• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh cekaman kekeringan dan aplikasi mikoriza terhadap morfo-fisiologis dan kualitas bahan organik rumput dan legum pakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh cekaman kekeringan dan aplikasi mikoriza terhadap morfo-fisiologis dan kualitas bahan organik rumput dan legum pakan"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

KUALITAS BAHAN ORGANIK RUMPUT

DAN LEGUM PAKAN

SAHERA NOFYANGTRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh cekaman kekeringan dan aplikasi mikoriza terhadap morfo-fisiologis dan kualitas bahan organik rumput dan legum pakan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2011

(3)

Mikoriza Arbuskula terhadap Morfo-Fisiologis dan Kualitas Bahan Organik Rumput dan Legum Pakan. Dibimbing oleh PANCA DEWI MANU HARA KARTI dan DEWI APRI ASTUTI.

Tersedianya hijauan makanan ternak baik kuantitas, kualitas dan kontinuitas merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha peternakan ruminansia. Kesulitan penyediaan hijauan makanan ternak dalam jumlah besar terutama yang mudah dibudidayakan, daya adaptasi baik dan produksi biomas tinggi merupakan suatu masalah yang sering terjadi di daerah tropis terutama dalam musim kemarau panjang. Disisi lain potensi lahan kering di Indonesia cukup tinggi yaitu seluas 1,61 juta ha yang tidak termanfaatkan dengan baik.

Ketersediaan air di tanah merupakan faktor pembatas dan sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Cekaman kekeringan menyebabkan gangguan pertumbuhan tanaman dan produksi biomasa, penurunan ekspansi sel dan produksi fotosintat menjadi berkurang. Pemberian pupuk hayati Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) diketahui banyak memberikan manfaat dalam meningkatkan produktivitas tanaman, terutama memperluas fungsi akar menyerap unsur hara dalam tanah. Penelitian ini bertujuan untuk menyeleksi rumput dan legum pakan toleran terhadap cekaman kekeringan dengan aplikasi FMA berdasarkan respon morfo-fisiologis dan hubungannya dengan kualitas bahan organik.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2010 sampai Mei 2011 di Laboratorium Agrostologi Fapet IPB, Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah Departemen INTP IPB dan Laboratorium Fisiologi Stress LIPI Cibinong. Rumput dan legum pakan yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil seleksi dari penelitian pendahuluan dari 30 jenis hijauan makanan ternak. Penelitian ini menggunakan dua rumah kaca dan sebanyak 96 buah pot fiber modifikasi (d=20 cm, t=100cm) untuk masing-masing kelompok rumput dan legum.

Penelitian ini terdiri dari dua tahap pelaksanaan. Tahap pertama yaitu seleksi rumput dan legum pakan yang toleran terhadap cekaman kekeringan dengan aplikasi FMA berdasarkan respon morfo-fisiologis. Sebanyak 6 jenis rumput dan 6 jenis legum yang diteliti. Prosedur seleksi yang dilakukan adalah sama untuk kelompok rumput dan legum. Parameter morfologi yang diamati adalah bobot kering tajuk, bobot kering akar dan panjang akar, sedangkan parameter fisiologi yang diamati setiap delapan hari adalah potensial air daun, kadar prolin daun, kadar air relatif dan kadar total gula terlarut yang diamati pada akhir penelitian setelah panen. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial 4 x 6 dengan 4 ulangan. Faktor pertama adalah kombinasi perlakuan kekeringan dengan FMA yang terdiri dari W0M0 (disiram tanpa FMA), W1M0 (dikeringkan tanpa FMA), W0M1 (disiram diberi FMA) dan W1M1 (dikeringkan diberi FMA). Faktor kedua adalah 6 jenis rumput/legum yang dilakukan secara terpisah. Penelitian tahap kedua adalah kajian kualitas bahan organik dari jenis tanaman terbaik hasil seleksi tahap 1 dilanjutkan untuk pengujian total produksi gas, kecernaan bahan organik dan kadar protein kasar.

(4)

dilatatum dan Chloris gayana untuk kelompok rumput dan tanaman Clitoria ternatea untuk kelompok legum, sedangkan tanaman yang dipanen paling akhir pada hari ke-48 adalah Paspalum notatum dan Ischaemum timuriensis untuk kelompok rumput dan Stylosanthes guianensis dan Stylosanthes seabrana untuk kelompok legum.

Respon fisiologis yang ditunjukkan oleh tanaman yang mengalami stres memiliki pola yang sama yaitu terjadi penurunan nilai potensial air dan kadar air relatif daun. Sebaliknya parameter kadar prolin dan total gula terlarut akan meningkat seiiring dengan tingkat cekaman kekeringan yang dialami tanaman.

Skoring dilakukan berdasarkan superskrip yang dimiliki setiap tanaman untuk setiap parameter morfo-fisiologis. Perbandingan antar keempat perlakuan secara umum menghasilkan bahwa perlakuan disiram diberi FMA (W0M1) memberikan skor nilai yang terbaik, sedangkan perlakuan dikeringkan tanpa FMA (W1M0) memberikan skor nilai terendah untuk semua parameter. Pemberian FMA dalam kondisi cekaman kekeringan memberikan pengaruh terhadap peningkatan untuk parameter fisiologi, namun tidak terlihat nyata pada parameter morfologi tanaman.

Penelitian tahap 1 memberikan hasil skoring tanaman Paspalum notatum

dan Stylosanthes seabrana adalah jenis tanaman terbaik untuk masing-masing kelompok rumput dan legum untuk selanjutnya dilakukan kajian kualitas bahan organik.

Kajian kualitas bahan organik tanaman Paspalum notatum dan Stylosanthes seabrana menunjukkan pola yang sama untuk keempat perlakuannya. Perlakuan cekaman kekeringan tanpa FMA (W1M0) sangat nyata (P<0,01) menurunkan total produksi gas, kecernaan bahan organik dan kadar protein kasar tanaman. Penurunan performa respon morfo-fisiologis sejalan dengan penurunan kualitas bahan organik tanaman yang mengalami cekaman kekeringan.

(5)

Mycorrhizal Fungi (AMF) on Morpho-Physiological and Organic Matter Quality of Grass and Legumes Forages. Under direction of PANCA DEWI MANU HARA KARTI and DEWI APRI ASTUTI.

This research was aimed to evaluate the effect of drought stress and application Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) on morpho-physiological and organic matter quality of grasses and legumes forages. Using special cylindrical pot (20 cm diameter, 100 cm height) and twelve plants produced from the result of selection on preliminary studied from above thirty forage plants. Six species of grasses were Andropogon gayanus, Cenchrus ciliaris, Chloris gayana, Ischamemum timuriensis, Paspalum dilatatum and Paspalum notatum and six species of legumes were Stylosanthes guianensis, Stylosanthes hamata, Stylosanthes seabrana, Macroptilium bracteatum, Clitoria ternatea and

Centrosema pascuorum with four treatments. The treatments were W0M0 (watering without AMF), W1M0 (drought without AMF), W0M1 (watering with AMF) and W1M1 (drought with AMF). The data were analyzed by analysis of variance. Determination the best plant that tolerance to drought stress condition through scoring based on superscript each parameters. The result showed that

Paspalum notatum and Stylosanthes seabrana was the most tolerance plant to drought stress. Both species of that plants harvested on 48 days after drought. The first harvest on 32 days after drought. Drought stress treatment significantly (p<0,05) reduced plant growth such as dry matter yield and root, relative water content, increased proline content and water soluble carbohydrate, and decreased gas production with digestibility of organic matter and crude protein content. Studied in vitro quality of organic material for both plants showed that drought stress caused decreasing in total gas production, organic matter digestibility and crude protein content. Treatment W0M1 (watering with AMF)) given the best value for all parameters.

(6)

PENGARUH CEKAMAN KEKERINGAN DAN APLIKASI

MIKORIZA TERHADAP MORFO-FISIOLOGIS DAN

KUALITAS BAHAN ORGANIK RUMPUT

DAN LEGUM PAKAN

SAHERA NOFYANGTRI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)

Judul Tesis : Pengaruh Cekaman Kekeringan dan Aplikasi Mikoriza terhadap Morfo-fisiologis dan Kualitas Bahan Organik Rumput dan Legum Pakan

Nama : Sahera Nofyangtri

NRP : D152090031

Program Studi/Mayor : Ilmu Nutrisi dan Pakan

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Panca Dewi MHK, MS

Anggota

Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS

Diketahui Koordinator Mayor

Ilmu Nutrisi dan Pakan

Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A., MS, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis penjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang ini adalah Pengaruh Cekaman Kekeringan dan Aplikasi Mikoriza terhadap Morfo-fisiologis dan Kualitas Bahan Organik Rumput dan Legum Pakan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Agustus 2010 sampai April 2011 di Kampus IPB Darmaga dan LIPI Cibinong.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr.Ir. Panca Dewi Manu Hara Karti, MS dan Prof.Dr.Ir. Dewi Apri Astuti, MS selaku pembimbing atas kesabaran dan penyediaan waktu selama proses pembimbingan. Sekali lagi penulis sampaikan rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada Dr.Ir. Panca Dewi MHK, MS yang sudah mengeluarkan banyak dana untuk membiayai penelitian ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Dian Anggraeni di Laboratorium Ilmu Nutrisi Perah dan seluruh teknisi Laboratorium Lapang Agrostologi Fakultas Peternakan IPB.

