• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi Pendapatan

Dalam dokumen BAB II Perencanaan Wilayah (Halaman 48-58)

3. Penghematan urbanisasi ( urbanization economies ) Penghematan urbanisasi diasosiasikan dengan pertambahan jumlah total

2.4.7 Distribusi Pendapatan

Kemakmuran masyarakat tidak semata-mata hanya didasarkan pada tolok ukur besarnya pendapatan nasional dan pendapatan per kapita saja, namun juga bagaimana pendapatan nasional itu didistribusikan, apakah pendapatan nasional didistribusikan secara lebih merata ataukah timpang.

Distribusi pendapatan dianggap kurang adil jika sebagian besar output nasional dikuasai oleh sebagian kecil penduduk.

Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia pada umumnya menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan (proksi) untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat. Walaupun diakui bahwa cara ini sebenarnya mempunyai suatu kelemahan yang serius data pengeluaran konsumsi bisa memberikan informasi yang tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya.

Pertumbuhan ekonomi yang selama ini dianggap sebagai salah satu indikator perbaikan ekonomi tidak bisa mengukur tingkat kesejahteraan dan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, tergantung dari mana sumber- sumber pertumbuhan itu berasal. Kesenjangan ekonomi atau ketidakmerataan dalam distribusi pandapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line) (Tambunan, 2001).

Keyakinan mengenai adanya efek menetes ke bawah (trickle down effects) dalam proses pembangunan telah menjadi pijakan bagi sejumlah pengambil kebijakan dalam pembangunannya. Dengan keyakinan tersebut maka strategi

pembangunan yang dilakukan akan lebih terfokus pada bagaimana mencapai suatu laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam suatu periode yang relatif singkat. Untuk mencapai tujuan tersebut, konsekuensi negatif yang dapat muncul sebagai akibat jalan pintas yang diambil berdasarkan pengalaman masa lalu adalah pusat pembangunan ekonomi nasional dan daerah dimulai pada wilayah-wilayah yang telah memiliki infrastruktur lebih memadai terutama Jawa. Selain itu pembangunan akan difokuskan pada sektor-sektor yang secara potensial memiliki kemampuan besar dalam mengasilkan nilai tambah yang tinggi terutama sektor industri dan jasa.

Diantara para pengeritik pola pembangunan ekonomi yang telah ditempuh oleh kebanyakan Negara berkembang, termasuk Indonesia, terdapat banyak orang yang beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selalu dibarengi kenaikan dalam ketidakmerataan distribusi pendapatan atau ketimpangan relatif. Dengan perkataan lain, para pengeritik ini, termasuk banyak ekonom, beranggapan bahwa antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan distribusi pendapatan terdapat suatu trade-off, yang membawa implikasi bahwa pemerataan dalam distribusi pendapatan hanya dapat dicapai jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu akan disertai kemerosotan dalam distribusi pendapatan atau kenaikan dalam ketidakmerataan relatif.

Pertumbuhan versus distribusi pendapatan merupakan masalah yang menjadi perhatian di negara-negara sedang berkembang (Arsyad, 2004). Banyak negara sedang berkembang yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi

yang tinggi pada tahun 1960-an mulai menyadari bahwa pertumbuhan yang tinggi hanya sedikit manfaatnya dalam memecahkan masalah kemiskinan. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi banyak dirasakan orang tidak memberikan pada pemecahan masalah kemiskinan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan ketika tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut diiringi dengan meningkatnya tingkat pengangguran dan pengangguran semu di daerah pedesaaan maupun perkotaan. Distribusi pendapatan antara kelompok kaya dengan kelompok miskin semakin senjang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata telah gagal untuk menghilangkan atau bahkan mengurangi luasnya kemiskinan absolut di negara-negara sedang berkembang.

