• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Perencanaan Wilayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB II Perencanaan Wilayah"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Perencanaan Wilayah

Perencanaan Wilayah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tetap berpegang pada azas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah, 2003).

Dalam upaya pembangunan wilayah, masalah yang terpenting yang menjadi perhatian para ahli ekonomi dan perencanaan wilayah adalah menyangkut proses pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Perbedaan teori pertumbuhan ekonomi wilayah dan teori pertumbuhan ekonomi nasional terletak pada sifat keterbukaan dalam proses input-output barang dan jasa maupun orang. Dalam sistem wilayah keluar masuk orang atau barang dan jasa relatif bersifat lebih terbuka, sedangkan pada skala nasional bersifat lebih tertutup (Sirojuzilam, 2007).

(2)

umum (publik) atau pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan yang berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan dan keterkaitan aspek fisik, sosial, ekonomi dan aspek lingkungan lainnya dengan cara:

1. secara terus menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah;

2. merumuskan tujuan dan kebijakan pembangunan daerah;

3. menyusun konsep strategi bagi pemecahan masalah (solusi), dan

4. melaksanakannya dengan menggunakan sumber daya yang tersedia sehingga peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dapat ditangkap secara berkelanjutan” (Solihin, D, 2005).

Menurut Archibugi (2008) berdasarkan penerapan teori perencanaan wilayah dapat dibagi atas empat komponen yaitu :

(a) Physical Planning (Perencanaan fisik).

(3)

oleh pemerintah Kota Medan dalam bentuk master plan (tata ruang, lokasi tempat tinggal, aglomerasi, dan penggunaan lahan).

(b) Macro-Economic Planning (Perencanaan Ekonomi Makro).

Dalam perencanaan ini berkaitan perencanaan ekonomi wilayah. Mengingat ekonomi wilayah menggunakan teori yang digunakan sama dengan teori ekonomi makro yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan, distribusi pendapatan, tenaga kerja, produktivitas, perdagangan, konsumsi dan investasi. Perencanaan ekonomi makro wilayah adalah dengan membuat kebijakan ekonomi wilayah guna merangsang pertumbuhan ekonomi wilayah. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan bidang aksesibilitas lembaga keuangan, kesempatan kerja, tabungan).

(c) Social Planning (Perencanaan Sosial).

Perencanaan sosial membahas tentang pendidikan, kesehatan, integritas sosial, kondisi tempat tinggal dan tempat kerja, wanita, anak-anak dan masalah kriminal. Perencanaan sosial diarahkan untuk membuat perencanaan yang menjadi dasar program pembangunan sosial di daerah. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan demografis.

(d) Development Planning (Perencanaan Pembangunan).

(4)

Fianstein dan Norman (1991) tipologi perencanaan dibagi atas empat macam yang didasarkan pada pemikiran teoritis. Empat macam perencanaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Traditional planning (perencanaan tradisional). Pada jenis perencanaan ini perencana menetapkan maksud dan tujuan untuk merubah sebuah sistem kota yang telah rusak. Biasanya pada konsep perencanaan ini membuat kebijakan-kebijakan untuk melakukan perbaikan pada sistem kota. Pada perencanaan tradisional memiliki program inovatif terhadap perbaikan lingkungan perkotaan dengan menggunakan standar dan metode yang professional.

b) User-Oriented Planning (Perencanaan yang berorientasi pada pengguna).

Konsep perencanaan ini adalah membuat perencanaan yang bertujuan untuk mengakomodasi pengguna dari produk perencaan tersebut, dalam hal ini masyarakat Kota. Masyarakat yang menentukan produk perencanaan harus dilibatkan dalam setiap proses perencanaan.

c) Advocacy Planning (Perencanaan Advokasi).

(5)

d) Incremental Planning (Perencanaan dukungan).

Pada perencanaan yang bersifat dukungan terhadap sebuah proses pengambilan keputusan terhadap permasalahan-permasalahan perkotaan. Produk perencanaan ini bersifat analisis yang mendalam terhadap permasalahan dengan mempertimbangkan dampak positif dan dampak negatif sebuah kebijakan.

Menurut Glasson dalam buku Tarigan (2005) menyebutkan tipe-tipe perencanaan terdiri dari; physical planning and economic planning, allocative and innovative planning, multi or single objective planning dan

indicative or imperative planning. Selanjutnya menurut Tarigan (2005) di Indonesia juga dikenal jenis top-down and bottom-up planning, vertical and horizontal planning, dan perencanaan yang melibatkan masyarakat secara langsung dan yang tidak melibatkan masyarakat sama sekali. Uraian di atas masing-masing jenis itu dikemukakan sebagai berikut:

1. Perencanaan Fisik Versus Perencanan Ekonomi.

(6)

ekonomi suatu wilayah dan langkah-langkah untuk memperbaiki tingkat kemakmuran suatu wilayah. Perencanaan ekonomi didasarkan atas mekanisme pasar daripada perencanaan fisik yang lebih didasarkan atas kelayakan teknis. Perlu dicatat bahwa apabila perencanaan itu bersifat terpadu, perencanaan fisik berfungsi untuk mewujudkan berbagai sasaran yang ditetapkan di dalam perencanaan ekonomi. Akan tetapi, ada juga keadaan di mana hasil perencanan fisik harus dipertimbangkan perencanaan ekonomi, misalnya dalam hal tata ruang.

2. Perencanaan Alokatif Versus Perencanaan Inovatif.

(7)

3. Perencanaan Bertujuan Jamak versus Perencanaan Bertujuan Tunggal.

(8)

4. Perencanaan Bertujuan Jelas Versus Perencanaan Bertujuan Laten.

Pembedaan ini didasarkan atas konkret atau tidak konkretnya isi rencana tersebut. Perencanaan bertujuan jelas adalah perencanaan yang dengan tegas menyebutkan tujuan dan sasaran dari perencanaan tersebut, yang sasarannya dapat diukur keberhasilannya. Dalam perencanaan, tujuan selalu dibuat lebih bersifat umum dibandingkan dengan sasaran. Tujuan belum tentu dapat diukur walaupun bisa dirasakan, sedangkan sasaran biasanya dinyatakan dalam angka konkret sehingga bisa diukur dengan tingkat pencapaiannya. Misalnya, tujuan perencanaan adalah menaikkan taraf hidup rakyat, sasarannya adalah menaikkan pendapatan per kapita dari $ 400 menjadi $ 500 per tahun, dalam jangka waktu tiga tahun yang akan datang. Perencanaan bertujuan laten adalah perencanaan yang tidak menyebutkan sasaran dan bahkan tujuannya pun kurang jelas sehingga sulit untuk dijabarkan. Tujuan perencanaan laten sering dikejar secara tidak sadar, misalnya ingin hidup lebih bahagia, kehidupan dalam masyarakat yang aman, nyaman, dan penuh dengan rasa kekeluargaan.

5. Perencanaan Indikatif Versus Perencanaan Imperatif.

(9)

indikator ini sendiri bisa konkret dan bisa hanya perkiraan (indikasi). Tidak diatur bagaimana cara untuk mencapai tujuan tersebut. Tidak diatur prosedur ataupun langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, yang penting indikator yang dicantumkan dapat tercapai. Dalam perencanaan itu mungkin terdapat petunjuk atau pedoman, yaitu semacam nasehat bagaimana sebaiknya rencana itu dijalankan, tetapi pedoman itu sendiri tidak terlalu mengikat.

