• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyebab Ketimpangan Pendapatan

Dalam dokumen BAB II Perencanaan Wilayah (Halaman 58-68)

3. Penghematan urbanisasi ( urbanization economies ) Penghematan urbanisasi diasosiasikan dengan pertambahan jumlah total

2.4.8 Penyebab Ketimpangan Pendapatan

Berikut ini akan dijelaskan beberapa faktor utama yang menyebabkan atau memicu terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Pertumbuhan GNP

per kapita yang cepat tidak secara otomatis meningkatkan tingkat hidup rakyat banyak. Bahkan pertumbuhan GNP per kapita di beberapa negara sedang berkembang seperti Pakistan, India, Kenya, dan lain-lain telah menimbulkan penurunan absolut dalam tingkat hidup orang miskin di perkotaan dan pedesaan. Apa yang disebut dengan proses penetesan ke bawah (trickle down effect) dari manfaat pertumbuhan ekonomi bagi orang miskin tidak terjadi.

Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (2004) mengemukakan 8 faktor yang menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan di negaranegara sedang berkembang, yaitu:

a. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita;

b. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang;

c. Ketimpangan pembangunan antar daerah;

d. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (capital intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari tambahan harta lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah;

e. Rendahnya mobilitas sosial;

f. Pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis;

g. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan permintaan negara-negara terhadap barang ekspor negara-negara sedang berkembang; dan

h. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.

Kecenderungan peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi tidak saja terjadi di negara-negara sedang berkembang saja, namun juga terjadi di negara-negara industri maju. Studi dari Jantti (1997) dan Mule (1998) dalam Tambunan (2001) memperlihatkan bahwa perkembangan ketimpangan pendapatan antara kaum kaya dan kaum miskin di Swedia, Inggris, Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di Eropa Barat menunjukkan suatu kecenderungan yang meningkat selama dekade 1970-an dan 1980-an. Dari studi Jantti disimpulkan bahwa semakin besarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan di negara- negara tersebut disebabkan oleh pergeseran pergeseran demografi, perubahan pasar buruh dan perubahan kebijakan-kebijakan publik. Dalam hal perubahan pasar buruh, membesarnya kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besarnya andil pendapatan dari istri di dalam jumlah pendapatan keluarga merupakan dua faktor penyebab penting.

Ekonomi aglomerasi atau ekonomi eksternal yang tercipta karena terkonsentrasinya para produsen telah diterima luas sebagai salah satu penyebab terciptanya kota. Eksternalitas dalam spasial dalam arti berkaitan

dengan kedekatan (proximity) antar perusahaan, dimana perusahaan menerima keuntungan eksternal (external benefits) dengan berlokasi saling berdekatan satu dengan yang lain.

Weber adalah salah seorang yang pertama-tama mengajukan pertanyaan mengapa pabrik-pabrik cenderung berlokasi saling berdekatan. Menurut Weber, ekonomi aglomerasi (deglomerasi) menentukan apakah industri terkonsentrasi di suatu tempat atau tersebar di lebih dari satu tempat. Karena itu, ekonomi aglomerasi disebabkan oleh faktor-faktor aglomerasi yang unik, bukan hanya karena orientasi lokasi seperti orientasi tenaga kerja (labor orientation) dan transportasi (transport orientation).

Hoover mengkritik teori aglomerasi Weber sebagai tidak membedakan tiga kekuatan (forces) yang mempengaruhi biaya produksi (production costs), yaitu (i) ekonomi skala besar (large-scale economies), suatu skala ekonomi internal terhadap perusahaan pada suatu lokasi tertentu (Mills, Dixit) (ii) ekonomi lokalisasi (localizatio economies), eksternal terhadap perusahaan pada suatu lokasi tertentu tetapi internal terhadap industri (Henderson; Ogawa dan Fujita; dan Fujita dan Ogawa) (iii) ekonomi urbanisasi (urbanization economies), eksternal terhadap industri pada suatu lokasi tertentu tetapi internal terhadap kawasan perkotaan (Arnott, Kanemoto, dan Upton).

Sebagian besar model ukuran kota (city size) yang menjelaskan keberadaan ekonomi aglomerasi mendasarkan analisa mereka pada alokasi pertanian

(agricultural allocation theory) dari von Thunen. Dalam modelnya, von Thunen memperlihatkan kota besar tunggal (a single large city) di tengah- tengah suatu dataran yang subur. Produk-produk tertentu yang biaya transportasi paling tinggi diproduksi berlokasi paling dekat dengan kota dengan tujuan mengurangi biaya transportasi. Terdapat hubungan terbalik (inverse) antara sewa tanah (land rent) dan biaya transportasi, semakin jauh jarak suatu lokasi dari kota semakin rendah tingkat sewa tanah. Keberlakuan hubungan ini dengan mudah diubah menjadi zona konsentris (concentric zone) dari teori sewa-perkotaan (urban-rent theory). Caranya adalah dengan mengubah pusat kota di tengah-tengah dataran menjadi distrik pusat bisnis (central business district/CDB). Untuk selanjutnya distrik pusat bisnis akan kita sebut sebagai DPB. Lokasi DPB berada tepat di tengah kota dikelilingi oleh daerah pinggiran kota suburbs) dimana para konsumen dan pekerja tinggal. Semua kegiatan produksi berlokasi di DPB.

