• Tidak ada hasil yang ditemukan

15 3.1.2.4 Distribusi dan Ketimpangan Ekonomi Wilayah

RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

III- 15 3.1.2.4 Distribusi dan Ketimpangan Ekonomi Wilayah

Struktur ekonomi dapat dilihat dalam konteks kewilayahan, yakni dengan mengamati kontribusi PDRB masing-masing kabupaten/kota terhadap pembentukan total PDRB Provinsi Lampung. Di tahun 2015, kontribusi terbesar disumbang Kabupaten Lampung Tengah sebesar 19,31 persen, disusul Kota Bandar Lampung di posisi ke dua dengan kontribusi sebesar 15,35 persen. Selanjutnya Kabupaten Lampung Selatan menempati posisi ketiga berkontribusi 12,32 persen dan Kabupaten Lampung Timur menyumbang nilai tambah sebesar 12,27 persen. Sementara daerah yang memberikan sumbangan terendah adalah Kabupaten Pesisir Barat (1,30 persen) dan Kota Metro (1,82 persen) serta Kabupaten Lampung Barat (2,01) persen.

Tabel III-10

Kontribusi PDRB Kabupaten/Kota se-Provinsi Lampung terhadap Total PDRB Tahun 2011 – 2015 (Persen)

No. Kabupaten/Kota 2011 2012 2013 2014 2015 1 Lampung Barat 3,31 2,03 2,04 2,03 2,01

2 Tanggamus 4,31 4,45 4,43 4,44 4,48

3 Lampung Selatan 12,30 12,37 12,29 12,25 12,32 4 Lampung Timur 13,02 12,78 13,01 12,76 12,27 5 Lampung Tengah 19,47 19,46 19,36 19,31 19,12 6 Lampung Utara 6,81 6,73 6,66 6,72 6,63

7 Way Kanan 4,04 4,03 3,98 3,98 3,94

8 Tulang Bawang 6,50 6,38 6,41 6,48 6,67

9 Pesawaran 4,73 4,71 4,70 4,67 4,89

10 Pringsewu 3,16 3,17 3,16 3,20 3,17

11 Mesuji 2,60 2,64 2,63 2,53 2,86

12 Tulang Bawang Barat 3,26 3,28 3,24 3,21 3,18 13 Pesisir Barat 0,00 1,29 1,27 1,27 1,30 14 Bandar Lampung 14,80 14,96 15,10 15,40 15,35

15 Metro 1,69 1,72 1,73 1,75 1,82

Jumlah 100 100 100 100 100

(Sumber : BPS)

Dari perbandingan pendapatan per kapita wilayah kabupaten/kota se-Provinsi Lampung (Tabel III-11), data tahun 2015 menunjukkan bahwa level ekonomi penduduk diKota Bandar Lampung,Kabupaten Tulang Bawang, dan Kabupaten Lampung Tengahtercatat memiliki pendapatan per kapita terbesar, bahkan di atas rata-rata pendapatan per kapita provinsi. Sebaliknya, wilayah dengan pendapatan perkapitaterendah berada di KabupatenLampungBaratsebesarRp17,49juta. dan Kabupaten Tanggamus Sebesar Rp 19,91 juta. Sedangkan pendapatan per kapita tertinggi ada di Kabupaten Tulang Bawang dan Lampung Tengah masing-masing sebesar 39,63 juta dan 39,38 juta.

III-16 Tabel III-11

PDRB Per Kapita Kabupaten/Kota se-Provinsi Lampung Tahun 2011 – 2015 (Juta Rupiah)

Kabupaten/Kota 2011 2012 2013 2014 2015 Lampung Barat 19,80 13,21 14,47 16,02 17,49

Tanggamus 13,28 14,91 16,12 17,94 19,91

Lampung Selatan 22,29 24,42 26,39 29,21 32,34 Lampung Timur 22,65 24,25 26,87 29,29 31,05 Lampung Tengah 27,54 30,04 32,53 36,07 39,38 Lampung Utara 19,37 20,97 22,71 25,56 27,90

Way Kanan 16,44 17,88 19,18 21,29 23,21

Tulang Bawang 26,92 28,75 31,32 35,07 39,63

Pesawaran 19,58 21,24 23,05 25,42 29,26

Pringsewu 14,33 15,70 17,00 19,15 20,91

Mesuji 23,04 25,60 27,81 29,88 37,26

Tulang Bawang Barat 21,54 23,65 25,49 28,03 30,65

Pesisir Barat - 16,44 17,60 19,63 22,20

Bandar Lampung 27,51 30,06 32,72 36,76 40,00

Metro 19,12 21,12 23,01 25,67 29,36

Lampung 21,98 23,91 25,77 28,78 31,19

(Sumber : BPS)

Ketimpangan Ekonomi Wilayah (Indeks Williamson)

Kesenjangan antarwilayah di Provinsi Lampung tidak terlepas dari adanya keragaman potensi sumber daya alam, letak geografis, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, ketersediaan infrastruktur daerah, dan faktor-faktor lain, termasuk diantaranya kemampuan ekonomi dan keuangan pemerintah daerah. Keragaman tersebut dapat menjadi sebuah keunggulan dalam satu sisi, namun di sisi lain dapat berpotensi menjadi sumber instabilitas ekonomi dan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Salah satu model yang cukup representatif untuk mengukur tingkat ketimpangan ekonomi antar wilayah adalah Indeks Williamson. Skala nilai Indeks Williamson berada pada kisaran 0 hingga 1. Angka nol menunjukkan tingkat perekonomian wilayah yang sangat merata, sementara angka satu menunjukkan tingkat perekonomian wilayah yang sangat tidak merata (sangat timpang).

