekeringan pada penelitian ini. Hal ini kemungkinan dikarenakan tanah yang digunakan dalam penelitian ini tergolong tanah masam (pH 5,5-6,5) yang tidak sesuai dengan kebutuhan hiudp tanaman Centrosema pascuorum .

Respon akar berupa perubahan bobot kering dan panjang akar tanaman yang mengalami cekaman kekeringan sangat bervariasi baik untuk rumput maupun legum. Hal ini sangat bergantung pada kemampuan genetik tiap tanaman. Pertambahan bobot kering akar tidak langsung diikuti oleh perpanjangan akar, begitu pula sebaliknya. Tanaman Paspalum notatum yang memiliki rataan bobot kering tajuk terbesar bukanlah akar tanaman yang terpanjang, demikian juga yang terjadi pada tanaman legum Clitoria ternatea yang memiliki bobot kering akar terbesar tidak diikuti pertambahan akar yang terpanjang. Perbandingan antar keempat perlakuan menunjukkan pola yang sama untuk bobot kering dan panjang akar, perlakuan M1W0 memberikan hasil pertambahan bobot kering dan panjang akar yang terbesar, hal ini sejalan dengan produksi tajuk yang terbesar untuk perlakuan yang sama. Perubahan morfologi akar menjadi lebih besar dan panjang dilakukan oleh tanaman dalam rangka memperluas fungsi akar untuk menyerap unsur hara dalam tanah. Jaringan hifa eksternal dari FMA akan memperluas bidang serapan air dan hara. disamping itu ukuran hifa yang lebih halus dari bulu- bulu akar memungkinkan hifa bisa menyusup ke pori-pori tanah yang paling kecil (mikro) sehingga hifa bisa menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang sangat rendah (Marschner 1995).

Potensial air daun merupakan indikator terjadinya kekurangan air. Potential air daun menurun dengan semakin rendahnya kandungan air tanah. Pengukuran potensial air daun pada penelitian ini dilakukan pagi hari sekitar pukul 03.30 WIB, hal ini dikarenakan nilai potensial air daun pada pagi hari (predawn leaf water potential) mewakili nilai status air tanaman dimana nilai potential air daun mendekati nilai potensial air tanah (Clearly et al. 1998). Hubungan ketersediaan air tanah dengan potensial air daun terlihat jelas pada penelitian ini (Tabel 4 dan 5; Tabel 13 dan 14). Tanaman Paspalum dilatatum memiliki rataan total kadar air

58

tanah terendah sebesar 26,09% menunjukkan rataan total potensial air daun terendah sebesar -5,58 MPa, sebaliknya tanaman Ischaemum timuriensis dengan rataan total kadar air tanah tertinggi sebesar 29,58% menunjukkan rataan total potensial air daun tertinggi sebesar -1,26 MPa. Sama halnya yang terjadi pada kelompok tanaman legum, tanaman Clitoria ternatea dan Stylosanthes hamata

dengan rataan total kadar air tanah terendah diikuti dengan rataan total potensial air daun yang terendah juga. Penurunan potensial air daun adalah mekanisme dalam tubuh tanaman untuk pergerakan air hingga ke ujung daun dengan cara membuat potensial air daun lebih rendah dari potensial air tanah sesuai dengan sifat pergerakan air yang bergerak dari potensial tinggi ke potensial rendah.

Agar tanaman dapat menyerap air makan perlu adanya penyesuaian osmotik. Beberapa tanaman dapat mempertahankan tekanan turgor yang tinggi juga pada potensial air yang agak rendah dengan cara meningkatkan potensial osmotik melalui akumulasi zat terlarut yang meningkat di dalam sel. Proses ini disebut penyesuaian osmotik (osmotic adjustment) atau regulasi osmotik. Adanya penyesuaian osmotik, berarti menjaga turgor sel sehingga berarti pula menjaga integritas dan proses fisiologi sitoplasma. Penyesuaian osmotik berpotensi menjaga proses fotosintesis dan pertumbuhan tanaman (Riduan et al. 2007).

Penyesuaian osmotik terjadi pada tanaman yang mengalami cekaman kekeringan secara perlahan. Namun, tidak semua tanaman mengembangkan penyesuaian osmotik sebagai respon terhadap cekaman kekeringan. Penyesuaian osmotik dipegaruhi oleh laju perkembangan cekaman, tingkat cekaman, kondisi lingkungan dan perbedaan genotipe tanaman. Disamping itu penyesuain osmotik melalui perubahan potensial osmotik dipengaruhi oleh akumulasi senyawa terlarut, ukuran sel, volume senyawa terlarut dan ketebalan dinding sel.

