! "
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pengaruh Cekaman
Kekeringan dan Umur Panen terhadap Pertumbuhan dan Kandungan
Xanthorrhizol Tanaman Temulawak ( Roxb.) adalah karya
saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2007
Khaerana
KHAERANA. Pengaruh Cekaman Kekeringan dan Umur Panen yang Berbeda terhadap Kandungan Xanthorrhizol Tanaman Temulawak (
Roxb.). Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI dan EDY DJAUHARI
PURWAKUSUMAH.
Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan umur panen dan cekaman kekeringan yang terbaik untuk produksi kandungan xanthorrhizol temulawak melalui pengamatan terhadap karakter agronomi, karakter fisiologi, dan kandungan xanthorrhizol. Percobaan dilaksanakan pada bulan Nopember 2005 sampai dengan Mei 2006 di Rumah Kaca Departemen Biokimia Institut Pertanian
Bogor. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan percobaan faktorial 2
faktor yang disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor pertama adalah cekaman kekeringan 50% Kapasitas Lapang (KL) diberikan pada 6 Minggu Sebelum Panen (MSP), 4 MSP, 2 MSP dan kontrol (100% KL). Faktor kedua adalah umur panen, tanaman dipanen pada umur 5 dan 7 bulan. Cekaman kekeringan pada umumnya tidak berpengaruh terhadap karakter agronomis (kecuali tinggi tanaman 7=4 MSP, luas daun, bobot basah dan bobot kering tajuk) dan fisiologi (kecuali kandungan prolin). Cekaman kekeringan menurunkan kandungan xanthorrhizol tanaman temulawak. Umur panen berpengaruh nyata terhadap karakter agronomi (tinggi tanaman, jumlah anakan, luas daun, bobot basah dan bobot kering rimpang), namun tidak berpengaruh nyata terhadap
karakter fisiologi tanaman temulawak. Umur panen 7 bulan meningkatkan
# $% &'()$ *'+'% ,-)').) /0)$,'$, 1 02 )$3., $% &'()$ 4'+',4.,1'
3$/0$,$
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Judul Penelitian : Pengaruh Cekaman Kekeringan dan Umur Panen terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Xanthorrhizol Tanaman
Temulawak ( Roxb.)
Nama Mahasiswa : Khaerana
NRP : A351034011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Munif Ghulamahdi, MS Drs.Edy Djauhari Purwakusumah,MSi
Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr.Ir.Satriyas Ilyas,MS Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,MSc
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi, karena hanya dengan rahmat
dan karuniah=Nyalah sehingga penulis berhasil merampungkan penelitian dan
penulisan tesis ini yang berjudul Pengaruh Cekaman Kekeringan dan Umur Panen
terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Xanthorrhizol Tanaman Temulawak
( Roxb.). Tesis ini merupakan salah satu syarat dalam
menyelesaikan studi pada program studi Agronomi, Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih yang
tulus dan penghargaan yang sebesar=besarnya, kepada:
1. Bapak Dr.Ir Munif Ghulamahdi,MS dan Drs Edy Djauhari
Purwakusumah,MSi selaku dosen pembimbing atas waktu, motivasi dan
bimbingannya, serta kepada Dr.Ir.Sandra Aziz,MS untuk saran dan
kesediaannya sebagai dosen penguji luar komisi.
2. Kedua orang tua penulis (Abdul Hafid dan St.Fatimah) atas pengorbanan,
doa, kasih sayang dan ketulusan Ibu, Bapak yang tidak terhingga.
3. Teman=teman angkatan 2003 (Mba Ika, Yu Tri, Pak Nirwan, Khaerul),
angkatan 2004, ibu Ireng, terima kasih atas motivasi, persahabatan yang
indah dan diskusi=diskusi yang menyenangkan selama ini.
4. Mas Joko di Lab.Ekofis, Mas Bambang di Lab RGCI, Pak Nana di
Departemen Biokim, terima kasih atas bantuannya.
5. Kakak=kakak penulis K’Ratih, K’Rudi dan K’Undding, terima kasih untuk
doa, motivasi dan kasih sayangnya selama ini.
6. Penghuni I=3 (K’erni, Cece, Emi, Desi, Yuyun, K’nila, K’evi), Elis,
Endang, terima kasih telah menjadi teman serumah, sahabat, saudara dan
pengkritik paling tajam buat penulis.
Akhir kata, semoga tesis ini memberi arti dan manfaat bagi
perkembangantanaman obat di Indonesia. Amin
Bogor, Januari 2007
!
Penulis dilahirkan di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, pada tanggal 8
April 1979 sebagai anak keempat dari empat bersaudara anak dari pasangan
Ayahanda Abdul Hafid dan Ibunda Sitti Fatimah.
Pendidikan dasar sampai menengah atas diselesaikan di Kabupaten Barru.
Tahun 2002 penulis memperoleh gelar sarjana dari Program Studi Agronomi
Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas
Hasanuddin.
Februari 2003 (masuk pada semester genap), penulis melanjutkan
pendidikan strata dua dan terdaftar sebagai mahasiswi Pascasarjana Institut
"
Peranan air bagi tanaman... 6
Xanthorrhizol ... 8
... 11
Tempat dan Waktu ... 11
Bahan dan Alat... 11
Metode Penelitian... 11
Pelaksanaan... 12
... 17
Keadaan Umum Penelitian ... 17
Hasil... 22
Bobot Basah dan Bobot Kering Tajuk... 27
Bobot Basah Rimpang ... 29
Bobot Kering Rimpang ... 30
Persentase Rimpang... 31
Materi Kering ………... 32
Respon Fisiologi Tanaman Temulawak ... 32
Klorofil 32 Prolin... 33
Respon Kandungan Bioaktif Tanaman Temulawak... 34
Komposisi Minyak atsiri… ………. 34
Produktifitas Tanaman ... 36
... 50
Kesimpulan ... 50
Saran ... 50
" ... 51
Nomor Teks Halaman
1. Rekapitulasi sidik ragam komponen pertumbuhan dan komponen hasil tanaman temulawak ... 21 2. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap tinggi tanaman
temulawak ... 22
3. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap jumlah daun
(helai) tanaman temulawak ... 24
4. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap diameter
Batang (cm) tanaman temulawak... 25 5. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap luas daun
tanaman temulawak ... 26
6. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap jumlah anakan
tanaman temulawak ... 27 7. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap bobot basah dan
bobot kering tajuk tanaman temulawak... 28 8. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap bobot basah
rimpang, rimpang induk, rimpang anak, dan rimpang cucu tanaman
temulawak ... 29 9. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap bobot kering
rimpang, rimpang induk, rimpang anak, dan rimpang cucu
tanaman temulawak ... 30 10. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap persentase
rimpang induk, rimpang anak, dan rimpang cucu tanaman temulawak ... 31 11. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap kandungan
klorofil tanaman temulawak ... 32 12. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap kandungan
prolin tanaman temulawak... 32 13. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap kadar
air dan kadar minyak atsiri rimpang tanaman temulawak ... 34 14. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap persentase
komposisi minyak atsiri dari rimpang temulawak berdasarkan
tingkat kemiripannya ... 35 15. Matrik korelasi antara karakter agronomi dan fisiologi dengan
perlakuan umur panen dan cekaman kekeringan pada tanaman
"
Nomor Teks Halaman
1. Denah Percobaan di Lapangan...55 2. Analisis kimia tanah yang digunakan dalam penelitian ...56 3. Hasil analisis contoh air yang digunakan untuk pengairan pada
penelitian...56
4. Analisis kimia pupuk kandang kambing yang digunakan pada
penelitian...56 5. Rata=rata suhu dan kelembaban di dalam dan di luar rumah kaca selama
Penelitian ...57 6. Sidik ragam Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap
tinggi tanaman temulawak pada 1,2,3,4,5,6,7 MSP ...57 7. Sidik ragam Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap
diameter batang (cm) tanaman temulawak pada 1,2,3,4,5,6,7 MSP ...57 8. Sidik ragam Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap
jumlah anakan tanaman temulawak pada 1,2,3,4,5,6,7 MSP ...58 9. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap bobot
basah rimpang, rimpang induk, rimpang anak, dan rimpang cucu
tanaman temulawak ...58 10. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap bobot kering
rimpang, rimpang induk, rimpang anak, dan rimpang cucu tanaman
temulawak ...58 11. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap persentase
rimpang induk, persentase rimpang anak, persentase rimpang cucu,
kandungan klorofil dan prolin tanaman temulawak ...58 12. Rimpang tanaman temulawak yang dipanen pada umur 7 Bulan ...59
13. Kromatogram GC=MS minyak atsiri rimpang temulawak pada
tanaman yang dipanen umur 5 bulan dengan cekaman air 50%
Kapasitas Lapang selama 2 Minggu Sebelum Panen ...59 14. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringna terhadap waktu retensi
senyawa komponen minyak atsiri rimpang temulawak berdasarkan
"
Nomor Teks Halaman
1. Pertanaman temulawak pada umur 3 bulan, tanaman menunjukkan
pertumbuhan yang sehat dan bebas penyakit ...17 2. Kondisi tanaman yang terserang hama aphid. Tanaman tumbuh kerdil,
batang membusuk dan daun mengalami klorosis...18 3. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap tinggi
tanaman temulawak ...22
4. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap jumlah daun
Temulawak...23 5. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap luas daun
tanaman temulawak ...25
6. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap jumlah anakan
tanaman temulawak ...26
7. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap bobot basah
dan bobot kering tajuk tanaman temulawak ...28
8. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap bobot basah
rimpang tanaman temulawak ...30 9. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap bobot kering
rimpang tanaman temulawak ...31 10. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap materi kering
wilayahnya. Keanekaragaman hayati tersebut menjadi sumberdaya yang layak
untuk dikembangkan sebagai komoditi yang bernilai ekonomis. Menurut
Pramono (2006) industri obat=obatan yang berbasis alam di Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sebagai
contoh pasar obat herbal di Indonesia pada tahun 2000 baru mencapai nilai kurang
lebih 1 triliun rupiah, pada tahun 2003 telah mencapai 2 triliun rupiah dan tahun
2005 telah mengalami peningkatan sebesar 2,9 triliun rupiah. Nilai pasar obat
modern pada tahun 2005 sebesar 21,3 triliun rupiah, ini berarti bahwa pasar obat
herba memberikan kontribusi sebesar 12% terhadap pasar farmasi. Diperkirakan
pasar obat modern pada tahun 2010 mencapai 37,5 triliun rupiah dan obat herbal
akan mencapai 7,2 triliun rupiah, dan berdasarkan asumsi tersebut maka
pertumbuhan pasar obat herbal akan lebih pesat daripada obat modern. Meskipun
pasar obat herba Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, namun
volumenya masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan negara=negara maju
dalam pengembangan obat=obat yang berbasis alam baik berupa
maupun berupa , seperti Cina, Jerman dan Amerika.
