• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. MEKANISME DETOKSIFIKASI SENYAWA BERACUN

2. Distribusi Toksikan

Setelah toksikan masuk ke dalam sirkulasi darah, maka toksikan tersebut akan didistribusikan atau disebar ke seluruh jaringan tubuh manusia (Donatus, 2001). Menurut Hodgson dan Levi (2000), cairan tubuh memegang peranan penting dalam pendistribusian toksikan dalam tubuh yang telah diabsorpsi.

Pada umumnya, biofase (tempat antara racun dan tempat aksi) tidak terdapat di dalam sirkulasi darah, melainkan berada di jaringan tertentu. Karena itu untuk memberikan pengaruh berbahaya atau efek toksiknya, suatu racun harus melintas banyak membran (Donatus, 2001).

3. Metabolisme Toksikan

Berlangsungnya metabolisme toksikan di dalam tubuh dapat terjadi di hati, ginjal, usus, kulit, kelenjar kelamin dan plasenta. Meskipun demikian, hati merupakan tempat metabolisme yang utama karena fungsi hati diantaranya mengelola sistem pembuluh darah dan sistem parenkim hati (Donatus, 2001).

Menurut Murray et al (1999), sebagian besar senyawa toksik/xenobiotik akan mengalami metabolisme (perubahan kimiawi) dalam tubuh manusia dan hati

menjadi organ utama yang terlibat. Sekitar 30 jenis enzim yang berbeda akan mengkatalisis berbagai reaksi yang terlibat dalam metabolisme xenobiotik.

Transformasi metabolik (biotranformasi) adalah suatu proses yang umumnya mengubah senyawa asal menjadi metabolit, kemudian membentuk konjugat. Metabolit dan konjugat lebih larut dalam air dan lebih polar, karenanya lebih mudah diekskresi. Dalam keadaan tertentu, metabolit dapat lebih toksik daripada senyawa asalnya. Laju dan jenis biotranformasi suatu toksikan berbeda antar spesies, bahkan berbeda dari satu strain ke strain lainnya (Lu, 1995).

Metabolisme xenobiotik terdiri dari dua fase. Pada fase satu, toksikan bersifat lipofilik akan ditransformasikan oleh enzim-enzim fase satu menjadi metabolit yang bersifat polar-reaktif grup. Pada fase dua, metabolit yang terbentuk akan dikonjugasi oleh enzim-enzim fase dua sehingga dihasilkan senyawa yang bersifat hidrofilik dan mudah diekskresikan ke luar tubuh (Hodgson dan Levi, 2000).

a. Reaksi Fase Satu

Reaksi fase satu meliputi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis (Donatus, 2001). Semua reaksi fase satu menghasilkan metabolit atau merubah bentuk toksikan menjadi lebih polar sehingga dapat dikonjugasi dalam reaksi-reaksi fase dua (Hodgson dan Levi, 2000) dan mudah diekskresi baik secara langsung atau tidak langsung setelah mengalami reaksi fase satu. Menurut Donatus (2001), fungsi utama reaksi metabolisme fase I ialah mengubah struktur senyawa asing melalui proses oksidasi, reduksi atau hidrolisis, guna memasukkan gugus fungsional yang sesuai bagi reaksi konjugasi fase II.

Reaksi oksidasi terjadi sebagai hasil penyisipan atom oksigen ke dalam ikatan karbon-hidrogen secara langsung (Sipes dan Gandolfi, 1986 dalam Donatus, 2001). Reaksi reduksi dikatalisir oleh sitokrom P-450 mikrosomal, berlangsung dengan efektif dalam kondisi tegangan oksigen yang rendah. Bila tidak demikian, maka oksigen molekular akan bersaing dengan substrat senyawa asing dalam proses perpindahan elektron yang

dikatalisir oleh sistem enzim tersebut. Reaksi hidrolisis fase I pada jaringan mamalia mengandung sejumlah sitosolik enzim esterase dan amidase yang mampu menghidrolisis berturut-turut senyawa ester dan amida. (Donatus, 2001).

b. Sitokrom P-450

Enzim monooksigenase yang utama dalam retikulum endoplasma adalah sitokrom P-450. Diberi nama demikian karena enzim tersebut ditemukan ketika preparat mikrosom yang telah mengalami reduksi kimiawi dan kemudian terkompleks dengan karbon monoksida memperlihatkan suatu puncak yang khas pada 450 nm (Murray et al., 1999; Hodgson dan Levi, 2000).

Menurut Lu (1995), monooksigenase yang berkaitan dengan sistem sitokrom berada dalam retikulum endoplasma. Pada homogenat sel, retikulum endoplasma pecah menjadi vesikel kecil yang dikenal sebagai mikrosom. Di samping itu, oksidasi sejumlah toksikan dikatalisis oleh oksidoreduktase nonmikrosom yang berada dalam fraksi mitokondria.