Kadar prolin yang ditunjukkan oleh kelompok tanaman rumput berbanding terbalik dengan nilai potensial air daun. Tanaman Clitoria ternatea dan

Stylosanthes hamata yang memiliki potensial air daun (Tabel 14) terendah diikuti dengan akumulasi prolin (Tabel 19) tertinggi . Akumulasi prolin merupakan indikator toleransi respon tanaman terhadap cekaman kekeringan sebagai senyawa osmoregulator. Sel, jaringan atau tanaman yang over produksi prolin dianggap mempunyai sifat toleransi terhadap kekeringan yang lebih baik. Selain sebagai

osmoregulator, prolin juga berperan penting dalam menjaga pertumbuhan akar pada potensial osmotik air rendah. Pada penelitian ini terlihat jelas tanaman

Clitoria ternatea dan Stylosanthes hamata memiliki kadar prolin tertinggi yang berarti kedua tanaman tersebut sudah mengalami cekaman kekeringan berat. Namun, mekanisme ketahanan dengan peningkatan akumulasi prolin yang dilakukan kedua tanaman tersebut tentunya terbatas sehingga pada akhirnya kedua tanaman tersebut dipanen lebih awal. Sebaliknya tanaman legum Stylosanthes seabrana dan rumput Ischaemum timuriensis memberikan kadar prolin terendah pada pengamatan hari ke-32 yang menunjukkan kedua tanaman tersebut belum mengalami cekaman kekeringan atau dapat dikatakan toleransi tanaman

Stylosanthes seabrana dan Ischaemum timuriensis terhadap ketersediaan air tanah yang rendah lebih baik dibandingkan tanaman lain dan juga kemungkinan prolin bukan merupakan mekanisme ketahanan terhadap kekeringan dari kedua tanaman tersebut.

Menurut Levitt (1980) potensial osmotik disebabkan oleh dua hal yaitu akibat menurunnya kadar air pada sel karena terjadi kehilangan air dan karena adanya tambahan akumulasi senyawa terlarut sehingga lebih menurunkan potensial osmotik.

Peranan FMA dalam kondisi cekaman kekeringan terlihat jelas untuk kedua kelompok rumput dan legum. Tanaman yang diberi FMA mengakumulasi prolin lebih sedikit dibandingkan tanpa FMA dalam kondisi kekeringan. Tahannya tanaman yang berFMA terhadap kondisi kekurangan air disebabkan karena hifa eksternalnya yang dapat meningkatkan total daerah perakaran dari sistem perakaran tanaman dan meningkatkan volume tanah yang dieskploitasi oleh air, ini menyebabkan lebih banyak air yang tersedia bagi tananam inang. Penetrasi hifa pada korteks akar sampai pada bagian endodermis, sehingga memberikan alur kecil bagi pergerakan air di dalam akar.

Total gula terlarut seperti yang dijelaskan oleh Salisbury dan Ross (1992) adalah perimbangan sintesis gula dan pati dalam kondisi cekaman kekeringan. Pada kondisi kekurangan air, atau transpirasi rendah, karbohidrat lebih banyak dalam bentuk gula daripada pati. Pengamatan terhadap total gula terlarut tanaman rumput memberikan pola yang sama dengan akumulasi prolin. Tanaman CG pada

60

perlakuan W1M0 (Tabel 10) dengan akumulasi prolin tertinggi menghasilkan kadar total gula terlarut tertinggi pula. Sejalan dengan rataan total akumulasi prolin tanaman Ischaemum timuriensis dengan nilai terendah memiliki rataan total gula terlarut yang terendah pula. Perlakuan cekaman kekeringan (W1) terhadap tanaman Ischaemum timuriensis ternyata meningkatkan total gula terlarut lebih tinggi dibandingkan perlakuan disiram (Tabel 11) namun kadar prolin tidak berbeda antara perlakuan disiram dengan dikeringkan, hal ini berarti tanaman

Ischaemum timuriensis menunjukkan mekanisme ketahanan terhadap kekeringan dengan meningkatkan total gula terlarut bukan dengan produksi prolin.

