• Tidak ada hasil yang ditemukan

MATERI DAN METODE

4. Distribusi Karbohidrat dalam Perkembangan Folikel

Distribusi karbohidrat pada setiap tahapan perkembangan folikel dilakukan dengan metode pewarnaan alcian blue (AB) pH 2.5, dan periodic acid Schiff (PAS) (Kiernan 1990). Metode pewarnaan AB dan PAS dapat dilihat dalam Lampiran 4 dan 5. Pengamatan dilakukan dengan melihat keberadaan karbohidrat netral dan asam dalam setiap fase perkembangan folikel dalam ovarium. Parameter yang diamati untuk menentukan distribusi karbohidrat pada perkembangan folikel adalah oosit, zona pelusida, matriks ekstraseluler dan cairan folikuli. Reaksi positif terhadap pewarnaan AB pH 2.5 akan ditunjukkan oleh warna biru, sedangkan reaksi positif terhadap pewarnaan PAS ditunjukkan oleh warna merah magenta. Intensitas reaksi positif dibagi menjadi ± (sangat lemah), + (lemah), ++ (sedang), dan +++ (tinggi) sesuai dengan intensitas warna yang muncul pada masing-masing hasil pewarnaan.

HASIL

Struktur Makroskopis

Secara makroskopis, organ reproduksi betina trenggiling Jawa yang telah difiksasi dapat dibedakan menjadi organ reproduksi internal dan organ reproduksi eksternal. Organ reproduksi internal terdiri dari sepasang ovarium, sepasang tuba uterina, sepasang kornua uteri, korpus uteri, serviks uteri, dan vagina. Organ reproduksi eksternal terdiri dari vestibula dan vulva (Gambar 11).

Gambar 11 Gambaran makroskopis organ reproduksi betina trenggiling Jawa yang difiksasi dalam larutan Bouin. A. Trenggiling dengan kode MJ-1, B. Trenggiling dengan kode MJ-2, a. Vulva, b. Vestibula, c. Vagina, d. Vesika urinaria, e. Serviks uteri, f. Korpus uteri, g. Kornua uteri, h. Ovarium, i. Jaringan penggantung. Bar = 1 cm.

B

A

b c a d e f g h i a b c d g h i

Ovarium trenggiling Jawa memiliki bentuk oval menyerupai telur hingga lonjong. Ovarium dari kedua sampel trenggiling memiliki permukaan yang tidak rata (Gambar 12). Jaringan penggantung ovarium atau mesovarium, terletak di salah satu sisi ovarium yang mengadakan pertautan dengan mesosalphynx.

Hasil pengukuran ovarium yang telah difiksasi menunjukkan panjang dan lebar ovarium kiri trenggiling Jawa berturut-turut adalah 9.00-11.93 mm dan 6.43 mm, sedangkan pada ovarium kanan adalah 9.12-12.50 mm dan 6.50-8.63 mm. Ukuran tebal pada ovarium kiri 5.03-5.57 mm, sedangkan pada ovarium kanannya adalah 4.97-6.23 mm. Setelah dilakukan penimbangan dapat diketahui bahwa bobot ovarium kiri adalah 0.21-0.24 gram, dan bobot ovarium kanan adalah 0.23-0.24 gram (Tabel 1).

Berdasarkan Tabel 1, ovarium trenggiling Jawa memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan ovarium kancil, dan lebih kecil jika dibandingkan dengan ovarium rusa. Ovarium kanan trenggiling Jawa memiliki ukuran lebih besar dibandingkan ovarium kiri.