Ungkapan terimakasih yang tulus kepada orangtua tercinta Papa Sahupi dan Ibu Asnimar yang selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya, doa, motivasi, kasih sayang dan tentunya biaya yang tidak sedikit selama penulis menjalani kuliah di IPB. Kepada kedua kakak penulis, Sasmitesi dan Sefti Heza Dwinanti beserta keluarga dan tentunya keponakan Aisyah Zahra Siswanto yang selalu menjadi hiburan terbaik. Tidak mungkin terlewatkan ucapan terimakasih kepada Zulyadnan Rifai,S.Pt dan keluarga yang selalu memberikan kasih sayang, motivasi dan pengertian yang tulus hingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Terimakasih juga kepada teman-teman Pascasarjana INP angkatan 2009, Drh. Hany Widjaja, Franky N. Gurning, S.Pt dan Eva Ayu Meilia RS, S.Pt. Kepada sahabatku Ajeng Widayanti, S.Pt, rasanya tidak mungkin selesai semua ini tanpa bantuanmu, hanya doa tulus yang mampu membayar semua kebaikanmu. Kepada bapak Supri dan Ibu Ade yang selalu memudahkan saya mengurus keperluan selama penyelesaian studi. Kepada senior saya di Fapet, Rahmi Dianita, S.Pt, MScAgr, Suharlina, S.Pt, M.Si dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu saya ucapkan terimakasih. Terimakasih.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2011

(11)

Bapak Sahupi dan Ibu Asnimar. Penulis adalah putri ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Palembang dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Pesiapan Bersama di Institut Pertanian Bogor. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak IPB tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis diterima bekerja di perusahaan asing PMA Korea, Cheil Jedang groups PT. Super Unggas Jaya selama kurang lebih 2 tahun. Tahun 2009 penulis melanjutkan kuliah di Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan IPB.

(12)

ii

2.2 Respon Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan ... 4

2.3 Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) ... 7

2.4 Mikoriza dan Serapan Air ... 9

2.5 Potensial Air Daun ... 10

2.6 Prolin ... 11

2.7 Sintesis Gula dan Hubungannya dengan Ketersediaan Air ... 12

2.8 Pembagian Daerah Indonesia berdasarkan Curah Hujan ... 14

3 MATERI DAN METODE ... 15

(13)

4.2.1 Seleksi Rumput Paling Toleran terhadap Cekaman Kekeringan 28 4.2.1.1 Perubahan Kadar Air Tanah Media Tanaman Rumput

pada Pengamatan Hari ke-32 ... 26

4.2.1.2 Potensial Air Daun Tanaman Rumput pada Pengamatan Hari ke-32 ... 29

4.2.1.3 Kadar Air Relatif Daun Tanaman Rumput pada Pengamatan Hari ke-32 ... 31

4.2.1.4 Produksi Bobot Kering Tajuk Tanaman Rumput... 33

4.2.1.5 Produksi Bobot Kering Akar Tanaman Rumput ... 34

4.2.1.6 Panjang Akar Tanaman Rumput ... 35

4.2.1.7 Kadar Prolin Daun Tanaman Rumput pada Pengamatan Hari ke-32... 36

4.2.1.8 Kadar Total Gula Terlarut Daun Tanaman Rumput ... 38

4.2.2 Seleksi Legum Paling Toleran terhadap Cekaman Kekeringan . 41

4.2.2.1 Perubahan Kadar Air Tanah Media Tanaman Legum pada Pengamatan Hari ke-32 ... 41

4.2.2.2 Potensial Air Daun Tanaman Legum pada Pengamatan Hari ke-32... 42

4.2.2.3 Kadar Air Relatif Daun Tanaman Legum Pengamatan Hari ke-32... 43

4.2.2.4 Produksi Bobot Kering Tajuk Tanaman Legum ... 44

4.2.2.5 Produksi Bobot Kering Akar Tanaman Legum ... 45

4.2.2.6 Panjang Akar Tanaman Legum ... 46

4.2.2.7 Kadar Prolin Daun Tanaman Legum pada Pengamatan Hari ke-32 ... 47

4.2.2.8 Kadar Total Gula Terlarut Daun Tanaman Legum ... 48

4.3 Kajian in vitro kualitas bahan organik dari jenis tanaman paling baik untuk masing-masing rumput dan legum ... 51

4.3.1 Rumput Paspalum notatum ... 52

4.3.2 Legum Stylosanthes seabrana ... 53

5 DISKUSI UMUM ... 55

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Respon tanaman terhadap cekaman kekeringan menurut waktu ... 6

2 Pembagian Tipe Iklim Utama Oldeman ... 15

3 Matriks Pemanenan Tanaman Berdasarkan Pengamatan per 8 Hari ... 27

4 Kadar Air Tanah Media Tanaman Rumput Hari ke-32 ... 28

5 Potensial Air Daun Tanaman Rumput Pengamatan Hari ke-32 ... 30

6 Kadar Air Relatif Daun Rumput pada Pengamatan Hari ke-32 ... 31

7 Produksi Bobot Kering Tajuk (BKT) Rumput ... 33

8 Produksi Bobot Kering Akar (BKA) Rumput).. ... 34

9 Panjang Akar Tanaman Rumput ... 35

10 Kadar Prolin Daun Tanaman Rumput pada Pengamatan Hari ke-32 ... 37

11 Kadar Total Gula Terlarut Daun Rumput ... 38

12 Skoring Pemilihan Jenis Rumput Terbaik ... 40

13 Kadar Air Tanah Media Tanaman Legum pada Pengamatan Hari ke-32 42 14 Potensial Air Daun Tanaman Legum Pengamatan H-32 ... 43

15 Kadar Air Relatif Daun Legum pada Pengamatan Hari ke-32 ... 44

16 Produksi Bobot Kering Tajuk (BKT) Legum ... 45

17 Bobot Kering Akar (BKA) Tanaman Legum ... 46

18 Panjang Akar Tanaman Legum ... 46

19 Rataan Kadar Prolin Pengamatan Hari ke-32 ... 48

20 Kadar Total Gula Terlarut Tanaman Legum ... 49

(15)

1 Skema biosintesis asam amino prolin ... 11 2 Sintesis Pati dan Sukrosa ... 13 3 Diagram Alur Penelitian ... 18 4 Respon cekaman kekeringan tanaman legum Clitoria ternatea sesaat sebelum dipanen hari ke-32 ... 26

5 Perubahan kadar air tanah, potensial air, kadar air relatif dan kadar

prolin daun per delapan hari tanaman Paspalum notatum ... 41 6 Perubahan kadar air tanah, potensial air, kadar air relatif dan kadar

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Gambar Tanaman yang digunakan dalam penelitian ... 72

(17)

Tersedianya hijauan pakan baik kuantitas, kualitas dan kontinuitas merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha peternakan ruminansia. Kesulitan penyediaan hijauan pakan dalam jumlah besar terutama yang mudah dibudidayakan, daya adaptasi baik dan produksi biomas tinggi merupakan suatu masalah yang sering terjadi di daerah tropis terutama dalam musim kemarau panjang. Kesulitan ini dapat berpengaruh terhadap peningkatan dan produktivitas ternak ruminansia. Upaya penyediaan hijauan pakan secara berkesinambungan terutama pada saat musim kemarau dimana ketersediaan air tanah terbatas, perlu dilakukan pencarian spesies tumbuhan pakan lokal yang mampu bertahan dalam kondisi kekeringan dan penerapan bioteknologi dalam budidaya tumbuhan pakan.

Ketersediaan air di tanah merupakan faktor pembatas dan sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Kebutuhan air tanaman berbeda-beda tergantung pada jenis tanamannya. Apabila jumlah air yang tersedia di tanah tidak mencukupi kebutuhan tanaman, maka tanaman akan mengalami gangguan morfologi dan fisiologis sehingga pertumbuhan dan produktifitasnya akan terhambat. Hal ini menyebabkan tanaman mengalami cekaman kekeringan.

Cekaman kekeringan merupakan salah satu bentuk cekaman biologis yang berarti segala perubahan kondisi lingkungan yang mungkin akan menurunkan atau merugikan pertumbuhan atau perkembangan tumbuhan (fungsi normalnya). Menurut Taiz dan Zeiger (2002) yang dimaksud dengan cekaman kekeringan adalah kandungan air dari sel lebih rendah dibanding saat sel terhidrat penuh, di bawah kadar air relatif 100%, disebabkan terutama oleh penurunan kandungan air tanah. Cekaman kekeringan dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu kekurangan suplai air di daerah perakaran atau laju kehilangan air (evapotranspirasi) lebih besar dari absorbsi air meskipun kadar air tanahnya cukup.

(18)

2

fotosintesis dan menghambat pertumbuhan, akumulasi asam absisik (ABA), prolin, mannitol, sorbitol, pembentukan senyawa biokimia (askorbat, glutathion, -tocopherol, dan lain-lain), dan sintesis protein baru dan mRNAs. Menurut Pugnaire et al. (1999) respon tanaman terhadap kekeringan terbagi dua, yaitu (1)

drought avoiders, tanaman yang menghindari kekeringan dan (2) drought tolerators, tanaman yang mentoleransi kekeringan.

Levitt (1980) membedakan antara penghindaran dan toleransi (ketahanan) terhadap suatu faktor pencekam tertentu. Pada penghindaran, organisme memberi tanggapan dengan memperlemah akibat faktor pencekam. Sebagai contoh, tumbuhan di gurun mungkin menghindari tanah kering dengan memanjangkan akarnya tumbuh ke dalam sampai mencapai air tanah. Sebaliknya, jika tumbuhan mengembangkan toleransi, tumbuhan tersebut memang toleran atau tahan terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.

(19)

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendapatkan jenis rumput dan legum hijauan pakan yang paling toleran terhadap cekaman kekeringan.

2. Mengetahui perubahan kualitas bahan organik dari jenis rumput dan legum pakan yang toleran terhadap cekaman kekeringan.