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk meningkatkan nilai
pasar obat herbal dengan kekayaan plasma nutfah tumbuhan negara kita. Menurut
Heyne (1987), di Indonesia terdapat lebih dari 1.000 spesies tumbuhan obat,
selain dari 37 spesies tumbuhan racun ikan, 17 jenis bahan aromatik, 32 jenis
penghasil tembakau dan 14 jenis penghasil biji=bijian dan buah. Departemen
Kesehatan RI pada tahun 2004 telah menetapkan 13 tanaman obat unggulan, yang
terdiri dari sambiloto, pegagan, jati belanda, tempuyung, temulawak, daun ungu,
cabe jawa, sanrego, pasak bumi, kencur, pace, daun jinten dan pala (Aziz 2006).
Temulawak ( Roxb.) merupakan salah satu jenis
tumbuhan dari keluarga Zingiberaceae yang secara empirik banyak digunakan
sebagai obat dalam bentuk tunggal maupun campuran untuk mengatasi gangguan
mencret, kurang nafsu makan, kelebihan berat badan, radang lambung, cacar air,
eksema, jerawat, dan sebagainya (Prana & Satrapradja 1980).
Berdasarkan beberapa penelitian didapatkan bahwa kandungan kimia
rimpang temulawak terdiri atas kurkuminoid, minyak atsiri, resin, lipida, amilum,
amilase, fenolase dan mineral. Dalam minyak atsiri terdapat 31 komponen, dan
beberapa diantaranya merupakan komponen khas minyak atsiri, salah satunya
adalah xanthorrhizol (Oei 1988). Selanjutnya dinyatakan bahwa
xanthorrhizol mempunyai kemampuan menghambat pembentukan enzim
siklooksidase yang berperan dalam perubahan asam arakhidonat menjadi
prostaglandin aktif. Hal ini menunjukkan bahwa xanthorrhizol mempunyai
aktifitas menekan atau mengurangi peradangan (antiinflamasi). Penelitian yang
dilakukan oleh Itokawa (1985) menunjukkan bahwa xanthorrhizol
mempunyai aktifitas antitumor, walaupun aktivitasnya lebih rendah dari ar=
kurkumen. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Yamazaki (1987,
1988) menunjukkan bahwa xanthorrhizol juga dapat menekan syaraf pusat atau
sebagai depresan yang bisa memperpanjang masa tidur.
Penelitian mengenai manfaat xanthorrhizol dalam bidang farmakologik
sudah cukup banyak, namun penelitian ke arah pengembangan temulawak untuk
memproduksi kandungan xanthorrhizol yang tinggi masih sangat terbatas. Untuk
itulah dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai aspek budidayanya.
Produktivitas dan mutu obat rimpang tanaman temulawak sangat
dipengaruhi banyak faktor, antara lain tingkat kesuburan tanah, teknik bercocok
tanam, kondisi iklim dan status air tanah. Pertanian di daerah tropis hampir
seluruh persediaan air berasal dari air hujan, oleh karena itu hujan merupakan
faktor yang menentukan di dalam suatu proses produksi tanaman. Apabila hujan
yang jatuh di suatu tempat berkurang atau sedikit, maka persediaan air yang akan
dimanfaatkan tanaman akan berkurang. Disamping itu, penyebab utama fluktuasi
hasil tanaman dari tahun ke tahun atau dari musim ke musim, terutama di daerah
tropis adalah karena ketersediaan air yang sangat ditentukan oleh keadaan hujan.
Pengaruh ketersediaan air terhadap pertumbuhan tanaman sangat besar.
Kekurangan air pada tanaman yang diikuti berkurangnya air pada daerah
pada tanaman yang mengalami stres air adalah mempertinggi ketahanan terhadap
kekeringan. Pengaruh yang paling nyata adalah mengecilnya ukuran daun untuk
meminimumkan kehilangan air. Mekanisme ini di satu pihak mempertahankan
kelangsungan hidup tanaman tetapi di lain pihak mengurangi bobot kering
tanaman, namun dapat meningkatkan kandungan metabolit pada tanaman tersebut
(Garnerd . 1991). Penelitian yang dilakukan oleh Ram dan Singh (1994)
menunjukkan bahwa terjadi penurunan berat basah pada tanaman
setelah diberi perlakuan stres kelembaban (air), namun kandungan minyak
atsirinya justru meningkat. Hal yang sama juga ditunjukkan dari hasil penelitian
yang dilakukan oleh Rahardjo dan Darwati (2000), dimana cekaman air pada 60%
kapasitas lapang yang diaplikasikan 30 HST (Hari Setelah Tanam) pada tanaman
tempuyung ( L.) menunjukkan pengaruh nyata menurunkan
produksi bobot kering daun (simplisia) tanaman, semakin besar cekaman air
semakin rendah produksi simplisia tanaman, tetapi mampu meningkatkan kadar K
dan Na sehingga mutu daun sebagai diuretika dapat meningkat.
Air sangatlah penting bagi tanaman. Kandungan air pada tanaman
bervariasi antara 70 sampai 90%, tergantung pada umur, spesies, jaringan tertentu
dan lingkungan (Garner . 1991). Sampai saat ini belum ada penelitian yang
mengkaji keterkaitan antara daya adaptasi tanaman temulawak terhadap
kandungan air tanah dan pengaruhnya terhadap produktivitas dan mutu simplisia.
Selain status air tanah, perbedaan umur panen tanaman temulawak juga
dapat mempengaruhi produktivitas dan mutu rimpang temulawak. Umur panen
temulawak umumnya 9 bulan, bahkan petani biasanya memanen pada umur 9
sampai 24 bulan. Namun sebuah penelitian yang pernah dilakukan diperoleh hasil
yang bertentangan dengan pendapat yang diyakini secara umum. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa umur panen tujuh bulan diperoleh hasil rimpang
tertinggi (Balai Penelitian Tanaman Industri 1982).
m
.5.$,
Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan cekaman kekeringan dan umur
panen yang terbaik untuk pertumbuhan dan produksi kandungan xanthorrhizol
temulawak melalui pengamatan terhadap karakter agronomi, fisiologi, dan
kandungan bioaktif.
'(
)/-'-Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Cekaman kekeringan tertentu akan meningkatkan pertumbuhan dan
kandungan xanthorrhizol tanaman temulawak.
2. Umur panen tertentu akan meningkatkan pertumbuhan dan kandungan
xanthorrhizol tanaman temulawak.
3. Interaksi antara cekaman kekeringan dengan umur panen tertentu akan
meningkatkan pertumbuhan dan kandungan xanthorrhizol tanaman
/*.+$6$%
Tanaman temulawak ( Roxb.), termasuk golongan
suku temu=temuan ( ) dari marga Curcuma. Temulawak atau
koneng gede (sunda), temo labak (Madura), temulawas (Malaysia) merupakan
tanaman asli Indonesia yang penyebarannya banyak terdapat di Ambon, Bali dan
Jawa (Sutarno dan Atmawidjojo 2001). Temulawak di tanah asalnya dahulu
banyak tumbuh liar di hutan=hutan terutama hutan jati bersama dengan temu=
temuan lain.
Temulawak termasuk terna berbatang semu dan basah. Tinggi tanaman
dapat mencapai 1,7 m, bahkan ada yang menyebutkan sampai ketinggian 2,5 m,
berwarna hijau atau coklat gelap dengan ukuran panjang 31=84 cm dan lebar
antara 10=18 cm. Tiap tanaman berdaun 2=9 helai, berbentuk bundar memanjang
sampai lanset. Sebagai tanaman monokotil, temulawak tidak memiliki akar
tunggang. Akar yang dipunyainya adalah berupa rimpang, yang dibedakan atas
rimpang utama (induk) dan rimpang cabang. Rimpang induk berbentuk bulat
panjang dengan anak rimpang 3=7 buah. Permukaan luar rimpang ini berkerut dan
berwarna coklat kuning buram, melengkung tidak beraturan (tidak merata).
Rimpang induk tumbuh dan terbentuk dekat permukaan tanah pada kedalaman
sekitar 35 cm. Bunga berbentuk bulir bulat memanjang dengan panjang antara 9=
23 cm dan lebar 4=6 cm, berwarna merah, ungu dan putih dengan sebagian dari
ujungnya berwarna ungu (Suwarsono 1978).