(10)

6. Top Down Versus Bottom Up Planning.

Pembedaan perencanaan jenis ini didasarkan atas kewenangan dari institusi yang terlibat. Perencanaan model up-down dan bottom-up hanya berlaku apabila terdapat beberapa tingkat atau lapisan pemerintahan atau beberapa jenjang jabatan di perusahaan yang masing-masing tingkatan diberi wewenang untuk melakukan perencanaan. Perencanaan model top down adalah apabila kewenangan utama dalam perencanaan itu berada pada institusi yang lebih tinggi di mana institusi perencana pada level yang lebih rendah harus menerima rencana atau arahan dari institusi yang lebih tinggi. Rencana dari institusi yang lebih tinggi tersebut harus dijadikan bagian rencana institusi yang lebih rendah. Umumnya terjadi adalah kombinasi antara kedua model tersebut. Akan tetapi dari rencana yang dihasilkan oleh kedua level institusi perencanaan tersebut, dapat ditentukan model mana yang lebih dominan. Apabila yang dominan adalah top-down maka perencanaan itu disebut sentralistik, sedangkan apabila yang dominan adalah bottom-up maka perencanaan itu disebut desentralistik.

7. Vertical Versus Horizontal Planning.

(11)

menekankan pentingnya koordinasi antar berbagai jenjang pada instansi yang sama. Tidak diutamakan keterkaitan antar sektor atau apa yang direncanakan oleh sektor lainnya, melainkan lebih melihat kepada kepentingan sektor itu sendiri itu bagaimana hal ini dapat dilaksanakan oleh berbagai jenjang pada instansi yang sama di berbagai daerah secara baik dan terkoordinasi untuk mencapai sasaran sektoral. Horizontal planning menekankan keterkaitan antar berbagai sektor sehingga berbagai sektor itu dapat berkembang secara bersinergi. Horizontal planning melihat pentingnya koordinasi antar berbagai instansi pada level yang sama, ketika masing-masing instansi menangani kegiatan atau sektor yang berbeda. Horizontal planning menekankan keterpaduan program antar berbagai sektor pada level yang sama. Antara kedua model perencanaan itu harus terdapat arus bolak-balik sehingga dihasilkan rencana yang baik.

8. Perencanaan yang melibatkan masyarakat secara langsung Versus yang tidak melibatkan masyarakat.

(12)

masyarakat misalnya apabila perencanaan itu bersifat teknis pelaksanaan, bersifat internal, menyangkut bidang yang sempit, dan tidak secara langsung bersangkut paut dengan kepentingan orang banyak. Persetujuan DPRD pun umumnya tidak dimintakan untuk perencanaan seperti itu. Perencanaan yang bersangkut paut dengan kepentingan orang banyak mestinya melibatkan masyarakat tetapi dalam prakteknya masyarakat hanya diwakili oleh orang-orang yang dikategorikan sebagai tokoh masyarakat. Dalam praktik, kedua pembagian di atas tidaklah mutlak. Artinya, perencanaan sering mengambil bentuk diantara keduanya. Perencanaan yang melibatkan masyarakat luas hanya mungkin untuk wilayah yang kecil, misalnya lingkungan, desa atau kelurahan, dan kecamatan. Untuk wilayah yang lebih luas, biasanya hanya mungkin dengan cara mengundang tokoh-tokoh masyarakat atau pimpinan organisasi kemasyarakatan. Seringkali tokoh masyarakat atau organisasi kemasyarakatan hanya dilibatkan pada diskusi awal untuk memberikan masukan dan pada diskusi akhir untuk melihat bahwa aspirasi mereka sudah tertampung. Perencanaan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak biasanya harus mendapat persetujuan DPRD sebagai perwakilan dari kepentingan masyarakat.

2.2. Sistem Perencanaan Pembangunan Wilayah

(13)

Pembangunan daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata, baik aspek pendapatan, kesempatan kerja, lapangan berusaha, akses terhadap pengambilan kebijakan, berdaya saing maupun peningkatan indeks manusia (Kuncoro,2005).

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2004 dikeluarkan pemerintah untuk memperbaiki berbagai kelemahan perencanaan pembangunan yang dirasakan dimasa lalu. Sasaran perbaikan yang diharapkan antara lain adalah mewujudkan keterpaduan dan sinergi pembangunan antar dinas dan instansi dan antar daerah, keterpaduan antara perencanaan dan penganggaran serta untuk lebih mengoptimal kan pemanfaatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan perencanaan.

Rencana pembangunan menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 terdiri dari:

1. RPJP 2. RPJM 3. RKP

4. Renstra kementrian/SKPD 5. Renja kementrian/SKPD

Ad 1. RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang)

(14)

kabupaten/kota untuk periode 20 tahun. RPJP-Nasional, propinsi maupun kabupaten/kota berisikan visi, misi dan arah pembangunan secara nasional yang merupakan penjabaran dari tujuan terbentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. RPJP ini selanjutnya dijadikan landasan utama penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM untuk periode 5 tahun).

Ad 2. RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah)

(15)

Dengan mempedomani rancangan RPJP Daerah yang telah selesai disusun, Pemerintah Daerah diwajibkan pula menyusun RPJM Daerah yang berisikan arah dan strategi kebijakan pembangunan daerah dan program kerja satuan perangkat daerah, baik yang bersifat lintas sektoral maupun lintas wilayah. Termasuk dalam RPJM Daerah ini adalah rencana kerja dan kerangka regulasi dan pendanaan yang bersifat indikatif. Agar perencanaan menjadi lebih kongkrit, maka target-target yang ditetapkan perlu diusahakan secara kuantitatif, walaupun disadari hal ini tidak dapat dilakukan untuk semua sektor. Target yang bersifat kuantitatif tersebut nantinya juga sangat diperlukan pada waktu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap keberhasilan terhadap pelaksanaan program.

(16)

Ad 3. RKP (Rencana Kerja Pemerintah)

Peranan RKP demikian penting karena dokumen perencanaan ini adalah memadukan perencanaan pembangunan jangka menengah yang kurang operasional dengan perencanaan anggaran yang sangat operasional sesuai dengan kemampuan dana pada tahun yang bersangkutan. Dengan adanya RKP/D tersebut maka akan terdapat keterpaduan antara perencanaan, program dan pendanaan sesuai dengan prinsip Ilmu Perencanaan yaitu Planning, Programming and Budgetting System (PPBS).

(17)

dasar penyusunan RAPBD. Dengan demikian, sistem penyusunan RAPBD yang biasanya dilakukan oleh Tim KUA (Kebijakan Umum Anggaran) sesuai dengan KEPMENDAGRI 29, tahun 2003 sudah tidak berlaku lagi dan diganti dengan PERMENDAGRI 13 tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

(18)

Ad 4. Renstra-SKPD (Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah) Dalam praktek di daerah kelihatannya RENSTRADA lebih banyak diperhatikan oleh Pemerintah Daerah karena Departemen Dalam Negeri mengaitkan dokumen perencanaan ini dengan pertanggungjawaban Kepala Daerah. Karena itu dalam penyusunan APBD, RENSTRADA ini lebih banyak dijadikan dasar, sedangkan PROPEDA tidak terlalu banyak diperhatikan sehingga hanya tinggal di dalam lemari. Sebenarnya kedua dokumen tersebut mempunyai sifat yang berbeda dan saling mendukung satu sama lainnya.

SPPN 2004 memberikan ketentuan yang sangat jelas tentang kedua dokumen perencanaan pembangunan ini. Di dalam SPPN dinyatakan secara tegas bahwa Rencana Strategis (RENSTRA) adalah dokumen perencanaan untuk institusi, sehingga ruang lingkupnya adalah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari institusi yang bersangkutan. Pada tingkat pusat, dokumen yang disusun adalah RENSTRA-KL karena institusi yang terlibat adalah kementerian dan lembaga. Sedangkan pada tingkat daerah dokumen yang disusun adalah RENSTRA-SKPD karena institusi yang terlibat adalah satuan kerja perangkat daerah seperti dinas dan instansi.