3. Menguji peranan inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) terhadap pertumbuhan beberapa jenis rumput dan legum pakan dalam kondisi cekaman kekeringan di rumah kaca.

1.3 Manfaat

(20)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peranan Air bagi Tanaman

Air dalam fisiologi tanaman merupakan faktor utama yang sangat penting karena membentuk 80-90% bobot segar jaringan yang sedang tumbuh aktif. Noggle dan Frizt (1983) menjelaskan fungsi air bagi tanaman yaitu sebagai : (1) senyawa utama pembentuk protoplasma, (2) senyawa pelarut bagi masuknya mineral-mineral dari larutan tanah ke tanaman dan sebagai pelarut mineral nutrisi yang akan diangkut dari satu bagian sel ke bagian sel lain, (3) media terjadinya reaksi-reaksi metabolik, (4) reaktan pada sejumlah reaksi metabolisme seperti siklus asam trikarboksilat, (5) penghasil hidrogen pada proses fotosintesis, (6) penjaga turgiditas sel dan berperan sebagai tenaga mekanik dalam pembesaran sel, (7) pengatur mekanisme gerakan tanaman seperti membuka dan menutupnya stomata, membuka dan menutupnya bunga serta melipatnya daun-daun tanaman tertentu, (8) berperan dalam perpanjangan sel, (9) bahan metabolisme dan produk akhir respirasi, serta (10) digunakan dalam proses respirasi. Kebutuhan air pada tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis dan umur tanaman, kadar air tanah dan kondisi cuaca.

Menurut Griffin et al. (2004), air sebagai komponen essensial tumbuhan memiliki peranan antara lain: (a) sebagai pelarut, di dalamnya terdapat gas, garam dan zat terlarut lainnya yang bergerak keluar masuk sel, (b) sebagai pereaksi dalam fotosintesis dan pada berbagai proses hidrolisis, dan (c) air essensial untuk menjaga turgiditas di antaranya dalam pembesaran sel dan pembukaan stomata. Ketersediaan air dalam tanaman diperoleh melalui proses fisiologis dan hilangnya air dari permukaan bagian tanaman melalui proses evaporasi dan transpirasi.

(21)

2.2 Respon Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan

Cekaman kekeringan terjadi ketika ketersediaan air tanah menurun dan kondisi atmosfir menyebabkan kehilangan air terus menerus melalui transpirasi atau evaporasi (Jaleel et al. 2009). Lebih lanjut dijelaskan bahwa cekaman kekeringan ditandai dengan rendahnya kadar air, penyusutan potensial air daun dan tekanan turgor, penutupan stomata dan berkurangnya pembesaran dan pertumbuhan sel. Reaksi tanaman terhadap cekaman kekeringan berbeda secara signifikan pada berbagai tingkatan tergantung pada intensitas dan durasi dari cekaman itu sendiri, dan juga species tanaman dan tingkatan pertumbuhannya (Chaves et al. 2002) .

Menurut Hamim (2004), cekaman kekeringan merupakan pengaruh faktor lingkungan yang menyebabkan air tidak tersedia bagi tanaman, yang dapat disebabkan antara lain oleh tidak tersedianya air di daerah perakaran tanaman dan permintaan air yang besar di daerah daun dimana laju evaporasi melebihi laju absorbs air oleh akar. Pengaruh cekaman kekeringan bergantung pada genetik tanaman, di mana perbedaan morfologi, anatomi dan metabolisme akan menghasilkan respon yang berbeda terhadap cekaman kekeringan.

Taiz dan Zeiger (2002) menjelaskan bahwa ketika jumlah absorbsi air mulai terbatas, maka tanaman memiliki mekanisme untuk mencegah kehilangan air dengan melakukan penutupan stomata. Perubahan pada ketahanan mekanisme stomata sangat diperlukan untuk mengatur kehilangan air oleh tanaman dan untuk mengatur pengambilan karbondioksida (CO2) yang penting untuk ketersediaan fiksasi CO2

Cekaman kekeringan dapat terjadi karena beberapa hal yaitu: (1) tingginya kecepatan evaporasi yang melebihi persediaan air dari tanah ke akar yang akan mengakibatkan penurunan potensial air, (2) adanya senyawa yang bersifat osmotik yang dapat menurunkan pengambilan air sehingga terjadi penurunan potensial osmosis dan tidak cukupnya pengambilan air oleh tanaman yang diserap dari tanah (Borges 2003). Menurut Jaleel et al. (2008) stress kekeringan dikarakterisasi dengan penurunan kandungan air, turgor, potensial air total, pelayuan, penutupan stomata dan pengurangan perluasan dan pertumbuhan sel. Cekaman kekeringan yang parah dapat menyebabkan fotosintesis terhenti,

(22)

6

menghambat metabolisme dan akhirnya mati. Kekeringan selain menurunkan laju fotosintesis, juga menyebabkan penurunan laju pertumbuhan akibat rendahnya potensial air dan turgor tumbuhan (Tezara et al. 2002).

Menurut Meyer dan Boyer (1981) dua mekanisme utama yang mungkin terjadi pada tanaman saat cekaman kekeringan, yaitu: (a) tumbuhan berusaha menghindari cekaman, baik dengan cara melakukan perubahan struktur morfologi dan anatomi, maupun dengan meningkatkan efisiensi penggunaan air dengan cara mengatur laju transpirasi, dan (b) meningkatkan toleransi terhadap cekaman kekeringan melalui perubahan kimia sel. Cortes dan Sinclair (1986) menyebutkan ada dua pendekatan utama yang sering digunakan untuk melihat kemampuan tanaman dalam menghadapi cekaman kekeringan. Pendekatan pertama adalah dengan melihat kemampuan pengambilan air secara maksimal dengan perluasan dan ke dalam sistem perakaran. Pendekatan kedua dengan melihat kemampuan tumbuhan mempertahankan turgor melalui penurunan potensial osmotik.

Pengaruh dari cekaman air terhadap tanaman menurut Munns (2002) dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa tingkatan waktu, yaitu mulai dari menit, jam, hari, minggu dan bulan.

Tabel 1 Respon tanaman terhadap cekaman kekeringan menurut waktu Waktu Pengaruh yang terlihat pada saat cekaman air

Menit Penyusutan seketika laju pemanjangan daun dan akar yang kemudian diikuti dengan peneyembuhan sebagian

Jam Laju pemanjangan akar kembali normal tapi lebih rendah dari laju sebelumnya

Hari Pertumbuhan daun lebih dipengaruhi daripada pertumbuhan akar. Laju mekarnya daun berkurang

Minggu Ukuran akhir daun dan/atau jumlah pucuk lateral berkurang

Bulan Mengubah saat pembungaan, menyusutkan produksi biji.

Sumber: Munns 2002

(23)

perubahan produksi aktivitas enzim dan hormon, serta perubahan ekspresi gen (Pugnaire et al. 1999). Cekaman kekeringan dapat menghambat pertumbuhan tanaman, salah satunya dapat dilihat pada perluasan daun. Penurunan luas daun merupakan respon pertama tanaman terhadap kekeringan. Keterbatasan air akan menghambat pemanjangan sel yang secara perlahan akan menghambat pertumbuhan luas daun. Kecilnya luas daun akan menyebabkan rendahnya transpirasi, sehingga menurunkan suplai air dari akar ke daun. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus lama kelamaan akan terjadi absisi daun (Taiz & Zeiger 2002).

Respon tanaman secara keseluruhan terhadap cekaman kekeringan adalah: (a) pengurangan daun, tunas, akar dan perluasan grain kernel; (b) penutupan stomata; (c) berkurangnya fotosintesis dan respirasi; (d) berkurangnya perubahan asimilasi terus menerus pada organ pertumbuhan; (e) mempercepat penuaan daun; (f) menunda silk growth dan peluruhan yang besar; (g) meningkatkan rasio akar tunas; dan (h) cadangan tunas (yaitu fotoassimilasi) pergerakan kembali dan subsequent lodging (Banziger et al. 2000)

2.3 Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Asosiasi simbiotik antara jamur dan sistem perakaran tanaman tingkat tinggi memiliki istilah umum yaitu mikoriza (jamak mikorizae) yang secara harfiah berarti akar jamur (Rao 1994).

Jamur sudah bersimbiosis dengan akar tanaman sejak tanaman berevolusi. jamur yang tumbuh dan berasosiasi dengan alga dikenal sebagai lichen. Namun, lichen ini dapat terbentuk jikan bersimbiosis dengan akar Bryophyta, Pteridophyta

dan tanaman tingkat tinggi, dan simbiosis ini disebut sebagai mikoriza. Mikoriza merupakan fungal bacteria yang membentuk nodul tanaman leguminosa dan actinomycetes, dan membentuk nodul pada jumlah tertentu pada tanaman lain (Russel 1991).

(24)

8

mencegah atau memperlambat proses penuaan akar. Mikoriza ini berpengaruh terhadap pertumbuhan yang lebih baik dan produksi yang tinggi (Sastrahidayat 1995).

Fungsi sistem mikoriza tergantung pada kemampuan cendawan untuk menyerap unsur hara yang tersedia dalam bentuk anorganik atau organik di dalam tanah dan mentranslokasikan hara beserta metabolit-metabolitnya ke akar yang bersimbiosis melalui perluasan miselium vegetative, diikuti oleh transfer hara dari cendawan ke tumbuhan melalui satu atau lebih bidang kontak simbiotik, sedangkan turunan C organik dari hasil fotosintesis juga ditransfer dari tumbuhan ke cendawan, diikuti translokasi untuk pertumbuhan miselium ekstraradikal dan perkembangan spora (Jakobsen 1992).