Tabel 1 Pengukuran ovarium kanan dan kiri dari dua sampel organ reproduksi betina trenggiling Jawa*

Parameter MJ-1 MJ-2 Kancil (Hamny 2006) Rusa (Rifqiyati 2006) Bentuk Kanan Kiri Oval Segitiga tumpul Lonjong Lonjong Oval Oval Panjang: Kanan (mm) 9.12 12.50 7.53±0.90 37-40 Kiri (mm) 9.00 11.93 5.57±1.17 44-54 LeBar Kanan (mm) 8.63 6.50 4.45±0.50 33-34 Kiri (mm) 6.43 6.43 3.55±0.50 38-46 Tebal: Kanan (mm) 6.23 4.97 ** 17-26 Kiri (mm) 5.03 5.57 ** 30-33 Berat: Kanan (g) 0.23 0.24 0.0570±0.0149 0.40-1.28 Kiri (g) 0.21 0.24 0.0364±0.0061 0.60-0.80 Keterangan: *ukuran organ setelah difiksasi dalam larutan Bouin, **tidak ada data yang

dilaporkan. MJ-1: sampel 1, MJ-2: sampel 2

Tabel 2 menunjukkan panjang setiap bagian organ yang membentuk saluran reproduksi betina trenggiling Jawa. Berdasarkan pengukuran, secara umum trenggiling Jawa MJ-1 memiliki saluran reproduksi yang lebih panjang dibandingkan dengan saluran reproduksi pada trenggiling Jawa MJ-2 khususnya pada bagian kornua uteri. Jika dibandingkan dengan kornua uteri kancil, trenggiling Jawa memiliki kornua uteri yang relatif panjang.

Tabel 2 Pengukuran panjang saluran reproduksi betina trenggiling Jawa*

Bagian Organ Panjang

MJ-1 MJ-2 Kancil (Hamny 2006) Rusa (Rifqiyati 2006) Tuba Uterina: Kanan (cm) 3.183 3.767 4.39±0.85 14.00-17.10 Kiri (cm) 3.567 3.583 3.95±0.94 Kornua Uteri: Kanan (cm) 9.567 6.300 2.63±1.19 10.30-13.60 Kiri (cm) 7.867 6.167 1.83±1.28 Korpus uteri (cm) 1.863 0.477 2.56±0.61 1.20-1.60 Serviks uteri (cm) 1.193 0.783 3.87±1.36 4.50-5.60 Vagina (cm) 2.963 2.790 3.12±1.11 17.30-19.00 Keterangan: *Ukuran organ setelah difiksasi dalam larutan Boin. MJ-1: sampel 1, MJ-2: sampel 2.

Tuba uterina terdiri dari infundibulum, ampulla dan isthmus. Secara makroskopis, batas antara infundibulum dengan ampulla tidak dapat dibedakan dengan jelas. Kedua bagian ini membentuk lekukan yang kompleks. Lekukan satu dengan lainnya dihubungkan oleh mesosalphynx yang mengikat bagian tersebut pada kedua sisinya, baik di medial maupun lateral. Ujung infundibulum yang berbatasan dengan ovarium adalah fimbria. Fimbria trenggiling memiliki bentuk corong yang terdiri atas lipatan-lipatan tipis.

Gambar 12 Gambaran makroskopis ovarium dan tuba uterina trenggiling Jawa dengan kode MJ-1. a. ovarium, b. fimbrae, c. tuba uterina - bagian ampulla dan infundibulum, d. isthmus, e. kornua uteri, tanda panah: permukaan ovarium yang tidak rata. Bar = 2 mm.

a b

c d

Isthmus merupakan bagian tuba uterina yang memiliki diameter lebih kecil dibandingkan dengan infundibulum dan ampulla. Perbedaan ukuran antara bagian-bagian tersebut dapat dilihat dalam Gambar 12. Berbeda dengan dua bagian-bagian tuba uterina lainnya, isthmus tidak membentuk lekukan dan diikat oleh mesosalphynx hanya pada satu sisi. Terdapat perbedaan ukuran isthmus pada trenggiling MJ-2. Ukuran isthmus tersebut relatif sama dengan ampulla dan infundibulum.

Uterus trenggiling Jawa memiliki tipe bikornua. Uterus difiksir oleh jaringan penggantung di kedua sisi lateral. Jaringan penggantung ini merupakan jaringan ikat yang kemudian membungkus uterus hingga ke daerah vagina (Gambar 13). Jaringan penggantung uterus juga mengikat vesika urinaria dan bersatu dengan jaringan penggantung yang membungkus kolon pada organ pencernaan.