(19)

nama dengan RPJM adalah merupakan dokumen perencanaan yang mencakup kesatuan wilayah tertentu baik secara nasional maupun pada tingkat daerah. Dalam satu wilayah biasanya terdapat berbagai institusi baik yang tergabung dalam unsur pemerintah, swasta maupun masyarakat. Karena itu, RPJM mencakup tidak hanya kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah saja, baik pusat maupun daerah, tetapi juga yang dilakukan oleh 298 pihak swasta maupun kelompok masyarakat lainnya. Karena itu, dalam mengelola kegiatan pembangunan, seharusnya pemerintah pusat maupun pemerintah daerah lebih banyak memperhatikan RPJM yang mencakup kegiatan pembangunan secara keseluruhan. Sedangkan RENSTRA merupakan jabaran dari RPJM untuk institusi tertentu, dan juga dapat berfungsi sebagai masukan untuk penyusunan RPJM yang sudah akan final melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (MUSRENBANG).

(20)

dalam hal ini adalah agar perencanaan yang disusun dapat disesuaikan dengan aspirasi masyarakat umum sehingga dukungan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan akan dapat dioptimalkan. Ini berarti bahwa, MUSRENBANG juga berfungsi sebagai alat untuk dapat mewujudkan Perencanaan Partisipatif (Participatory Planning) yang merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan demokrasi dalam pelaksanaan pembangunan.

Disini MUSRENBANG sebagai pengganti RAKORBANG dilakukan secara komprehensif, tidak hanya dalam rangka koordinasi program dan proyek yang akan dilakukan setiap tahun, tetapi dilakukan untuk semua tingkat perencanaan, baik RPJP, RPJM dan RKP. Hal ini dilakukan agar koordinasi dan singkronisasi dapat dilakukan secara menyeluruh dan terpadu, baik secara sektoral maupun menurut tingkat pemerintahan (Solihin, D, 2005).

(21)

Dana Indikatif beserta sumbernya serta prakiraan maju berdasarkan pagu indikatif artinya jelas sumber dana yang dibutuhkan untuk menjalankan program dan kegiatan. Koordinasi penyusunan Renstra SKPD dan Renja SKPD dilakukan masing-masing SKPD.

2.3. Teori Kota dan Rencana Tata Guna Lahan 2.3.1 Kota

Kota adalah sebagai gabungan sel lingkungan perumahan, atau tempat di mana orang bekerja bersama untuk kepentingan umum. Jenis daerah perkotaan bisa beragam sebesar beragamnya berbagai kegiatan yang dilakukan pada wilayah perkotaan seperti perdagangan, transportasi, pengadaan barang dan jasa, atau gabungan dari semua aktivitas tersebut (Gallion dan Eisner, 1992).

Sebuah kota adalah suatu pemukiman yang relatif besar, padat dan permanen, terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segi sosial. Kota adalah salah satu ungkapan kehidupan manusia yang mungkin paling kompleks. Kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa, dari segi budaya dan antropologi, ungkapan kota sebagai ekspresi kehidupan orang sebagai pelaku dan pembuatnya adalah paling penting dan sangat perlu diperhatikan. Hal tersebut disebabkan karena permukimanperkotaan tidak memiliki makna yang berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari kehidupan di dalamnya (Zahnd, 2006).

(22)

terdapat masyarakat manusia yang sangat komplek, telah mengalami proses interelasi antar manusia dan antar manusia dengan lingkungannya. Produk hubungan tersebut ternyata mengakibatkan terciptanya pola keteraturan daripada pengguna lahan yang menghasilkan struktur ruang kota (Yunus, 2000).

Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang struktur ruang kota, diantaranya adalah sebagai berikut:

[image:22.595.187.399.421.620.2]

1. Teori Konsentris; Menurut pengamatan Burgess, sesuatu kota akan terdiri dari zona-zona yang konsentris dan masing-masing zona ini mencerminkan penggunaan lahan yang berbeda, seperti berikut:

Gambar 2.3 Teori Konsentris Sumber : Breter, 2001

(23)

2. Teori Sektor; Munculnya ide untuk mempertimbangkan variabel sektor ini pertama kali dikemukan oleh Hoyt. Secara konseptual, model teori sektor menunjukkan persebaran zona-zona konsentrisnya. Jelas sekali terlihat disini bahwa jalur transportasi yang menjari (menghubungkan pusat kota ke bagian-bagian yang lebih jauh) diberi peranan yang besar dalam pembentukan pola struktur ruang kota.

3. Teori Multiple Nuclei (Teori Pusat Kegiatan Banyak); Teori ini pertama kalinya dicetuskan oleh C.D. Harris dan FL. Ulman. Menurut pendapatnya, bahwa kebanyakan kota-kota besar tidak tumbuh dalam ekspresi keruangan yang sederhana, yang hanya ditandai oleh pusat kegiatan saja, namun terbentuk sebagai suatu produk perkembangan dan integrasi yang berlanjut dan terus menerus dari sejumlah pusat-pusat kegiatan terpisah satu sama lain dalam suatu sistem perkotaan (multi centered theory).

(24)

Menurut Herbes (1987) daerah sub urban yang baru dibangun oleh arus urbanisasi tumbuh dan berkembang mengikuti pola perkampungan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Meskipun kita menyadari sebagai proses pembangunan kota telah membawa implikasi terhadap ketimpangan wilayah, namun dengan adanya literatur tentang perencanaan wilayah dapat dijadikan sebagai dasar untuk mempersempit terjadinya ketimpangan wilayah ( Bahl dkk,1992).

2.3.2 Rencana Tata Guna Lahan

(25)

Suatu rencana tata guna lahan biasanya merupakan bagian dari suatu rencana menyeluruh. Dalam bagian-bagian lain dibahas persoalan transportasi, utilitas umum; seperti listrik, gas dan air; berbagai macam prasarana masyarakat dan masalah-masalah khusus yang membutuhkan perhatian, misalnya pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Sifat rencana tata guna lahan bias berlainan karena jenis dan luas lingkungan, struktur pemerintahan serta peraturan-peraturan negara bagian dan kotamadya atau kabupaten yang mengatur soal perlahanan. Misalnya, suatu rencana tata guna lahan untuk sebuah dusun di pedesaan barangkali akan lain sekali ruang lingkupnya dan tidak begitu mendesak seperti rencana tata guna lahan di sebuah kota industri yang besar.

(26)

Jangka waktu rencana tata guna lahan juga berbeda-beda, tergantung berapa jauh jangkauannya ke masa depan. Suatu rencana jangka panjang biasanya menuju ke sasaran yang terletak 20 atau 25 tahun yang akan datang, sedangkan suatu rencana tata guna lahan yang dimaksudkan untuk melaksanakan program pembangunan tertentu mungkin hanya menjangkau sasaran 5 tahun atau kurang. Misalnya, kota Atlanta di Negara bagian Georgia, Amerika Serikat, memiliki peraturan yang mengharuskan penyusunan rencana-rencana tata guna lahan berjangka waktu 1,5 dan 15 tahun yang masing-masing harus diperbaharui tiap tahun.

Oleh sebab perencanaan perkotaan bersifat menyeluruh dan integral, maka suatu rencana tata guna lahan biasanya hanya merupakan unsur fungsional dari suatu proses menyeluruh. Sekalipun merupakan unsur yang paling menentukan, perencanaan perkotaan dilengkapi dengan unsur-unsur fungsional dan hasil-hasil penelitian yang bersifat mendukungnya.