Tanaman Stylosanthes hamata dengan akumulasi prolin tertinggi tidak menunjukkan total gula terlarut yang tertinggi pula, begitu pula sebaliknya tanaman Clitoria ternatea dengan total gula terlarut tertinggi tidak mengakumulasi prolin yang lebih besar lagi. Hal ini menunjukkan adalanya mekanisme khusus yang dimunculkan oleh masing-masing tanaman sesuai kemampuan genetiknya merespon lingkungan sekitar. Kemungkinan terjadi mekanisme fisiologis lainnya yang menentukan tanaman untuk memproduksi suatu zat yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya.

Metode skoring yang dilakukan pada penelitian ini sudah sering digunakan untuk melakukan pemilihan suatu objek perlakuan atau jenis yang paling baik. Hasil skoring diperoleh tanaman Paspalum notatum dan Stylosanthes seabrana

adalah jenis rumput dan legum paling baik yang toleran terhadap cekaman kekeringan.

Respon morfologi dan mekanisme fisiologi yang ditunjukkan oleh tanaman PN dan SS tentunya berbeda dengan tanaman gurun misalnya kaktus, agave dan tanaman CAM (Crassuleaceae) lainnya. Gurun diketahui sebagai daerah kering dengan curah hujan kurang dari 200mm per tahun. Berdasarkan mekanisme fiksasi karbondioksida tanaman dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu C3 (kacang- kacangan), C4 (rumput) dan CAM (tumbuhan sukulen). Spesies sukulen seperti kaktus dan agave merupakan tumbuhan pengumpul air yang menolak kekeringan dengan menyimpan air di jaringan sukulennya. Tanaman CAM dapat menyimpan air yang cukup dan laju kehilangan air sangat rendah karena kutikula sangat tebal dan stomata menutup pada malam hari, sehingga dapat hidup dalam jangka waktu

lama tanpa penambahan kelembaban air (Salisbury & Ross 1995). Sebaliknya tanaman rumput dan legum yang digunakan dalam penelitian ini tidak memiliki sukulen sebagai tempat penyimpanan air dalam waktu yang lama dan memiliki luas penampang daun yang lebih besar dan tetap terbuka di siang hari dibandingkan kaktus yang mengakibatkan nilai kehilangan air semakin besar. Tanaman Paspalum notatum dan Stylosanthes seabrana memiliki mekanisme yang berbeda dengan kaktus dalam mengahadapi cekaman kekeringan yaitu dengan memproduksi gula terlarut lebih besar sebagai upaya menurunkan potensial osmotik lebih rendah dari potensial air tanah sehingga air dapat diserap hingga ke ujung tanaman.

Tanaman Paspalum notatum dan Stylosanthes seabrana menunjukkan pola respon perubahan yang sama terhadap cekaman kekeringan untuk parameter produksi gas, kecernaan bahan organik dan kadar protein kasar. Perlakuan cekaman kekeringan sangat nyata menurunkan kualitas bahan organik, pemberian FMA berperan dalam mempertahankan kualitas bahan organik dalam kondisi cekaman kekeringan.

Cekaman kekeringan pada penelitian ini sangat mempengaruhi kualitas nutrisi tanaman. Tanaman yang mengalami cekaman kekeringan menurunkan total produksi gas, kecernaan bahan organik dan kadar protein kasar. Pemberian FMA pada tanaman yang dikeringkan ternyata mampu meningkatkan kualitas nutrisi tanaman ditinjau dari produksi gas, kecernaan bahan organik dan protein kasar. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh ketersediaan air tanah hingga berada dalam tubuh tanaman sangat besar sebagai faktor penentu pembawa unsur hara dan terjadinya proses fotosintesis hingga menghasilkan fotosintat yang disimpan dalam jaringan tanaman. Deposit fotosintat dalam tanaman berhubungan dengan ketersediaan unsur hara dalam tanah. FMA membantu meningkatkan penyerapan unsur hara dalam tanah lebih banyak dibandingkan tanpa FMA, terutama dalam penyerapan Phospor (P) dan sumbangan nutrien lainnya lebih tersedia.