Kornua uteri berjalan ke arah kranial. Daerah di bagian kaudal kornua uteri kanan dan kiri dibungkus bersama-sama oleh jaringan ikat serosa sehingga bagian tersebut terlihat menyatu. Namun pada bagian dorsal, dapat terlihat adanya garis semu yang merupakan septum pemisah kornua kiri dengan kornua kanan. Setelah bercabang, kornua uteri berjalan ventrolaterocaudal, dan memiliki bentuk yang berlekuk.

Bagian interior korpus uteri membentuk lipatan mukosa longitudinal. Lipatan ini juga terdapat pada bagian kornua uteri, sehingga kedua bagian tersebut tidak dapat dibedakan berdasarkan pada lipatan mukosanya. Perbatasan antara kornua dan korpus uteri ditandai dengan adanya bagian yang menonjol dan lebih tebal (Gambar 13).

Serviks uteri merupakan bagian yang memiliki lumen yang rapat. Secara makroskopis dapat dilihat adanya jaringan otot yang lebih tebal dibandingkan dengan bagian uterus yang lainnya. Hal ini menyebabkan serviks uteri memiliki konsistensi lebih keras dan padat. Mukosa serviks uteri membentuk lipatan yang terdiri dari lipatan primer, sekunder, dan tersier, serta berukuran lebih kecil (Gambar 13). Batas antara serviks uteri dengan vagina ditandai dengan adanya fornix, yaitu penebalan bagian serviks uteri dan diverticulum yang merupakan celah di sekitar fornix.

Vagina merupakan daerah yang memiliki mukosa yang licin di bagian anterior dan berlipat transversal halus di daerah caudal. Vagina memiliki dinding penyusun yang lebih tipis dibandingkan dengan serviks uteri. Orificium urethralis externa menjadi batas antara vagina dengan vestibula. Vestibula memiliki mukosa yang berlipat yang bercabang seperti mukosa serviks di daerah dorsal dan mukosa berlipat tranversal seperti vagina di ventral.

Vulva merupakan organ reproduksi eksternal yang terletak ventral anus. Keunikan vulva trenggiling Jawa adalah lokasinya yang berada di dalam kantung yang sama dengan anus. Vulva yang telah difiksasi berbentuk kerutan yang melebar ke arah lateral. Labia mayor maupun minor tidak dapat dibedakan. Dari eksternal, klitoris tidak nampak. Permukaan vulva tidak ditutupi oleh rambut, namun di permukaan kantung tersebut terdapat rambut yang tersusun menyebar.

Karakteristik Histologi Saluran Reproduksi

Saluran reproduksi trenggiling terdiri dari tuba uterina, kornua uteri, korpus uteri, serviks uteri, vagina dan vestibula. Setiap bagian organ tersebut disusun oleh komponen-komponen yang memiliki karakteristik yang berbeda pada setiap bagiannya.

Tuba uterina trenggiling jawa memiliki mukosa yang ditutupi oleh epitel silindris bersilia yang membentuk lipatan mukosa. Lipatan tersebut terbagi menjadi lipatan primer, lipatan sekunder dan lipatan tersier. Lipatan menjadi

semakin sederhana ketika tuba uterina mendekati uterus. Pada bagian permukaan mukosa ditemukan secretory bulb yang merupakan sekreta dari sel epitel tuba uterina yang tidak memiliki kinosilia.

Secara histologis, korpus dan kornua uteri trenggiling Jawa disusun oleh komponen yang sama. Lapis endometrium kedua bagian tersebut berada di bagian paling profundal dan berbatasan langsung dengan lumen uterus. Mukosa korpus dan kornua uteri membentuk lipatan longitudinal. Epitel yang menutupi mukosa pada bagian ini adalah epitel silindris sebaris. Lamina propria mengandung kelenjar uterin yang tersebar pada lapis tersebut. Selain kelenjar uterin, pada lamina propria ditemukan banyak pembuluh darah baik arteri maupun vena (Gambar 14).