(27)

1. Perbaikan modal

2. Rencana tata guna lahan untuk masa depan 3. Sirkulasi lalu lintas

4. Saluran pembuangan limbah manusia, sampah padat, saluran pembuangan air hujan dan air minum

5. Pelestarian alam

6. Rekreasi dan ruang terbuka 7. Perumahan

8. Pengelolaan daerah pantai (hanya untuk kewenangan hukum daerah pantai)

9. Koordinasi antar instansi pemerintah

Unsur-unsur tambahan berikut ini bersifat mana suka tetapi yang

pertama dan

kedua merupakan keharusan bagi pemerintah daerah yang berpenduduk lebih dari 50.000 jiwa:

a. Perjalanan Masal (Mass Transit)

b. Pelabuhan, penerbangan dan rencana-rencana fasilitas terkait c. Kendaraan tidak bermotor (misalnya sepeda) dan lalu lintas

pejalan-kaki

d. Parkir halaman

e. Bangunan umum dan fasilitas-fasilitas terkait f. Pola kemasyarakatan

(28)

i. Pelestarian tempat-tempat bersejarah dan tempat-tempat dengan pemandangan indah

j. Pembangunan ekonomi

k. Unsur-unsur yang bersifat khas dan merupakan kebutuhan bagi daerah itu

Rencana tata guna lahan juga membuka kesempatan bagi pembangunan perumahan, daerah perbelanjaan dan pembangunan ekonomi yang memadai, di samping memberikan perlindungan bagi daerah-daerah serta sumber daya lingkungan yang menentukan.

Hal-hal itu diusahakan untuk mencapainya secara mencoba menciptakan suatu pola pengembangan lahan yang masuk akal dan bukan pola pengembangan dan penyebaran yang acak-acakan, tidak teratur, tidak mantap dan mahal yang akan terjadi jika tidak diciptakan pola pengembangan yang masuk akal, melainkan konfigurasi khusus yang logis dan bertahap, didasarkan pada kebijakan-kebijakan yang sudah disahkan.

Beberapa penelitianyang biasanya mendahului persiapan penyusunan rencana tata guna lahan, yaitu:

1. Penelitian kependudukan 2. Penelitian ekonomi 3. Analisis lingkungan

(29)

Unsur-unsur rencana menyeluruh yang bukan rencana tata guna lahan (seperti unsur-unsur mengenai transportasi, listrik, air bersih dan gas, serta fasilitas umum) mungkin mendahului, menyertai atau menyusuli persiapan perencanaan tata guna lahan. Hal itu tergantung pada struktur, jadwal dan kendala-kendala yang terdapat dalam proses perencanaan menyeluruh. Unsur-unsur rencana menyeluruh yang biasanya menyusul sesudah tersusun rencana tata guna lahan meliputi: a. Rencana-rencana untuk daerah yang lebih kecil, seperti daerah

pemukiman, pusat pusat bisnis, lingkungan industri atau daerah-daerah pelestarian

b. Rencana-rencana fungsional untuk tujuan-tujuan khusus, seperti rencana untuk perumahan atau tempat-tempat rekreasi.

Sekalipun mungkin ada tahapan analitis yang ideal (tentunya sampai batas-batas tertentu bias terwujud) pertimbangan praktis mengenai anggaran, ketentuan hukum dan hal-hal yang menimbulkan keresahan masyarakat yang sering menjadi faktor penentu mengenai bagaimana dan kapan pelaksanaan rencana tata guna lahan harus dilaksanakan (Catenese dan Snyder, 1988).

2.3.3 Proses Perencanaan Tata Guna Lahan

Dalam pengertian yang paling sederhana, proses itu meliputi tiga tahap (lihat segi empat di tengah) : (1) dimana tempat anda, (2) kemana anda hendak pergi dan (3) bagaimana cara pencapaiannya.

(30)

yang tepat untuk berbagai bagian perencanaan tata guna lahan dan proses implementasinya.

2.4. Teori Pembangunan Wilayah

Pembangunan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antarwilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Kebijakan pengembangan wilayah sangat diperlukan karena kondisi fisik geografis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya sehingga penerapan kebijakan pengembangan wilayah itu sendiri harus disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan isu permasalahan di wilayah bersangkutan.

(31)

adalah perubahan jangka panjang secara perlahan dan mantap yang terjadi melalui kenaikan tabungan dan penduduk. Menurut Boner,“ pembangunan memerlukan dan melibatkan semacam pengarahan, pengaturan, dan pedoman dalam rangka menciptakan kekuatan-kekuatan bagi perluasan dan pemeliharaan, sedang ciri pertumbuhan spontan merupakan ciri perekonomian maju dengan kebebasan usaha (Sjafrizal, 2008).

Menurut Todaro (2006) bahwa pembangunan harus berlangsung pada satu tingkat perubahan secara menyeluruh sehingga suatu sistem sosial yang telah diselaraskan dengan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan dasar pribadi dan kelompok yang beraneka ragam dalam sistem tersebut akan bergerak menjauhi kondisi hidup yang secara umum dianggap kurang memuaskan dan mengarah ke situasi atau kondisi hidup yang secara material dianggap lebih baik.

Pembangunan secara umum dapat diartikan sebagai usaha yang memajukan kehidupan masyarakat dari kondisi yang tidak baik menjadi kondisi yang lebih baik. Siagian (1983) mendefinisikan bahwa pembangunan itu adalah sebagai usaha atau rangkaian usaha yang pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building). Pembangunan ekonomi didefinisikan dalam tiga pengertian sebagai berikut:

(32)

memuaskan, karena tidak mempertimbangkan berbagai perubahan misalnya pertumbuhan penduduk. Jika suatu kenaikan dalam pendapatan nasional riil dibarengi dengan pertumbuhan penduduk yang lebih cepat, maka yang terjadi bukan kemajuan tetapi adalah sebaliknya yaitu kemunduran.

2. Meier dalam Siagian (1983) bahwa pembangunan ekonomi “sebagai proses kenaikan pendapatan riil per kapita dalam suatu jangka waktu yang panjang”. Baran dalam Siagian (1983) membenarkan “pertumbuhan (pembangunan) ekonomi adalah kenaikan output perkapita barang-barang material dalam suatu jangka waktu”. Definisi di atas menekankan bahwa pembangunan ekonomi dicerminkan oleh tingkat kenaikan pendapatan riil lebih tinggi dibandingkan tingkat pertumbuhan penduduk. Definisi tersebut mengabaikan masalah yang bertalian dengan struktur masyarakat, struktur penduduk, lembaga dan budaya masyarakat, dan bahkan distribusi output di antara anggota masyarakat.

3. Ada kecenderungan untuk mendefinisikan pembangunan ekonomi dilihat dari tingkat kesejahteraan ekonomi. Misalnya pendapatan nasional riil per kapita naik dibarengi dengan penurunan kesenjangan pendapatan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Definisi ini mempunyai beberapa keterbatasan,

(33)

bertambah lebar;

b) dalam mengukur kesejahteraan ekonomi harus hati-hati, output dapat dinilai dengan kenaikan pendapatan nasional riil, dan

c) harus dipertimbangkan tidak saja barang apa yang diproduksi, tetapi juga bagaimana barang tersebut diproduksi.

Pembangunan nasional didukung oleh pembangunan yang terjadi di wilayah. Untuk itu diperlukan pendekatan yang penting didalami adalah teori yang berkaitan dengan pengembangan wilayah, dan adapun teori tersebut adalah sebagai berikut:

2.4.1 Teori Lokasi dan Aglomerasi

Teori Lokasi memberikan kerangka analisa yang baik dan sistematis mengenai pemilihan lokasi kegiatan ekonomi dan sosial, serta analisa interaksi antar wilayah. Teori Lokasi menjadi penting dalam analisa ekonomi karena pemilihan lokasi yang baik akan dapat memberikan penghematan yang sangat besar untuk ongkos angkut sehingga mendorong terjadinya efisiensi baik dalam bidang produksi maupun pemasaran. Sedangkan interaksi antar wilayah akan dapat pula mempengaruhi perkembangan bisnis yang pada gilirannya akan dapat pula mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (Sjafrizal, 2008).