Jenis mikoriza dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan berdasarkan bentuk tubuh dan cara infeksi terhadap inang, yaitu ektomikoriza, endomikoriza, dan ektendomikoriza (Setiadi 1989). Ada beberapa jenis mikoriza yang dikenal, yaitu sheating, vesikula-arbuskula, orchidaceous, miscellaneous dan pseudomikoriza. Sheating-mycorrhiza disebut juga sebagai ektomikoriza, sedangkan vesikula-arbuskula, orchidaceous dan miscellaneous digolongkan ke dalam endomikoriza.

Taksonomi jamur FMA masih berada pada tahap perubahan yang terus menerus dan bila semata-mata hanya berdasarkan pada morfologi spora, dikenal lima genus mikoriza arbuskula, yaitu Glomus, Gigaspora, Acaulospora, Sclerocytis dan Endogene, yang terkahir ini hanya terbatas pada tanaman yang membentuk ekto atau tidak membentuk mikoriza (Rao 1994)

Kemampuan intersepsi akar dalam pengambilan nutrisi dapat dipertinggi oleh mikoriza, yang merupakan sebuah simbiosis antara jamur dan akar tanaman. Efek yang menguntungkan dari mikoriza ini sangat besar ketika tanaman tumbuh pada tanah yang kurang subur. Banyaknya infeksi mikoriza dapat diperbesar dengan keadaan pH tanah yang sedikit asam, sedikit P, cukup N dan nutrien tanah rendah. Hifa dari mikoriza beraktifitas dengan menyebar dalam sistem akar tanaman (Tisdale et al. 1993).

(25)

1. Permukaan akar bertambah dengan bertambah efektifnya penyerapan nutrien (partikel fosfor) dan air.

2. Fungsi akar menjadi lebih luas.

3. Toleransi terhadap kekeringan dan panas bertambah 4. Sumbangan nutrient tanah lebih tersedia

5. Terhambatnya infeksi oleh organisme penyakit

Jaringan hifa eksternal dari mikoriza akan memperluas bidang serapan air dan hara. disamping itu ukuran hifa yang lebih halus dari bulu-bulu akar memungkinkan hifa bisa menyusup ke pori-pori tanah yang paling kecil (mikro) sehingga hifa bisa menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang sangat rendah (Marschner 1995).

2.4 Mikoriza dan Serapan Air

Penyerapan air oleh tanaman dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor tanaman. Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah kandungan air tanah, kelembaban udara, dan suhu tanah. Faktor tanaman yaitu efisiensi perakaran, gradient tekanan difusi air tanah ke akar, dan keadaan protoplasma tanaman (Kramer 1996). Pada tanaman yang bermikoriza, respon tanaman yang mengalami cekaman kekeringan cenderung lebih dapat beratahan dari kerusakan korteks dibanding tanpa mikoriza. Menurut Setiadi (1989) gangguan terhadap perakaran akibat cekaman kekeringan ini pengaruhnya tidak akan permanen pada akar-akar yang bermikoriza. Akar yang bermikoriza akan cepat kembali pulih setelah periode kekeringan berlalu. Ini disebabkan karena hifa cendawan masih mampu untuk menyerap air dari pori-pori tanah pada saat akar tanaman sudah mengalami kesulitan menyerap air. Selain itu penyebaran hifa di dalam tanah sangat luas sehingga dapat menyerap air relative lebih banyak.

(26)

10

tanaman yang bermikoriza terhadap kondisi kekurangan air disebabkan karena hifa eksternalnya yang dapat meningkatkan total daerah perakaran dari sistem perakaran tanaman dan meningkatkan volume tanah yang dieskploitasi oleh air, ini menyebabkan lebih banyak air yang tersedia bagi tananam inang. Penetrasi hifa pada korteks akar sampai pada bagian endodermis, sehingga memberikan alur kecil bagi pergerakan air di dalam akar.

2.5 Potensial Air Daun

Potensial air daun merupakan parameter yang banyak digunakan dalam mengukur status air tanaman, nilai potensial air daun juga merupakan faktor penentu untuk pergerakan air dalam tubuh tanaman (Joly 1985) dan potensial air daun merupakan indikator terjadinya kekurangan air (Joly 1985; Larcher 1995).

Nilai potensial air daun pada pagi hari (predawn leaf water potential) mewakili nilai status air tanaman dimana nilai potential air daun mendekati nilai potensial air tanah (Clearly et al. 1998). Berbagai studi telah dilakukan untuk mengkaji hubungan antara potensial air daun dan kandungan air tanah (Leuschner

et al. 2001; Nortes et al. 2005; Martini 2001). Potential air daun menurun dengan semakin rendahnya kandungan air tanah. Dengan demikian, pada kondisi ketersediaan air tanah menurun, semakin rendah nilai potensial air daun menunjukkan tanaman semakin mengalami stress air.

(27)

2.6 Prolin

Prolin merupakan asam amino bebas yang disintesis tanaman dalam jaringan floem, akar dan biji (Simpson 2001). Prolin merupakan asam amino paling stabil dan paling sedikit menghambat pertumbuhan tanaman dibandingkan asam amino lainnya (Levitt 1980).

Pada kondisi cekaman kekeringan dan berbagai cekaman osmotic lainnya, beberapa tanaman memiliki mekanisme adaptasi berupa kemampuan untuk mensintesis senyawa osmoprotektan atau larutan yang sesuai (Ronde et al. 2000). Osmoprotektan merupakan larutan yang tidak beracun sehingga dapat diakumulasi sampai batas tertentu tanpa mengganggu metabolisme tanaman, biasanya terdiri dari beberapa grup asam amino (Rhodes & Samaras 1994).

Akumulasi prolin sebagai respon terhadap cekaman osmotic telah umum diketahui (Konstantinova et al. 2002). Banyak peneliti yang menemukan bahwa tanaman yang terkena cekaman kekeringan akan mengakumulasi asam amino prolin dalam jumlah tertentu dan bervariasi bergantung pada jenis tanaman, varietas dan umur tanaman yang digunakan (Hamim 2004).

Pada tanaman, prolin disintesis dari glutamin atau dari ornitin. Lintasan dari glutamin merupakan rute primer untuk biosintesis prolin dalam kondisi tercekam kekeringan (Madan et al. 1995; Yoshiba et al. 1997). Gambar 1 menunjukkan skema biosintesis asam amino prolin.

Gambar 1 Skema biosintesis asam amino prolin

(28)

12

meningkat dianggap merupakan indikasi toleransi terhadap cekaman kekeringan karena prolin berfungsi sebagai senyawa penyimpan N dan osmoregulator dan/atau sebagai protektor enzim tertentu (Kim & Janick 1991; Madan et al. 1995; Prasad & Potluri 1996; Yoshiba et al. 1997). Sel, jaringan atau tanaman yang over produksi prolin dianggap mempunyai sifat toleransi terhadap kekeringan yang lebih baik. Selain sebagai osmoregulator, prolin juga berperan penting dalam menjaga pertumbuhan akar pada potensial osmotik air rendah (Ober & Sharp 1994).

Berbagai penelitian membuktikan bahwa akumulasi prolin memiliki berbagai keuntungan sel. Prolin dapat berfungsi sebagai sumber energi, nitrogen dan karbon, dan sebagai osmolit respon dari kekeringan, selain itu prolin juga dapat mengurangi radikal bebas di dalam sel sehingga dapat mencegah kerusakan akibat cekaman oksidatif (Hong et al. 2000).

2.7 Sintesis Gula dan Hubungannya dengan Ketersediaan Air

Gula termasuk dalam karbohidrat yaitu golongan monosakarida dan oligosakarida. Golongan karbohidrat lainnya adalah polisakarida yaitu pati dan selulosa. pati sebagai produk simpanan tanaman, sedangkan selulosa sebagai penyusun dinding sel. Perbedaan gula dan polisakarida terletak pada sifat kelarutannya dalam air dan rasa kemanisannya. Gula meliputi glukosa, fruktosa, sukrosa, pentose dan trigliserida. Selain fungsinya sebagai simpanan energi dan penyusun jaringan tanaman, karbohidrat berfungsi sebagai sumber kerangka karbon bagi sintesis senyawa metabolit lainnya. Pada kondisi kekurangan air, atau transpirasi rendah, karbohidrat lebih banyak dalam bentuk gula daripada pati (Salisbury & Ross 1992).

(29)

Ketersediaan air tanah yang rendah menyebabkan potensial air tanah rendah. Agar akar dapat mengabsorbsi air maka akar harus menurunkan potensial air selnya lebih rendah dari potensial air tanah dengan cara meningkatkan kecepatan sintesis sukrosa lebih cepat dari sintesis pati, sehingga pada ketersediaan air rendah kandungan gula meningkat. Bila bagian tanaman memerlukan sukrosa lebih tinggi dari bagian lain maka lebih sedikit karbon yang disimpan dalam bentuk pati (Martin & Stephens 2005).

Perubahan karbohidrat selama ketersediaan air rendah berkaitan dengan proses fotosintesis, translokasi dan respirasi. Diantara karbohidrat terlarut, sukrosa dan fruktosa merupakan gula terlarut yang meningkat konsentrasinya pada kondisi ketersediaan air rendah (Williams et al. 1992).

Stroma Kloroplast Sitosol

Gambar 2 Sintesis Pati dan Sukrosa (Taiz & Zeiger 1991)

(30)

14

Mailard. Gula terlarut juga meningkat konsentrasinya dalam batang gandum pada kondisi ketersediaan air rendah (Kerepesi & Galiba 2000).