Temulawak memerlukan tempat terlindung, dapat tumbuh baik pada dataran
rendah dan dataran tinggi sampai ketinggian 750 m, bahkan ada yang menyatakan
sampai ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut dengan curah hujan 1.500 –
4.000 mm/tahun. Temulawak dapat tumbuh di tanah=tanah berkapur, tanah ringan
berpasir atau tanah liat yang keras. Selang toleransi suhu untuk pertumbuhan
temulawak cukup lebar, berkisar 19=35oC. Tanaman ini sering dijumpai tumbuh
dibawah naungan pohon jati, menyukai lingkungan gelap dan lembab, tetapi tidak
Menurut Sidik (1990), rimpang temulawak mempunyai berbagai
macam kegunaan yang populer, misalnya untuk pewarna, bahan minuman dan
makanan, indikator kendali mutu susu perah, dan komponen pada berbagai jamu.
Menurut Supriadi. (2001), komposisi rimpang temulawak adalah pati (29=30%),
kurkuminoid (1=2%) dan minyak atsiri (6=10%). Fraksi kurkuminoid pada
temulawak dapat digunakan sebagai pewarna makanan, minuman, atau kosmetika.
Hal ini disebabkan karena warnannya yang kuning. Selanjutnya dalam bidang
makanan, kandungan pati pada rimpangnya dapat digunakan sebagai bahan
makanan berupa bubur. Selain itu pati temulawak juga mempunyai harapan untuk
dikembangkan dalam bidang farmasi dam teknologi dalam kaitannya dengan
bahan pembantu dalam industri tablet. Minyak atsiri rimpang temulawak
digunakan dalam bidang medis sebagai aromaterapi, yaitu fitoterapi yang
menggunakan minyak atsiri sebagai komponen aktifnya. Dewasa ini juga telah
banyak diproduksi minuman segar dalam bentuk limun temulawak.
/0$,$, '0 $1' $,$*$,
Air merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Air
dibutuhkan untuk bermacam=macam fungsi tanaman, yaitu: (1) Pelarut dan
medium untuk reaksi kimia, (2) medium untuk transpor zat terlarut organik dan
anorganik, (3) Medium yang memberikan turgor pada sel tanaman. Turgor
menggalakkan pembesaran sel dan struktur tanaman. (4) hidrasi dan netralisasi
muatan pada molekul=molekul koloid. (5) Bahan baku untuk fotosintesis, proses
hidrolisis dan reaksi=reaksi kimia lainnya dalam tumbuhan. (6) transpirasi untuk
mendinginkan tanaman (Garnerd . 1991).
Menurut Krammer (1980), tanaman dapat menyerap air dari tanah bila
retensi oleh partikel=partikel tanah lebih kecil daripada daya serap tanaman. Hal
ini berarti bila kandungan air rendah, tanaman tidak dapat menyerap air dan
kemudian layu. Kurangnya kandungan air dalam tanah dapat menyebabkan
kekeringan, dalam kondisi tersebut tanaman mengalami stres air (dalam arti
terjadi defisit air). Sebagai respon terhadap kekeringan, tanaman dapat
mengembangkan beberapa mekanisme, baik penghindaran maupun toleransi.
Menurut Islami dan Utomo (1995), tanaman melakukan mekanisme penghindaran
siklus hidupnya sebelum mengalami defisit air yang serius. Bentuk toleransi
tanaman terhadap kekeringan melalui dua mekanisme, yaitu dengan memelihara
tingginya potensial air jaringan dan bertahan dengan potensial air jaringan yang
rendah dengan penyesuaian osmotik.
Menurut Harjadi dan Yahya (1988), stres kekeringan pada tanaman dapat
disebabkan oleh dua hal : (1) kekurangan suplai air di daerah perakaran, dan (2)
permintaan air yang berlebihan oleh daun, dimana laju evapotranspirasi melebihi
laju absorpsi air oleh akar tanaman, walaupun keadaan air tanah cukup.
Kekeringan akan mengurangi ketersediaan hara bagi tanaman. Hal ini
ditunjukkan dengan menurunnya total serapan hara dan juga konsentrasi hara
tanaman. Total serapan hara berkurang apabila konsentrasi hara pada tanaman
yang sedang tumbuh adalah konstan, jika konsentrasi hara menurun, maka
ketersediaan hara tanah lebih dihambat daripada pertumbuhan. Hal ini dapat
terjadi apabila sebagian besar hara berada pada lapisan atas permukaan tanah yang
menjadi kering, sehingga akar tanaman memperoleh air dari lapisan yang lebih
dalam.
Levit (1980), menyatakan bahwa cekaman kekeringan juga akan
menyebabkan terjadinya penurunan laju fotosintesis, hal ini merupakan kombinasi
dari beberapa proses, yaitu : (1) penutupan stomata secara hidroaktif mengurangi
suplai CO2kedalam daun, (2) dehidrasi kutikula, dinding epidermis, dan membran
sel mengurangi permeabilitas terhadap CO2, (3) bertambahnya tahanan sel mesofil
terhadap pertukaran gas, dan (4) menurunnya efisiensi sistem fotosintesis
berkaitan dengan proses biokimia dan aktifitas enzim dalam sitoplasma. Dimana
dalam proses fotosintesis terdapat proses hidrolisis yang memerlukan air.
Kekurangan air akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman karena
terjadinya perubahan pada anatomi, morfologi, fisiologi, biokimia dan pada
akhirnya menurunkan produktivitas tanaman. Menurut Sheriff dan Muchow
(1992), indeks luas daun yang merupakan ukuran perkembangan tajuk yang paling
umum, sangat peka terhadap kekurangan air, yang mengakibatkan penurunan
dalam pembentukan dan perluasan daun dan penuaan serta perontokan daun.
Perluasan daun lebih peka terhadap kekurangan air daripada penutupan stomata
ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Colom dan Vazzana (2000)
bahwa efek dari stres air (kekeringan) terhadap tiga kultivar
menunjukkan terjadinya penurunan berat kering tanaman sebanyak kurang lebih
40=50% setelah diberi stres air dengan interval penyiraman 6 hari, jika
dibandingkan dengan kontrol. Penyiraman 9 hari sekali menunjukkan terjadinya
penurunan kandungan klorofil yang signifikan. Kedua kondisi stres air tersebut,
akan menurunkan berat kering daun (7=11% dari total bahan kering tanaman).
Penelitian yang dilakukan Baiyeri (1996) dengan melihat efek dari stres air
terhadap tanaman pada konsentrasi nitrogen dan rezim air yang berbeda.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kandungan nitrogen dan berat kering
daun tertinggi diperoleh pada perlakuan interval penyiraman 12 hari, dibanding
dengan interval penyiraman enam dan sembilan hari.
Saat terjadi cekaman kekeringan dimana potensial air sedikit lebih negatif,
pembentukan klorofil dihambat. Tingkat cekaman yang memberikan efek
terhadap enzim, menyebabkan asam absisat (ABA) mulai meningkat dengan
tajam dalam jaringan daun, hal ini mengakibatkan stomata mulai menutup, yang
menyebabkan penurunan transpirasi, penyusutan luas daun dan terhambatnya
aktifitas fotosintesis sehingga akumulasi biomassa semakin rendah (Salisbury &
Ross 1995). Menurut Taiz dan Zeiger (1991), Proses penutupan stomata pada
tanaman yang mengalami stres kekeringan perlu dilakukan sebagai tanggapan
tanaman melawan kerusakan yang lebih awal. Penutupan stomata menurunkan
evaporasi dari luasan daun yang ada.
$,)3 003'7 +
Pemanfaatan ekstrak tanaman untuk mengobati maupun membunuh telah
dilakukan sejak jaman prasejarah. Senyawa=senyawa organik yang berasal dari
sumber=sumber alami menyusun suatu kelompok besar yang disebut produk=
produk alami ( ), atau yang lebih dikenal sebagai metabolit
sekunder.
Menurut Herbert (1995), metabolit sekunder dapat dibedakan secara akurat
dari metabolit primer berdasarkan kriteria berikut: penyebarannya lebih terbatas,
karakteristik untuk spesies tertentu. Metabolisme ini memiliki alur yang khusus
dari metabolisme primer. Metabolit sekunder tidaklah bersifat esensial untuk
kehidupan, meski penting bagi organisme yang menghasilkannya. Sebagian besar
peranannya masih belum diketahui dengan jelas. Menurut Goodwin dan Merger
(1990), metabolisme sekunder reaksinya sering tidak berkaitan dengan
kepentingan tumbuhan, oleh karena itu disebut metabolisme sekunder.
Keberadaan metabolit sekunder sering dikaitkan peranannya sebagai kunci utama
dari spesies untuk bertahan hidup atau lebih tahan dari spesies lain.
Xanthorrhizol mempunyai rumus molekul C15H22O dengan bobot molekul
218. Analisis dengan spektroskopi ultraviolet memberikan puncak serapan
maksimum pada panjang gelombang 276 nm, yang merupakan serapan tipikal dari
gugus fenol (Sidik . 1995). Xanthorrhizol merupakan salah produk dari
metabolisme sekunder, dimana termasuk senyawa yang hanya terdapat pada
minyak atsiri tanaman temulawak dan tidak ditemukan dalam jenis curcuma yang
lain. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sirait pada tahun 1971 telah
melakukan skrining kandungan xanthorrhizol pada jenis=jenis curcuma yang lain,
yaitu serta
. Hasilnya membuktikan bahwa hanya
yang mengandung xanthorrhizol (Sirait . 1985). Xanthorrhizol memiliki
struktur seperti terlihat berikut ini (Hwang 2005):
Gambar 1. Struktur Kimia Senyawa Xanthorrhizol
Sumber : Hwang JK (2005).