(34)

konsentrasi dan dekonsentrasi atau dispersi kegiatan industri dan kegiatan-kegiatan lainnya. Manfaat-manfaat yang ditinbulkan oleh kegietan-kegiatan di atas dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, antara lain: yaitu penghematan skala (scale economies), penghematan lokasi (localization economies). dan penghematan urbanisasi (urbanization economies).

1. Penghematan skala (scale economies). Terdapat penghematan dalam produksi secara internal bila skala produksinya ditingkatkan. Biaya tetap yang besar sebagai akibat investasi dalam bentuk pabrik dan peralatan, yang memungkinkan dilaksanakan pemanfaatan pabrik dan peralatan tersebut dalam skala besar dapat membagi-bagi beban biaya-biaya tetap pada berbagai unit terdapat dalam sistem produksi. Sebagai konsekuensinya, unit biaya produksi menjadi lebih rendah sehingga dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain.

(35)
(36)

2. Penghematan lokalisasi (lokalization economies). Jenis kedua, kekuatan yang terpenting konsentrasi industri diasosiasikan dengan penghematan yang dinikmati oleh semua perusahaan dalam suatu industri yang sejenis pada suatu lokasi tertentu.

3. Penghematan urbanisasi (urbanization economies). Penghematan urbanisasi diasosiasikan dengan pertambahan jumlah total (penduduk, hasil industri, pendapatan, dan kemakmuran) di suatu lokasi untuk semua kegiatan yang dilakukan bersama-sama.

(37)
(38)

2.4.2 Teori tempat Sentral (Central Place Theory)

Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur herarkis pusat-pusat kota atau wilayah-wilayah nodal, tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola georafis tersebut terjadi secara gradual dan bagaimana pola tersebut mengalami perubahan-perubahan pada masa depan, atau dapat dikatakan tidak menjelaskan gejala-gejala (fenomena) pembangunan. Dengan demikian teori tersebut dapat dikatakan bersifat statis. Agar teori tempat sentral mampu menjelaskan gejala-gejala dinamis, maka perlu ditunjang oleh teori-teori pertumbuhan wilayah. Salah satu diantaranya adalah teori Perroux (kutub pertumbuhan) yang membahas perubahan-perubahan struktural pada tata ruang geografis. Atau dapat dikatakan teori tempat sentral merupakan dasar dari teori kutub pertumbuhan.

Teori tempat sentral sebagian brsifat positif karena berusaha menjelaskan pola aktual arus pelayanan jasa, dan sebagian lagi bersifat normatif karena berusaha menentukan pola optimal distribusi tempat-tempat sentral. Teori tempat sentral mempunyai kontribusi pada pemahaman interrelasi spasial dan kota-kota sebagai sistem di dalam sistem perkotaan.

(39)

muncullah jasa-jasa yang tidak berkanaan dengan pasar wilayah belakang. Sebagai contoh kehidupan kota metropolitan dapat mencipakan kebutuhan-kebutuhan sendiri (internal), misalnya peningkatan penyediaan fasilitas penyediaan air minum, listrik, angkutan umum, demikian pula kebutuhan fasilitas parkir. Persoalan-persoalan yang dihadapai dalam pertumbuhan kota ternyata tidak sesederhana seperti persoalan pemasaran barang-barangdan jasa-jasa yang dihasilkan oleh tempat sentral. Analisis tempat sentral menekankan pada peranan sektor perdagangan dan kegiatan-kegiatan jasa daripada kegiatan-kegiatan manufaktur.

(40)

2.4.3 Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory)

Sebagaimana diketahui bahwa potensi dan kemampuan masing-masing wilayah berbeda-beda satu sama lainnya, demikian pula masalah pokok yang dihadapinya tidak sama. Sehingga usaha-usaha pembangunan sektoral yang akan dilaksanakan harus disinkronisasikan dengan usaha-usaha pembangunan regional. Hirschman mengatakan bahwa untuk mencapai tingkat pendapatan yang lebih tinggi, terdapat keharusan untuk membangun sebuah atau beberapa buah pusat kekuatan ekonomi dalam wilayah suatu negara, atau yang disebut sebagai pusat-pusat pertumbuhan (growth point atau growth pole).

(41)

Hirschman berdalil bahwa pertumbuhan awalnya terbatas pada wilayah-wilayah yang disukai, meskipun ketimpangan menyebar berdasarkan letak geografis, meliputi terpencil dan pertumbuhan ini terjadi melalui dampak hubungan dengan kutub-kutub pertumbuhan. Teori kutub pertumbuhan menyajikan dua fungsi baik fungsi idiologi maupun fungsi politik. Di dalam suatu arti idiologis dan pada suatu tingkat teoritis yang tidak dapat diambil melalui pertanyaan-pertanyaan sosial yang lebih mendalam. Teori kutub pertumbuhan bersandar terhadap mekanisme harga sebagai faktor penengah dan retribusi sumberdaya. Perroux menetapkan bahwa sektor-sektor pertumbuhan didefinisikan dengan hubungan-hubungan ekonomi dengan unit-unit lain di dalam ekonomi.

(42)

2.4.4 Teori Konvergen (Convergence Theory)

Bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin lancar. Teori Konvergen dapat terjadi jika negara yang bersangkutan telah maju, maka ketimpangan pembangunan regional akan berkurang (Convergence). Dari pandangan neo-klasik, ketimpangan wilayah dapat dihubungan dengan faktor ketidaksempurnaan pasar dan sifat kelambanan proses pembangunan. Menyamaratakan faktor harga antara wilayah dalam suatu wilayah melalui integrasi akan meningkatkan faktor mobilitas sehingga dengan demikian akan ada pencapaian keseimbangan atau pola pertumbuhan wilayah konvergen. Hal tersebut juga ditanggapi rendahnya pendapatan wilayah akan meningkatkan para pekerja melalui migrasi, sehingga menarik investor dengan biaya pekerja yang rendah.

(43)

pada awal abad ini, dan disempurnakan oleh Paul Samuelson menyempurnakan secara matematis.

Dalam analisa integrasi perekonomian dunia, beberapa ahli seperti Porter dan Krugman mulai melihat pentingnya jarak geografis. Bertil Ohlin membuat asumsi bahwa dua faktor produksi merupakan hal yang penting di setiap negara, yang sebahagian faktor tersebut merupakan hal yang tidak penting pada beberapa negara. Komoditas bergerak dengan baik di perdagangan internasional, tanpa didukung pajak atau biaya transportasi. Dari pandangannya, perdagangan bebas telah cukup mampu menggantikan mobilitas internasional sehingga pergerakan terhadap perdagangan bebas akan menyebabkan harga pada negara -negara menjadi sama. Dan jika kedua negara melanjutkan untuk menghasilkan barang-barang pada perdagangan bebas, faktor harganya sebenarnya akan menjadi sama tanpa pergerakkan. Kesamaan faktor harga ini (FPE) dibuktikan secara matematis oleh Samuelson. Teori konvergen masih digunakan sebagai model dalam literatur teori pertumbuhan, yang menyatakan bahwa liberalisasi dalam asas dasar dapat meningkatkan proses konvergen melalui wilayah (Hwang, 1996).

2.4.5 Teori Divergen (Divergence theory)

(44)

yang cenderung menurun pada sebahagian masyarakat. Untuk mengatasi ini diperlukan campur tangan pemerintah untuk membuat kebijakan yang akan mengurangi ketimpangan wilayah (Jeong, 1995). Bila wilayah miskin mampu untuk menaikkan pendapatan per kapita masyarakat secara terus menerus, maka ketimpangan wilayah dapat dipersempit secara perlahan (Dapeng, 1998).