Grafik III-7

Indeks Williamson Provinsi Lampung

III-17

(Sumber : BPS)

Indeks Williamson Provinsi Lampung sepanjang periode tahun 2011-2013 cenderung menurun. Nilai indeks 0,27 di tahun 2009 turun menjadi 0,24 di tahun 2013, masih dibawah nilai Indeks Williamson secara nasional. Pada tahun 2014 dan 2015*), Indeks Ketimpangan Wilayah Provinsi Lampung sebesar 0,23. Secara teoritis, angka kesenjangan tersebut masih berada pada tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah yang rendah (kurang dari 0,35).

3.1.2.5 Ketimpangan Pendapatan Penduduk (Indeks Gini)

Ukuran Indeks Gini digunakan untuk mengetahui sebaran ketidakmerataan atau ketimpangan pendapatan antarkelompok pendapatan dari penduduk. Skala nilai Indeks Gini berada pada kisaran 0 hingga 1. Angka nol menunjukkan pendapatan yang sangat merata, sementara angka satu menunjukkan tingkat pendapatan yang sangat tidak merata (sangat timpang). Pada periode tahun 2012 – 2016, Indeks Gini Provinsi Lampung secara umum menunjukkan tren yang menurun dari tahun ke tahun. Di sisi teori, Indeks Gini Provinsi Lampung yang tercatat sebesar 0,36 di tahun 2016 menunjukkan tingkat ketimpangan yang masih rendah (kurang dari 0,4).

Membandingkan dengan nilaiIndeks Gini nasional, maka Indeks Gini Provinsi Lampung masih berada dibawah nilai Indeks Gini secara nasional yang tercatat sebesar 0,40.

Meskipun tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, kesenjangan pendapatan sangat berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan, seperti: peningkatan kriminalitas atau konflik sosial. Oleh karenanya, upaya melakukan redistribusi pendapatan antarkelompok pendapatan akan tetap menjadi fokus perhatian, sehingga mampu mendorong redistribusi perekonomian daerah.

Grafik III-8

Indeks Gini Provinsi Lampung dan Indonesia Tahun 2012 – 2016

III-18

(Sumber : BPS)

3.1.2.6 Nilai Tukar Petani

Berdasarkan data statistik di tahun 2016, tercatat bahwa hampir separuh atau sebesar 48,28 persen penduduk yang bekerja di Provinsi Lampung berkecimpung di sektor pertanian (dalam arti luas) atau setara dengan 1,897 juta dari 3,931 juta penduduk yang bekerja.

Tabel III-12

Persentase Penduduk yang Bekerja di Provinsi Lampung Berdasarkan Kelompok Usaha Tahun 2014 – 2015

( Provinsi Lampung menjadi penting. NTP menunjukkan daya tukar (term of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif mencerminkan semakin kuat pula tingkat kemampuan/daya beli petani. Nilai Tukar Petani (NTP) yang diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani, merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani. Pada akhir tahun 2016sebesar 105,12 meningkat dari tahun 2015yang sebesar 103,84. Secara rerata NTP Provinsi Lampung pada tahun 2016 sebesar 103,9 meningkat dibaning tahun 2015 yang tercatat 103,17 Meski masih perlu ditingkatkan, nilai NTP pada dua tahun terakhir dapat menggambarkan bahwa aktivitas ekonomi pada sektor pertanian secara umum masih memberi harapan yang cukup baik.

Lapangan Pekerjaan 2015 2016

Februari Agustus Februari Agustus

(%) (Ribu) (%) (Ribu) (%) (Ribu) (%) (Ribu)

Listrik, Gas dan Air

Minum 0,11 4,3 0,16 5,8 0,25 9,7 0,13 4,9

III-19 Grafik III-9

Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Lampung Tahun 2015 – 2016

(Sumber : BPS)

3.1.3 Tantangan dan Prospek Perekonomian Daerah 3.1.3.1 Tantangan Perekonomian Nasional dan Global

Pada tahun 2016, kinerja ekonomi Indonesia yang tumbuh pada tingkat 5,02 persen naik dari tahun 2015 yaitu sebesar 4,79 persen. Dengan tingkat inflasi nasional berhasil ditekan menjadi 3,02 persen merupakan kondisi yang cukup mendukung kestabilan ekonomi di tahun 2016.

Di tahun 2017 kondisi perekonomian Indonesia diprediksi dapat tumbuh lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Meski demikian, perekonomian nasional masih menghadapi tantangan berasal yang dari lingkungan eksternal maupun internal.

Disisi eksternal, terdapat risiko ketidakpastian ekonomi global.Pertumbuhan ekonomi global yang melambat yang antara lain disebabkan harga komoditas yang terus berfluktuasi dan belum pastinya pemulihan ekonomi di Eropa setelah Inggris keluar dari Uni Eropa atau Brexit. Selain itu, dunia masih menunggu kebijakan Amerika Serikat (AS) setelah Donald Trump terpilih menjadi Presiden dan mulai menjabat pada Januari 2017, Juga perlambatan ekonomi Tingkok yang diperkirakan akan terus berlanjut pada tahun 2017, maka Tiongkok sebagai importir besar bagi kawasan ASEAN (termasuk Indonesia) dapat menyebabkan permintaan barang-barang dari Indonesia ke China berkurang. Selain itu, spekulasi kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat yang dapat mengguncang nilai tukar rupiah terhadap USDmaka dampaknya adalah investasi dalam USD menjadi menarik. Akibatnya, investasi yang tadinya ditanamkan di negara-negara berkembang akan kembali ke AS.

Artinya, perlambatan ekonomi Tiongkok, penurunan harga komoditas, kebijakan Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, dan tren kenaikan Fed Fund Rate (USA)

III-20