• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Distribusi Spasial

Suatu jenis tumbuhan dalam hubungannya dengan keadaan lingkungan dari suatu ekosistem akan membentuk sistem fungsi tertentu. Setiap individu jenis tersebut mempunyai toleransi yang berbeda dalam beradaptasi dengan lingkungan dan masing-masing individu tersebut mempunyai kondisi lingkungan tertentu dimana ia dapat tumbuh optimal. Oleh karena itu, pada umumnya penyebaran jenis tumbuhan akan berbeda terutama dalam hal kehadiran dan kelimpahannya (Poole 1974).

Cox (1972) yang diacu dalam Istomo (1994) mengatakan bahwa penyebaran jenis bersifat unik dalam tingkat komunitas dan organisasi ekologi. Penyebaran dalam komposisi jenis berhubungan dengan derajat kestabilan komunitas. Komunitas vegetasi dengan penyebaran jenis yang lebih besar memiliki jaringan kerja yang lebih kompleks daripada komunitas dengan penyebaran jenis yang rendah.

Dalam komunitas dikenal tiga tipe dasar pola spasial yaitu acak (random), kelompok (clumped) dan seragam (uniform) (Gambar 3). Pola acak dalam suatu organisme populasi diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang homogen dan atau pola tingkah laku yang tidak selektif. Pola non acak (kelompok dan seragam) menyatakan bahwa ada beberapa faktor pembatas dari lingkungan tempat tumbuhnya yang mempengaruhi kehadiran populasinya. Pola mengelompok menunjukkan bahwa individu-individu dikelompokkan dalam beberapa bagian pada habitat. Hal ini berkaitan dengan tingkah laku, lingkungan yang heterogen dan model reproduksi. Pola yang seragam dibentuk dari interaksi negatif antara

14

individu-individu seperti kompetisi dalam hal makanan dan ruang (Ludwig dan Reynolds 1988).

Distribusi suatu spesies dikontrol oleh faktor lingkungannya terutama berlaku bagi organisme yang mempunyai kisaran kemampuan adaptasi yang sempit. Selanjutnya dijelaskan bahwa hewan atau tumbuhan dalam fase awal kehidupannya sering mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan. Faktor-faktor yang membatasi distribusi antara lain tingkah laku, suhu, hubungan timbal balik dengan organisme lain, kelembaban serta faktor fisik dan kimia lainnya (Bartholomew 1958; Krebs 1978; Susanti 2000).

Distribusi suatu spesies terpola baik dalam distribusi secara spasial maupun distribusi secara temporal. Distribusi spasial (menurut tempat) bagi hewan dan tumbuhan merupakan suatu karakteristik komunitas ekologi, sedangkan distribusi secara temporal mengikuti waktu atau musim (Ludwig dan Reynold 1988).

(a) Acak (b) Mengelompok (c) Seragam

Gambar 3 Tipe-tipe pola spasial (Ludwig dan Reynolds, 1988).

Ludwig dan Reynolds (1988) menyatakan bahwa Hutchinson (1953) merupakan orang ekologi pertama yang mempelajari pola penyebaran dalam komunitas dan mengidentifikasi faktor penyebab yang mungkin dalam pembentukan pola suatu organisme diantaranya:

(1) Faktor-faktor vektorial adalah hasil dari pengaruh kekuatan lingkungan luar (misalnya angin, arus air dan intensitas cahaya).

(2) Faktor reproduksi merupakan akibat dari cara-cara pembiakan dari organisme tersebut (misalnya regenerasi klon dan progenik).

(3) Faktor-faktor sosial yang merupakan hasil dari perilaku bawaan (misalnya perilaku daerah penyebaran atau teritorial).

15

(4) Faktor-faktor koaktif yang dihasilkan dari interaksi-interaksi intra spesifik (misalnya kompetisi).

(5) Faktor stokastik dihasilkan dari variasi acak di dalam suatu faktor.

Faktor-faktor penyebab pola spasial tanaman dikemukan juga oleh Kershaw (1964) yang diacu dalam Dale (2004). Dikatakan bahwa faktor penyebab pola spasial tanaman dapat dikelompokkan atas tiga kategori : (1) faktor morfologi, yang didasarkan pada ukuran dan pola pertumbuhan tanaman, (2) faktor lingkungan yang heterogen, dan (3) faktor fitososiologi yang membentuk pola hubungan antara satu jenis dengan jenis lain melalui interaksi.

Dalam menganalisis pola spasial baik hewan maupun tumbuhan bergantung pada pemilihan unit sampling sehingga penentuan skala merupakan hal yang penting (Ludwing dan Reynold 1988). Berikut disajikan beberapa tipe model analisis pola spasial berdasarkan pemilihan unit sampling (Gambar 4).

SPATIAL PATTERN ANALYSIS (SPA)

Choice of sampling unit

QUADRATS POINTS NATURAL ARBITRARY QUADRAT VARIANCE MODEL DISTANCE MODEL DISTRIBUTION MODELS Poisson Negative Binomial k parameter Indicates of Dispersion Variance/Mean Ratio David & Moore Index Green’s Index Morishita’s Index Blocked-quadrat Var. Paired-quadrat Var. Eberhardt’s Index T-square Index

Gambar 4 Tipe model SPA berdasarkan pemilihan unit sampling (Ludwig dan Reynold 1988).