Gambar 14 Lapisan endometrium kornua uteri. Epitel yang menutupi bagian ini adalah epitel silindris sebaris (a) yang membentuk lipatan mukosa (b). Kelenjar uterin (c) terlihat menyebar pada lapisan endometrium. Pewarnaan HE. Bar: A = 8 µm, B = 4 µm.

A

B

c

c

a

b

Miometrium merupakan lapis di bagian superfisial endometrium. Bagian ini disusun oleh otot polos yang terbagi menjadi lapisan dalam dan lapisan luar. Lapisan dalam merupakan otot polos yang tersusun secara sirkuler, sedangkan lapisan luar merupakan otot polos yang yang tersusun secara longitudinal. Stratum vasculare yang berisi pembuluh darah berada di lapis superfisial setelah kedua lapisan otot tersebut. Perimetrium merupakan lapisan paling superfisial. Lapisan ini terdiri dari jaringan ikat yang ditutupi oleh epitel pipih selapis di bagian superfisial.

Serviks uteri memiliki beberapa perbedaan dengan kornua dan korpus uteri. Serviks memiliki lipatan mukosa yang terbagi menjadi lipatan primer, sekunder dan tersier (Gambar 15). Epitel yang menyusun mukosa serviks adalah epitel silindris sebaris bersilia. Beberapa sel goblet dapat ditemukan di sela-sela epitel tersebut sebagai massa yang berwarna lebih cerah. Lamina propria terdiri dari jaringan ikat kolagen yang sangat tebal. Pada lapis ini tidak ditemukan adanya kelenjar seperti pada bagian kornua dan korpus uteri. Vaskularisasi pada lamina propria didominasi oleh pembuluh darah vena.

Gambar 15 Gambaran mikroskopis serviks trenggiling Jawa. Mukosa serviks terbagi menjadi lipatan mukosa primer (a), sekunder (b), dan tersier (c). Pewarnaan HE. Bar: A = 20 µm, B = 10 µm.

A B

c

b

Tunika muskularis tersusun oleh otot polos. Bagian profundal merupakan lapis otot yang tersusun secara sirkuler, sedangkan lapis luarnya tersusun secara longitudinal. Vaskularisasi pada tunika muskularis didominasi oleh pembuluh darah arteri.

Epitel yang menyusun mukosa vagina adalah epitel pipih banyak lapis dengan permukaan yang memiliki keratin yang tipis. Lamina propria terdiri dari jaringan ikat tanpa kelenjar. Pembuluh darah dapat ditemukan pada lapisan ini. Tunika muskularis terdiri dari lapisan otot yang tersusun longitudinal di bagian dalam, dan sirkuler di bagian luar (Gambar 16).

Gambar 16 Gambaran mikroskopis vagina. a. Epitel pipih banyak lapis, b. Lamina propria. Pewarnaan HE. Bar = 8 µm.

Vestibula merupakan organ reproduksi eksternal yang menghubungkan vagina dengan vulva. Struktur vagina dan vestibula pada umumnya sama. Vertibula tersusun dari lapis mukosa, lamina propria, tunika muskularis, dan serosa. Mukosa vestibula membentuk lipatan menyerupai mukosa serviks di bagian dorsal, dan menyerupai mukosa vagina di bagian ventral. Epitel yang menyusun mukosanya adalah epitel pipih banyak lapis. Vulva disusun oleh epitel pipih banyak lapis di bagian eksternal.

Karakteristik Histologi Perkembangan Folikel dalam Ovarium

Struktur ovarium secara histologis yang diamati menggunakan pewarnaan

HE dan Masson’s trichome menunjukkan bahwa epitel yang membungkus

ovarium merupakan epitel pipih selapis dan disebut dengan germinal epithelium.

b

a

Bagian korteks ovarium berisi berbagai tahap perkembangan folikel. Jaringan ikat mesovarium pada bagian hilus ovari tidak menyusup ke dalam bagian medula, melainkan menyusup menjadi bagian tunika albuginea (Gambar 17).