Data dekade 1970-an dan 1980-an mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan di banyak negara sedang berkembang, terutama negara-negara dengan proses pembangunan ekonomi yang pesat atau dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti Indonesia, menunjukkan seakan -akan ada suatu korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi (Tambunan, 2001). Semakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin besar perbedaan antara kaum miskin dengan kaum kaya. Studi Ahuja (1997) mengenai negara-negara di Asia Tenggara menunjukkan bahwa setelah sempat turun dan stabil selama periode 1970-an dan 1980-an, pada saat negara-negara itu mengalami laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun yang tinggi (Asian miracle), pada awal dekade 1990-an ketimpangan distribusi pendapatan di negara-negara tersebut mulai membesar kembali.

Menurut Sirojuzilam (2008) Pembangunan dilaksanakan secara umum menyangkut beberapa aspek utama, mulai dari pembangunan di bidang ekonomi, sosial, kelembagaan, dan aspek lingkungan. Akan tetapi di dalam proses pencapaiannya akan selalu mengakibatkan terjadinya ketimpangan. Hal ini sekaligus menolak pendapat kaum neoklasik yang terlalu optimis menyatakan bahwa pada awal pembangunan memang akan dijumpai ketidakseimbangan atau ketimpangan, akan tetapi pada akhirnya akan dicapai suatu keseimbangan atau kemerataan. Pada prinsipnya ada beberapa bentuk ketimpangan yang terjadi antara lain distribution income disparities, urban rural income disparities, dan regional income disparities

Berbagai macam alat pengukuran banyak dijumpai dalam mengukur tingkat distribusi pendapatan penduduk. Diantara alat tersebut yang sangat umum dipergunakan adalah Gini Indeks.

(1) Gini Indeks

Dimana:

Pi = % kumulatif jumlah penduduk Qi = % kumulatif jumlah pendapatan Gi = 0, Perfect Equality

(2) Kurva Lorenz

Kurva Lorenz secara umum sering dipergunakan untuk menggambarkan bentuk ketimpangan yang terjadi terhadap distribusi pendapatan masyarakat. Kurva Lorenz digambarkan pada sebuah bidang persegi bujur sangkar dengan bantuan garis diagonalnya. Semakin dekat kurva ini dengan diagonalnya, berarti ketimpangan yang terjadi semakin rendah dan sebaliknya semakin melebar kurva ini menjauhi diagonal berarti ketimpangan yang terjadi semakin tinggi. Bentuk Kurva Lorenz biasanya digambarkan berdasarkan data yang diperoleh setelah menghitung angka Gini atau seperti terlihat pada gambar berikut ini:

(3) Kriteria Bank Dunia

Berdasarkan Kriteria Bank Dunia di dalam menentukan tingkat ketimpangan yang terjadi dalam distribusi pendapatan penduduk, maka penduduk dibagi menjadi tiga kategori yaitu:

a. 20% Penduduk pendapatan tinggi b. 40% Penduduk pendapatan sedang c. 40% Penduduk pendapatan rendah

dengan kriteria ketimpangan.

1. Tinggi, 40% penduduk pendapatan rendah menerima pendapatan nasional < 12%,

2. Sedang, 40% penduduk pendapatan rendah menerima pendapatan nasional 12%- 17%, dan

3. Rendah, 40% penduduk pendapatan rendah menerima pendapatan nasional > 17%.

Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah dengan menggunakan Williamson Index dan ukuran ketimpangan lainnya. Selanjutnya dilanjutkan pula dengan pembahasan tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia yang dilanjutkan dengan faktor-faktor utama yang menentukan ketimpangan tersebut. Terakhir dilakukan pembahasan tentang beberapa kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk penanggulangan ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut (Sjafrizal, 2008).

Ketimpangan pembangunan ekonomi dan penghapusan kemiskinan merupakan permasalahan dalam pembangunan. Lewat pemahaman yang mendalam akan masalah ketimpangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan dapat memberikan dasar yang baik untuk menganalisis masalah pembangunan yang lebih khusus agar permasalahan pembangunan ini bisa dipecahkan dengan perencanaan pembangunan yang lebih baik (Arsyad, 2004).

