• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORI

2.2. Dismenore

2.2.1. Definisi

Dismenore berasal dari bahsa Yunani yaitu Dys bearti sulit atau menyakitkan atau tidak normal. Meno bearti bulan dan rrhea yang berarti aliran. Sehingga dismenore didefinisikan sebagai aliran menstruasi yang sulit atau nyeri (Karim, 2009 dalam Dyah 2010). Dismenore atau nyeri saat menstruasi merupakan suatu gejala yang paling sering menyebabkan para remaja pergi ke dokter untuk konsultasi dan pengobatan. Karena gangguan ini sifatnya subyektif, berat atau intensitasnya sukar dinilai.Walaupun frekuensi dismenorea cukup tinggi dan penyakit ini sudah lama dikenal, namun sampai sekarang patogenesisnya belum dapat dipecahkan dengan memuaskan.(Wikjosastro, 2005).

27

Dismenore didefinisikan oleh Stenchever (2002) dalam Chudnoff (2005) sebagai sensasi nyeri yang seperti kram pada abdomen bawah sering bersamaan dengan gejala lain seperti keringat, takikardia, sakit kepala, mual, muntah, diare dan tremor. Oleh karena hampir semua wanita mengalami rasa tidak enak di perut bawah dan gejala-gejala yang menyertainya sebelum dan selama haid maka istilah dismenorea hanya dipakai jika nyeri haid demikian hebatnya, sehingga memaksa penderita untuk istirahat dan meninggalkan pekerjaan atau cara hidupnya sehari-hari, untuk beberapa jam atau beberapa hari.

2.2.2 Epidemiologi

Prevalensi dismenore paling tinggi terdapat pada remaja wanita, dengan perkiraan antara 20-90%, tergantung pada metode pengukuran yang digunakan.Angka kejadian dismenore di dunia sangat besar.Rata-rata lebih dari 50% perempuan di setiap negara mengalami dismenore.Di Amerika angka prosentasenya sekitar 60% dan di Swedia sekitar 72%. Sementara di Indonesia angkanya diperkirakan 55% perempuan usia produktif yang tersiksa oleh dismenore (Infosehat, 2007).

Di Indonesia angka kejadian dismenore sebesar 64,25% yang terdiri dari 54,89% dismenore primer dan 9,36% dismenore sekunder (infosehat, 2009). Wanita pernah mengalami dismenore sebanyak 90%. Masalah ini setidaknya mengganggu 50% wanita masa produktif dan 60-85% pada usia remaja, yang mengakibatkan banyaknya absensi pada sekolah (Annathayakheisha, 2009).

Hasil suatu penelitian ditemukan bahwa 51% wanita tidak hadir di sekolah ataupun pekerjaan paling tidak sekali dan 8% wanita tidak hadir di sekolah atau kerja setiap kali mengalami menstruasi. Wanita dengan dismenore juga mendapatkan nilai lebih rendah di sekolah dan lebih susah beradaptasi dengan lingkungan sekolah daripada wanita tanpa dismenore (Abbaspour, 2005 dalam Dyana 2009 ).

2.2.3. Klasifikasi

Jacoeb dkk dalam kelompok studi endokrinologi reproduksi Indonesia (1995), menyebutkan bahwa dismenore ada dua jenis berdasarkan etiologinya yaitu primer dan sekunder.

1). Dismenore primer

Dismenore primer merupakan bentuk yang lebih sering dijumpai. Dismenorea primer adalah nyeri haid yang dijumpai tanpa kelainan pada alat-alat genital yang nyata. Dismenorea primer terjadi beberapa waktu setelah menarche umumnya berjenis anovulatoar yang tidak disertai dengan rasa nyeri. Rasa nyeri timbul tidak lama sebelumnya atau bersama-sama dengan permulaan haid dan berlangsung untuk beberapa hari. Sifat rasa nyeri ialah kejang berjangkit-jangkit, biasanya terbatas pada perut bawah, tetapi dapat menyebar ke daerah pinggang dan paha. Bersamaan dengan rasa nyeri dapat dijumpai rasa mual, muntah, sakit kepala, diare, iritabilitas, dan sebagainya (Wikjosastro, 2005).

Bobak (2004) mengungkapkan bahwa dismneore primer terjadi, jika tidak ada penyakit organik, biasanya dari bulan keenam sampai tahun kedua setelah menarke. Pada jenis dismenore ini biasanya nyeri akan

29

hilang pada usia 25 tahun atau setelah wanita hamil dan melahirkan pervaginan.