Ada tiga strategi dasar dimana para pembuat kebijakan bisa membantu variasi basis ekonomi wilayah. Masing-masing strategi ini memiliki tingkat risiko berbeda, antara lain:

a) jangkauan industri melibatkan perluasan hubungan ke depan dan ke belakang untuk menambah rangkaian nilai wilayah;

b) pengaruh industri melibatkankan kolaborasi industri dengan sektor perindustrian lain di mana ada kemungkinan besar sinergi bisnis berdasarkan potensi pengembangan wilayah di wilayah yang belum pernah di sentuh (white space); serta

c) jangkauan dan pengaruh industri melibatkan kombinasi satu industri atau lebih dalam penambahan nilai dan pengembangan wilayah yang belum pernah disentuh (white space development).

2.4.6 Pendapatan

(45)
[image:45.595.121.531.124.475.2]

dapat dilihat dalam diagram melingkar (circular flow diagram) David Egg berikut ini:

Gambar 2.9 Sirkulasi Aliran Pendapatan dan Pengeluaran

(46)

Sebagian dari pendapatan ini tidak diterima oleh rumah tangga. Keuntungan-keuntungan perusahaan harus membayar pajak keuntungan, sedangkan pendapatan rumah tangga yang lain harus membayar pajak perseorangan. Setelah dikurangi pajak, pendapatan rumah tangga akan digunakan untuk membiayai beberapa kegiatan pembelanjaan aatau ditabung. Yang paling penting untuk membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Sisa pendapatan rumah tangga, yaitu setelah dikurangi pajak, pengeluaran untuk konsumsi dan pengeluaran untuk membeli barang impor akan ditabung di lembaga keuangan, yang kemudian lembaga keuangan akan meminjamkan dana yang didapat dari tabungan rumah tangga kepada penanam modal.

Menurut Sukirno ( 2007 ) untuk menghitung nilai barang-barang dan jasa-jasa yang diciptakan oleh sesuatu perekonomian tiga cara penghitungan dapat digunakan, yaitu:

1. Cara pengeluaran. Dengan cara ini pendapatan nasional dihitung dengan menjumlahkan nilai pengeluaran/perbelanjaan ke atas barang-barang dan jasa yang diproduksikan di dalam negara tersebut.

(47)

Di dalam penghitungan pendapatan nasional digunakan istilah pendapatan, yang dimaksud adalah pendapatan pribadi dan pendapatan disposebel. Pendapatan pribadi dapat diartikan sebagai semua jenis pendapatan, termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa memberikan sesuatu kegiatan apa pun, yang diterima oleh penduduk sesuatu negara. Pendapatan disposebel adalah pendapatan pribadi dikurangi oleh pajak yang harus dibayar oleh para penerima pendapatan. Dengan demikian hakikatnya pendapatan disposebel adalah pendapatan yang dapat digunakan oleh para penerimanya, yaitu rumah tangga yang ada dalam perekonomian, untuk membeli barang-barang dan jasa-jasa yang mereka ingini. Tetapi biasanya tidak semua pendapatan disposebel itu digunakan untuk tujuan konsumsi, sebagian darinya ditabung dan sebagian lainnya digunakan untuk membayar bunga, untuk pinjaman yang digunakan untuk membeli barang-barang secara menyicil.

Untuk memudahkan mengingat hubungan di antara (i) pendapatan disposebel (Yd) dan pendapatan pribadi (Yp), dan (ii) pendapatan disposebel (Yd)

dengan konsumsi dan tabungan, di bawah ini dinyatakan formula (rumus) dari hubungan tersebut :

(i) Yd = Yp - T

(ii) Yd = C + S

(48)
[image:48.595.151.349.128.309.2]

diperlukan pembangunan disetiap wilayah guna menunjang perekonomian nasional.

Gambar 2.10 Tabungan dan investasi

Keadaan di pasaran modal pada mulanya adalah bersifat: keinginan untuk melakukan investasi dan meminjam modal digambarkan oleh kurva I0 dan

penawaran tabungan adalah SF. Maka pasaran modal akan seimbang apabila

investasi = I0 sama dengan suku bunga = r0. Tabungan yang dilakukan oleh

rumah tangga adalah S0=I0, dan pengeluaran rumah tangga adalah C0.

Pada keseimbangan ini pengeluaran agregat adalah: C0 + I0 dan nilainya

sama dengan YF (oleh karena YF = C0 + I0, sedangkan S0 = I0, maka YF = C0

+ S0 = C0 + I0). Dalam perekonomian dua sektor yang mencapai

keseimbangan berlaku keadaan: I = S.

2.4.7 Distribusi Pendapatan

(49)

Distribusi pendapatan dianggap kurang adil jika sebagian besar output nasional dikuasai oleh sebagian kecil penduduk.

Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia pada umumnya menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan (proksi) untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat. Walaupun diakui bahwa cara ini sebenarnya mempunyai suatu kelemahan yang serius data pengeluaran konsumsi bisa memberikan informasi yang tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya.

Pertumbuhan ekonomi yang selama ini dianggap sebagai salah satu indikator perbaikan ekonomi tidak bisa mengukur tingkat kesejahteraan dan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, tergantung dari mana sumber-sumber pertumbuhan itu berasal. Kesenjangan ekonomi atau ketidakmerataan dalam distribusi pandapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line) (Tambunan, 2001).

(50)

pembangunan yang dilakukan akan lebih terfokus pada bagaimana mencapai suatu laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam suatu periode yang relatif singkat. Untuk mencapai tujuan tersebut, konsekuensi negatif yang dapat muncul sebagai akibat jalan pintas yang diambil berdasarkan pengalaman masa lalu adalah pusat pembangunan ekonomi nasional dan daerah dimulai pada wilayah-wilayah yang telah memiliki infrastruktur lebih memadai terutama Jawa. Selain itu pembangunan akan difokuskan pada sektor-sektor yang secara potensial memiliki kemampuan besar dalam mengasilkan nilai tambah yang tinggi terutama sektor industri dan jasa.

Diantara para pengeritik pola pembangunan ekonomi yang telah ditempuh oleh kebanyakan Negara berkembang, termasuk Indonesia, terdapat banyak orang yang beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selalu dibarengi kenaikan dalam ketidakmerataan distribusi pendapatan atau ketimpangan relatif. Dengan perkataan lain, para pengeritik ini, termasuk banyak ekonom, beranggapan bahwa antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan distribusi pendapatan terdapat suatu trade-off, yang membawa implikasi bahwa pemerataan dalam distribusi pendapatan hanya dapat dicapai jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu akan disertai kemerosotan dalam distribusi pendapatan atau kenaikan dalam ketidakmerataan relatif.

(51)

yang tinggi pada tahun 1960-an mulai menyadari bahwa pertumbuhan yang tinggi hanya sedikit manfaatnya dalam memecahkan masalah kemiskinan. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi banyak dirasakan orang tidak memberikan pada pemecahan masalah kemiskinan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan ketika tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut diiringi dengan meningkatnya tingkat pengangguran dan pengangguran semu di daerah pedesaaan maupun perkotaan. Distribusi pendapatan antara kelompok kaya dengan kelompok miskin semakin senjang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata telah gagal untuk menghilangkan atau bahkan mengurangi luasnya kemiskinan absolut di negara-negara sedang berkembang.