Komponen penyusun sistem sitokrom P-450 mikrosomal meliputi sitokrom P-450, NADPH-sitokrom P-450 reduktase dan lipid yang terikat pada retikulum endoplasma halus (Donatus, 2001). Sitokrom P-450 merupakan hemoprotein, enzim ini terdapat secara luas pada semua spesies. Menurut Scenkman et al. (1991), salah satu karakteristik penting dari sitokrom P-450 adalah kemampuan merespon dengan cara menolak senyawa asing (xenobiotik).

Sitokrom P-450 terdapat dengan kadar yang tinggi di dalam hati terutama terdapat dalam membran retikulum endoplasma halus yang merupakan bagian fraksi mikrosomal. Dalam mikrosomal sel hati sitokrom P-450 bisa menyusun sampai 20% total protein (Murray et al., 1999).

Sitokrom P-450 juga dikenal dengan istilah monooksigenase atau Mix-Function Oxidase (MFO). Istilah ini berasal dari hasil reaksi oksidasi yang dikatalisis oleh sitokrom P-450 dimana terjadi reduksi satu atom oksigen menjadi molekul H2O sedangkan satu atom oksigen lainnya

bergabung dengan substrat (Lu, 1995; Murray et al., 1999; Hodgson dan Levi, 2000; Donatus, 2001).

RH + O2 +NADPH + H+ R OH + H2O + NADP Gambar 2. Persamaan reaksi monooksigenase (Jakoby et al, 1982;

Murray et al., 1999)

NADPH terlibat dalam mekanisme reaksi sitokrom P-450. Enzim yang menggunakan NADPH untuk menghasilkan bentuk tereduksi sitokrom P-450 dan terlihat dalam sisi sebelah kiri (penyumbang elektron) persamaan diatas (Gambar 2) dinamakan NADPH-sitokrom P-450 reduktase. (Murray et al., 1999; Hodgson dan Levi, 2000).

c. Reaksi Fase Dua

Dalam reaksi fase dua, senyawa yang terhidroksilasi atau senyawa lainnya yang diproduksi dalam fase satu, diubah oleh enzim yang spesifik menjadi berbagai metabolit polar lewat konjugasi dengan asam glukuronat, sulfat, asetat, glutation atau asam amino tertentu atau lewat metilasi. Reaksi konjugasi ini membuat molekul lebih bersifat dapat larut dalam air sehingga akhirnya dapat diekresikan ke dalam urin dan empedu (Murray et al., 1999). Reaksi fase II melibatkan aneka ragam enzim yang umumnya merupakan enzim sitosolik. Reaksi ini dikenal pula sebagai reaksi konjugasi, menyangkut penambahan gugus polar ke senyawa asing. Reaksi-reaksi pada fase dua merupakan reaksi biosintetik sehingga diperlukan energi. Hal ini berbeda dengan reaksi-reaksi pada fase satu yang tidak memerlukan energi (Donatus, 2001).

Menurut Hodgson dan Levi (2000), terdapat dua tipe umum dari reaksi konjugasi, yakni tipe satu dan tipe dua. Pada tipe satu, agen konjugasi yang telah teraktifkan akan berkonjugasi dengan substrat sehingga menghasilkan produk konjugasi sedangkan pada tipe dua, substrat telah teraktifkan akan berkonjugasi dengan asam amino sehingga dihasilkan produk konjugasi.

d. Glutation S-Transferase

Sejumlah xenobiotik elektrofilik yang potensial beracun (seperti karsinogen tertentu) akan terkonjugasi dengan glutation (GSH) nukleofilik dalam reaksi berikut, R + GSHO → R S G. Dimana R adalah xenobiotik elektrofilik. Enzim yang mengkatalisis reaksi ini disebut Glutation S- Transferase (GST) dan terdapat dalam sitosol sel hati dalam jumlah yang tinggi (Murray et al., 1999). Menurut Donatus (2001), pengikatan karbon elektrofil oleh gugus sulfhidril nukleofilik yang ada pada glutation dinamakan reaksi anion tiolat glutation (GT).

Reaksi tersebut membentuk ikatan tioeter antara atom karbon dan gugus sulfhidril glutation. Konjugat glutation yang terbentuk, selanjutnya oleh enzim yang terutama ada di ginjal, dipecah menjadi turunan sisteina. Berikutnya turunan sisteina itu terasetilkan menjadi N-asetil-sisteina (asam merkapturat), yang segera diekskresikan ke dalam urin (Donatus, 2001).

Menurut Murray et al (1999), sejumlah enzim GST terdapat dalam jaringan tubuh manusia. Enzim ini memperlihatkan spesifisitas substrat yang berbeda-beda dan dapat dipisahkan lewat elektroforesis serta teknik pemeriksaan lainnya. Jika xenobiotik yang potensial beracun itu tidak terkonjugasi, maka molekulnya akan berada dalam keadaan bebas yang membentuk ikatan kovalen dengan DNA, RNA atau protein sel dengan demikian dapat mengakibatkan kerusakan sel yang serius.

Dokumen terkait