Hantaran stomata dan transpirasi menurun dengan meningkatnya waktu kekeringan. Pada kondisi kekeringan kandungan gula terlarut meningkat dan aktivitas phosphoenolpyruvate carboxylase dan peroxidase meningkat sedangkan aktivitas superoxide dismutase menurun (Cui et al. 2004). Potensial air yang rendah dapat meningkatkan kandungan gula dalam pear (Oron et al. 2002) juga meningkatkan kandungan gula dalam buah tomat (Maggio et al. 2004).

Transpirasi berkorelasi negatif dengan kandungan gula, artinya semakin rendah transpirasi semakin tinggi kandungan gula. Transpirasi yang rendah menyebabkan triosa fosfat lebih banyak mengarah pada lintasan sintesisi gula terlarut daripada pati (Taiz & Zeiger 1991).

2.8 Pembagian Daerah Indonesia berdasarkan Curah Hujan

Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter. Intensitas hujan adalah banyaknya curah hujan persatuan jangka waktu tertentu. Apabila dikatakan intensitasnya besar berarti hujan lebat dan kondisi ini sangat berbahaya karena berdampak dapat menimbulkan banjir, longsor dan efek negatif terhadap tanaman.

Hujan merupakan unsur fisik lingkungan yang paling beragam baik menurut waktu maupun tempat dan hujan juga merupakan faktor penentu serta faktor pembatas bagi kegiatan pertanian secara umum. Oleh karena itu klasifikasi iklim untuk wilayah Indonesia (Asia Tenggara umumnya) seluruhnya dikembangkan dengan menggunakan curah hujan sebagai kriteria utama (Lakitan 2002). Sistem klasifikasi Oldeman merupakan salah satu klasifikasi iklim berdasarkan pertumbuhan vegetasi yang berguna dalam klasifikasi lahan pertanian pangan di Indonesia (Handoko 1994).

(31)

per bulan lebih dari 200mm, sedangkan Bulan Kering (BK) adalah curah hukan rata-rata per bulan kurang dari 100 mm. Sistem klasifikasi Oldeman dibagi menjadi dua bagian yaitu tipe utama yang didasarkan pada jumlah bulan basah turut dan subdivisi yang didasarkan pada jumlah bulan kering berturut-turut. Pembagian tipe utama berdasarkan bulan hujan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Pembagian Tipe Iklim Utama Oldeman

Tipe Utama

Bulan Basah berturut-turut

Bulan Kering

berturut-turut Kategori Daerah Indonesia

A > 9 <2 Basah (surplus

Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara

E <3

Sumber : Handoko (1994); Khomarudin et al. (2001)

Rata-rata curah hujan di Indonesia untuk setiap tahunnya tidak sama. Namun masih tergolong cukup banyak, yaitu rata-rata 2000–3000 mm/tahun. Begitu pula antara tempat yang satu dengan tempat yang lain rata-rata curah hujannya tidak sama. Menurut Kadarsah (2007) ada beberapa daerah yang mendapat curah hujan sangat rendah dan ada pula daerah yang mendapat curah hujan tinggi yaitu :

1. Daerah yang mendapat curah hujan rata-rata per tahun kurang dari 1000 mm, meliputi 0,6% dari luas wilayah Indonesia, di antaranya Nusa Tenggara, dan 2 daerah di Sulawesi (lembah Palu dan Luwuk).

2. Daerah yang mendapat curah hujan antara 1000 – 2000 mm per tahun di antaranya sebagian Nusa Tenggara, daerah sempit di Merauke, Kepulauan Aru, dan Tanibar.

3. Daerah yang mendapat curah hujan antara 2000 – 3000 mm per tahun, meliputi Sumatera Timur, Kalimantan Selatan, dan Timur sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Tengah, sebagian Irian Jaya, Kepulauan Maluku dan sebagaian besar Sulawesi.

(32)

3 MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan dua tahap, yaitu tahap 1) seleksi rumput dan legum pakan yang toleran terhadap cekaman kekeringan dengan aplikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) berdasarkan respon morfo-fisiologis tanaman dan 2) kajian in vitro kualitas bahan organik dari jenis tanaman terbaik untuk masing-masing rumput dan legum.

3.1 Seleksi rumput dan legum pakan yang toleran terhadap cekaman kekeringan dengan aplikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) berdasarkan respon morfo-fisiologis tanaman

3.1.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2010 sampai April 2011 di Rumah Kaca Laboratorium Agrostologi, Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Fisiologi Stress LIPI Cibinong.

3.1.2 Materi Penelitian

3.1.2.1 Tanaman Percobaan

Tanaman yang digunakan dalam penelitian merupakan hasil seleksi penelitan pendahuluan (Karti 2010) dari 30 jenis hijauan pakan. Sebanyak 6 jenis rumput dan 6 jenis legum digunakan dalam penelitian ini. Rumput yang digunakan adalah Andropogon gayanus (AG), Cenchrus ciliaris (CC), Chloris gayana (CG), Ischaemum timuriensis (IT), Paspalum dilatatum (PD) dan

Paspalum notatum (PN), sedangkan legum yang digunakan adalah Centrocema pascuorum (CP), Clitoria ternatea (CT), Macroptilium bracteatum (MB),

Stylosanthes guianensis (SG), Stylosanthes hamata (SH) dan Stylosanthes seabrana (SS).

3.1.2.2 Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

(33)

3.1.2.3 Media Tanam Tanah dan Pupuk Kandang

Tanah yang digunakan berasal dari lahan sekitar kandang Fakultas Peternakan IPB (Darmaga, Bogor), sedangkan pupuk kandang diperoleh dari Laboratorium Lapang Kandang A, Fakultas Peternakan, IPB.

Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah 192 buah modifikasi pot tabung silinder dengan diameter 20 cm dan tinggi 100 cm, sekop, timbangan, gunting, timbangan digital, penggaris, mulsa plastik, plastik klip, cool box, ice gel, oven, kulkas, kertas saring, sentrifuse, spektrometer, desikator, dan lain-lain.

3.1.3 Metode Penelitian

Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial 2 faktor dengan rancangan perlakuan 4x6 dan 4 ulangan. Faktor A adalah perlakuan cekaman kekeringan dan pemberian FMA, yaitu:

W0M0 : disiram tanpa FMA W1M0 : dikeringkan tanpa FMA W0M1 : disiram diberi FMA W1M1 : dikeringkan diberi FMA

Faktor B adalah jenis tanaman yang digunakan untuk masing-masing rumput dan legum. Analisa untuk rumput dan legum dilakukan terpisah.

Peubah yang diamati antara lain :

1. Parameter Morfologi tanaman meliputi perubahan kadar air tanah, bobot kering tajuk, bobot kering dan panjang akar.

2. Parameter Fisiologis tanaman meliputi potensial air daun, kadar air relatif daun, kadar prolin dan tota gula terlarut.

3.1.3.1 Prosedur Penelitian

(34)

18

Gambar 3 Diagram Alur Penelitian Persiapan

(Bibit tanaman, rumah kaca, media tanam, pot, alat, dll)

Penanaman

Perlakuan Kekeringan dan Aplikasi Mikoriza

Pengambilan Data per 8 hari (kadar air tanah, sampel daun

proline, potensial air)

Panen

(berat tajuk, tinggi tajuk, panjang akar, berat akar) RUMPUT

(6 jenis)

LEGUM (6 jenis)

Jenis A

Analisa data uji t

Analisis Data Panen & Pengamatan H32 (RAL Faktorial) → Skoring

Jenis B

Tahap 1

Analisa Produksi Gas (Close & Menke 1986), %KCBO (Menke

et al. 1979) dan %PK (Kjeldahl)

(35)

Persiapan Tanaman Rumput dan Legum. Beberapa jenis rumput diperoleh dari Bagian Agrostologi BPT Ciawi, koleksi tanaman pakan di Laboratorium Lapang Agrostologi Fakultas Peternakan IPB dan BPTP Naibonat Kupang, Nusa Tenggara Timur. Keenam jenis rumput ditanam dalam polibag kecil di dalam rumah kaca. Bibit tanaman legum secara serentak ditanam dari biji selama kurang lebih 6 minggu dalam wadah plastik, kemudian setelah tumbuh 3 minggu dipindahkan ke polibag kecil.

Penanaman. Setiap jenis rumput dan legum pakan yang digunakan ditumbuhkan di media tanam polibag kecil sebelum dipindahkan ke dalam pot perlakuan. Setelah semua tanaman tumbuh dengan baik, masing-masing jenis tanaman diambil sebanyak 2 buah kemudian dipindahkan ke media tanam perlakuan (pot tabung fiber) yang sudah disiapkan. Perlakuan mikoriza dilakukan pada saat pemindahan tanaman ke tabung pot. Pemangkasan ujung tanaman untuk penyamarataan dilakukan untuk tanaman rumput hingga tinggi ± 30 cm di atas permukaan tanah.

Pemberian Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). Pemberian FMA hanya untuk pot silinder yang mendapat perlakuan mikoriza (berlabel M1). Sebelum pemindahan tanaman ke pot silinder, sebanyak 20 gram Mycofer dimasukkan ke dalam lubang tanam.

Perlakuan Cekaman Kekeringan. Perlakuan cekaman kekeringan dilakukan 14 hari setelah tanaman dipangkas ujungnya. Pot dengan label W0 disiram tiap hari, sedangkan pot dengan label W1 tidak disiram hingga tanaman layu permanen dan penelitian ini berakhir (hanya mendapatkan penyiraman satu kali pada awal penanaman hingga tanah dalam tabung pot jenuh). Pot dengan label W1 ditutup dengan mulsa plastik dengan rapat untuk menghindari penguapan.

Pemeliharaan. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan gulma, pemupukan dan pengendalian hama penyakit.