Menurut Oei (1988) xanthorrhizol memiliki aktifitas menekan atau
mengurangi peradangan (antiinflamasi). Penelitian yang dilakukan oleh Itokawa
(1985) menunjukkan bahwa α=kurkumen, ar=turmeron, dan xanthorrhizol
adalah: (+++) untuk α=kurkumen, (++) untuk ar=turmeron, dan (++) untuk
xanthorrhizol.
Penelitian Yamazaki . (1987, 1988a) menyatakan bahwa ekstrak
rimpang temulawak ternyata mempunyai efek memperpanjang masa tidur yang
diakibatkan oleh pentobarbital. Selanjutnya dibuktikan bahwa xanthorrhizol
adalah zat yang menyebabkan efek tersebut dengan cara menghambat aktifitas
sitokrom P 450. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Lim (2005), dimana dinyatakan bahwa xanthorrhizol dapat menjadi salah
satu kandidat sebagai obat untuk penyakit alzheimer dan penyakit lainnya yang
berhubungan dengan syaraf. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Yamazaki
(1987, 1988) menunjukkan bahwa xanthorrhizol juga dapat menekan syaraf
pusat atau sebagai depresan yang bisa memperpanjang masa tidur.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Chilwan . (1993) yang meneliti
efek insektisida empat jenis rimpang dari spesies Zingiberaceae yaitu:
dan . Tujuh belas
komponen terbesar termasuk flavonoid, sesquiterpenoid, dan derivat asam sinamat
berhasil diisolasi dan diidentifikasi menggunakan NMR dan .
Semua komponen diuji toksisitasnya terhadap larva . Secara
kontak residue bioassay nampak bahwa xanthorrhizol dan furanodienon
merupakan senyawa yang paling aktif menunjukkan toksisitas melawan larva
yang baru lahir. Menurut Hwang (2002), xanthorrhizol mempunyai daya
antibakteri yang baik terhadap yang menyebabkan caries
/*($) 4$, $%).
Percobaan dilaksanakan di Rumah Kaca Departemen Biokimia Institut
Pertanian Bogor. Waktu pelaksanaan percobaan dimulai pada bulan Nopember
2005 sampai dengan Juli 2006. Analisis kandungan bioaktif dilaksanakan di
Laboratorium Kesehatan DKI, analisis kadar klorofil dan prolin dilaksanakan di
Laboratorium RGCI (! " # ) IPB.
$3$, 4$, +$)
Bahan=bahan yang digunakan antara lain bahan tanam yang berupa bibit
temulawak aksesi Jonggol, tanah, pupuk kandang sapi, polybag ukuran
(60x60)cm, aquades, asam sulfosalisilat, ninhidrin, asam asetat glacial, toluene,
dan aseton. Alat=alat yang digunakan antara lain satu set alat kromatografi gas,
satu set alat penyulingan minyak atsiri, satu set alat penentuan kadar air rimpang,
timbangan analitik, automatik light area meter, termohigrometer, alat ukur, alat
tulis, sentrifuge, gelas ukur, jangka sorong, dan oven.
/) 4 + 1' /,/+')'$,
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan percobaan faktorial yang
disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL), yang terdiri atas dua faktor,
yaitu:
1. Penyiraman:
a. A1 = 100% Kapasitas Lapang (KL)
b. A2 = Cekaman kekeringan (50% KL) selama 2 minggu sebelum panen.
c. A3 = Cekaman kekeringan (50% KL) selama 4 minggu sebelum panen.
d. A4 = Cekaman kekeringan (50% KL) selama 6 minggu sebelum panen.
2. Perlakuan umur panen
a. U1 = panen umur 5 bulan b. U2 = panen umur 7 bulan
Dengan demikian seluruhnya terdapat 8 kombinasi perlakuan dengan tiga
kali ulangan sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Model rancangan penelitian
Yijk= +αi+βj+ (αβ)ij+∈ijk
Keterangan :
Yijk = nilai pengamatan pada satuan percobaan cekaman kekeringan taraf ke=i
(i=1, 2, 3, 4) pada umur panen taraf ke=j (j=1, 2) dan ulangan ke=k (k=1,
2, 3)
= nilai rataan umum
αi = pengaruh cekaman kekeringan taraf ke=i
βj = pengaruh umur panen ke=j
(αβ)ij= pengaruh interaksi antara cekaman kekeringan taraf ke=i dengan umur
panen taraf ke=j
∈ijk = pengaruh acak pada pot yang memperoleh kadar air tanah taraf ke=i, umur
panen taraf ke=j, dan ulangan ke=k.
/+$%-$,$$,
Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan pembibitan.
Pembibitan menggunakan rimpang induk dan rimpang anak dari tanaman yang
berumur 9 bulan atau lebih. Rimpang ditunaskan pada tempat yang lembab dan
teduh dan disiram setiap hari selama dua sampai enam minggu. Setelah tunas=
tunas tumbuh, rimpang dipotong=potong. Tiap potong mengandung satu mata
tunas. Tunas tersebut kemudian ditanam di dalam polybag yang berukuran (60 x
60) cm, yang diisi tanah sebanyak 23 kg dan ditambahkan pupuk kandang
sebanyak 2 kg.
Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman yang dilakukan setiap hari,
penyiangan dilakukan bila terdapat gulma, penyulaman dilakukan bila terdapat
bibit yang mati, penyulaman dilakukan paling lambat tiga minggu setelah tanam.
Pengendalian hama penyakit dilakukan jika perlu (jika terdapat serangan yang
mengganggu dan melebihi ambang batas) dengan menggunakan pestisida nabati.
Perlakuan cekaman kekeringan mulai diaplikasikan sejak tanaman berumur
6, 4 dan 2 minggu sebelum panen. Perlakuan 50% kapasitas lapang dengan;
tanaman sampel ditempatkan pada bangku yang memungkinkan dibawahnya
terdapat penadah air yang tidak diserap oleh tanah dan tanaman. Tanaman
disiram dengan volume tertentu yang telah ditetapkan (volume awal), selanjutnya
dengan volume akhir merupakan jumlah air yang diberikan pada tanaman dengan
kapasitas lapang 100%.
50% KL = (Volume awal – Volume akhir)/ 2
Pemanenan dilakukan dengan cara membongkar rimpang dari dalam tanah.
Tanaman dipanen sesuai perlakuan, yaitu pada umur 5 bulan dan 7 bulan.
Selanjutnya rimpang dibersihkan dan dilakukan penanganan pasca panen, sesuai
dengan komponen yang ingin diamati.
Komponen=komponen yang diamati meliputi :
Komponen pertumbuhan tanaman
1. Tinggi tanaman (cm), Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap minggu
dengan cara mengukur dari pangkal sampai daun terpanjang.
2. Jumlah daun per rumpun (helai), yang dihitung adalah semua daun segar yang
telah terbuka sempurna, diamati setiap minggu.
3. Diameter pangkal batang terbesar, diukur dengan menggunakan jangka
sorong.
4. Bobot basah tajuk (g), pengamatan dilakukan dengan menggunakan
timbangan analitik dan dilakukan satu kali pada saat panen.
5. Bobot kering tajuk (g), pengamatan dilakukan satu kali pada saat panen,
dengan cara menimbang berat kering tajuk dengan timbangan analitik, setelah
dioven pada suhu 105oC sampai beratnya konstan.
6. Bobot basah rimpang induk (g), pengamatan dilakukan dengan menggunakan
timbangan analitik dan dilakukan satu kali pada saat panen .
7. Bobot basah rimpang anak (g), pengamatan dilakukan dengan menggunakan
timbangan analitik dan dilakukan satu kali pada saat panen .
8. Bobot basah rimpang cucu (g), pengamatan dilakukan dengan menggunakan
timbangan analitik dan dilakukan satu kali pada saat panen.
9. Bobot kering rimpang induk (g), pengamatan dilakukan satu kali pada saat
panen dengan cara menimbang berat kering tajuk dengan timbangan analitik,
setelah dioven pada suhu 60oC sampai beratnya konstan.
10. Bobot kering rimpang anak (g), pengamatan dilakukan satu kali pada saat
panen dengan cara menimbang berat kering tajuk dengan timbangan analitik,
11. Bobot kering rimpang cucu (g), pengamatan dilakukan satu kali pada saat
panen dengan cara menimbang berat kering tajuk dengan timbangan analitik,
setelah dioven pada suhu 60oC sampai beratnya konstan.
12. Persentase rimpang induk, rimpang anak dan rimpang cucu. Persentase
bagian rimpang berdasarkan bobot kering dari bagian rimpang tersebut.
13. Materi kering pada rimpang temulawak. Perhitungan materi kering
didasarkan pada bobot basah dan berat kering rimpang, serta kadar air pada
rimpang kering temulawak.
Berat Airsimplisia= Kadar AirsimplisiaX Bobot Keringsimplisia
Materi Kering = Bobot keringsimplisia– Berat airsimplisia
Komponen fisiologi tanaman
1. Analisis kadar klorofil a, b dan total klorofil, dengan metode Arnon yang
dilakukan pada akhir pengamatan. Sebanyak 50 mg sampel daun digerus
dalam 2 ml aseton 80%. Kemudian disentrifugasi. Ekstraksi diulang sampai
volume mencapai 10 ml.