Ketimpangan pembangunan ekonomi dapat mengakibatkan konsekuensi sosial dalam pembangunan itu sediri. Konsekuensi dari ketimpangan pembangunan ekonomi adalah rendahnya mobilitas sosial dan dapat menyebabkan kemiskinan (Colclough, 1990). Ketimpangan pembangunan ekonomi dari waktu kewaktu telah banyak dianalisis secara empiris dengan menggunakan pendekatan teori-teori yang ada (Harrison, 1984).

Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih “matang”, dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak adanya keseimbangan antar daerah dan disparitas berkurang dengan signifikan.

Ketimpangan pembangunan antar kecamatan dapat dianalisis dengan menggunakan indeks ketimpangan regional (regional inequality) yang dinamakan indeks ketimpangan Williamson (Sjafrizal, 1997):

Dimana:

IW = Indeks ketimpangan wilayah kecamatan Yi = Pendapatan per kapita di kecamatan i

Y = Pendapatan per kapita rata-rata Kabupaten / Kota i fi = jumlah penduduk di kecamatan i

n = jumlah penduduk Kabupaten / Kota i

Masalah ketimpangan ekonomi antar daerah tidak hanya tampak pada wajah ketimpangan perekonomian Pulau Jawa melainkan juga antar Kawasan Barat Indonesia (Kabarin) dan Kawasan Timur Indonesia (Katimin). Berbagai program yang dikembangkan untuk menjembatani ketimpangan antar daerah selama ini ternyata belum mencapai hasil yang memadai. Alokasi penganggaran pembangunan sebagai instrumen untuk mengurangi ketimpangan ekonomi tersebut tampaknya perlu lebih diperhatikan di masa mendatang. Strategi alokasi anggaran itu harus mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus menjadi alat mengurangi kesenjangan/ketimpangan regional (Majidi, 1997).

Proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi modal, keterampilan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu

daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan. Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah. Bertitik tolak dari kenyataan itu, Ardani (1992) mengemukakan bahwa kesenjangan/ketimpangan antar daerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri.

Menurut Myrdal (1957), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effects) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad,1999).

Menurut Kuncoro (2002), konsep entropi Theil dari distribusi pada dasarnya merupakan aplikasi konsep teori informasi dalam mengukur ketimpangan ekonomi dan konsentrasi industri. Studi empiris yang dilakukan Theil dengan menggunakan indeks entropi menawarkan pandangan yang tajam mengenai pendapatan regional per kapita dan kesenjangan pendapatan, kesenjangan internasional, serta distribusi produk domestik bruto dunia. Untuk mengukur ketimpangan pendapatan regional bruto provinsi, Ying menggunakan indeks entropi Theil. Indeks entropi Theil tersebut dapat dibagi/diurai menjadi dua subindikasi, yaitu ketimpangan regional dalam

wilayah dan ketimpangan regional antarwilayah atau regional (Ying, 2000). Dengan menggunakan alat analisis indeks entropi Theil akan diketahui ada tidaknya ketimpangan yang terjadi di kabupaten/kota. Rumus dari indeks entropi Theil adalah sebagai berikut (Ying, 2000):

I(y) = Σ (yj / Y)x log [(yj / Y) / ( xj / X) ]

Di mana:

I(y) = indeks entropi Theil

yj = PDRB per kapita kecamatan j

Y = rata-rata PDRB per kapita Kabupaten / kota j xj = jumlah penduduk kecamatan j

X = jumlah penduduk Kabupaten / Kota j

Indeks entropi Theil memungkinkan kita untuk membuat perbandingan selama kurun waktu tertentu. Indeks ketimpangan entropi Theil juga dapat menyediakan pengukuran ketimpangan secara rinci dalam subunit geografis yang lebih kecil, yang pertama akan berguna untuk menganalisis kecenderungan konsentrasi geografis selama periode tertentu; sedang yang kedua juga penting ketika kita mengkaji gambaran yang lebih rinci mengenai ketimpangan spasial. Sebagai contoh ketimpangan antar daerah dalam suatu negara dan antar subunit daerah dalam suatu kawasan (Kuncoro, 2002).

Dalam dokumen BAB II Perencanaan Wilayah (Halaman 48-58)

Dokumen terkait