(52)

Menurut Sirojuzilam (2008) Pembangunan dilaksanakan secara umum menyangkut beberapa aspek utama, mulai dari pembangunan di bidang ekonomi, sosial, kelembagaan, dan aspek lingkungan. Akan tetapi di dalam proses pencapaiannya akan selalu mengakibatkan terjadinya ketimpangan. Hal ini sekaligus menolak pendapat kaum neoklasik yang terlalu optimis menyatakan bahwa pada awal pembangunan memang akan dijumpai ketidakseimbangan atau ketimpangan, akan tetapi pada akhirnya akan dicapai suatu keseimbangan atau kemerataan. Pada prinsipnya ada beberapa bentuk ketimpangan yang terjadi antara lain distribution income disparities, urban rural income disparities, dan regional income disparities

Berbagai macam alat pengukuran banyak dijumpai dalam mengukur tingkat distribusi pendapatan penduduk. Diantara alat tersebut yang sangat umum dipergunakan adalah Gini Indeks.

(1) Gini Indeks

Dimana:

Pi = % kumulatif jumlah penduduk Qi = % kumulatif jumlah pendapatan Gi = 0, Perfect Equality

(53)

(2) Kurva Lorenz

(54)

(3) Kriteria Bank Dunia

Berdasarkan Kriteria Bank Dunia di dalam menentukan tingkat ketimpangan yang terjadi dalam distribusi pendapatan penduduk, maka penduduk dibagi menjadi tiga kategori yaitu:

a. 20% Penduduk pendapatan tinggi b. 40% Penduduk pendapatan sedang c. 40% Penduduk pendapatan rendah

dengan kriteria ketimpangan.

1. Tinggi, 40% penduduk pendapatan rendah menerima pendapatan nasional < 12%,

2. Sedang, 40% penduduk pendapatan rendah menerima pendapatan nasional 12%- 17%, dan

3. Rendah, 40% penduduk pendapatan rendah menerima pendapatan nasional > 17%.

(55)

Ketimpangan pembangunan ekonomi dan penghapusan kemiskinan merupakan permasalahan dalam pembangunan. Lewat pemahaman yang mendalam akan masalah ketimpangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan dapat memberikan dasar yang baik untuk menganalisis masalah pembangunan yang lebih khusus agar permasalahan pembangunan ini bisa dipecahkan dengan perencanaan pembangunan yang lebih baik (Arsyad, 2004).

Ketimpangan pembangunan ekonomi dapat mengakibatkan konsekuensi sosial dalam pembangunan itu sediri. Konsekuensi dari ketimpangan pembangunan ekonomi adalah rendahnya mobilitas sosial dan dapat menyebabkan kemiskinan (Colclough, 1990). Ketimpangan pembangunan ekonomi dari waktu kewaktu telah banyak dianalisis secara empiris dengan menggunakan pendekatan teori-teori yang ada (Harrison, 1984).

(56)

Ketimpangan pembangunan antar kecamatan dapat dianalisis dengan menggunakan indeks ketimpangan regional (regional inequality) yang dinamakan indeks ketimpangan Williamson (Sjafrizal, 1997):

Dimana:

IW = Indeks ketimpangan wilayah kecamatan Yi = Pendapatan per kapita di kecamatan i

Y = Pendapatan per kapita rata-rata Kabupaten / Kota i fi = jumlah penduduk di kecamatan i

n = jumlah penduduk Kabupaten / Kota i

Masalah ketimpangan ekonomi antar daerah tidak hanya tampak pada wajah ketimpangan perekonomian Pulau Jawa melainkan juga antar Kawasan Barat Indonesia (Kabarin) dan Kawasan Timur Indonesia (Katimin). Berbagai program yang dikembangkan untuk menjembatani ketimpangan antar daerah selama ini ternyata belum mencapai hasil yang memadai. Alokasi penganggaran pembangunan sebagai instrumen untuk mengurangi ketimpangan ekonomi tersebut tampaknya perlu lebih diperhatikan di masa mendatang. Strategi alokasi anggaran itu harus mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus menjadi alat mengurangi kesenjangan/ketimpangan regional (Majidi, 1997).

(57)

daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan. Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah. Bertitik tolak dari kenyataan itu, Ardani (1992) mengemukakan bahwa kesenjangan/ketimpangan antar daerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri.

Menurut Myrdal (1957), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effects) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad,1999).

(58)

wilayah dan ketimpangan regional antarwilayah atau regional (Ying, 2000). Dengan menggunakan alat analisis indeks entropi Theil akan diketahui ada tidaknya ketimpangan yang terjadi di kabupaten/kota. Rumus dari indeks entropi Theil adalah sebagai berikut (Ying, 2000):

I(y) = Σ (yj / Y)x log [(yj / Y) / ( xj / X) ]

Di mana:

I(y) = indeks entropi Theil

yj = PDRB per kapita kecamatan j

Y = rata-rata PDRB per kapita Kabupaten / kota j xj = jumlah penduduk kecamatan j

X = jumlah penduduk Kabupaten / Kota j

Indeks entropi Theil memungkinkan kita untuk membuat perbandingan selama kurun waktu tertentu. Indeks ketimpangan entropi Theil juga dapat menyediakan pengukuran ketimpangan secara rinci dalam subunit geografis yang lebih kecil, yang pertama akan berguna untuk menganalisis kecenderungan konsentrasi geografis selama periode tertentu; sedang yang kedua juga penting ketika kita mengkaji gambaran yang lebih rinci mengenai ketimpangan spasial. Sebagai contoh ketimpangan antar daerah dalam suatu negara dan antar subunit daerah dalam suatu kawasan (Kuncoro, 2002).

2.4.8 Penyebab Ketimpangan Pendapatan

(59)

per kapita yang cepat tidak secara otomatis meningkatkan tingkat hidup rakyat banyak. Bahkan pertumbuhan GNP per kapita di beberapa negara sedang berkembang seperti Pakistan, India, Kenya, dan lain-lain telah menimbulkan penurunan absolut dalam tingkat hidup orang miskin di perkotaan dan pedesaan. Apa yang disebut dengan proses penetesan ke bawah (trickle down effect) dari manfaat pertumbuhan ekonomi bagi orang miskin tidak terjadi.

Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (2004) mengemukakan 8 faktor yang menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan di negaranegara sedang berkembang, yaitu:

a. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita;

b. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang;

c. Ketimpangan pembangunan antar daerah;

d. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (capital intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari tambahan harta lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah;

e. Rendahnya mobilitas sosial;

(60)

g. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan permintaan negara-negara terhadap barang ekspor negara-negara sedang berkembang; dan

h. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.

Kecenderungan peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi tidak saja terjadi di negara-negara sedang berkembang saja, namun juga terjadi di negara-negara industri maju. Studi dari Jantti (1997) dan Mule (1998) dalam Tambunan (2001) memperlihatkan bahwa perkembangan ketimpangan pendapatan antara kaum kaya dan kaum miskin di Swedia, Inggris, Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di Eropa Barat menunjukkan suatu kecenderungan yang meningkat selama dekade 1970-an dan 1980-an. Dari studi Jantti disimpulkan bahwa semakin besarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan di negara-negara tersebut disebabkan oleh pergeseran pergeseran demografi, perubahan pasar buruh dan perubahan kebijakan-kebijakan publik. Dalam hal perubahan pasar buruh, membesarnya kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besarnya andil pendapatan dari istri di dalam jumlah pendapatan keluarga merupakan dua faktor penyebab penting.

(61)

dengan kedekatan (proximity) antar perusahaan, dimana perusahaan menerima keuntungan eksternal (external benefits) dengan berlokasi saling berdekatan satu dengan yang lain.

Weber adalah salah seorang yang pertama-tama mengajukan pertanyaan mengapa pabrik-pabrik cenderung berlokasi saling berdekatan. Menurut Weber, ekonomi aglomerasi (deglomerasi) menentukan apakah industri terkonsentrasi di suatu tempat atau tersebar di lebih dari satu tempat. Karena itu, ekonomi aglomerasi disebabkan oleh faktor-faktor aglomerasi yang unik, bukan hanya karena orientasi lokasi seperti orientasi tenaga kerja (labor orientation) dan transportasi (transport orientation).