Ekstrak dimasukkan dalam kuvet dan diukur absorbannya dengan
spektofotometer pada panjang gelombang 645 nm dan 652 nm. Berdasarkan
hasil absorban tersebut dapat diketahui kandungan klorofil a, klorofil b dan
total klorofil pada sample daun dengan rumusan sebagai berikut :
Klorofil a = (0.0127 x D663 – 0.00269 x D645)fp
Klorofil b = (0.0229 x D645 – 0.00468 X D 663)fp
Klorofil total = (20.2 x D663) + (8.02 x D645) fp
fp = faktor pengencer
= d/e x b/c x 1/a x 1000
dimana:
d = volume ektrak setelah dihancurkan
e = konversi dari liter ke mililiter
b = volume ektrak awal
c = volume ektrak yang diambil dari ektrak awal
a = Bobot sampel
1000 = konversi dari gram ke miligram
3. Analisis prolin, dilakukan menggunakan metode yang dikembangkan oleh
Bates (1973). Sebanyak 0,5 g bahan tanaman berupa daun segar
dihomogenkan dalam 10 ml 3% b/v asam sulfosalisilat yang telah didinginkan
sebelumnya dalam lemari pendingin. Selanjutnya filtrat disentrifuge selama 5
menit. Supernatan disentrifuge kembali hingga warna menjadi bening. Filtrat
ditera hingga 10 ml, dan sebanyak 2 ml dari filtrat yang diperoleh, direaksikan
dengan 2 ml ninhidrin asam (1,2 g ninhidrin dalam 30 ml asam asetat glasial
dan 20 ml 6 M asam fosfat), ninhidrin asam direaksikan 24 jam sebelum
analisis dilakukan. Filtrat kemudian di panaskan pada suhu 100oC selama 1
jam, dan reaksi diakhiri dalam bak berisi air es. Campuran reaksi diekstraksi
dengan 4 ml toluene, diaduk dengan vorteks selama 15=20 detik. Kromofor
yang mengandung toluene dikeluarkan dari fase air, dihangatkan pada suhu
kamar dan absorban diukur pada panjang gelombang 520 nm, toluene
digunakan sebagai blanko. Konsentrasi prolin ditentukan dengan kurva
standar prolin (Sigma). Pengamatan dilakukan pada saat panen.
Komponen Iklim
Suhu udara dan kelembaban udara
Kedua data ini diperoleh dengan menggunakan alat termohygrometer.
Pengukuran dilakukan setiap hari, 3 kali sehari, pada pukul 07.30, 13.00 dan
16.30 WIB.
Komponen Bioaktif Tanaman
Analisis komponen bioaktif dilakukan secara komposit antar kombinasi perlakuan
dan tanpa ulangan.
1. Penentuan Kadar Air
Rimpang temulawak yang telah diiris tipis dengan ketebalan ± 8 mm,
kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu (60=80)oC. Selanjutnya simplisia
dihaluskan dan direndam menggunakan toluene. Rendaman tersebut
dimasukkan ke dalam labu erlemeyer dan dipanaskan dengan suhu 70=80oC
selama 2=3 jam. Selanjutnya akan terbentuk kondensat yang terdiri dari dua
lapisan, yaitu air dan minyak. Jumlah air yang tertampung merupakan kadar
2. Penentuan kadar minyak atsiri pada simplisia temulawak
Kadar minyak atsiri pada simplisia temulawak diketahui dengan cara
penyulingan. Proses penyulingan dilakukan dengan memanaskan bahan baku
dalam air mendidih pada ketel destilasi sehingga membentuk uap, selanjutnya
akan terjadi peristiwa kondensasi dan pendinginan, sehingga akan terbentuk
tetesan kondensat berupa cairan yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan
minyak dan air. Minyak yang terbentuk merupakan minyak atsiri hasil dari
penyulingan temulawak.
3. Penentuan komponen yang terdapat dalam minyak atsiri temulawak
Prinsip kerja GC=MS adalah mengidentifikasi suatu senyawa tanpa
menggunakan senyawa pembanding autentik (standar), cukup dengan spektrum
massa pembanding.
Sebanyak 1 Pl minyak atsiri diambil dan disuntikkan dengan suntikan mikro
melalui septum silikan ke penguap kilat atau ujung kolom, pada saat
penyuntikan, sampel cair segera menguap karena panas dari blok metal
pemanas yang dapat dikontrol suhunya, kemudian komponen yang telah
menjadi gas tersebut didorong oleh aliran gas pengemban ke dalam kolom.
Sampel harus mengalami aliran secara cepat untuk mendapatkan aliran
suntikan, maka suhu pada aliran ini harus melebihi titik didih dari semua
komponen dalam sampel. Hasil yang didapat akan ditunjukkan oleh integrator
komputer yang memberikan data yang diinginkan dalam bentuk cetak.
4. Produktifitas tanaman.
Perhitungan produktifitas tanaman didasarkan pada bobot kering
rimpang dengan kandungan xanthorrhizol rimpang.
Produktifitas = bobot kering rimpang x kandungan xanthorrhizol
$-'+
/$4$$, *.* /,/+')'$,
Keadaan Pertanaman pada umur 0=5 bulan menunjukkan pertumbuhan
yang sehat dan tingkat serangan hama dan penyakit relatif rendah (Gambar 1).
Namun saat tanaman berumur lebih dari 5 bulan, terdapat berbagai serangan
hama yang menyerang tanaman temulawak, yaitu belalang, ulat dan aphids.
Akibat yang ditimbulkan oleh serangan belalang dan ulat daun tidak terlalu
menganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman. belalang menimbulkan
kerusakan dengan meninggalkan bekas gigitan yang berupa lubang=lubang pada
daun. Serangan belalang dapat diminimalisir dengan dengan pengendalian secara
mekanis, serangan ulat dapat diatasi dengan pengendalian secara mekanis dan
pestisida nabati. Pestisida nabati yang digunakan berupa penyemprotan dengan
menggunakan ekstrak bawang putih pada tanaman yang mengalami serangan.
Gambar 1. Pertanaman temulawak pada umur 3 bulan, tanaman menunjukkan
pertumbuhan yang sehat, bebas dari serangan hama dan penyakit.
Serangan hama aphid menimbulkan dampak yang sangat merugikan
pertanaman karena berlangsung dengan sangat cepat. Daun mengalami gejala
plesioneksis, yaitu daun tanaman menjadi menguning (klorosis) dan tembus
cahaya, hal ini diakibatkan oleh hancurnya klorofil pada daun. Gejala selanjutnya
terjadi kelayuan pada tanaman dan batang tanaman menjadi membusuk dan
akhirnya tanaman jadi rebah (Gambar 2). Aphid menjadi salah satu indikator
vektor. Aphid merupakan serangga dari ordo homoptera yang paling banyak dan
paling penting sebagai vektor dalam menularkan sebagian besar virus (sekitar 170
macam virus).
Gambar 2. Kondisi tanaman yang terserang hama aphid. Tanaman tumbuh
kerdil, batang membusuk dan daun mengalami klorosis.
.3. 4$, /+/* $ $,
Suhu dan kelembaban udara didalam dan diluar rumah kaca selama
penelitian dikemukakan pada Tabel Lampiran 4. Suhu udara rataan dalam rumah
kaca lebih tinggi dibanding suhu diluar, sebaliknya kelembaban udara lebih
rendah dibanding keadaan di luar rumah kaca. Suhu dan kelembaban akan
berkaitan dengan besarnya evapotranspirasi dalam rumah kaca. Peningkatan
temperatur akan meningkatkan kapasitas udara untuk menyimpan air, yang berarti
tuntutan atmosfer yang lebih besar. Semakin besar kandungan air di udara, yang
berarti tuntutan atmosfer menurun dengan meningkatnya kelembaban relatif.
Menurut Wahid dan Soediarto (1985), selang toleransi suhu untuk pertumbuhan
temulawak cukup lebar, berkisar 19=35oC.
'8$) '*'$ 4$, "'-'% $,$3 9$,1 '1.,$%$,
Berdasarkan hasil analisis tanah yang dilakukan di laboratorium
Departemen Tanah IPB (Tabel Lampiran 1) tanah yang digunakan dalam
penelitian tergolong “netral”dengan pH H2O sebesar 7,26. Hal ini sesuai dengan
kriteria yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1994)
yang mengkategorikan tanah dengan pH 6,6=7,5 merupakan tanah dengan sifat
Tekstur tanah yang digunakan pada penelitian termasuk dalam kelas
lempung liat karena kandungan liatnya lebih dari 30%. Tekstur tanah berbanding
lurus dengan nilai KTK yang tergolong sedang, demikian pula nilai pH H2O
tanah. Nilai KTK tanah sangat beragam dan tergantung pada sifat dan ciri tanah
itu sendiri. Besar kecilnya kapasitas tukar kation tanah dipengaruhi oleh; reaksi
tanah, tekstur tanah atau jumlah liat tanah, jenis mineral liat, bahan organik, serta
pengapuran dan pemupukan (Islami dan Utomo 1995). Nilai kalium pada tanah
menunjukkan angka yang sangat rendah, keadaan ini disebabkan pH tanah yang
cukup tinggi sehingga K akan terfiksasi.
Penambahan pupuk kandang kambing pada media diharapkan dapat
meningkatkan kandungan unsur hara pada media. Pupuk kandang mengandung N
yang rendah yaitu 1.08 %, dengan demikian pupuk kandang yang digunakan
belum dapat menyumbang banyak N bagi tanaman. Pemberian pupuk kandang
akan meningkatkan suhu tanah, memperbaiki kemantapan agregat dan struktur
tanah, meningkatkan kemampuan tanah menahan air, meningkatkan KTK,
menghasilkan CO2 dan asam organik yang membentuk mineralisasi dan sebagai
sumber energi bagi organisme tanah.
Tanaman temulawak tidak terlalu memilih sifat dan ciri tanah, umumnya
dapat dibudidayakan pada tanah yang ringan agak berpasir sampai tanah berat
bertekstur liat. Tanaman yang ditanam pada lahan yang cukup subur dan
mengandung cukup bahan organik akan menghasilkan produksi rimpang yang
tinggi, hal ini diperlukan karena temulawak memiliki perakaran yang dangkal,
sehingga sangat cepat menguruskan lapisan atas tanah (Wahid dan Soediarto
1985).