1. Kadar Air Tanah (%). Kadar air tanah diukur dengan cara mengambil sampel tanah pada kedalaman 20 cm dari permukaan atas tanah menggunakan selongsong pipet. Berat awal tanah ditimbang kemudian dioven suhu 105 Pengukuran parameter morfo-fisiologis tanaman sebagai berikut:

(36)

20

selama 24 jam. Kadar air tanah adalah hasil pengurangan berat sampel tanah sebelum dan sesudah dioven. Pengambilan sampel tanah dilakukan pagi hari sebelum penyiraman. Pengukuran dilakukan setiap selang 8 hari (0, 8, 16, dan seterusnya).

2. Panjang Akar (cm). Panjang akar diukur pada saat panen menggunakan pita meteran. Pengukuran dimulai dari pangkal hingga ujung akar terpanjang.

3. Bobot Kering Tajuk (g/ tajuk tanaman dalam pot). Pengukuran bobot kering tajuk dilakukan pada akhir penelitian yaitu saat panen, dengan cara menimbang bobot segar, kemudian dikeringkan udara selama 1 hari, selanjutnya dioven 60oC selama 2 x 24 jam.

4. Bobot Kering Akar (g/ tanaman dalam pot). Pengukuran bobot kering akar dilakukan pada akhir penelitian yaitu saat panen, dengan cara menimbang bobot segar, kemudian dikeringkan udara selama 1 hari, selanjutnya dioven dengan suhu 60oC selama 2 x 24 jam

5. Potensial Air Daun (MPa). Pengukuran potensial air daun dilakukan setiap 8 hari dari awal perlakuan (hari ke 0, 8, 16, dst) hingga tanaman mencapai titik layu permanen menggunakan alat Potensiometer WP4 dengan prosedur sebagai berikut:

a. Cup dan tutup kosong ditimbang (berat kosong). Sampel daun segar dimasukkan ke dalam cup lalu ditutup.

b. Cup dan sampel ditimbang (berat isi). Selisih berat kosong dengan berat isi dihitung sebagai berat daun basah (BB).

c. Sampel dipotong menjadi tiga bagian kecil-kecil untuk memenuhi cup tetapi tidak tebal. Cup yang sudah terisi tadi ke dalam alat potensimeter lalu ditekan tombol sebelah kanan bawah tunggu sampai dilayar menunjukkan nilai seperti ini: Ts – Tb

d. Tombol diputar ke posisi read. Lampu keseimbangan ditunggu sampai menyala lalu dicatat hasilnya. Diperoleh data potensial air daun.

= - 0,58

(37)

Sampel yang sudah ditiriskan dimasukan ke dalam amplop kecil lalu dioven pada suhu 60°C selama 3 x 24 jam (3 hari). Sampel tersebut ditimbang kembali sebagai berat kering (BK).

Data berat daun basah (BB), berat turgid (BT) dan berat kering (BK) digunakan untuk mendapatkan nilai kadar air relatif sesuai perhitungan berikut:

6. Kadar Prolin (µmol/g bobot daun segar). Pengukuran kadar prolin dilakukan untuk sampel daun segar dengan selang 8 hari (sampel hari ke 0, 8, 16, 32, dst). Kadar prolin diukur dengan metode ninhydrin menurut Bates (1973) sebagai berikut:

a. Persiapan pembuatan asam ninhydrin. Larutan standar sebanyak 50 ml dibuat dengan cara menambahkan 1,25 g ninhydrin dengan 30 ml asam asetat glacial dan 20 ml 6 M asam fosfat.

b. Persiapan sampel. Persiapan sampel dikerjakan sebagai berikut :

Sampel diberi nitrogen cair secukupnya dan digerus dengan mortar. Serbuk sampel diambil 100 mg (maksimal) dan dimasukkan ke dalam tabung ependof 1,5 ml (sampel dapat disimpan di -20o

Supernatant diambil sebanyak 500 µl dan dimasukkan ke tabung ependof baru. Selanjutnya perlakuan di ruang asam, ditambahkan 200 µl asam ninhydrin dan diaduk dengan vortex. Inkubasi dilakukan di

waterbath pada suhu 100

C). Ke dalam ependof tersebut ditambahkan asam sulfosalisilat 3% (5-sulfosalicylic acid dehydrate) sebanyak 1,3 ml kemudian diaduk dengan vortex. Ependof tersebut disentrifuge selama 10 menit pada kecepatan 12.000 rpm.

0

(38)

22

7. Total Gula Terlarut (mg/g bobot daun kering). Kadar total gula terlarut diukur menurut metode Dubois et al. (1956) dengan modifikasi oleh Bussye dan Merckx (1993). Adapun teknis pengukuran total gula terlarut adalah sebagai berikut; sebanyak 20–30 mg daun kering atau akar kering di ekstrak 4 kali selama 15 menit dalam 10 ml air mendidih. Setelah itu disentrifugasi pada 3500 rpm selama 10 menit, supernatant dikoleksi dan dikumpulkan dan volume akhir diukur sampai 50 ml. Sebanyak 1 ml supernatant di letakkan pada tabung lalu ditambah 1 ml 18 % larutan phenol dan tambahkan 5 ml konsentrat asam sulfur. Campuran tersebut divortex dan dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 490 nm.

3.1.3.2 Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 4x6 dengan 4 ulangan untuk masing-masing tanaman rumput dan legum. Adapun model matematik rancangan tersebut adalah:

Yijk= µ + αi +βj + (αβ)ij + ε

Y

ijk

ijk adalah nilai pengamatan pada faktor A (perlakuan kombinasi mikoriza dan cekaman kekeringan) taraf ke i, faktor B (jenis tanaman rumput/legum) taraf ke-j dan ulangan ke k. (µ, αi, βj) adalah komponen aditif dari rataan, pengaruh utama faktor A dan pengaruh utama faktor B. (αβ)ij merupakan komponen interaksi dari faktor A dan faktor B dan (εij) adalah pengaruh acak

yang menyebar normal (0,σε2

Pemilihan jenis rumput atau legum yang terbaik toleran terhadap cekaman kekeringan dan aplikasi mikoriza dilakukan dengan cara skoring berdasarkan superskrip yang mengikuti tiap jenis tanaman untuk masing-masing parameter.

(39)

3.2 Kajian in vitro kualitas bahan organik dari jenis tanaman terbaik untuk

masing-masing rumput dan legum

Kajian kualitas bahan organik untuk rumput dan legum terbaik dari tahap 1 diuji lanjut untuk parameter produksi total gas, kecernaan bahan organik dan kadar protein kasar.

3.2.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada bulan Mei 2011.

3.2.2 Materi Penelitian

3.2.2.1 Sampel pakan

Sampel pakan diambil dari hasil terbaik pada penelitian tahap 1 untuk masing-masing jenis rumput dan legum. Sampel yang digunakan adalah bagian daunnya. Daun dikeringkan di bawah sinar matahari dan dilanjutkan dengan pengeringan oven 60oC kemudian digiling.

3.2.2.2 Cairan Rumen

Cairan rumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah cairan rumen sapi yang diambil dari sapi berfistula Laboratorium Nutrisi Departemen INTP Fakultas Peternakan IPB. Pengambilan cairan rumen menggunakan selang yang langsung dihubungkan dengan termos yang sebelumnya sudah dihangatkan dengan cara diisi air mendidih kemudian dibuang. Perjalanan membawa cairan rumen ke tempat penelitian sekitar 10 menit.

3.2.2.3 Peralatan

(40)

24

3.2.3 Metode Penelitian

Rancangan percobaan ini membandingkan keempat perlakuan kombinasi pemberian mikoriza dengan cekaman kekeringan untuk tiap jenis rumput atau legum. Pengujian nilai rata-rata dari perlakuan terbaik dan kontrol dianalisis menggunakan uji T (Steel & Torrie 1995). Peubah yang diamati antara lain produksi total gas, kadar bahan kering dan bahan organik, kecernaan bahan organik dan kadar protein kasar.

3.2.3.1 Prosedur Penelitian

1. Pengukuran Produksi Total Gas (ml/BK sampel)

Pengukuran produksi total gas dilakukan dengan teknik in vitro (Close & Menke 1986). Adapun prosedur pengukuran produksi total gas adalah sebagai berikut. Sebanyak 200 mg bahan kering sampel dimasukkan ke dalam syringe gas test 100 ml. Piston syringe yang akan dimasukkan ke syringe, sebelumnya diberi vaselin agar tabung fermentasi yang telah berisi sampel dan larutan media tidak terkontaminasi oleh udara dari luar. Larutan media yang telah diaduk dan dialiri gas CO2 ditempatkan dalam water bath yang telah dilengkapi pengontrol suhu. Suhu pada water bath dipertahankan pada angka 39o

Gb (ml/BK sampel, 24 jam)=

C. Cairan rumen sebagai sumber inokulum disaring dan dicampur dengan larutan media. Sebanyak 40 ml campuran rumen + larutan media dimasukkan ke dalam masing-masing syringe

menggunakan dispenser. Perbandingan larutan media dan cairan rumen yaitu 2 : 1. Udara yang masih terdapat dalam syringe dikeluarkan dan klep syringe ditutup.

Syringe gas test diinkubasi dalam water bath selama 24 jam. Untuk pengamatan total produksi gas dilakukan pencatatan posisi piston pada jam ke 0, 2, 4, 6, 8, 12 dan 24. Rumus perhitungan untuk total produksi gas adalah sebagai berikut.

(41)

2. Perhitungan Kecernaan Bahan Organik (%)

Kecernaan bahan organik diukur berdasarkan metode lanjutan Menke et al. (1979) dengan rumus sebagai berikut.