Dua karya utama dalam ekonomi skala besar adalah makalah-makalah yang ditulis berturut-turut oleh Mills dan Dixit. Mills mengasumsikan suatu kota berpusattunggal (monocentric) dengan tiga jenis produksi: barang, transportasi, dan perumahan. Mills selanjutnya menganggap adanya skala hasil yang meningkat (increasing returns to scale), karena itu produsen barang bersifat monopoli. Mills memperlihatkan secara analitis bahwa semakin besar tingkat peningkatan hasil (increasing returns) dalam produksi barang, semakin tidak elastis (in elastic) permintaan terhadap barang tersebut. Persyaratan ini diperlukan bagi produsen agar

dapat membayar nilai produk marginal (value of marginal product) dari faktor-faktor produksi (inputs).

Model struktur kota yang bersifat lebih umum dikembangkan oleh Dixit. Tema utama dari karya Dixit adalah ukuran kota optimum (optimum city size) yang ditentukan oleh keseimbangan antara skala ekonomi produksi (economies of scale in production) dan disekonomi (diseconomies) transportasi disebabkan oleh kemacetan lalulintas (congestion). Dixit membuat asumsi bahwa hanya terdapat satu perusahaan yang memproduksi komoditi tunggal dan skala hasil yang meningkat. Seperti model yang dikembangkan oleh Mills, model yang dikembangkan oleh Mills, Dixit beramsusi produsen barang adalah monopoli beralokasi di PDB. Namun dibandingkan dengan model Mills, model yang dikembangkan oleh Dixit bersifat umum. Dixit mengintegrasikan manfaat sebagai fungsi dari barang industri dan perumahan (tanah). Model Dixit memperlihatkan analitis bahwa tingkat skala peningkatan (degree of increasing returns) sama dengan rasio sewa tanah terhadap nilai output.

Sekalipun model Dixit memberikan sumbangan besar pada pemahaman kita mengenai ekonomi aglomerasi dalam suatu rangka yang lebih umum, namun kritik keras terhadap model ini adalah pemberlakuan skala ekonomi dalam sistem monopoli dianggap terlalu sederhana. Skala peningkatan internal (internal returns to scale) bagi produsen yang memiliki kekuatan monopoli susah untuk diterima sebagai penyebab ekonomi aglomerasi. Model ini tidak memberikan banyak penjelasan terhadap keadaan kota modern

sebenarnya. Fenomena suatu kota modern adalah terdapat banyak produsen dan terjadi perdagangan antarkota, keadaan ini jauh berbeda dari keadaan pasar monopoli. Kritik ini juga berlaku pada model yang dikembangkan oleh Mills.

Ketidakpuasan terhadap proposisi bahwa ekonomi skala besar merupakan penentu konsentrasi industri di daerah perkotaan besar mengarah pada usaha-usaha untuk mengembangkan model teoritis yang dapat menjelaskan keberadaan ekonomi lokalisasi. Ekonomi aglomerasi dalam pengertian ekonomi lokalisasi dianalisa, antara lain, oleh Henderson. Ciri utama dari model Henderson adalah mengasumsikan terdapat banyak perusahaan kecil di daerah perkotaan yang masing-masing memandang dirinya berhadapan dengan teknologi berskala hasil yang konstan (constant returns to scale), sementara itu industri secara keseluruhan memperoleh peningkatan hasil (increasing returns) yaitu skala ekonomi bersifat eksternal terhadap perusahaan. Kita dapat menyebut jenis eksternalitas seperti ini sebagai skala ekonomi ala Chipman, karena Chipman yang mengusulkan pendekatan ini. Karena itu, produk marginal tenaga kerja pribadi (private marginal product of labor) dalam industri berbeda dengan produk marginal sosial (social marginal product). Keadaan ini mempertahankan keberlakuan habisnya (exhaustion) penerimaan perusahaan untuk pembayaran faktor-faktor produksi atau penerimaan sama dengan pengeluaran.