'8$) "'-'% 4$, '*'$ '0 0'1$-' 9$,1 '1.,$%$,
Keberhasilan budidaya pertanian sangat dipengaruhi oleh kualitas air yang
digunakan. Kualitas air sama pentingnya dengan kualitas tanah. Pemberian air
irigasi dengan kualitas yang bagus dapat memperbaiki kualitas tanah.
Berdasarkan hasil analisa contoh air pada Balai Penelitian Tanah (tabel
lampiran 2) diperoleh keterangan kualitas air irigasi yang digunakan. Secara fisik
air bebas Lumpur, dan secara kimia pH 7,3, dengan pH demikian dapat
Konsentrasi garam atau salinitas berada pada taraf rendah, hal ini tentu berdampak
positif bagi tanaman, sebab konsentrasi garam berlebih akan berdampak buruk
bagi tanaman. Nilai SAR (Nisbah Serapan Sodium) pada air yang digunakan,
yang merupakan perbandingan relatif antara jumlah sodium relatif terhadap kation
lain, berada pada kelas rendah (S1), yaitu 1,95. Keadaan ini akan mendukung
pertumbuhan tanaman, sebagaimana dikatakan oleh Suripin (2002) bahwa nilai
SAR antara 0=10 berarti berada pada level rendah (S1), dimana air dapat
dipergunakan untuk mengairi hampir segala jenis tanah dengan kemungkinan
yang kecil untuk terkumpulnya sodium pada tingkat yang membahayakan.
/%$(').+$-' $-'+ '4'% $1$*
Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen pertumbuhan dan produksi
ditunjukkan pada Tabel 1. Semua variabel yang diamati tidak menunjukkan
pengaruh nyata terhadap interaksi antara umur panen dan cekaman kekeringan.
Cekaman kekeringan memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada
7=4 minggu sebelum panen, luas daun, bobot basah tajuk, bobot kering tajuk, serta
kandungan prolin pada daun tanaman, tetapi tidak mempengaruhi tinggi tanaman
pada umur 3=1 minggu sebelum panen, jumlah daun, jumlah anakan, diameter
batang, bobot basah rimpang (induk, anak, cucu), bobot kering rimpang (induk,
anak, cucu), dan kandungan klorofil pada daun. Perlakuan umur panen
berpengaruh nyata terhadap variabel tinggi tanaman pada 7=1 minggu sebelum
panen, jumlah anakan pada 7=1 minggu sebelum panen, luas daun, bobot basah
tajuk, bobot basah rimpang (induk dan cucu), dan bobot kering rimpang (induk
dan cucu). Umur panen tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, diameter
batang, bobot basah rimpang anak, bobot kering rimpang anak, kandungan prolin
Tabel 1. Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen pertumbuhan dan komponen
Diameter batang 7 MSP tn tn tn 9.9992)
Diameter batang 6 MSP tn tn tn 11.1862)
Diameter batang 5 MSP tn tn tn 10.6682)
Diameter batang 4 MSP tn tn tn 10.6652)
Diameter batang 3 MSP tn tn tn 10.4752)
Diameter batang 2 MSP tn tn tn 10.2562)
Diameter batang 1 MSP tn tn tn 9.1792)
Luas daun ** ** tn 17.6271)
Bobot basah tajuk ** ** tn 15.6551)
Bobot basah rimpang tn ** tn 11.7641)
Bobot basah rimpang induk tn ** tn 14.3521)
Bobot basah rimpang anak tn tn tn 14.4541)
Bobot basah rimpang cucu tn ** tn 15.2911)
Bobot kering tajuk ** tn tn 16.0071)
Bobot kering rimpang tn ** tn 12.8431)
Bobot kering rimpang induk tn ** tn 14.8401)
Bobot kering rimpang anak tn tn tn 12.9561)
Bobot kering rimpang cucu tn ** tn 14.6571)
Persentase rimpang induk tn tn tn 4.131)
Persentase rimpang anak tn * tn 16.801)
Persentase rimpang cucu tn tn tn 23.611)
Prolin * tn tn 22.8342)
Klorofil tn tn tn 6.8571)
Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 % ** = berbeda nyata pada taraf kepercayaan 99 %
1)
= hasil transformasi Vx
2)
/-( , (/0).* .3$, )$,$*$, )/*.+$6$%
',11' $,$*$,
Hasil analisis ragam interaksi umur panen dan cekaman kekeringan tidak
berpengaruh nyata pada tinggi tanaman temulawak (Tabel Lampiran 5).
Tanaman yang tidak diberi perlakuan cekaman kekeringan (kontrol)
menunjukkan laju pertumbuhan tanaman yang paling tinggi dibanding tanaman
yang diberi perlakuan cekaman kekeringan. Tanaman yang mengalami cekaman
kekeringan 2 minggu sebelum panen menunjukkan pertumbuhan tinggi tanaman
yang terhambat, walaupun tidak sehebat yang dialami oleh tanaman yang diberi
cekaman kekeringan 4 dan 6 minggu sebelum panen. Pertambahan tinggi
tanaman pada tanaman yang diberi perlakuan 6 minggu sebelum panen
menunjukkan pertumbuhan yang paling terhambat dibanding tanaman yang diberi
perlakuan cekaman kekeringan yang lebih ringan.
Tanaman yang dipanen pada umur 5 bulan menunjukkan laju
pertambahan tinggi tanaman yang lebih cepat dibandingkan dengan tanaman yang
dipanen pada umur 7 bulan. Hal ini diduga karena tanaman temulawak, pada
umur 5 bulan masih aktif melakukan pertumbuhan vegetatif.
(a) (b)
Gambar 3. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen (a) 5 bulan, (b) 7 bulan, terhadap tinggi tanaman temulawak.
Keterangan: MSP = Minggu Setelah Tanam
Keterangan ini berlaku untuk semua penggunaan istilah MSP dalam gambar
Faktor tunggal umur panen berpengaruh sangat nyata pada tujuh minggu
sampai lima minggu sebelum panen, dan berpengaruh nyata pada empat minggu
sebelum panen. Faktor cekaman kekeringan berpengaruh nyata pada tujuh
Tabel 2. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap tinggi tanaman
5 bulan 11.01b 11.23b 11.44b 11.58b 11.73b 11.82b 11.91b
7 bulan 12.88a 13.02a 13.15a 13.25a 13.34a 13.39a 13.40a
Kekeringan ………cm………
100% KL 12.25a 12.48a 12.67a 12.84a 13.00a 13.10a 13.19a
50%KL 2MSP 11.89a 12.09a 12.31ab 12.48ab 12.68ab 12.75ab 12.79ab
50%KL 4MSP 11.88a 12.08a 12.27ab 12.34ab 12.39bc 12.42bc 12.44bc
50%KL 6MSP 11.76a 11.86a 11.93b 12.01b 12.08c 12.15c 12.19c
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05. MSP = Minggu Setelah Tanam. Keterangan ini berlaku untuk semua penggunaan istilah MSP dalam tabel.
Tabel 2 menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada perlakuan umur panen
berbeda nyata antara tanaman yang dipanen pada umur 5 bulan dengan tanaman
yang dipanen pada umur 7 bulan, sedangkan untuk perlakuan cekaman
kekeringan, pengaruh yang nyata hanya pada tanaman yang diberi perlakuan
cekaman kekeringan selama 6 minggu setelah panen.
.*+$3 $.,
Berdasarkan gambar 4, perlakuan umur panen menghasilkan jumlah daun
yang hampir sama antara tanaman yang dipanen pada umur 5 bulan dengan yang
dipanen pada umur 7 bulan, demikian pula pada perlakuan cekaman kekeringan
tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar tanaman kontrol dengan
tanaman yang diberi perlakuan. Laju pertambahan jumlah daun lebih tinggi pada
tanaman kontrol dibandingkan tanaman yang diberi perlakuan. Laju pertambahan
jumlah daun yang paling rendah terdapat pada tanaman yang diberi perlakuan
cekaman 6 MSP (Gambar 4).
(a) (b)
Gambar 4. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen (a) 5 bulan, (b) 7 bulan, terhadap jumlah daun temulawak.
Faktor tunggal umur panen tidak berpengaruh nyata pada jumlah daun
tanaman temulawak mulai awal perlakuan diberikan, yaitu tujuh minggu sampai
satu minggu sebelum panen. Hal ini juga terjadi pada tanaman yang mendapat
perlakuan cekaman kekeringan (tabel 3). Jumlah daun pada tanaman kontrol dan
semua perlakuan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata .
Tabel 3. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap jumlah daun
(helai) tanaman temulawak
Minggu sebelum panen Perlakuan
7 6 5 4 3 2 1
Umur panen ………helai………
5 bulan 2.38 2.38 2.43 2.48 2.51 2.54 2.55
7 bulan 2.32 2.38 2.43 2.48 2.51 2.54 2.55
Kekeringan ………helai………
100% KL 2.34 2.38 2.44 2.49 2.53 2.60 2.62
50%KL 2MSP 2.38 2.37 2.44 2.51 2.54 2.56 2.56
50%KL 4MSP 2.36 2.43 2.45 2.49 2.52 2.54 2.56
50%KL 6MSP 2.33 2.36 2.39 2.42 2.45 2.47 2.47
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing
perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05.
'$*/)/0 $)$,1
Hasil analisis ragam umur panen dan cekaman kekeringan tidak berpengaruh
nyata pada diameter batang tanaman temulawak (Tabel Lampiran 6).
