• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

A. Distribusi Demografi Responden

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa sebagian besar responden adalah perempuan 14 orang dibandingkan laki-laki 1 orang yang terpilih sebagai sampel karena responden perempuan lebih banyak ditemukan di lapangan. Ivancevich et al (2007) menyebutkan terdapat perbedaan terkait kinerja yang diberikan oleh manajer wanita dan manajer pria, tetapi perbedaan tersebut masih diperdebatkan keberadaannya. Swchartz (dalam Ivancevich et al, 2007) menambahkan, kemungkinan perbedaan tersebut muncul karena adanya tuntutan yang lebih dari wanita, yaitu adanya keluarga dan kehamilan, yang memungkinkan karier yang dijalani wanita akan tertunda sementara waktu.

Dari penelitian Farida (2009) mengatakan motivasi kerja petugas pelaksana MTBS di Puskesmas kota Surabaya kurang baik (54,8%)

lebih besar dari yang baik (45,2%). ini menunjukkan motivasi dari petugas MTBS masih kurang dalam pelaksanaannya.

2. Usia

Hasil penelitian rata-rata responden berusia 44 tahun dan usia terbanyak usia 29 tahun. Batas usia termuda 29 tahun dan batas usia tertua usia 56 tahun. Pada usia tersebut umumnya responden telah menikah dan mempunyai anak bahkan cucu, sehingga pengalaman dalam merawat dan memberikan makan yang sesuai dengan usia anak. Robbins & Judge (2008) mengatakan bahwa produktivitas menurun seiring dengan bertambahnya usia, ini dikaitkan dengan keterampilan seorang individu, khususnya kecepatan, kelincahan, kekuatan, koordinasi berkurang seiring waktu, kebosanan secara berkepanjangan dan kurangnya stimulasi intelektual terhadap pekerjaan. Mc Donals (dalam Robbins & Judge, 2008) berpendapat berbeda bahwa pekerja tua berkeinginan untuk lebih bertangggung jawab, disiplin dan menjadi model peran yang baik bagi karyawan yang lebih muda, yang semuanya merupakan bagian dari kinerja.

3. Tingkat Pendidikan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai tingkat pendidikan S1 sebanyak 6 orang, DIII sebesar 5 responden dan masih terdapat reponden yang memiliki pendidikan SPK sebesar 4 responden. Notoatmodjo (2003) menyatakan pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk mengembengkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga

sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang meraka peroleh, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang makan semakin baik pula pengetahuannya.

Suhendro (1991) yang mengemukakan bahwa pendidikan tidak berhubungan dengan kualitas layanan antenatal, penelitian lain yang dilakukan oleh Herawati (1994) juga tidak menemukan adanya hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan kualitas laporan penyakit demam berdarah dengue, selain itu kesimpulan yang sama diperoleh oleh Santoso (1993) bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kualitas layanan laboratorium.

Hersey dan Blanchard (dalam Pudjiastuti, 2002) yang mengungkapkan bahwa pendidikan formal maupun non formal dapat mempengaruhi seseorang dalam membuat keputusan dan bekerja. Selain itu Siagian (1992) juga mengungkapkan bahwa pendidikan memainkan peran yang sangat penting dalam pembentukan perilaku petugas.

Penelitian yang dilakukan oleh Faizin & Winarsih (2008), terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan kinerja yang diberikan oleh perawat. Pendapat lain dari penelitian yang dilakukan Tarigan (2011) dan Nugroho (2004) bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan kinerja yang diberikan. Tetapi, peningkatan jenjang pendidikan tetap menjadi penting karena dapat meningkatkan produktivitas. Beberapa petugas tetap melakukan peningkatan jenjang

pendidikannya dengan melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi.

4. Lama bekerja

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata petugas sudah bekerja selama 60 bulan (5 tahun) di ruang poli MTBS. Terlama responden bekerja adalah 132 bulan (11 tahun) dan paling singkat adalah 1 bulan.

Lama kerja petugas kesehatan ternyata berpengaruh juga terhadap kinerja yang diberikan, pernyataan ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Tarigan (2011) dan Faizin & Winarsih (2008).