16

2.2.1 Beberapa Pola Sebaran Spasial 2.2.1.1 Pola Sebaran Poisson

Bliss (1953) yang diacu dalamSusanti (2000) menyatakan bahwa jika setiap unit dalam suatu seri memiliki peluang yang sama untuk ditempati oleh individu, maka pola sebaran spasialnya akan mengikuti pola sebaran spasial poisson, dimana setiap unit memiliki rata-rata populasi yang sama seperti frekuensi dugaannya.

Jika beberapa individu memiliki kelompok secara acak dan independen terhadap individu lain, dan total jumlah individu di dalam kelompok jauh lebih kecil daripada total jumlah kelompok yang ada, maka jumlah kelompok dengan jumlah individu adalah merupakan variasi sebaran poisson (Poole 1974).

Untuk sebaran populasi acak, model poisson memberikan probabilitas untuk jumlah individu per unit contoh, sesuai keadaan berikut : (1) setiap unit contoh memiliki peluang penyebaran individu yang sama, (2) keberadan individu dalam unit contoh tidak dipengaruhi oleh keberadaan individu lain, (3) setiap unit contoh tersedia secara sama, (4) jumlah individu per unit contoh relatif rendah terhadap jumlah maksimum yang mungkin ada di dalam unit contoh (Greig-Smith 1983; Ludwig dan Reynold 1988).

2.2.1.2 Pola Sebaran Binomial Negatif

Pola sebaran binomial negatif adalah pola sebaran spasial yang secara lengkap didefenisikan oleh dua parameter yaitu rata-rata (m) dan eksponen positif (k). Selain itu, pola sebaran spasial binomial negatif adalah suatu perluasan dari seri poisson dimana rata-rata populasi, yang merupakan parameter sebaran poisson, tidak konstan tetapi bervariasi secara kontinyu dalam proporsi distribusi terhadap X2 (Bliss 1953; Susanti 2000).

Dijelaskan pula bahwa jika kehadiran suatu individu dalam suatu divisi meningkatkan peluang individu lain berada pada divisi tersebut, maka binomial negatif akan dapat menggambarkannya dengan jelas.

2.2.1.3 Pola Sebaran Positif Binomial

Bliss (1953) yang diacu dalam Susanti (2000) menyatakan bahwa jika kehadiran suatu individu dalam suatu areal menurunkan peluang individu lain

17

berada pada areal tersebut, maka pola sebaran positif binomial akan dapat menerangkannya dengan jelas. Sementara itu Iwao (1972) yang diacu dalam Susanti (2000) menyatakan bahwa setiap kuadrat memiliki probabilitas yang sama untuk ditempati oleh individu tetapi kapasitas kuadrat terbatas, maka kita memiliki pola sebaran positif binomial.

2.2.1.4 Indeks Morisita

Indeks Morisita merupakan salah satu metode yang dapat dipakai untuk

melihat pola penyebaran individu dalam suatu ekosistem (Morisita 1962; Krebs 1989). Dalam penelitiannya, Myers (1978) yang diacu dalam Krebs (1989)

mengatakan bahwa standarisasi indeks Morisita merupakan salah satu indeks terbaik dalam mengukur penyebaran karena tidak bergantung pada kerapatan populasi dan ukuran sampel. Jika nilai indeks lebih besar dari satu, maka penyebaran akan menggerombol atau teragregasi. Jika penyebaran seragam dan teratur, maka indeks kurang dari satu (Michael 1994).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Seng et al. (2004) pada hutan Dipterocarpaeae dataran tinggi di Peninsular Malaysia menunjukkan bahwa pola sebaran jenis Shorea curtissii pada petak coba sebelum penebangan adalah kelompok dengan nilai Iδ = 1,63 pada selang kepercayaan 5%. Dari hasil penelitiannya, Hanum et al. (2007) mengemukakan bahwa pola sebaran jenis pohon pada kedua hutan primer yakni di Pahang dan Johor Malaysia adalah acak dan berkelompok.

Fordjour et al. (2008) mempelajari pola sebaran dari beberapa jenis tumbuhan pemanjat di Hutan Hujan Gugur Daun KNUST Botanic Garden, Ghana dan mendapatkan bahwa hampir sebagian besar yakni 82% jenis tumbuhan pemanjat memiliki pola sebaran kelompok, 16% berpola seragam dan 2% berpola acak. Pola seragam pada jenis dominan dan kodominan penyusun hutan kerangas bekas kebakaran di Taman Nasional Danau Sentarum Kalimantan Barat juga dilaporkan oleh Onrizal, dkk (2005). Dikemukan bahwa pola seragam yang terjadi disebabkan karena adanya persaingan dalam mendapatkan hara dan ruang.

18

2.3 Keadaan Umum Torem (Manilkara kanosiensis)

Dokumen terkait