Gambar 17 Gambaran histologi ovarium trenggiling Jawa. Berbeda dengan hewan mamalia pada umumnya, jaringan ikat mesovarium (a) pada daerah hilus ovari tidak masuk ke dalam medula (b), tetapi bergabung dengan tunika albuginea dan membungkus ovarium. Pewarnaan Masson’s

trichome. Bar: A = 1 mm , B = 20 µm.

Bagian medula didominasi oleh se-sel sekretori interstisial yang berkembang baik pada seluruh bagiannya (Gambar 18). Jaringan ikat yang

terwarnai oleh pewarna Masson’s trichome pada medula berasal jaringan ikat pembuluh darah yang banyak tersebar di bagian medula. Selain di bagian medula, pembuluh darah juga dapat ditemukan pada korpus luteum.

Gambar 18 Ovarium trenggiling Jawa (A) dengan perbesaran gambaran bagian medula (a). Medula ovarium (a) diisi oleh sel-sel sekretori interstisial (B) dalam jumlah yang besar. Pewarnaan HE. Bar = A= 1 mm, B = 5 µm. a A B a b b

A B

a

Korteks ovarium berisi berbagai tahap perkembangan folikel, yang terbagi menjadi 10 tahap perkembangan. Pengelompokan dilakukan berdasarkan pada bentuk dan lapisan sel granulosa pada folikel, ketebalan zona pelusida dan keberadaan antrum folikuli (Hamny 2006). Masing-masing tahap perkembangan diwakili oleh 1 tipe folikel yang memiliki karakteristik tersendiri.

Gambar 19 Folikel tipe 1 dengan ciri oosit dikelilingi oleh satu lapis sel pregranulosa berbentuk pipih (tanda panah). Pewarnaan HE. Bar = 2 µm.

Gambar 20 Folikel tipe 2 dengan ciri oosit dikelilingi oleh satu lapis sel pregranulosa berbentuk transisi antara pipih dan kuboid (tanda panah). Pewarnaan HE. Bar = 2 µm.

Gambar 21 Folikel tipe 3 dengan ciri oosit dikelilingi oleh satu lapis sel granulosa berbentuk kuboid (tanda panah). Pewarnaan HE. Bar = 4 µm.

1

3

2

Gambar 22 Folikel tipe 4 dengan ciri oosit dikelilingi oleh lebih dari 1 hingga 2 lapis sel granulosa berbentuk kuboid (tanda panah). Pewarnaan HE. Bar = 4 µm.

Gambar 23 Folikel tipe 5 dengan ciri oosit dikelilingi oleh 3-5 lapis sel granulosa. Zona pelusida (tanda panah) sudah mulai ditemukan sebagai lapisan tipis di sekitar oosit. Pewarnaan HE. Bar = 4 µm.

Gambar 24 Folikel tipe 6 dengan ciri oosit dikelilingi oleh lebih dari 5 lapis sel granulosa. Zona pelusida (tanda panah) sudah mulai teramati di sekitar oosit. Pewarnaan HE. Bar = 4 µm.

Gambar 25 Folikel tipe 7 dengan ciri oosit dikelilingi oleh lebih dari 5 lapis sel granulosa berbentuk kuboid. Zona pelusida (tanda panah) semakin menebal. Pewarnaan HE. Bar = 4 µm.

4

5

6

Gambar 26 Folikel tipe 8 dengan ciri oosit dilapisi oleh lebih dari lima lapis sel granulosa berbentuk kuboid. Zona pelusida tebal dan mulai terbentuk antrum folikuli (a). Pewarnaan HE. Bar = 10 µm.

Gambar 27 Folikel tipe 9 dengan ciri antrum folikuli (a) membesar hingga mulai mendesak oosit ke tepi folikel. Pewarnaan HE. Bar = 8 µm.

Gambar 28 Folikel tipe 10 dengan ciri oosit sudah berada di tepi folikel. Antrum folikuli (a) membesar hingga ukuran maksimal. Pewarnaan PAS. Bar = 20 µm.