Tanaman yang tidak diberi perlakuan cekaman kekeringan menunjukkan
laju pertambahan diameter batang yang lebih cepat dibandingkan tanaman yang
mendapat perlakuan cekaman kekeringan. Tanaman yang mendapat perlakuan
cekaman kekeringan 6 MSP menunjukkan hasil yang paling lambat dalam hal
pertambahan diameter batang tanaman temulawak. Pertambahan diameter batang
tanaman temulawak pada tanaman yang dipanen umur 5 bulan dan tanaman yang dipanen pada umur 7 bulan juga tidak menunjukkan perbedaaan yang nyata,
namun diameter batang pada umur 7 bulan lebih besar dibandingkan tanaman
Tabel 4. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap diameter
5 bulan 1.66 1.71 1.74 1.78 1.80 1.83 1.89
7 bulan 1.78 1.83 1.85 1.85 1.88 1.90 1.90
Kekeringan ………cm………
100% KL 1.74 1.80 1.82 1.86 1.87 1.90 1.93
50%KL 2MSP 1.77 1.83 1.87 1.87 1.90 1.91 1.94
50%KL 4MSP 1.70 1.73 1.76 1.77 1.82 1.86 1.89
50%KL 6MSP 1.70 1.72 1.74 1.76 1.78 1.79 1.82
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing
perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05.
.$-
$.,
Hasil analisis ragam interaksi antara umur panen dan cekaman kekeringan
tidak berpengaruh nyata pada luas daun tanaman temulawak (Tabel Lampiran 10).
Perlakuan cekaman kekeringan sangat mempengaruhi luas daun tanaman.
Tanaman yang diberi perlakuan terlihat daunnya menyempit dibandingkan
tanaman kontrol, namun tanaman yang paling menderita cekaman kekeringan
adalah yang diberi perlakuan cekaman kekeringan selama 6 MSP.
Gambar 5. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap luas daun tanaman temulawak.
Luas daun antara tanaman yang dipanen pada umur 5 bulan dan tanaman
yang dipanen pada umur 7 bulan menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Faktor
cekaman kekeringan antara kontrol dan perlakuan cekaman kekeringan selama 2
dan 4 MSP menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Pengaruh cekaman
kekeringan menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada perlakuan cekaman
Tabel 5. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap luas daun tanaman temulawak
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05.
.*+$3 ,$%$,
Jumlah anakan tanaman yang dipanen pada umur 5 bulan menunjukkan
bahwa tanaman kontrol memiliki jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan
tanaman yang mendapatkan perlakuan cekaman kekeringan, walaupun pada awal
pengamatan jumlah anakan yang terbanyak terdapat pada tanaman yang mendapat
perlakuan cekaman kekeringan selama 6 MSP. Pertambahan jumlah anakan pada
tanaman kontrol mengalami peningkatan tiap minggu, sedangkan pada tanaman
yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan pertambahan jumlah anakannya
semakin menurun seiring pemberian cekaman kekeringan pada tanaman tersebut.
Kondisi yang sama juga terjadi pada tanaman yang dipanen pada umur 7 bulan.
(a) (b)
Gambar 6. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen (a) 5 bulan, (b) 7 bulan, terhadap jumlah anakan tanaman temulawak
Perlakuan Luas daun (cm2)
Umur Panen
5 bulan 4.08a
7 bulan 3.85b
Cekaman kekeringan
100% KL 4.11a
50%KL 2MSP 4.06a
50%KL 4MSP 3.94a
Laju pertambahan jumlah anakan terbesar pada tanaman yang dipanen umur
7 bulan, ditunjukkan oleh tanaman kontrol, meskipun jumlah anakan lebih banyak
pada tanaman yang diberi cekaman kekeringan selama 6 MSP (Gambar 6).
Berdasarkan tabel 6, jumlah anakan pada tanaman kontrol dan tanaman yang
mendapatkan cekaman kekeringan tidak berbeda nyata. Namun tanaman kontrol
cenderung memiliki jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan tanaman
yang mengalami cekaman kekeringan. Jumlah anakan pada perlakuan umur
panen menunjukkan hasil yang berbeda nyata.
Tabel 6. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap jumlah
anakan tanaman temulawak
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05.
) $-$3 4$, ) /0',1 $5.%
Hasil analisis ragam interaksi antara umur panen dan cekaman kekeringan
tidak berpengaruh nyata pada bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman
temulawak (Tabel Lampiran 8 dan 9).
Berdasarkan tabel 7, bobot basah tajuk antara tanaman yang dipanen pada
umur 5 bulan dengan yang dipanen pada umur 7 bulan berbeda nyata, sedangkan
untuk perlakuan cekaman kekeringan, pengaruh nyata terlihat pada tanaman yang
mendapatkan perlakuan cekaman kekeringan selama 6 MSP. Terjadi penurunan
bobot basah tajuk yang drastis pada tanaman yang mendapatkan cekaman
kekeringan 6 MSP.
Bobot kering tajuk tanaman yang dipanen pada umur 5 bulan dan pada umur
7 bulan tidak beda nyata. Perlakuan cekaman kekeringan berbeda nyata pada
tanaman yang diberi perlakuan cekaman kekeringan 6 MSP. Minggu sebelum panen Perlakuan
7 6 5 4 3 2 1
Umur panen
5 bulan 0.57b 0.65b 0.76a 0.80b 0.87b 0.88b 0.88b
7 bulan 0.85a 0.90a 0.94a 1.01a 1.08a 1.15a 1.20a
Kekeringan
100% KL 0.73 0.80 0.96 0.94 1.06 1.06 1.09
50%KL 2MSP 0.76 0.76 0.82 0.86 0.97 0.99 1.05
50%KL 4MSP 0.54 0.70 0.73 0.85 0.90 0.93 0.96
Tabel 7. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman temulawak.
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing
perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05.
Berdasarkan gambar 7, tanaman yang dipanen pada umur 5 bulan bobot
basah tajuk tertinggi cenderung ditunjukkan oleh tanaman yang mendapat
perlakuan cekaman kekeringan selama 2 MSP. Tanaman yang dipanen pada umur
7 bulan, bobot basah tertinggi cenderung terdapat pada tanaman kontrol dan
terendah pada tanaman yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan selama 6
MSP. Pola yang sama terjadi pada bobot kering tajuk tanaman.
Gambar 7. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap bobot
basah dan bobot kering tajuk tanaman temulawak.
Perlakuan Bobot basah tajuk Bobot kering tajuk
Umur Panen ………g………
5 bulan 24.66b 8.65
7 bulan 29.27a 8.49
Cekaman kekeringan ………g………
100% KL 29.33a 9.47a
50%KL 2MSP 30.97a 10.03a
50%KL 4MSP 26.33ab 8.30a
) $-$3 '*($,1
Hasil analisis ragam interaksi antara umur panen dan cekaman kekeringan
tidak berpengaruh nyata pada bobot basah rimpang tanaman temulawak (Tabel
Lampiran 8).
Berdasarkan tabel 8, bobot basah rimpang, bobot basah rimpang induk, dan
bobot basah rimpang cucu menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara tanaman
yang dipanen pada umur 5 bulan dengan tanaman yang dipanen pada umur 7
bulan, sedangkan rimpang anak tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata.
Faktor cekaman kekeringan menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata untuk
semua jenis rimpang dengan berbagai taraf cekaman kekeringan. Bobot basah
rimpang, rimpang induk dan rimpang cucu pada tanaman yang mendapatkan
cekaman kekeringan selama 2 MSP cenderung lebih baik dibanding perlakuan
cekaman kekeringan yang lain, sedangkan bobot basah rimpang cucu pada
tanaman kontrol cenderung lebih baik dibandingkan tanaman yang diberi
perlakuan cekaman kekeringan.
Tabel 8. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap bobot basah rimpang, rimpang induk, rimpang anak, dan rimpang cucu tanaman temulawak.
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05.
Berdasarkan gambar 8, pada umur 5 bulan tanaman yang mendapatkan
cekaman kekeringan 2 minggu sebelum panen cenderung memiliki bobot basah
rimpang yang tertinggi, sedangkan yang terendah terdapat pada tanaman yang
diberi cekaman kekeringan 6 minggu sebelum panen. Tanaman yang dipanen
pada umur 7 bulan, hasil yang tertinggi cenderung ditunjukkan oleh tanaman
kontrol, sedangkan yang terendah cenderung ditunjukkan oleh tanaman yang
mendapat cekaman kekeringan 6 minggu sebelum panen.
Perlakuan BB Rim.Induk BB Rim.anak BB Rim.cucu BB rimpang
Umur Panen ………g……….
5 bulan 16.28b 9.51 2.91b 20.98b
7 bulan 21.42a 9.88 3.68a 27.48a
Kekeringan ………g……….
100% KL 19.36 9.48 3.50 25.08
50%KL 2MSP 20.315 10.76 3.30 25.70
50%KL 4MSP 18.15 9.55 3.29 23.78
Gambar 8. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap bobot basah rimpang tanaman temulawak.
) /0',1 '*($,1
Hasil analisis ragam interaksi antara umur panen dan cekaman kekeringan
tidak berpengaruh nyata pada bobot kering rimpang tanaman temulawak (Tabel
Lampiran 9).
Berdasarkan tabel 9, bobot kering rimpang, rimpang induk, dan rimpang
cucu menunjukkan hasil yang berbeda nyata, sedangkan untuk rimpang anak tidak
menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Cekaman kekeringan menunjukkan hasil
yang tidak berbeda nyata untuk masing=masing perlakuan dan kontrol. Tanaman
kontrol cenderung menunjukkan hasil yang lebih baik pada rimpang induk dan
rimpang cucu, sedangkan baik bobot kering rimpang induk, anak dan cucu yang
terendah ditunjukkan oleh tanaman yang mendapatkan perlakuan cekaman
kekeringan selama 6 minggu sebelum panen.