Hoover mengkritik teori aglomerasi Weber sebagai tidak membedakan tiga kekuatan (forces) yang mempengaruhi biaya produksi (production costs), yaitu (i) ekonomi skala besar (large-scale economies), suatu skala ekonomi internal terhadap perusahaan pada suatu lokasi tertentu (Mills, Dixit) (ii) ekonomi lokalisasi (localizatio economies), eksternal terhadap perusahaan pada suatu lokasi tertentu tetapi internal terhadap industri (Henderson; Ogawa dan Fujita; dan Fujita dan Ogawa) (iii) ekonomi urbanisasi (urbanization economies), eksternal terhadap industri pada suatu lokasi tertentu tetapi internal terhadap kawasan perkotaan (Arnott, Kanemoto, dan Upton).

(62)

(agricultural allocation theory) dari von Thunen. Dalam modelnya, von Thunen memperlihatkan kota besar tunggal (a single large city) di tengah-tengah suatu dataran yang subur. Produk-produk tertentu yang biaya transportasi paling tinggi diproduksi berlokasi paling dekat dengan kota dengan tujuan mengurangi biaya transportasi. Terdapat hubungan terbalik (inverse) antara sewa tanah (land rent) dan biaya transportasi, semakin jauh jarak suatu lokasi dari kota semakin rendah tingkat sewa tanah. Keberlakuan hubungan ini dengan mudah diubah menjadi zona konsentris (concentric zone) dari teori sewa-perkotaan (urban-rent theory). Caranya adalah dengan mengubah pusat kota di tengah-tengah dataran menjadi distrik pusat bisnis (central business district/CDB). Untuk selanjutnya distrik pusat bisnis akan kita sebut sebagai DPB. Lokasi DPB berada tepat di tengah kota dikelilingi oleh daerah pinggiran kota suburbs) dimana para konsumen dan pekerja tinggal. Semua kegiatan produksi berlokasi di DPB.

(63)

dapat membayar nilai produk marginal (value of marginal product) dari faktor-faktor produksi (inputs).

Model struktur kota yang bersifat lebih umum dikembangkan oleh Dixit. Tema utama dari karya Dixit adalah ukuran kota optimum (optimum city size) yang ditentukan oleh keseimbangan antara skala ekonomi produksi (economies of scale in production) dan disekonomi (diseconomies) transportasi disebabkan oleh kemacetan lalulintas (congestion). Dixit membuat asumsi bahwa hanya terdapat satu perusahaan yang memproduksi komoditi tunggal dan skala hasil yang meningkat. Seperti model yang dikembangkan oleh Mills, model yang dikembangkan oleh Mills, Dixit beramsusi produsen barang adalah monopoli beralokasi di PDB. Namun dibandingkan dengan model Mills, model yang dikembangkan oleh Dixit bersifat umum. Dixit mengintegrasikan manfaat sebagai fungsi dari barang industri dan perumahan (tanah). Model Dixit memperlihatkan analitis bahwa tingkat skala peningkatan (degree of increasing returns) sama dengan rasio sewa tanah terhadap nilai output.

(64)

sebenarnya. Fenomena suatu kota modern adalah terdapat banyak produsen dan terjadi perdagangan antarkota, keadaan ini jauh berbeda dari keadaan pasar monopoli. Kritik ini juga berlaku pada model yang dikembangkan oleh Mills.

(65)

Pasar dicirikan oleh persaingan sempurna karena setiap perusahaan yang ikut serta dalam persaingan (entering) diuntungkan oleh eksternalitas skala ekonomi industri. Henderson mengintegrasikan faktor eksternalitas pada peubah (variable) output dari fungsi produksi, karena itu kita anggap model Henderson memperlihatkan ekonomi lokalisasi (Juoro, 1989).

Pendapatan merupakan salah satu variabel yang menentukan pengembangan wilayah. Dalam proses pembangunan wilayah terjadi ketimpangan pendapatan (Nishiola 1994).

(66)

pendapatan sebenarnya menemui bermacam kendala diantaranya: tidak terus terangnya responden memberikan informasi yang sebenarnya, ada yang membesarkan ada pula yang mengecilkan. Selain itu terkadang menjadi tidak etis pada sebagian orang untuk meminta informasi mengenai pendapatan yang sebenarnya.

Sulitnya mendapatkan tingkat pendapatan yang sebenarnya menjadi alasan penggunaan pendekatan pengeluaran untuk mengetahui distribusi pendapatan masyarakat. Dalam realitanya tingkat pengeluaran akan berbanding lurus dengan tingkat pendapatan. Semakin besar pendapatan masyarakat maka akan semakin besar tingkat pengeluaran. Asumsi ini menjadi acuan dalam kajian untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat.

(67)

sebelumnya. Dibandingkan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, maka Kabupaten Banyumas yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih rendah menujukkan ketimpangan distribusi pendapatan yang relatif tinggi.

Pendapatan masyarakat yang merata, sebagai suatu sasaran merupakan masalah yang sulit dicapai, namun berkurangnya kesenjangan adalah salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan. Indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat pemerataan pendapatan masyarakat adalah distribusi pendapatan masyarakat diantara golongan penduduk (golongan pendapatan). Pendapatan masyarakat sangat tergantung dari lapangan usaha, pangkat dan jabatan pekerjaan, tingkat pendidikan umum, produktivitas, prospek usaha, permodalan dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut menjadi penyebab perbedaan tingkat pendapatan penduduk. Indikator distribusi menanggapi tentang kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi ketimpangan. Shangkar dan Shah (2003) kebijakan pembangunan yang berkaitan dengan alokasi dana pembangunan yang tidak berimbangan dapat menyebabkan ketimpangan pendapatan. Menurut Mukhopadhaya (2003) menyatakan bahwa kebijakan pemerintah terhadap kaum imigran dapat menyebabkan terjadi ketimpangan pendapatan di masyarakat.

(68)

Gambar

Gambar 2.3 Teori Konsentris
Gambar 2.9 Sirkulasi Aliran Pendapatan dan Pengeluaran
Gambar 2.10 Tabungan dan investasi

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan perkembangan PDRB dan pertumbuhan ekonomi dari setiap daerah untuk periode 1983-2004, maka dapat diklasifikasikan wilayah di Provinsi Sumatera Utara sebagai

Suatu perekonomian baru dapat dinyatakan dalam keadaan berkembang apabila pendapatan perkapita suatu masyarakat menunjukkan kecenderungan jangka panjang yang

Pertumbuhan ekonomi juga diartikan secara sederhana sebagai kenaikan output total ( PDB ) dalam jangka panjang tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih kecil atau lebih besar

Karyawan dapat dikatakan produktif jika mampu menghasilkan output (barang dan jasa) sesuai target dengan jangka waktu yang efektif dan efisien. Karyawan yang

Prinsip pengukuran panas adalah dengan mendeteksi output dari ADC dan hasil dikonfersikan sehingga kenaikan satu bit yang terdeteksi menyebabkan kenaikan 0,1 °

1. Pertumbuhan ekonomi suatu negara terlihat dari meningkatnya persediaan barang secara terus menerus. Peningkatan output terus menerus merupakan manivestasi pertumbuhan

Pertumbuhan ekonomi juga diartikan secara sederhana sebagai kenaikan output total ( PDB ) dalam jangka panjang tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih kecil atau lebih besar

Dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa variabel pendapatan perkapita memiliki pengaruh positif dalam jangka pendek maupun jangka panjang terhdap impor beras, untuk