Folikel tipe 1 (Gambar 19) terletak di bagian korteks ovarium, yaitu di profundal germinal epithelium, folikel ini memiliki ciri oosit yang dikelilingi oleh satu lapis sel pregranulosa yang berbentuk pipih. Selain folikel tipe 1, pada korteks ovarium juga dapat ditemukan folikel tipe 2 yang merupakan perkembangan lanjutan dari folikel tipe 1. Folikel tipe 2 (Gambar 20) memiliki karakteristik oosit yang dikelilingi oleh sel pregranulosa yang berbentuk peralihan antara pipih dan kuboid. Folikel tipe 3 (Gambar 21) memiliki ciri oosit yang

8

a

9

a

a

10

dikelilingi oleh satu lapis sel granulosa berbentuk kuboid. Folikel tipe 4 (Gambar 22) memiliki ciri oosit yang dikelilingi oleh satu sampai dua lapis sel granulosa berbentuk kuboid.

Folikel tipe 5 (Gambar 23) memiliki ciri oosit yang dikelilingi oleh dua sampai lima lapis sel granulosa. Pada folikel ini zona pelusida sudah mulai terbentuk sebagai suatu lapisan tipis di sekeliling oosit. Folikel tipe 6 (Gambar 24) memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan folikel tipe 5. Perbedaan dengan folikel 5 terletak pada jumlah sel granulosa yang mengelilingi oosit. Pada folikel 6 sel granulosa berkembang hingga mencapai 6-12 lapis. Selain itu zona pelusida terlihat jelas sebagai lapisan tipis diantara oosit. Folikel tipe 6 berkembang menjadi folikel tipe 7 yang memiliki karakteristik yang hampir sama dengan folikel tipe 6 (Gambar 25). Ciri khas folikel tipe 7 adalah zona pelusida yang terlihat semakin menebal. Antrum folikuli mulai terbentuk pada folikel tipe 8 (Gambar 26). Antrum folikuli tersebut semakin membesar sehingga folikel berkembang menjadi folikel tipe 9 (Gambar 27). Oosit pada folikel tipe 9 mulai bergerak ke tepi folikel. Folikel tipe 10 merupakan tahap akhir perkembangan tipe folikel sebelum diovulasikan. Oosit pada folikel tipe 10 berada di tepi folikel dengan antrum folikuli yang membesar (Gambar 28).

Berdasarkan perhitungan jumlah folikel pada setiap tahapan perkembangan, folikel tipe 1 merupakan tipe folikel yang jumlahnya paling mendominasi dalam ovarium dan lebih banyak ditemukan pada ovarium MJ-2. Selain itu, dapat dilihat pula bahwa ovarium kiri trenggiling jawa pada umumnya memiliki persentase perkembangan folikel yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ovarium kanan. Folikel tipe 8 yang termasuk ke dalam folikel antral, dapat ditemukan pada sampel ovarium yang berada dalam fase folikular, maupun fase luteal (Tabel 3).

Tabel 3 Jumlah folikel pada berbagai tahapan perkembangan folikel ovarium trenggiling Jawa

Tipe Folikel

Jumlah folikel MJ-1 (n) Jumlah folikel MJ-2 (n) Ovarium Kanan (%) Ovarium Kiri (%) Ovarium Kanan (%) Ovarium Kiri (%) 1 1122 66.19 854 63.97 4359 64.80 6098 74.02 2 522 30.80 397 29.74 2343 34.83 2070 25.12 3 31 1.83 23 1.722 26 0.38 41 0.50 4 15 0.88 34 2.54 0 0 6 0.07 5 0 0 9 0.67 0 0 9 0.11 6 0 0 5 0.37 0 0 3 0.04 7 0 0 0 0 0 0 0 0 8 6 0.35 12 0.90 0 0 12 0.15 9 0 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0 1 0.07 0 0 0 0 Jumlah 1695 1335 6727 8238

Distribusi Karbohidrat dalam Perkembangan Folikel

Distribusi karbohidrat asam dan karbohidrat netral pada setiap tahap perkembangan ovarium trenggiling Jawa disajikan dalam Tabel 4 dan Gambar 29-30. Distribusi karbohidrat yang diamati mencakup distribusi pada oosit, matriks ekstraseluler, zona pelusida, dan cairan folikuli. Hasil pengamatan memperlihatkan adanya perbedaan distribusi karbohidrat asam dan karbohidrat netral pada setiap tahap perkembangan folikel.

