• Tidak ada hasil yang ditemukan

Disorientasi Seksual

BAB IV ANALISIS DATA

B. Analisis Sosiologi Sastra

3. Disorientasi Seksual

Simpulan

Analisis fakta estetik, berupa problem-problem sosial

Penjelasan dari kerangka pikir tersebut adalah, penelitian dilakukan dengan terlebih dahulu membaca sumber data dalam penelitian ini yang berupa novel DT. Kemudian menganalisis unsur intrinsiknya yang berupa alur, tokoh, latar. Analisis unsur ini akan membantu dalam proses analisis sosiologi sastra. Setelah unsur intrinsik dianalisis, kemudian melakukan analisis dengan menggunakan teori sosiologi sastra terhadap problem-problem yang terdapat dalam novel DT, berupa disharmonisasi keluarga, pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat, dan disorientasi seksual. Langkah yang terakhir adalah penarikan simpulan, yang dilakukan setelah diketahui hasil dari analisis problem-probem sosial kemasyarakatan novel DT.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian dalam bab tiga berisi metode penelitian, pendekatan, objek penelitian, sumber data, data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik penarikan kesimpulan yang digunakan dalam penelitian novel DT karya Alberthiene Endah.

A.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang dapat diamati (dalam Moleong, Lexy. J, 2001: 3). Data deskriptif yaitu data yang berupa kata-kata, gambar dan buku angka-angka (Moleong, Lexy. J, 2001: 6).

B.Pendekatan

Sebuah pendekatan harus sesuai dengan objek yang akan diteliti. Melihat dari objek penelitian yang berupa permasalahan sosial maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan (Sapardi Djoko Damono, 1979: 2). Yaitu penelitian karya sastra dengan menggunakan aspek-aspek kemasyarakatan yang terdapat dalam karya yang akan diteliti tersebut.

Dasar filosofis pendekatan sosiologi sastra adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: 1) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, 2) pengarang adalah anggota masyarakat, 3) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan 4) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat. (Ratna, Nyoman Kutha, 2007: 60)

C. Objek Penelitian

Objek penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu objek material yang berupa novel Detik Terakhir karya Alberthiene Endah, dan objek formal yaitu unsur intrinsik dan problem-problem sosial yang terdapat dalam novel DT karya Alberthiene Endah.

D.Sumber Data

Penelitian ini menggunakan sumber data berupa novel Detik Terakhir karya Alberthiene Endah, yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta pada Juni 2006, cetakan kedua, dengan tebal 248 halaman. Serta menggunakan sumber data pelengkap artikel-artikel atau tulisan-tulisan yang membahas objek dan permasalahan dalam penelitian.

E.Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh kalimat yang mengungkapkan alur, tokoh, dan latar novel DT, problem-problem sosial yang

berupa disharmonisasi keluarga, pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat, dan disorientasi seksual yang terdapat dalam novel DT karya Alberthiene Endah.

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka. Teknik pustaka adalah teknik pengumpulan data yang menggunakan sumber-sumber tertulis. Teknik ini dilakukan dengan mencari, mengumpulkan, membaca dan mempelajari seluruh kalimat yang berkaitan dengan penelitian ini seperti pengungkapan alur, tokoh, dan latar pada novel DT karya Alberthiene Endah, problem-problem sosial yang berupa disharmonisasi keluarga, pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat, dan disorientasi seksual yang terdapat dalam novel DT karya Alberthiene Endah.

G.Teknik Analisis Data

Analisis dilakukan dengan mencari data yang terdapat dalam novel DT karya Alberthiene Endah, kemudian data yang sudah terkumpul dianalisis dengan menggunakan teori yang telah dipersiapkan. Pertama menganalisis unsur intrinsik dalam novel DT karya Alberthiene Endah, analisis ini bertujuan untuk membantu dalam proses analisis berikutnya yaitu analisis problem sosial dengan menggunakan teori sosiologi sastra. Kesimpulan-kesimpulan dapat ditarik dari hasil analisis tersebut.

H.Teknik Penarikan Kesimpulan

Penelitian ini menggunakan teknik penarikan kesimpulan ragam induktif. Yaitu penarikan kesimpulan yang melihat permasalahan dari data-data yang bersifat khusus untuk memperoleh kesimpulan yang bersifat umum. Data-data yang bersifat khusus maksudnya adalah dengan menggunakan data yang telah dipilih dari sumber data khusus, yang dalam penelitian ini adalah novel DT karya Alberthiene Endah. Dalam prosesnya data tersebut kemudian diolah hingga memperoleh suatu kesimpulan yang bersifat umum.