2). Dismenore sekunder

Dismenore sekunder didefinisikan sebagai nyeri menstruasi yang dikaitkan dengan penyakit pelvis organik, seperti endometriosis, penyakit radang panggul pelvis, stenosis serviks, neoplasma ovarium atau uterus, dan polip uterus. IUD juga dapat merupakan penyebab dismenore sekunder (Bobak, 2004).

Dismenore sekunder terjadi karena adanya kelainan pada organ genitalia dalam rongga pelvis. Penderita dismenore sekunder sering mengalami nyeri yang terjadi beberapa hari sebelum menstruasi disertai ovulasi dan kadangkala saat melakukan hubungan seksual (Smetzer, 2002).

2.2.4. Derajat Nyeri Dismenore

Riyanto (2002) menyebutkan bahwa derajat dismenore ada empat yaitu derajat 0-3:

1) Derajat 0

Tanpa rasa nyeri dan aktivitas sehari-hari tak terpengaruhi 2) Derajat 1

Nyeri ringan dan memerlukan otot rasa nyeri, namun aktivitas jarang terpenuhi

3) Derajat 2

Nyeri sedang dan tertolong dengan obat penghilang nyeri namun aktifitas sehari-hari terganggu.

4) Derajat 3

Nyeri sangat hebat dan tidak berkurang walaupun telah menggunakan obat dan tidak dapat bekerja, kasus ini segera ditangani dokter.

Perry dan Potter (2005), mengkarakteristikkan nyeri yang paling subyektif adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien sering kali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai nyeri ringan, sedang atau parah. Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Deskriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari 3-5 kata. Pendeskripsi ini dirangking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang

tidak terkontrol”. Alat VDS ini memungkinkan klien untuk

mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical Ratting Scale, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10.

31

(Gambar 2.4) skala intensitas nyeri menurut Wong (2001)

2.2.5. Etiologi dan Faktor Resiko

Banyak teori dikemukan untuk menerangkan penyebab dismneore

primer, tetapi tetap belum jelas penyebabnya hingga saai ini. Dahulu disebutkan faktor keturunan, psikis, dan lingkungan dapat mempengaruhi penyebab hal itu, namun penelitian dalam tahun-tahun terakhir ini menunjukkan adanya pengaruh zat kimia dalam tubuh yang disebut prostaglandin (Widjajanto, 2005 ).

Diantara sekian banyak hormon yang beredar dalam darah, terdapat senyawa kimia yang disebut prostaglandin. Telah dibuktikan, prostaglandin berperan dalam mengatur berbagai proses dalam tubuh, termasuk aktivitas usus, perubahan diameter pembuluh darah dan kontraksi uterus. Para ahli berpendapat, bila pada keadaan tertentu, dimana kadar prostaglandin berlebihan, maka kontraksi uterus (rahim) akan bertambah. Hal ini menyebabkan terjadi nyeri yang hebat yang disebut dismenore (Vira, 2008).

Beredarnya prostaglandin yang berlebihan ke seluruh tubuh juga mengakibatkan peningkatan aktivitas usus besar. Jadi prostaglandin inilah yang menimbulkan gejala nyeri kepala, pusing, nyeri panas dan dingin

pada muka, diare serta mual yang mengiringi nyeri pada waktu menstruasi (Widjajanto, 2005 ).

Faktor resiko yang mempengaruhi dismenore diantaranya usia antara 15-30 tahun dan sering terjadipada usia 15–25 tahun yang kemudian hilang pada usia akhir 20-an atau awal 30-an. Kejadian dismenore primer sangat dipengaruhi oleh usia wanita. Rasa sakit yang dirasakan beberapa hari sebelum menstruasi dan saat menstruasi biasanya karena meningkatnya sekresi hormon prostaglandin (Junizar, 2004).

Aktivitas juga merupakan faktor resiko yang dapat mempengaruhi dismenore. Seseorang yang kurang beraktivitas akan menyebabkan sirkulasi darah dan oksigen menurun, akibatnya aliran darah dan oksigen menuju uterus menjadi tidak lancar dan menyebabkan sakit dan produksi endorphin otak akan menurun yang mana akan dapat meningkatkan stres sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan dismenore primer (Novia dan Puspitasari, 2006)

2.2.6. Patofisiologi

Prostaglandin dikeluarkan selama fase luteal dan menstruasi, karena luruhnya dinding endometrium beserta isinya (Bobak, 2004). Menurut French (2005), dismenore diduga akibat pengeluaran prostaglandin di cairan menstruasi, yang mengakibatkan kontraksi uterus dan nyeri. Pelepasan prostaglandin yang berlebihan meningkatkan amplitudo dan frekuensi kontraksi uterus dan menyebabkan vasospasme arteriol uterus, sheingga mengakibatkan iskemia dan kram abdomen

33

bawah yang bersifat siklik. Respon sistemik terhadap prostaglandin meliputi nyeri pinggang, kelemahan, pengeluaran keringat, gejala saluran cerna (anoreksia, mual, muntah, dan diare) dan gejala sistem syaraf pusat meliputi: pusing, nyeri kepala dan konsentrasi buruk (Bobak, 2004).