Pewarnaan AB pH 2.5 menunjukkan hasil reaksi positif mulai dari folikel tipe 5, yaitu pada zona pelusida dengan intensitas reaksi positif yang sangat lemah (±). Hal ini menunjukkan bahwa karbohidrat asam sudah mulai ada pada folikel tipe 5 dalam konsentrasi yang rendah. Reaksi positif terlihat pada oosit, matriks ekstraseluler dan zona pelusida folikel tipe 7 dengan intensitas sangat lemah (±).

Tabel 4 Distribusi karbohidrat pada setiap tahap perkembangan folikel ovarium trenggiling Jawa dengan metode pewarnaan AB pH 2.5 dan PAS

Tipe Folikel

Jenis Folikel

(Erickson (2003) diacu dalam Hamny (2006))

Struktur KH asam (AB pH 2.5)

KH Netal (PAS)

1 Folikel primordial Oosit - -

2 Folikel primordial Oosit - -

3 Folikel primer Oosit - -

4 Folikel primer Oosit - -

Matriks Ekstraseluler

- ±

5 Folikel sekunder Oosit - +

Matriks Ekstraseluler

- ±

Zona Pelusida ± +

6 Folikel sekunder Oosit * ±

Matriks Ekstraseluler

* +

Zona Pelusida * ++

7 Folikel sekunder Oosit ± *

Matriks Ekstraseluler

± *

Zona Pelusida ± *

8 Folikel tersier Oosit - ±

Matriks Ekstraseluler ± ± Zona Pelusida + ++ Cairan Folikuli ++ +

9 Folikel tersier Oosit - ±

Matriks Ekstraseluler ± + Zona Pelusida + ++ Cairan Folikuli ++ ±

10 Folikel tersier Oosit - ±

Matriks Ekstraseluler + + Zona Pelusida ++ ++ Cairan Folikuli +++ +

Keterangan : *tidak ditemukan, KH : Karbohidrat, (-) : negatif, (±) : sangat lemah, (+) lemah, (++) : sedang, (+++) : kuat.

Pewarnaan AB memberikan hasil negatif pada oosit folikel tipe 8-10, sedangkan zona pelusida memberikan hasil positif dengan intensitas reaksi yang meningkat pada folikel 8-9 menjadi lemah (+) dan pada folikel 10 menjadi sedang (++). Matriks ekstraseluler menunjukkan reaksi positif yang sangat lemah (±)

pada folikel tipe 8-9, dan reaksi positif lemah pada folikel tipe 10. Cairan folikuli pada folikel antral (tipe 8-10) menunjukkan intensitas reaksi positif AB yang sedang (++) hingga kuat (+++).

Gambar 28 Distribusi karbohidrat asam pada tahapan perkembangan folikel ovarium trenggiling Jawa. Folikel tipe 4 (A) menunjukkan reaksi negatif terhadap AB pH 2.5. Reaksi positif dapat terlihat pada matriks ekstraseluler folikel tipe 7 (B). Karbohidrat asam banyak ditemukan pada cairan folikuli folikel tipe 9 (C) dan tipe 10 (D). Pewarna AB pH 2.5. Bar: A = 5 µm, B-C = 10 µm, D = 20 µm. Pewarnaan PAS digunakan untuk mendeteksi karbohidrat netral seperti glukosa, galaktosa, manosa, dan fukosa. Reaksi positif pewarnaan PAS mulai terlihat pada folikel tipe 4, yaitu pada matriks ekstraseluler dengan intensitas reaksi positif yang sangat lemah (±). Reaksi positif pada oosit mulai terlihat pada folikel tipe 5 dengan intensitas reaksi positif lemah (+), kemudian pada folikel tipe 6-10 intensitas reaksi positif pada oosit menurun menjadi sangat lemah (±). Zona pelusida menunjukkan reaksi positif pada folikel tipe 6-10 dengan intensitas reaksi positif sedang. Cairan folikuli menunjukkan intensitas reaksi positif lemah (+) pada folikel tipe 8, kemudian menjadi sangat lemah (±) pada folikel tipe 9, dan kembali meningkat menjadi lemah (+) pada folikel tipe 10.