Penurunan kualitas bahan organik akibat cekaman kekeringan berhubungan dengan perimbangan biosintesis sukrosa dan pati (Gambar 2). Ketersediaan air tanah yang rendah menyebabkan potensial air tanah rendah, agar akar dapat mengabsorbsi air maka akar harus menurunkan potensial air selnya lebih rendah

62

dari potensial air tanah dengan cara meningkatkan kecepatan sintesis sukrosa lebih cepat dari sintesis pati, sehingga pada ketersediaan air rendah kandungan gula meningkat. Bila bagian tanaman memerlukan sukrosa lebih tinggi dari bagian lain maka lebih sedikit karbon yang disimpan dalam bentuk pati (Martin & Stephens 2005). Perubahan karbohidrat selama ketersediaan air rendah berkaitan dengan proses fotosintesis, translokasi dan respirasi. Diantara karbohidrat terlarut, sukrosa dan fruktosa merupakan gula terlarut yang meningkat konsentrasinya pada kondisi ketersediaan air rendah (Williams et al. 1992). Bancal dan Saltani (2002) menyatakan bahwa penurunan kandungan N dalam daun akan menungkatkan gula terlarut. Ini menunjukkan bahwa semakin rendah kandungan N akan diikuti oleh semakin tingginya kandungan gula terlarut.

Pertumbuhan sel merupakan respon paling peka terhadap cekaman air. Penurunan potensial air dibawah -0,1 MPa sudah menyebabkan penurunan secara nyata pertumbuhan sel demikian juga pertumbuhan akar dan tajuk. Penghambatan pembesaran sel diikuti penurunan sintesis dinding sel dan protein. Efek cekaman air terhadap sintesis protein kemungkinan dikendalikan pada tingkat tranlasi yaitu aktivitas ribosom. Reduksi nitrogen menurun dengan adanya cekaman air sejalan menurunnya aktivitas nitrat reduktase. Pada taraf cekaman yang menyebabkan perubahan akitivitas enzim, pembelahan sel terhambat, stomata mulai menutup sehingga menyebabkan penurunan transpirasi dan fotosintesis (Salisbury & Ross 1995).

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Tanaman Paspalum notatum dan Stylosanthes seabrana adalah jenis tanaman rumput dan legum yang paling toleran terhadap cekaman kekeringan berdasarkan karakter morfo-fisiologis.

2. Tanaman yang diberi cekaman kekeringan mengalami penurunan produksi bobot kering tajuk, bobot kering akar, panjang akar, potensial air dan kadar air relatif daun serta mengalami peningkatan kadar prolin dan total gula terlarut sebagai respon fisiologis.

3. Peranan FMA dalam kondisi cekaman kekeringan dapat meningkatkan potensial air, kadar air relatif, menurunkan kadar prolin dan total gula terlarut.

4. Penurunan karakter morfo-fisiologis sejalan dengan penurunan kualitas bahan organik tanaman yang mengalami cekaman kekeringan. Aplikasi FMA dapat meningkatkan toleransi terhadap cekaman kekeringan sehingga meningkatkan kualitas bahan organik dibandingkan tanpa FMA.

6.2 Saran

1. Perlu dilakukan pengujian palatabilitas ternak untuk rumput Paspalum notatum dan Stylosanthes seabrana secara in vivo di lahan kering.

2. Tanaman Paspalum notatum dan Stylosanthes seabrana baik dibudidayakan di daerah kering/curah hujan rendah dengan ditambah pupuk hayati FMA.

DAFTAR PUSTAKA

Alberte RS, Thornber JP, Fiscus EL. 1997. Water stress effects on the content and organization of chlorophyl and bundle sheath chloroplast of maize. J Plant Physiol. 59:351-352.

Ashri K. 2006. Akumulasi Enzim Antioksidan dan Prolin pada Beberapa Varietas Kedelai Toleran dan Peka Cekaman Kekeringan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Bancal P, Saltani F. 2002. Source-sink partitioning. Do we need Munch? J. Exp. Botany. 53:1929-1983.

Banziger M, Edmeades GO, Beck D, Bellon M. 2000. Breeding for Drought and Nitrogen Stress Tolerance in Maize: From Theory to Practice.CIMMYT,MexicoD.F.http://www.cimmyt.org/Research/Maiz

e/map

Bago B, Vierheilig H, Piche Y, Azcon-Aguilar C. 1996. Nitrate Depletion and pH Changes Induced by the Extraradical Mycelium of the Arbuscular Mycorrhizal Fungus Glomus Intraradices Grown in Monoxenic Culture. New Phytol. 133: 273-280.

Bates LS. 1973. Rapid determination of free proline for water-stress studies. J Plant and Soil 39:205–207.

Borges R. 2003. How soybeans respond to drought stress. Issues in agriculture.www.Uvex.edu/ces/ag/issues/drough2003/soybeansrespond stress.html-16k

Bosch S, Penuelas J. 2004. Drought-induced oxidative stress in strawberry tree (Arbutus unedo L.) growing in Mediterranean field conditions. Plant Science 166 (2004) 1105–1110

Bray DE. 1997. Plant responses to water deficit. J Trends Plant Sci 2: 48-54 Bryla DR, Duniway JM. 1997. Effects of Mycorrhizal Infection on Drought

Tolerance and Recovery in Safflower and Wheat. Plant and soil 197: 95–103.