Pasar dicirikan oleh persaingan sempurna karena setiap perusahaan yang ikut serta dalam persaingan (entering) diuntungkan oleh eksternalitas skala ekonomi industri. Henderson mengintegrasikan faktor eksternalitas pada peubah (variable) output dari fungsi produksi, karena itu kita anggap model Henderson memperlihatkan ekonomi lokalisasi (Juoro, 1989).

Pendapatan merupakan salah satu variabel yang menentukan pengembangan wilayah. Dalam proses pembangunan wilayah terjadi ketimpangan pendapatan (Nishiola 1994).

Menurut Kim dkk (2003) ketimpangan pendapatan dapat dipengaruhi oleh empat variabel yaitu pendidikan, kesempatan kerja, infrastruktur dan jaringan informasi. Menurut Song dkk (2000) terdapat lima variabel yang menjadi faktor yang mempengaruhi terjadinya ketimpangan pendapatan yaitu investasi, infrastruktur, modal manusia, jumlah penduduk dan letak geografis. Menurut hasil penelitian Rahman (2002) ketimpangan pendapatan dapat dipengaruhi oleh skill dan penggunaan teknologi dalam proses produksi. Menurut Wilder dkk. (1999) perbedaan tingkat pendidikan dan budaya masyarakat merupakan faktor yang dapat mempengaruhi ketimpangan pendapatan, sedangkan hasil penelitian Ding (2002) pendapatan yang didekati dengan pengeluaran per kapita akan memberikan petunjuk aspek pemerataan pendapatan yang telah tercapai. Walaupun hal ini tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya namun paling tidak memberikan petunjuk untuk melihat arah dari perkembangan yang terjadi. Selama ini untuk mendapatkan informasi mengenai

pendapatan sebenarnya menemui bermacam kendala diantaranya: tidak terus terangnya responden memberikan informasi yang sebenarnya, ada yang membesarkan ada pula yang mengecilkan. Selain itu terkadang menjadi tidak etis pada sebagian orang untuk meminta informasi mengenai pendapatan yang sebenarnya.

Sulitnya mendapatkan tingkat pendapatan yang sebenarnya menjadi alasan penggunaan pendekatan pengeluaran untuk mengetahui distribusi pendapatan masyarakat. Dalam realitanya tingkat pengeluaran akan berbanding lurus dengan tingkat pendapatan. Semakin besar pendapatan masyarakat maka akan semakin besar tingkat pengeluaran. Asumsi ini menjadi acuan dalam kajian untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat.

Sementara itu penelitian yang menyangkut pengukuran ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi di daerah di Indonesia antara lain di Kutai Kartanegara oleh BPS (2005) yang menemukan koefisien Gini sebesar 0,31. Koefisien Gini ini mengindikasikan ketimpangan distribusi yang cukup rendah. Hal ini didukung dengan keberhasilan kebijakan dalam menurunkan kemiskinan di kabupaten tersebut. Penelitian lain khususnya di Kabupaten Banyumas pernah dilakukan oleh Suroso dkk (2005) yang menemukan ketimpangan distribusi pendapatan di Banyumas tahun 2005 dengan koefisien Ginisebesar 0,432. Koefisien Gini tersebut mengindikasikan ketimpangan pendapatan yang cukup besar. Hasil ini juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat dibanding keadaan

sebelumnya. Dibandingkan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, maka Kabupaten Banyumas yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih rendah menujukkan ketimpangan distribusi pendapatan yang relatif tinggi.

Pendapatan masyarakat yang merata, sebagai suatu sasaran merupakan masalah yang sulit dicapai, namun berkurangnya kesenjangan adalah salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan. Indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat pemerataan pendapatan masyarakat adalah distribusi pendapatan masyarakat diantara golongan penduduk (golongan pendapatan). Pendapatan masyarakat sangat tergantung dari lapangan usaha, pangkat dan jabatan pekerjaan, tingkat pendidikan umum, produktivitas, prospek usaha, permodalan dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut menjadi penyebab perbedaan tingkat pendapatan penduduk. Indikator distribusi menanggapi tentang kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi ketimpangan. Shangkar dan Shah (2003) kebijakan pembangunan yang berkaitan dengan alokasi dana pembangunan yang tidak berimbangan dapat menyebabkan ketimpangan pendapatan. Menurut Mukhopadhaya (2003) menyatakan bahwa kebijakan pemerintah terhadap kaum imigran dapat menyebabkan terjadi ketimpangan pendapatan di masyarakat.

Sejumlah studi empirik berusaha untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab ketimpangan distribusi pendapatan dari berbagai tinjauan. Beberapa studi menyampaikan beberapa variabel makro-ekonomi berpengaruh terhadap distribusi pendapatan seperti inflasi dan pengangguran

Dalam dokumen BAB II Perencanaan Wilayah (Halaman 58-68)

Dokumen terkait