BAB IV

ANALISIS DATA

Bab empat dalam penelitian ini menguraikan tentang analisis data. Pembahasan dalam bab empat ini meliputi pembahasan data yang berupa unsur-unsur intrinsik novel DT, analisis sosiologi sastra novel DT, serta pembahasan fungsi dari novel DT karya Alberthiene Endah.

A. Unsur Intrinsik Novel Detik Terakhir

Unsur intrinsik adalah segala sesuatu yang membentuk sebuah karya sastra dari dalam karya itu sendiri. Unsur-unsur intrinsik novel DT karya Alberthiene Endah yang dibahas meliputi, alur, tokoh, dan latar.

1. Alur

Alur dalam novel DT adalah maju. Alur maju (konvensional, progresif) yaitu teknik pengaluran dengan jalan peristiwa yang dimulai dari melukiskan keadaan sampai penyelesaian. Alur cerita dalam novel DT dimulai dengan pemaparan, lalu masuk ke tikaian, hingga klimaks, dan kemudian leraian. Namun pada beberapa bagian alur ditarik ke belakang melalui lamunan atau diceritakan oleh tokoh.

Secara garis besar peristiwa-peristiwa dalam novel ini adalah sebagai berikut, peristiwa pertemuan antara Arimbi dengan seorang wartawan di panti rehabilitasi, lalu peristiwa pertengkaran Ayah dan Ibu Arimbi yang berujung pada tindak kekerasan terhadap Ibu Arimbi. Peristiwa yang paling panjang dalam novel ini adalah peristiwa pemberontakan Arimbi untuk dapat lepas dari kedua orangtuanya, dan menjalani hidup yang diinginkannya, dalam

peristiwa ini terdapat beberapa peristiwa lain yang mengiringi, yaitu disorientasi seksual yang dialami Arimbi, ia menjadi seorang lesbian. Kemudian peristiwa-peristiwa yang bercerita tentang Pelarian diri yang dilakukan Arimbi baik dari rumahnya atau dari panti rehabilitasi.

Peristiwa selanjutnya adalah tertembaknya Arimbi dalam penggerebekan narkoba di sebuah diskotik. Kemudian dilanjutkan dengan peristiwa Vela yang memutuskan hubungan dengan Arimbi, hal ini menyebabkan pemberontakan Arimbi untuk lepas dari orangtuanya semakin melemah.

Cerita novel DT diawali dengan melukiskan keadaan awal, yaitu cerita tentang pertemuan antara Arimbi dan wartawan atas permintaan Rajib, seorang pengedar narkoba, hingga sampai pada cerita masa kecil Arimbi. Peristiwa ini merupakan pemaparan kondisi awal, karena diceritakan bagaimana awal mula pertemuan antara Arimbi dengan seorang wartawati, kemudian diceritakan tentang kehidupan masa kecil Arimbi, tentang dirinya, kedua orangtuanya serta kehidupannya.

Konflik muncul ketika Arimbi beranjak remaja. Peristiwa pertengkaran kedua orangtuanya membuat Arimbi sedih dan terluka. Kebencian Arimbi terhadap orangtuanya bertambah besar ketika dia mengetahui bahwa keduanya berselingkuh. Peristiwa perselingkuhan tersebut membuat Arimbi memberontak dari Papa dan Mamanya dengan melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada hal-hal negatif. Pada tahap ini terjadi gawatan yang ditandai dengan perilaku Arimbi yang terseret dalam kehidupan remaja yang bebas. Ia mulai membolos les dan sekolah, merokok, minum-minuman keras, menonton video porno, dan terakhir mencoba narkoba.

“Saya sudah memutuskan hubungan dengan rumah bahkan tanpa sepengetahuan orangtua saya. Saya melakukan banyak hal yang tidak diketahui orangtua saya. Les-les tidak saya datangi lagi. Saya ganti dengan nongkrong bersama teman-teman sekolah yang sama kesepian, sama kebingungan. Saya tak merasa perlu bilang orangtua. Sebab mereka tak mengenal saya dan saya tak mengenal mereka. Maka, saya tak merasa bersalah telah membohongi mereka. Sebab mereka tak mengenal saya.” Ternyata berbohong adalah pelepasan yang menyenangkan. O, betapa laknat kejujuran yang membiarkan remaja-remaja seperti diri saya hanya menjadi boneka goblok di rumah sendiri” (Alberthiene Endah, 2006: 51). Kutipan tersebut menggambarkan bagaimana Arimbi mulai melakukan hal-hal negatif sebagai bentuk pelepasan atas ketidaksukaannya terhadap sikap kedua orangtuanya.