KCBO (%) = 14,88 + 0,889 Gb + 0,045 PK + 0,065 Abu

Untuk menjalankan perhitungan produksi total gas dan kecernaan bahan organik sebelumnya harus diketahui kadar bahan organik dan abu. Pengukuran bahan kering dan bahan organik sampel menurut metode proksimat. Bobot awal cawan porselen ditimbang dan dicatat, sampel dimasukkan ke dalam cawan, dicatat bobot awalnya. Bahan kering didapat dengan cara sampel dikeringkan dalam oven 105oC selama 8 jam kemudian ditimbang. Selanjutnya sampel dalam bahan dipijarkan atau diabukan dalam tanur listrik selama 6 jam pada suhu 450-600oC dan ditimbang untuk berat abu sampel. Kadar bahan organik merupakan selisih berat kering dengan berat abu.

3. Pengukuran Kadar Protein Kasar (%)

(42)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Respon Penampilan Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan

Dua belas jenis rumput dan legum yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Perlakuan cekaman kekeringan terhadap tanaman menyebabkan terjadinya perubahan morfologi yang berbeda pada setiap jenis tanaman. Perubahan morfologi akibat cekaman kekeringan biasanya sangat tergantung pada faktor waktu terjadinya cekaman dan besarnya perlakuan cekaman (Keles & Oncel 2002). Salah satu contoh perubahan morfologi tanaman akibat cekaman kekeringan pada penelitian ini disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Respon cekaman kekeringan tanaman legum Clitoria ternatea sesaat sebelum dipanen hari ke-32

Tanaman memiliki berbagai mekanisme tersendiri untuk menghindar dari kondisi cekaman yang dihadapi, seperti mengurangi kehilangan air melalui transpirasi dengan penutupan stomata dan memperbesar penyerapan air dengan meningkatkan pertumbuhan akar. Cekaman kekeringan menyebabkan penutupan stomata yang menyebabkan terhambatnya proses fotosintesis dan secara langsung

W0M0

W0M1

W1M0

(43)

akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman (Taiz & Zeiger 2002). Gambar 4 menunjukkan bahwa tanaman Clitoria ternatea banyak menggugurkan daunnya sebagai respon menghadapi cekaman kekeringan.

Masing-masing tanaman memberikan respon yang berbeda untuk dapat bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu di media tanam yang ketersediaan airnya kurang. Pengamatan di rumah kaca terlihat perubahan penampilan daun/tajuk, dimulai dengan adanya pelayuan, pengecilan ukuran daun, penurunan produksi daun hingga kondisi tanaman mencapai titik layu permanen dibandingkan dengan tanaman yang disiram. Hal ini pula yang menentukan hari pemanenan tanaman yang berbeda-beda berdasarkan pengamatan tiap delapan hari. Tabel 3 menunjukkan matriks pemanenan tanaman berdasarkan panjang umur bertahan hidupnya tanaman dalam kondisi cekaman kekeringan di media tanam.

Tabel 3 Matriks Pemanenan Tanaman Berdasarkan Pengamatan per 8 Hari

K Tanaman H0 H8 H16 H24 H32 H40 H48

Keterangan : H0 = hari pertama setelah perlakuan cekaman kekeringan, H8-48 = hari ke delapan hingga ke 48 setelah cekaman kekeringan

Tanaman masih ada Tanaman sudah dipanen

(44)

28

kelompok dilakukan dengan mengkaji tiap parameter pengamatan dan dilakukan skoring untuk tiap jenis tanaman.

Kajian tiap parameter dilakukan pada pengamatan hari ke-32 (H32), karena pada hari pengamatan tersebut semua jenis tanaman masih lengkap atau belum dipanen, namun sudah menunjukkan respon stres akibat kekeringan. Data pengamatan setiap delapan hari untuk melihat perubahan kadar air tanah, potensial air daun, kadar prolin dan kadar air relatif disajikan terpisah untuk tanaman rumput dan legum terbaik hasil seleksi tahap 1.

4.2 Seleksi rumput dan legum pakan yang toleran terhadap cekaman kekeringan dengan aplikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) berdasarkan respon morfo-fisiologis tanaman

4.2.1 Seleksi Rumput Paling Toleran terhadap Cekaman Kekeringan

4.2.1.1 Perubahan Kadar Air Tanah Media Tanaman Rumput pada Pengamatan Hari ke-32

Kadar air tanah menggambarkan besarnya air tersedia yang diserap oleh tanaman untuk melakukan pertumbuhan, hingga batas air menjadi tidak tersedia dan tanaman mengalami kelayuan. Besarnya air yang diperlukan tanaman selalu meningkat seiring dengan semakin bertambahnya pertumbuhan tanaman. Kebutuhan air juga dipengaruhi oleh faktor genetik tanaman (Ashri 2006). Kadar air tanah tanaman rumput pada pengamatan hari ke-32 disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Kadar Air Tanah Media Tanaman Rumput Hari ke-32 (%)

Jenis Perlakuan Rataan Total

W0M0 W1M0 W0M1 W1M1

AG 32,78±0,95abc 27,28±6,02def 28,56±7,56cde 22,44±1,41g 27,77±3,98pqr

CC 33,93±0,89ab 21,49±2,29g 36,49±1,38a 20,89±1,37g 28,20±1,48

CG

pqr

35,28±1,89ab 20,04±0,61g 32,00±1,62abc 20,31±2,64g 26,91±1,69

IT

qr

35,52±0,58ab 23,15±1,28fg 35,33±1,97ab 24,32±2,01efg 29,58±1,46

PD

p

31,00±1,00bcd 20,35±1,28g 33,13±1,85ab 19,89±1,21g 26,09±1,34

PN

r

34,71±1,77ab 22,91± 0,68fg 34,93±1,76ab 23,43±1,95fg 28,99±1,54

Rataan

pq

33,87±1,18K 22,54± 2,03L 33,40±2,69K 21,88±1,77L

Keterangan: AG=Andropogon gayanus, CC=Cenchrus ciliaris, CG=Chloris gayana, IT=Ischaemum timuriensis, PD=Paspalum dilatatum, PN=Paspalum notatum. W0M0=disiram tanpa FMA, W1M0=dikeringkan tanpa FMA, W0M1=disiram diberi FMA, W1M1=dikeringkan diberi FMA

a,b,c..g

pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

p,q,r

pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

K,L

(45)

Hasil sidik ragam menunjukkan interaksi antara perlakuan cekaman kekeringan dan aplikasi FMA dengan jenis rumput berbeda nyata (P<0,05) terhadap kadar air tanah. Perbandingan antar keempat perlakuan menunjukkan adanya perbedaan signifikan sangat nyata (P<0,0001) sedangkan perbandingan antar jenis rumput menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) terhadap kadar air tanah.

Perlakuan W0M1 pada tanaman Cenchrus ciliaris memiliki rataan tertinggi (36,49%), sedangkan perlakuan W1M1 pada tanaman Paspalum dilatatum

memiliki nilai rataan kadar air tanah terendah (19,89%). Tanaman Ischaemum timuriensis memiliki nilai rataan total kadar air tanah tertinggi dan tanaman

Paspalum dilatatum memiliki rataan total kadar air tanah terendah (P<0,05). Perlakuan pemberian FMA tidak terlihat dalam kondisi cekaman kekeringan, perbedaan perlakuan signifikan sangat nyata (P<0,0001) antar disiram (W0) dengan dikeringkan (W1).

Hasil penelitian Sasli (1999) menunjukkan bahwa pemberian mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kakao yang lebih baik dibanding bibit tanpa mikoriza. Efisiensi penggunaan air juga tertinggi untuk bibit kakao yang mendapat perlakuan inokulasi mikoriza, yang dapat mencapai 149,2 % dari nilai kontrol untuk taraf kekeringan 70% air tersedia. Ini menunjukkan bahwa bibit yang bermikoriza sebenarnya tidak mengalami cekaman kekeringan oleh karena adanya hifa eksternal cendawan mikoriza yang masih dapat menyerap air dari pori-pori tanah.

4.2.1.2 Potensial Air Daun Tanaman Rumput pada Pengamatan Hari ke-32

(46)

30

Tabel 5 Potensial Air Daun Tanaman Rumput Pengamatan Hari ke-32 (MPa)

Jenis Perlakuan Rataan Total

W0M0 W1M0 W0M1 W1M1

-1,02±0,19AB -1,46±0,17ABC -1,36± 0,11AB -1,19±0,27AB -1,26± 0,06

PD

P

-1,54±0,11ABC -13,67±0,50I -0,91± 0,07AB -6,19± 0,85H -5,58± 0,37

PN

Keterangan: AG=Andropogon gayanus, CC=Cenchrus ciliaris, CG=Chloris gayana, IT=Ischaemum timuriensis, PD=Paspalum dilatatum, PN=Paspalum notatum. W0M0=disiram tanpa FMA, W1M0=dikeringkan tanpa FMA, W0M1=disiram diberi FMA, W1M1=dikeringkan diberi FMA

A,B,C,,I pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,0001) P,Q,R,S

pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,0001)

K,L,M

pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,0001)

Hasil sidik ragam menunjukkan adanya interaksi sangat nyata (P<0,0001) antara perlakuan kekeringan dan aplikasi FMA dengan jenis rumput. Perbandingan antar jenis rumput dan antar keempat perlakuan juga menunjukkan perbedaan sangat nyata. Tabel 5 menunjukkan bahwa tanaman Andropogon gayanus pada perlakuan W0M1 memiliki nilai potensial air daun yang tertinggi (-0,71 MPa) namun tidak berbeda dengan tanaman Cenchrus ciliaris (-0,77 MPa) dan Paspalum notatum (-0,72 MPa)pada perlakuan yang sama. Nilai potensial air daun terendah adalah perlakuan W1M0 pada tanaman Paspalum dilatatum (-13,67 MPa). Tanaman Ischaemum timuriensis menunjukkan rataan total potensial air daun yang tertinggi, sedangkan tanaman Paspalum dilatatum adalah yang terendah (P<0,01). Perlakuan disiram baik diberi atau tanpa FMA menunjukkan hasil yang tidak berbeda, sebaliknya perlakuan cekaman kekeringan dengan pemberian FMA menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap penurunan potensial air daun.