Tabel 9. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap bobot kering rimpang, rimpang induk, rimpang anak, dan rimpang cucu tanaman temulawak.
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing
perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05.
Perlakuan BK Rim.Induk BK Rim.anak BK Rim.cucu BK rimpang
Umur Panen …….………g………..
5 bulan 7.08b 3.29 1.54b 8.20b
7 bulan 8.78a 3.48 1.87a 10.12a
Kekeringan …….………g………..
100% KL 8.32 3.29 1.76 9.52
50%KL 2MSP 8.25 3.31 1.72 9.65
50%KL 4MSP 7.77 3.67 1.71 8.98
50%KL 6MSP 7.37 3.26 1.62 8.54
Berdasarkan gambar 9, tanaman yang dipanen pada umur 5 bulan dan
mendapatkan cekaman kekeringan 2 minggu sebelum panen cenderung memiliki
bobot kering rimpang yang tertinggi, sedangkan terendah terdapat pada tanaman
yang diberi cekaman 6 minggu sebelum panen. Tanaman yang dipanen pada
umur 7 bulan hasil yang tertinggi cenderung ditunjukkan oleh tanaman kontrol,
sedangkan yang terendah terdapat pada tanaman dengan cekaman 6 minggu
sebelum panen.
Gambar 9. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap bobot
kering rimpang tanaman temulawak.
/0-/,)$-/ '*($,1
Hasil analisis ragam interaksi antara umur panen dan cekaman kekeringan
tidak berpengaruh nyata pada persentase bagian rimpang tanaman temulawak
(Tabel Lampiran 10). Berdasarkan tabel 10, persentase rimpang induk, rimpang
anak dan rimpang cucu tidak berpengaruh nyata terhadap cekaman kekeringan.
Rimpang anak berpengaruh nyata terhadap perlakuan umur panen, namun tidak
berpengaruh nyata terhadap rimpang induk dan rimpang cucu.
Tabel 10. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap persentase
rimpang induk, rimpang anak dan rimpang cucu
Perlakuan Persentase rimpang
5 bulan 8.60 4.07a 2.93
7 bulan 8.66 3.45b 3.48
Kekeringan ………..%………..
100% KL 8.72 3.55 3.28
50%KL 2MSP 8.58 3.90 3.12
50%KL 4MSP 8.63 3.70 3.30
50%KL 6MSP 8.61 3.91 3.13
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing
perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05.
"
$)/0' /0',1
Berdasarkan gambar 10, persentase materi kering pada bobot basah rimpang
yang tertinggi terdapat pada tanaman yang dipanen umur 5 bulan dengan cekaman
kekeringan 6 minggu sebelum panen yaitu 14,58%, sedangkan yang terendah
terdapat pada tanaman yang dipanen umur 7 bulan dengan cekaman kekeringan 2
minggu sebelum panen yaitu 11,43%. Secara umum persentase materi kering
pada umur 7 bulan lebih rendah dibanding rimpang yang dipanen pada umur 5
bulan.
Ket:A1 100% KL (Kapasitas Lapang); A2 (50% KL selama 2 MSP(Minggu Sebelum Panen));
A3 (50% KL selama 4 MSP); A4 (50% KL selama 6 MSP)
U1 (panen umur 5 bulan); U2 (panen umur 7 bulan)
Gambar 10. Pengaruh cekaman kekeringan terhadap materi kering pada rimpang
tanaman temulawak. dan umur panen
/-( , "'-' + 1' $,$*$, /*.+$6$%
+ 0 8'+
Hasil analisis ragam interaksi umur panen dan cekaman kekeringan tidak
berpengaruh nyata pada kandungan klorofil temulawak (Tabel Lampiran 10)
Berdasarkan tabel 11, perlakuan umur panen dan cekaman kekeringan tidak
berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil pada tanaman temulawak. Faktor
umur panen menunjukkan hasil tanaman yang dipanen pada umur 5 bulan
cenderung mengandung klorofil lebih tinggi dibanding tanaman yang dipanen
pada umur 7 bulan, sedangkan pada perlakuan cekaman kekeringan tanaman
kontrol cenderung lebih tinggi kandungan klorofilnya dibandingkan tanaman yang
Tabel 11. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap kandungan klorofil tanaman temulawak.
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing
perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05.
0 +',
Hasil analisis ragam interaksi umur panen dan cekaman kekeringan tidak
berpengaruh nyata pada kandungan prolin tanaman temulawak (Tabel Lampiran
10)
Berdasarkan tabel 12, perlakuan umur panen tidak menunjukkan hasil yang
berbeda nyata antara tanaman yang dipanen pada umur 5 bulan dengan tanaman
yang dipanen pada umur 7 bulan. Tanaman yang dipanen pada umur 7 bulan
cenderung mengandung prolin yang lebih tinggi dibandingkan tanaman yang
dipanen pada umur 5 bulan. Perlakuan cekaman kekeringan terlihat berbeda nyata
pada tanaman diberi perlakuan cekaman kekeringan selama 6 minggu sebelum
panen.
Tabel 12. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap kandungan prolin tanaman temulawak.
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing=masing
perlakuan, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05.
/-( , $,4.,1$, ' $%)'8 $,$*$, /*.+$6$%
Berdasarkan tabel 13, Kadar air terendah pada simplisia temulawak
terdapat pada tanaman yang dipanen pada umur 5 bulan dengan pemberian
cekaman air selama 6 minggu sebelum panen yaitu 5.92%, sedangkan kadar air
tertinggi 9.96% terdapat pada tanaman yang dipanen pada umur 7 bulan dengan
cekaman kekeringan selama 2 minggu sebelum panen. Kandungan minyak atsiri
yang tertinggi 7.07% pada tanaman yang dipanen pada umur 7 bulan dengan
cekaman kekeringan selama 2 minggu sebelum panen, sedangkan kandungan
minyak atsiri terendah 4.33% ditunjukkan oleh tanaman yang dipanen pada umur
5 bulan dengan cekaman air selama 4 minggu sebelum panen. Kandungan
xanthorrhizol tertinggi terdapat pada tanaman yang dipanen pada umur 7 bulan
dengan cekaman kekeringan selama dua minggu sebelum panen yaitu 31.60%,
sedangkan kandungan xanthorrhizol terendah pada tanaman yang dipanen pada
umur 5 bulan dengan cekaman kekeringan selama 6 minggu sebelum panen yaitu
15.48%. Tanaman yang dipanen pada umur 7 bulan dengan cekaman kekeringan
selama 4 minggu sebelum panen, tidak ditemukan xanthorrhizol pada minyak
atsirinya.
Tabel 13. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap kadar air dan kadar minyak atsiri rimpang tanaman temulawak.
Perlakuan Kadar Air Kadar Minyak Atsiri
Panen Umur 5 Bulan (%)
Kontrol (100% KL) 6.52 4.98
50%KL 2 MSP 8.95 5.35
50%KL 4 MSP 8.89 4.33
50%KL 6 MSP 5.92 4.39
Panen Umur 7 Bulan (%)
Kontrol (100% KL) 7.96 6.28
50%KL 2 MSP 9.96 7.07
50%KL 4 MSP 9.23 5.18
50%KL 6 MSP 7.80 4.61
*( -'-' ',9$% )-'0'
Berdasarkan tabel 14, senyawa xanthorrhizol berada pada persentase
tertinggi pada tanaman kontrol dan tanaman yang diberi cekaman kekeringan
ringan, baik yang dipanen pada umur 5 bulan maupun yang dipanen pada umur 7
yaitu pada 4 dan 6 MSP, ar=curcumen menunjukkan persentase yang tertinggi dan
xanthorrhizol berada pada urutan kedua. Berdasarkan hasil fragmentasi,
menunjukkan bahwa tingkat kemiripan xanthorrhizol cukup tinggi terhadap
library.
Tabel 14. Pengaruh umur panen dan cekaman kekeringan terhadap persentase komposisi minyak atsiri dari rimpang temulawak berdasarkan tingkat kemiripannya.
1 Xanthorrhizol 29.08 29.5 18.33 15.48 31.36 31.60 18.22
2 Ar=Curcumene 14.74 14.14 24.67 27.27 12.44 28.17 1.66 31.65
3 Germacrone 8.81 7.69 6.72 6.68 6.44
4 Germacrene B (CAS) 2.66 2.89 1.75 1.77 2.50 0.60 0.70
5 L=Camphor 3.80 3.63 4.51 3.22 2.83
6 Delta=elemene 0.26 0.28 0.21 0.17 0.34 0.24 0.82
7 Trans= β =farnesene 0.58 0.65 0.71 1.55 1.33 0.11 1.05
8 β=bisabolene 0.40 0.46 0.60 0.68
9 γ=elemene 0.40 0.46 0.30 0.16 0.21 0.34
10 Bicyclo [2.2.1]heptan=2= 0.26 0.23 0.31 4.09 0.24 0.18 0.06 5.36
11 3.7=cyclodecadien=1= 2.40 9.30 0.44
12 Tidak diketahui 17.81
13 1,3=benzodioxole 1.19
14 β =elemene 0.71 0.56 0.82
15 Methyl eugenol 0.58 0.14
16 β =farnesene 0.11 0.85 0.33
17 Caryophyllene oxide 0.12 0.86 0.12 0.14
18 calarene 0.07 0.86 0.06
19 Sesquisabinene hydrate 1.54
26 α =bergamotene 0.26 0.22
27 α=phellandrene 2.74
28 1.8=cineole 0.11 0.15 0.28 0.25 0.10 0.13 1.45 0.31
29 zingiberene 2.61
35 Borneol L 0.20 0.20 0.24 0.46 0.14 0.64