Menurut Andersen 1974 (dalam Alamsyah, 2000), bahwa pekerjaan akan perpengaruh terhadap perilaku petugas. Seorang petugas yang sudah lama bekerja mempunyai wawasan yang lebih luas dan pengalaman yang lebih banyak yang memegang peranan dalam pembentukan perilaku petugas. Walaupun pengalaman yang telah dimiliki oleh para petugas sudah banyak, akan tetapi belum tentu selalu dapat untuk melaksanakan tugas yang memang selalu dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dan perkembangan yang selalu terjadi (Siagian, 1994). Sedangkan menurut Suprihanto (1988) bahwa seorang karyawan yang terlalu lama akan mengakibatkan rasa bosan, pasif dan kurang inisiatif dalam bekerja. Sehingga akan menimbulkan kesalahan petugas dalam tatalaksana kasus penyakit pada anak. Menurut hasil penilitian (Kusmiati, 1987 dalam Alamsyah, 2000) bahwa pengetahuan dan praktek tidak ditentukan oleh lama bekerja.

Penelitian Farida (2009) mengatakan motivasi kerja petugas pelaksana MTBS di Puskesmas kota Surabaya kurang baik (54,8%) lebih besar dari yang baik (45,2%). Ini menunjukkan motivasi dari petugas masih kurang dalam pelaksanaan MTBS.

Temuan tersebut kemungkinan disebabkan karena kebiasaan cara pemberian konseling dengan pendekatan yang lama yang telah dilakukannya selama ini, dimana responden yang telah bekerja.

5. Pelatihan MTBS

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden belum mendapatkan pelatihan MTBS yaitu sebesar 8 responden dan yang telah mendapatkan pelatihan MTBS yaitu sebesar 7 responden. Notoatmojo (1990) mengatakan bahwa pelatihan adalah salah satu bentuk proses pendidikan, dengan melalui pelatihan sasaran belajar akan memperoleh pengalaman yang akhirnya akan menimbulkan perubahan perilaku petugas. Siagian (1994) mengatakan bahwa pelatihan dipakai sebagai salah satu cara atau metode pendidikan. Khususnya untuk meningkatkan atau menambah pengetahuan atau keterampilan petugas, Moekijat (1991) mengatakan suatu pelatihan tidak diberikan hanya satu kali saja kemudian berhenti, tetapi harus merupaka fungsi yang terus menerus yang menunjukkan kepada petugas bagaimana mengerjakan suatu pekerjaan.

Pendapat lain dari Irawati (1998) mengatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pelatihan dengan kepatuhan bidan di desa terhadap standar pelayanan antenatal minimal 5T. Emawati (1998)

tentang faktor yang berhubungan dengan kepatuhan bidan terhadap SOP layanan di unit KIA puskesmas Jakarta Pusat, mengatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pelatihan dengan kepatuhan terhadap SOP layanan antenatal di unit KIA Puskesmas Jakarta Pussat. Yuliana (2000) tentang factor yang berhubungan dengan kepatuhan petugas terhadap standar ANC di 6 Puskesmas pelaksana QA di Kbupaten bekasi Jawa Barat, mengatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pelatihan dengan kepatuhan terhadap standar ANC di 6 Puskesmas pelaksana QA di Kabupaten Bekasi Jawa Barat.

Pelatihan MTBS diakui petugas kesehatan membawa perubahan terhadap pelayanan balita sakit. Dalam menangani balita sakit sebelum diberikan pelatiha petugas hanya fokus pada keluhan yang disampaikan oleh pengantar saja. Namun setelah mendapat bekal ilmu MTBS ternyata mereka bisa mendeteksi kelainan-kelainan pada balita sakit seperti diare, demam berdarah, malaria, gizi dan anemia, dan juga mempermudah pekerjaan petugas dalam menangani kasus balita sakit. Dan ini sejalan dengan penelitian Pratono (2009) yang mengatakan pada penemuan kasus pneumonia di ketiga puskesmas yang meningkat setelah diterapkan MTBS.

B. Gambaran langkah-langkah Pelaksanaan Konseling Pemberian

Dokumen terkait