Vasopressin juga berperan pada peningkatan kontraktilitas uterus dan menyebabkan nyeri iskemik sebagai akibat dari vasokonstriksi. Adanya peningkatan kadar vasopressin juga telah dilaporkan terjadi pada wanita dengan dismenore primer (Chandran, 2008 dan Edmundson, 2006).

2.2.7. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala dismenore sangat bervariasi. Tanda dan gejala dismenore yang paling umum dirasakan oleh sebagian wanita adalah nyeri seperti kram di bagian bawah perut yang biasanya menyebar ke punggung dan kaki (Ramainah, 2006). Tanda dan gejala dismenore lainnya meliputi mual, muntah, kehilangan nafsu makan, sakit kepala, sakit punggung, nyeri kaki, kelemahan, diare, sulit tidur, pusing, gelisah, dan depresi (Harel, 2002 dalam Agustina dkk, 2010). Pinkerton (2010) dalam Agustina dkk, (2010) menambahkan tanda dan gejala dismenore adalah nyeri tajam, berdenyut, dapat menyebar sampai ke kaki, sakit kepala, mual, sembelit atau diare, sakit punggung bawah, dan kadang terjadi muntah.

Pengalaman beberapa remaja yang mengalami dismenore primer, gejala lain yang mereka alami selain nyeri ialah mual, muntah, berguling-guling, bahkan pingsan. Ketidaknyamanan tersebut akan mempengaruhi aktivitas remaja. Di sekolah, konsentrasi belajar remaja menjadi menurun,

bahkan tidak sedikit yang absen atau tidak masuk sekolah karena dismenore yang dialami.

2.2.8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan masalah dismenore meliputi penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi untuk mengurangi nyeri. Jika penyebab dismenore ditemukan, pengobatan difokuskan pada menghilangkan penyebab. Pada beberapa kasus mungkin diperlukan pembedahan untuk menghilangkan atau mengurangi penyebab nyeri (ACOG, 2006). Penatalaksanaan farmakologi yaitu obat seperti OAINS (obat anti inflamasi non steroid) menghambat pembentukan prostaglandin. Hal ini mengurangi rasa kram. Obat ini juga mencegah gejala seperti mual dan diare. OAINS bekerja maksimal jika diberikan pada permulaan timbulnya gejala dan biasanya dikonsumsi hanya 1 atau 2 hari. Menurut Hart dan Norman (2000), pengobatan jangka panjang dengan progesteron juga mengurangi nyeri menstruasi. Dengan kontrasepsi oral dimana kontrasepsi oral dosis rendah terbukti efektif mengurangi dismenore pada remaja wanita pada studi terhadap 76 pasien (Zoler, 2004). Hormon-hormon pada kontrasepsi membantu mengontrol pertumbuhan dinding uterus sehingga prostaglandin sedikit dibentuk.

Penatalaksanaan dismenore secara non farmakologi meliputi terapi nutrisi dengan merubah pola makan atau diet dapat membantu mengurangi atau mengobati nyeri menstruasi seperti peningkatan masukan makanan seperti serat, kalsium, makanan dari bahan kedelai, buah-buahan dan sayuran (Tran, 2001). Adapun terapi alternatif lain dapat dilakukan dengan

35

kompres hangat, mandi air hangat, yoga, distraksi, massase, tidur/istirahat dan olahraga atau senam. Olahraga atau senam ini dilakukan setiap pagi dan atau sore hari. Baik dilakukan 3-5 kali seminggu selama 30 menit (Martchelina, 2011).

Adapun cara non-farmakologi dapat dilakukan dengan kompres hangat, makan makanan yang disukai, senam, vitamin, konsumsi obat herbal, olahraga, akupuntur, yoga dan transcitaneous electrical nerve stimulation (TENS). Adapun cara lain yang sering digunakan ialah dengan aromaterapi seperti menggunakan minyak angin dan minyak esensial (Agustnia dkk, 2010 ).

Dokumen terkait