Buysse J, Merckx R. 1993. An improved colorimetric method to quantify sugar content of plant tissue. J Experimental Botany 44:1627–1629.

Chaves MM, Pereira JS, Maroco J, Rodrigues ML, Ricardo CP, Osorio ML, Carvalho I, Faria T, C Pinheiro. 2002. How plants cope with water stress in the field. Photosynthesis and growth. Annals Bot. 89: 907–916.

Clearly B, Zaerr J, Hamel J. 1998. Guidelines for Measuring Plant Moisture Stress with a Pressure Chamber. PMS Instrument Company. Oregon. USA Close W, Menke KH. 1986. Selected Tropics in Animal Nutrition. Universitaet

Honhenheim. Honhenheim

Cortes PM, Sinclair TR. 1986. Water relation of field-grown soybean under drought. Crop Sci. 26: 993-998.

Cui Y, Pandey DM, Hahn EJ and Paek KY. 2004. Effect of drought on physiological aspect of Crassulacean acid metabolism in Doritaenopsis. Plant Science 167(6):1219-1226.

Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Colorimetric method for determination of sugars and related substrances. Anal. Chem. 28:350–356. Institute of Ecology and Resource Management. Edinburgh University.

Foth HD. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Edisi Ketujuh. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Griffin JJ, Ranney TG, Pharr DM. 2004. Heat and drought influence photosynthesis, water relation, and soluble carbohydrates of two ecotypes of redbud (Cercis canadensis). J. Hort. Sci. 129 (4): 497- 502.

Hamim. 2004. Underlaying drought stress effect on plant: inhibition of photosynthesis. J Hayati 11: 164-169.

Handoko. 1994. Klimatologi Dasar Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-Unsur Iklim. Pustaka Jaya. Jakarta.

Hapsoh. 2008. Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula pada Budidaya Kedelai di Lahan Kering. Univ Sumatera Utara.

Hong Z, Lakkineni K, Zhang Z, Verma DPS. 2000. Removal of Feedback Inhibition of D1-Pyrroline-5-Carboxylate Synthetase Results in Increased Proline Accumulation and Protection of Plants from Osmotic Stress1. Plant Physiology, 122 :1129-1136.

Irigoyen JJ, Emerich DW, Sanchez-Diaz M. 1992. Water stress induced changes in concentrations of proline and total soluble sugars in nodulated alfalfa (Medicago sativa) plants. Physiol Plant 84:55-60

Jakobsen I. 1992. Phosporus transport by eksternal hypae of vesical-arbuscular mychorrizas. P.48-54. In D.J. Read, D. H. Lewis, A. H. Fitter and I.J. Alexander. Mychorrhizas in Ecosystem. CAB. International. UK.

66

Jaleel CA, P Manivannan, GMA Lakshmanan, M Gomathinayagam, R Panneerselvam. 2008. Alterations in morphological parameters and photosynthetic pigment responses of Catharanthus roseus under soil water deficits. Colloids Surf. B: Biointerfaces, 61: 298–303.

Jaleel CA, P Manivannan, Wahid, A Farooq, M Al-Juburi, H J Somasundaram, Pannerselvam R. 2009. Drought stress in plant: A review on morphological characteristics and pigments composition. International Journal of Agriculture & Biology.

Johansen A, Finlay RD, Olsson PA. 1996. Nitrogen Metabolism of External Hyphae of the Arbuscular Mycorrhizal Fungus Glomus intraradices.

New Phytol. 133: 705-712.

Joly RJ. 1985. Techniques for determining seedling water status and their effectiveness in assessing stress dalam Duryea, M.L. (eds) Proceeding: Evaluating seedling quality: principles, procedures, and predictive abilities of major test. Workshop held October 16 – 18, 1984. Forest Research Laboratory, Oregon State University, Corvallis.

Kadarsah. 2007. Meteorologi dan Atmosfer Sains Tiga Pola Curah Hujan di

Indonesia.

Karti PDMH. 2004. Pengaruh Pemberian Cendawan Mikoriza Arbuskula terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Setaria splendida Stapf yang Mengalami Cekaman Kekeringan. Media Peternakan (27):63-68

Dokumen terkait