Pada peristiwa pemberontakan yang dilakukan Arimbi terhadap orangtuanya, konflik cerita semakin meningkat ketika Arimbi memutuskan untuk pergi dari rumah dan mencari kehidupan yang diinginkannya. Setelah sebelumnya menjalani perawatan di sebuah panti rehabilitasi narkoba.

Rumah ini tak pernah berubah. Kecuali kamar tidur saya yang bercat kuning dan biru. Selebihnya, rumah ini tetap lembah nestapa buat saya. Karenanya telah saya merencanakan sesuatu. Telah saya gantung ketakutan itu. Pada langit kelabu dan bintang jingga. Pada awan merah dadu dan hujan tembaga. Dunia sudah berubah warna. Maka, saya harus menemukan warna yang telah saya yakini. Akan saya kejar dunia saya yang telah hilang. Dunia yang ada di tengah reruntuhan. Dunia yang meneduhkan” (Alberthiene Endah, 2006: 108).

Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa Arimbi tidak juga bisa menemukan kebahagiaan yang diinginkannya di dalam rumah, sehingga dia memutuskan untuk pergi dari rumah dan mencari kebahagiaan yang diinginkannya.

Konflik bertambah rumit ketika dalam sebuah peristiwa Arimbi dan Vela melarikan diri dari sebuah panti rehabilitasi. Hal ini dilakukan Arimbi karena ia mengetahui bahwa Vela sangat menderita berada di sebuah panti rehabilitasi murah. Dia ingin menyelamatkan dan melindungi orang yang

dicintainya. “Tak ada lagi yang saya inginkan kecuali lari. Menemui kekasih saya. Melindunginya. Atau sama-sama merasakan sakitnya.” (Alberthiene Endah, 2006: 128).

Kutipan tersebut memperlihatkan tekad Arimbi untuk bisa bertemu dan melindungi Vela. Ia bahkan bersedia merasakan sakit dan derita hidup dalam panti rehabilitasi murah tempat Vela dirawat.

Setelah melarikan diri dari panti rehabilitasi, mereka hidup bersembunyi di rumah Rajib. Karena kebutuhan ekonomi yang mendesak untuk hidup dan pergi dari Jakarta, Arimbi nekat menjadi seorang kurir narkoba. Klimaksnya adalah saat Arimbi tertembak dalam penggerebekan di sebuah diskotik, ketika tengah mengantarkan barang (narkoba).

“Dorrr! Saya terjengkang. Ada yang menusuk di bahu kanan saya. Sangat pedih. Mengiris dan membakar. Saya menggeliat. Sakit itu terasa hebat apakah ini yang dinamakan sekarat? Jangan. Saya belum akan mati. Tapi begitu jatuh, saya merasakan sesuatu yang hangat mengucur. Alirannya terasa dan bersuara. Sesuatu yang panas di dalam bahu saya kini beraksi dengan ganas. Memercikkan rasa pedih setiap kali menggeliat. Gigi saya mengejan, menahan sakit. Saya merintih kemudian melolong.” (Alberthiene Endah, 2006: 128).

Konflik mulai menurun, terjadi leraian ketika Arimbi tidak bisa lagi berontak. Kondisi Arimbi membuat perlawannya terhadap kedua orangtuanya melemah, tetapi tidak hilang. Setelah pulang dari rumah sakit orangtua Arimbi memilih mengobati Arimbi di rumah, dengan mendatangkan seorang psikolog serta dokter spesialis. Dia dijauhkan dari apapun yang bisa membuatnya kembali pada narkoba dan tidak diberi kesempatan untuk berkomunikasi dengan siapa pun di luar rumah. “Dia lalu berdiri. Saya mendengar bunyi napasnya ketika tubuhnya bergerak. Dia seperti lega. ‘Maafkan, di kamar ini tidak ada saluran telepon. Kalau kamu butuh kami, mbok Rip tidur di kamar

sebelah. Ketuk saja pintunya, biarkan dia yang turun ke bawah memanggil kami.’ Katanya. Papa berusaha tersenyum. Tapi gagal. Dia seperti mencibir saya. Saya membuang muka.” (Alberthiene Endah, 2006: 218).