(47)

6,91 sampai 10,11 bar. Pada galur kedai yang peka, penurunan potensial osmotik daun tidak nyata.

4.2.1.3 Kadar Air Relatif Daun Tanaman Rumput pada Pengamatan Hari ke-32

Kadar air relatif daun merupakan salah satu respon toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan, tanaman toleran akan memiliki nilai kadar air relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang peka terhadap cekaman kekeringan. Semakin rendah nilai kadar air relatif menunjukkan tanaman tersebut mengalami cekaman kekeringan yang tinggi. Rataan kadar air relatif daun pada pengamatan hari ke-32 untuk tanaman rumput disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Kadar Air Relatif Daun Rumput pada Pengamatan Hari ke-32 (%)

Jenis Perlakuan Rataan Total

W0M0 W1M0 W0M1 W1M1

AG 83,76±2,88AB 36,18± 3,24E 83,67±4,79AB 46,00±2,24CD 62,40±3,29QR

CC 82,24±3,41AB 33,00±2,74EF 85,77 ±6,47AB 47,43±5,72CD 62,11±4,58

CG

QR

85,38±0,22AB 30,31± 0,79EFG 86,51±3,25AB 42,80±4,05D 61,25±2,08

IT

R

88,25±3,50A 86,10 ±1,71AB 88,48±0,90A 86,78±0,72AB 87,40±1,71

PD

P

85,63±3,13AB 25,14 ±2,59G 86,12±3,51AB 27,60±4,27FG 56,12±3,38

PN

S

83,16±2,18AB 44,74 ±4,74CD 80,40±1,03B 50,76±7,49C 64,77±3,86

Rataan

Q

84,74±2,55K 42,58 ±2,64M 85,16±3,32K 50,23± 4,08 L

Keterangan: AG=Andropogon gayanus, CC=Cenchrus ciliaris, CG=Chloris gayana, IT=Ischaemum timuriensis, PD=Paspalum dilatatum, PN=Paspalum notatum. W0M0=disiram tanpa FMA, W1M0=dikeringkan tanpa FMA, W0M1=disiram diberi FMA, W1M1=dikeringkan diberi FMA

A,B,C,,G pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,0001) P,Q,R,S

pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,0001)

K,L,M

pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,0001)

Analisa sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan sangat siginifikan nyata (P<0,0001) terhadap interaksi antara perlakuan kekeringan dan aplikasi FMA dengan jenis rumput, begitu pula untuk perbandingan antar jenis rumput dan keempat perlakuan. Pada Tabel 7 terlihat bahwa tanaman Ischaemum timuriensis

(48)

32

Efek interaksi tanaman Ischaemum timuriensis pada perlakuan disiram (W0) menunjukkan kadar air relatif tertinggi, hal ini berarti tanaman Ischaemum timuriensis pada kedua perlakuan tersebut tidak menunjukkan adanya respon cekaman berupa penutupan stomata yang dapat berakibat rendahnya kandungan air dalam jaringan daun tanaman. Sebaliknya kemungkinan yang terjadi adalah stomata daun tanaman Ischaemum timuriensis pada perlakuan disiram tetap terbuka normal sehingga mampu menyangga air dalam jaringan lebih banyak. Pemberian FMA untuk perlakuan disiram tidak menunjukkan adanya perbedaan, namun dalam kondisi cekaman kekeringan peranan FMA terlihat jelas. Perlakuan pemberian FMA dalam kondisi cekaman kekeringan mampu meningkatkan kadar air relatif daun sebesar 23,78% dibandingkan tanpa FMA.

Hasil penelitian Ashri (2006) pada varietas kedelai Tidar menunjukkan nilai kadar air relatif tertinggi setelah perlakuan cekaman kekeringan selama 14 hari yaitu 42,86% atau terjadi penurunan nilai KAR sebesar 39,4%. Cekaman kekeringan pada hari ke 14 perlakuan menunjukan nilai KAR 43-30% merupakan titik kritis bagi tanaman mulai mengalamai layu berat. Hal yang serupa pada penelitian Bosch dan Penuelas (2004), penurunan nilai KAR sampai dengan 50% menunjukkan tanaman telah mengalami cekaman berat sehingga mengakibatnkan terjadinya kerusakan pigmen fotosintesis dan terjadi peningkatan radikal bebas.

(49)

4.2.1.4 Produksi Bobot Kering Tajuk (BKT) Tanaman Rumput

Secara umum perlakuan cekaman kekeringan akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Hambatan pertumbuhan disebabkan oleh berkurangnya tekanan turgor sel akibat menurunnya potensial air sehingga proses pembesaran dan pamanjangan sel akan terhambat (Levitt 1980). Hasil pengamatan terhadap bobot kering tajuk rumput ditampilkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Produksi Bobot Kering Tajuk (BKT) Rumput (g/tajuk dalam pot)

Jenis Perlakuan Rataan Total

W0M0 W1M0 W0M1 W1M1

AG 87,40±20,42EFGH 43,45±6,31JKL 103,10± 15,29DEF 51,55± 9,91IJKL 71,38± 12,98S

CC 72,25±3,43IJK 49,10±14,79IJKL 96,65± 10,22EFG 58,95± 8,79GHI 69,24± 14,32

CG

S

111,15±28,22DE 75,15±13,91FGHI 169,75 ±32,75A 90,95± 20,27EFG 111,75± 23,79

IT

Q

38,87±9,21JKL 29,10±12,35L 41,70± 18,36JKL 30,70± 5,88 KL 35,09± 13,96

PD

T

148,55±5,78AB 97,95±9,73DEFG 157,35± 12,63AB 99,40± 15,60DEFG 125,81± 10,94

PN

P

121,85±20,32BC 49,60±14,79HIJ 141,00±18,42CD 63,45± 3,99IJKL 93,98± 16,89

Rataan

R

99,12±19,69L 56,70±10,19M 113,60± 18,79K 65,74±13,31M

Keterangan :

AG=Andropogon gayanus, CC=Cenchrus ciliaris, CG=Chloris gayana, IT=Ischaemum timuriensis, PD=Paspalum dilatatum, PN=Paspalum notatum. W0M0=disiram tanpa FMA, W1M0=dikeringkan tanpa FMA, W0M1=disiram diberi FMA, W1M1=dikeringkan diberi FMA

A,B,C,,L

pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,0001)

P,Q,R,S,T

pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,0001)

K,L,M

pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,0001)

Analisa sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan signifikan sangat nyata (P<0,0001) untuk interaksi perlakuan kekeringan dan aplikasi mikoriza dengan jenis rumput, begitu pula perbandingan antar jenis rumput dan keempat perlakuan. Tabel 7 menunjukkan bahwa rataan bobot kering tajuk (BKT) tertinggi pada perlakuan W0M1 tanaman Chloris gayana (169,75 g), sedangkan rataan terendah adalah perlakuan W1M0 pada tanaman Ischaemum timuriensis (29,10 g). Tanaman dengan rataan total BKT tertinggi adalah Paspalum dilatatum diikuti tanaman hloris gayana setelahnya, sedangkan rataan total BKT terendah adalah tanaman Ischaemum timuriensis. Pemberian FMA dalam kondisi disiram terlihat sangat siginifikan nyata (P<0,0001) namun dalam kondisi cekaman kekeringan tidak ada perbedaan.

Gambar

Gambar 3 Diagram Alur Penelitian
Gambar 4  Respon cekaman kekeringan tanaman legum Clitoria ternatea sesaat
Tabel 5  Potensial Air Daun Tanaman Rumput Pengamatan Hari ke-32 (MPa)
Tabel 6  Kadar Air Relatif Daun Rumput pada Pengamatan Hari ke-32 (%)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perlakuan cekaman kekeringan yang di- berikan menyebabkan penunman bobot kering tajuk dan bobd kering total tanaman yang cukup besar baik pada galur toleran

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa pada legum Desmodium sp peubah kadar air tanah, berat kering daun dan infeksi akar toleran terhadap cekaman kekeringan, sedangkan

Hal ini menunjukan bahwa perlakuan penyiraman (W1) memberikan respon terbaik pada rumput Setaria splendida terhadap nilai kadar air relatif daun, sebaliknya perlakuan tanpa

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa pada legum Desmodium sp peubah kadar air tanah, berat kering daun dan infeksi akar toleran terhadap cekaman kekeringan, sedangkan

Lamanya cekaman air menurunkan pertumbuhan bibit kelapa sawit melalui penurunan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah akar primer, bobot basah tajuk, bobot basah

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa pada legum Desmodium sp peubah kadar air tanah, berat kering daun dan infeksi akar toleran terhadap cekaman kekeringan, sedangkan

Kemampuan tersebut tidak dimiliki genotipe peka yang mengalami persentase penurunan pertumbuhan tajuk (tinggi tanaman dan bobot kering tajuk), intensitas kerusakan daun

Interaksi antara cekaman kekeringan dan aplikasi FMA dengan jenis rumput menunjukan bahwa perlakuan dengan penyiraman (W0) pada rumput Brachiaria decumben menghasilkan produksi