Gambar 29 Distribusi karbohidrat netral pada tahapan perkembangan folikel ovarium trenggiling Jawa. Reaksi positif ditunjukkan oleh warna merah magenta. Folikel tipe 1 dan 2 (A) serta folikel tipe 3 (B) menunjukkan reaksi negatif terhadap PAS. Reaksi positif terhadap PAS mulai terlihat pada matriks ekstraseluler folikel tipe 4 (C). Karbohidrat netral dapat ditemukan pada oosit folikel tipe 5 (D) dan tipe 9 (E), serta mengisi daerah antrum folikuli folikel tipe 9 (E). A. Folikel tipe 1 dan 2, B. Folikel tipe 3, C. Folikel tipe 4, D. Folikel

tipe 5, E. Folikel tipe 9. Pewarnaan PAS. Bar: A = 3 µm, B-D = 5 µm, E = 10 µm.

PEMBAHASAN

Organ reproduksi betina terdiri dari sepasang gonad, yaitu ovarium, organ reproduksi internal yang terdiri dari tuba uterina, uterus, dan vagina, serta organ reproduksi eksternal yang terdiri dari vulva dan klitoris (Pineda dan Dooley 2003; Samuelson 2007). Perkembangan ovarium pada masa embrio diawali dengan penebalan epitelium coloemic yang lokasinya berada di ventral mesonephros. Saluran reproduksi yang terdiri dari tuba uterina, uterus, dan vagina berasal dari saluran mesonephros yaitu duktus Mullerian (Capello dan Lennox 2006; Kobayashi dan Behringer 2003), sedangkan organ reproduksi eksternal berasal dari perkembangan regio kloaka primitif (Capello dan Lennox 2006).

Tuba uterina trenggiling Jawa terdiri dari infundibulum, ampulla dan isthmus. Isthmus merupakan bagian yang lebih kecil dibandingkan dengan bagian tuba uterina yang lain (Gambar 12) sehingga pada perbatasan kedua daerah tersebut terdapat daerah penghubung yang disebut ampullary-isthmic junction. Kondisi ini sama seperti tuba uterina pada sapi (Ball dan Peters 2004) dan kuda (Morel dan Mina 2008). Bagian ampulla dan isthmus memiliki bentuk menggulung sama seperti tuba uterina pada mamalia ternak (Hafez dan Hafez 2000), dan diikat oleh jaringan pengikat yang dinamakan mesosalphynx.

Gambaran histologi tuba uterina trenggiling Jawa tidak berbeda dengan mamalia lain pada umumnya. Mukosa tuba uterina tersusun dari lipatan primer, sekunder, dan tersier yang memiliki percabangan yang semakin sederhana pada bagian yang mendekati uterus (Hafez dan Hafez 2000). Mukosa tersebut ditutupi oleh epitel silindris sebaris pada bagian fimbrae dan epitel silindris banyak lapis semu dengan silia yang bergerak (kinosilia) di bagian lainnya. Silia ini berfungsi dalam proses transportasi sel telur ke tempat terjadinya fertilisasi dan transportasi embrio yang akan berimplantasi di uterus. Persentase sel bersilia berkurang pada daerah ampulla mendekati isthmus, dan mencapai jumlah maksimum di daerah fimbrae dan infundibulum (Hafez dan Hafez 2000).

Pada permukaan epitel tuba uterina, dapat ditemukan secretory bulb. Secretory bulb merupakan hasil sekresi sel-sel tidak bersilia pada epitel tuba uterina. Sel tidak bersilia pada tuba uterina ditutupi oleh mikrovilli dalam jumlah yang banyak pada permukaannya (Hafez dan Hafez 2000). Fungsi utama sekreta

yang dihasilkan oleh sel ini adalah untuk menyediakan nutrisi pendukung bagi sel

Dokumen terkait