Kutipan tersebut merupakan gambaran dari kehidupan Arimbi setelah kembali dari rumah sakit. Orangtuanya sangat membatasi aktivitas Arimbi, di kamar Arimbi tidak diberi telepon, pembantu tidur di kamar sebelah kamar Arimbi, agar Arimbi tidak perlu turun sendiri ke lantai bawah jika membutuhkan sesuatu, karena cukup mengetuk pintu pembantunya.

Orangtua Arimbi berencana mengirim Arimbi ke Loa Angles untuk mendapatkan pengobatan narkoba. Tahu bahwa dirinya akan dikirim ke Amerika semangatnya untuk lari timbul lagi. Dia melarikan diri dari rumahnya untuk mencari Vela, tetapi kekuatan Arimbi untuk terus berontak dari kungkungan kedua orang tuanya melemah dan terus melemah, ketika dia tahu bahwa Vela telah memutuskan hubungan dengannya. “Penangkapan Rajib telah membuat saya sadar, kami sudah terlalu hanyut dalam arus yang kamu buat. Saya dan Rajib buat. Tuhan masih baik, karena saya selamat. Sekarang, selamatkan dirimu sebelum menderita lebih jauh. Saya lega bisa mengatakan ini pada kamu. Setelah ini, jangan pernah datang lagi pada saya. Saya mohon…….”( Alberthiene Endah, 2006: 231).

Kutipan tersebut diucapkan oleh Vela ketika bertemu dengan Arimbi setelah peristiwa penggerebekan. Tertengkapnya Rajib membuat Vela berpikir bahwa ia dan Arimbi berbeda. Ia menganggap bahwa semua peristiwa yang dialaminya karena Arimbi. Ia berharap Arimbi tidak pernah menemuinya lagi.

Hal ini membuat Arimbi tidak lagi memiliki hasrat atau keinginan apapun, sebab dia merasa sudah mati. Baginya Vela adalah tujuan dan penyelesaian terhadap semua masalahnya. Ketika vela memutuskan untuk meninggalkannya, ia merasa tidak lagi memiliki tujuan, ia tidak mendapat penyelesaian yang diinginkannya.

Orangtua Arimbi dengan mudah bisa menemukannya, dan kembali memasukkannya ke panti rehabilitasi. Terjadi Selesaian ketika tidak ada lagi semangat dan kenginan Arimbi untuk terus mengejar hidup yang diinginkannya. Dia telah menyerah bahkan berkali-kali mencoba bunuh diri selama di dalam panti.

“Sekarang saya sudah di ambang kepasrahan. Saya mulai belajar rileks terhadap apa yang saya hadapi. Saya tidak menangisi derita saya. Saya menyikapinya dengan wajar saja. Maka saya begitu ringan melihat kehidupan, saya juga ringan melihat kematian. Saya sudah mencoba menyudahi hidup saya. Beberapa kali. Dengan cara rileks. Saya sudah menelan sebotol pil aspirin. Entah berapa banyak. Saya sudah merasa asyik, terbang seperti punya sayap. Tapi teman saya keburu melihat, saya diangkut ke Rumah Sakit dan tidak jadi mati.” (Alberthiene Endah, 2006: 236).

Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa Arimbi tidak lagi memiliki semangat untuk hidup. Ia terus mencoba bunuh diri, karena menganggap mati adalah penyelesaian terbaik baginya.

Novel ini diakhiri dengan peristiwa pelarian Arimbi dari panti setelah bersembunyi dalam mobil si wartawati, saat pulang dari panti rehabilitasi. “Mobil saya telah keluar dari tol Bogor-jakarta, dan saya menyusuri jalan di sepanjang Manggarai menuju kantor saya. Saya tengah menanti lampu merah berubah hijau, ketika seseorang menepuk pundak saya dari belakang. Arimbi!

Dia berada di dalam mobil saya sejak tadi. Bagaimana mungkin?” (Alberthiene Endah, 2006: 241).

Kutipan tersebut adalah bagian akhir cerita ketika si wartawati pulang setelah bertemu dan mendengarkan kisah dari Arimbi. Tokoh wartawati tak sadar dengan keberadaan Arimbi dalam mobilnya, sampai Arimbi menepuk pundaknya.

Akhirnya Arimbi kembali mencoba untuk memperjuangkan lagi jalan hidup yang dia pilih. Ia tidak mau kembali menjalani hidup bersama kedua orangtuanya atau dikirim ke Amerika. Penyelesaian dalam novel DT telah dijawab melalui tokoh Arimbi, bahwa mengirim seseorang yang terkena masalah narkoba ke Amerika atau panti-panti rehabilitasi lain di seluruh dunia tidak akan menyelesaikan masalah, dan menyembuhkan si pecandu, akan tetapi apa yang menjadi pokok permasalahan penyebab memakai narkoba yang seharusnya diselesaikan.

2. Tokoh

Terdapat beberapa tokoh yang menunjang jalan cerita novel DT antara lain seorang wartawati, Arimbi, kedua orang tua Arimbi, Rajib, dan Vela. Analisis tokoh dilakukan dengan melihat dari dua dimensi yaitu sosiologis, dan psikologis.

a. Dimensi sosiologis

Dimensi sosiologis tokoh meliputi ciri-ciri kehidupan tokoh dalam masyarakat. Misalnya status sosial, pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat, tingkat pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan hidup,

agama, kepercayaan ideologi, aktifitas sosial, hobi, keturunan. Dimensi sosiologis tokoh-tokoh dalam novel DT adalah sebagai berikut.

1) Tokoh Wartawati. Seorang wartawan dari sebuah majalah. “Oleh karenanya, mendapatkan keterbukaan orang-orang itu, entah itu pecandu atau pemakai, adalah rezeki bagus bagi wartawan seperti saya.” (Alberthiene Endah, 2006: 10).

Kutipan tersebut merupakan sebuah pernyataan tentang profesi wartawan dari tokoh wartawati. Saat itu tokoh wartawati tengah mewawancarai Rajib yang sedang dipenjara, untuk artikel mengenai sindikat narkoba. Dari kutipan tersebut juga bisa diperoleh gambaran tentang betapa susahnya mendapatkan keterbukaan dari para pecandu atau pengedar narkoba, hingga dibutuhkan keahlian untuk mengambil kepercayaan dari para pecandu atau pengedar narkoba tersebut, agar bisa mengorek informasi sebanyak dan sedalam mungkin. Ia memiliki hubungan dengan Dokter Gunawan sebagai kenalan baik. “Dokter Gunawan tertawa kecil. ‘Setelah makan siang usai akan saya kenalkan kamu padanya. Berjanjilah, ini bukan untuk kepentingan artikelmu, kan? Kasus Arimbi sensitif. Orangtuanya bisa marah besar, jika tahu saya membiarkannya ditemui wartawan.’ Alis dokter itu sedikit naik. Saya mengangguk.” (Alberthiene Endah, 2006: 17) .

Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa tokoh Wartawati memiliki akses untuk dapat bertemu dengan Arimbi, atas bantuan dari Dokter Gunawan bahkan dengan resiko kemarahan orangtua Arimbi. Tokoh Wartawati merupakan kenalan baik Dokter Gunawan, salah satu pemilik

panti tempat Arimbi di rawat. Tokoh ini termasuk penting, karena merupakan pengantar yang membawa pembaca mencapai cerita yang lebih kompleks dari jalan hidup Arimbi.

2) Arimbi. Seorang pelajar tingkat akhir di sebuah SMU berumur 19 tahun. “Ya, inilah saya sekarang. Arimbi sembilan belas tahun. Sebentar lagi lulus SMU.” (Alberthiene Endah, 2006: 94). Arimbi adalah Anak tunggal dari pasangan pebisnis kaya dan terkenal. “‘Dia tergolong pasien yang dirahasiakan,’ katanya tanpa nada menyalahkan saya. ‘Saya tahu’. ‘Anda tahu dia anak siapa?’. Saya mengiyakan. Rajib sempat memberitahu saya latar belakang Arimbi, dan saya sangat kaget. Orangtuanya sangat popular. ‘pasangan Ruslan Suwito dan Marini Ruslan. Pengusaha papan atas yang punya pamor sangat baik di mata khalayak’ ” (Alberthiene Endah, 2006: 11-12).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Arimbi adalah anak dari pengusaha papan atas yang sangat populer, hingga keberadaannya di panti rehabilitasi dirahasiakan, ini untuk menjaga pamor baik kedua orangtuanya di mata umum.

Pergaulan Arimbi dengan masyarakat di sekitar rumahnya tidak terlalu baik, karena kegiatan sehari-hari sangat dibatasi oleh orangtuanya, ia hanya berteman dengan teman-teman satu sekolahannya serta anak-anak dari rekan kerja ayah atau ibunya.. Seperti kutipan berikut. “ Saya bilang, hidup saya tak punya cerita. Apa yang bisa diceritakan dari hari-hari yang hanya punya tiga titik tempat. Rumah, sekolah, dan mobil mewah.” (Alberthiene Endah, 2006: 31).

Dalam kutipan tersebut dapat diketahui bahwa kehidupan Arimbi telah terjadwal. Ia tidak memiliki kebebasan untuk menunjukkan dan menentukan apa yang diinginkannya. Ia tidak leluasa bergaul dengan masyarakat sekitar, karena tidak pernah ada kesempatan untuk mengenal lingkungan di luar rumahnya.

3) Tokoh mama. Ibu Arimbi bernama Marini Ruslan. memiliki bisnis event organizer yang bergerak dibidang pameran lukisan.

“Mama saya punya sejuta daya tarik. Bukan saja karena tubuhnya yang cantik selalu terbalut gaun menarik. Tetapi juga karena dia pintar membawa diri di luar rumah. Dia punya bisnis event organizer, terutama bergerak di bidang pameran lukisan. Di rumah kami, ada lemari besar khusus untuk menyimpan berkas kerja Mama yang sangat banyak. Ada brosur-brosur pameran, dokumen undangan, juga tetek bengek lainnya. Mama punya kantor sendiri. tak jauh dari rumah. Masih di kawasan mewah Kebayoran Baru.” (Alberthiene Endah, 2006: 30).

Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa ibu Arimbi tidak hanya menjadi seorang ibu rumah tangga, melainkan memiliki bisnis yang bisa dibilang cukup besar, bukan hanya bisnis rumahan biasa, mengingat sudah memiliki kantor sendiri.

Selain memiliki bisnis, Marini juga seorang pecinta barang-barang mewah bermerk. Ia menjadikan barang-barang tersebut sebagai koleksinya “Begitu hidung saya bisa mengendus, saya tahu ibu wanita dengan cita rasa tinggi yang terpuaskan dengan sempurna karena uang Papa yang tiada batas. Dia punya kamar besar dengan koleksi berlian, jam tangan, pakaian, dan sepatu yang luar biasa banyaknya” (Alberthiene Endah, 2006: 25). 4) Tokoh papa. Ayah Arimbi bernama Ruslan Suwito. Seorang pebisnis dengan beberapa usaha, yaitu perkebunan kelapa sawit, usaha ritel, dan

bisnis properti. “Begitu mengerti kata-kata, saya langsung tahu ayah, yang saya panggil Papa, adalah pemilik bisnis perkebunan kelapa sawit di Sumatera, usaha ritel di Jakarta, dan bisnis properti” (Alberthiene Endah, 2006: 25). Sebagai pengusaha sukses, lingkup pergaulan Ruslan Suwito tidak hanya sebatas teman kantor, atau relasi bisnis, tetapi hingga perwira tinggi TNI. Semuanya adalah orang-orang penting dan besar. “Papa anggota klub eksekutif terkenal di Jakarta. Dia punya kehidupan sosial yang bagus. Dari pengusaha-pengusaha kelas kakap, kalangan pejabat, sampai orang-orang hiburan. Papa juga punya sahabat sejumlah perwira tinggi TNI. Sebulan sekali dia mengadakan jamuan makan di rumah, dengan tamu yang berganti-ganti” (Alberthiene Endah, 2006: 30).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Rusla Suwito memiliki relasi yang baik dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Mulai dari pengusaha-pengusaha besar hingga perwira tinggi TNI.

5) Rajib. Seorang pengedar nakoba. Ia jarang berhubungan atau bergaul dengan lingkungan tempat tinggalnya, karena sebagai pengedar narkoba, ia harus terus waspada, hingga jarang sekali bertemu dan berhubungan dengan masyarakat sekitar. Waktunya tersita di luar rumah untuk bertransaksi. “Rajib selalu pulang tengah malam. Pada matanya saya temukan perasaan khawatir. ‘apakah tidak terjadi apa-apa sepanjang siang

Dokumen terkait