• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bubuk daun kumis kucing diproses lebih lanjut untuk menghasilkan minuman seduhan daun kumis kucing. Bubuk daun kumis kucing yang telah diseduh dengan air panas, kemudian didiamkan 5 menit dengan tujuan agar kandungan komponen bioaktif bubuk daun kumis kucing tersebut terekstrak secara sempurna. Hasil ekstraksi minuman seduhan baik yang berasal dari bubuk daun kumis kucing kering matahari maupun oven kemudian dianalisis aktivitas antioksidan dan total fenol. Kedua pengujian ini digunakan untuk menentukan perlakuan minuman seduhan yang akan diberikan kepada tikus percobaan berdasarkan nilai total fenol dan aktivitas antioksidan tertinggi.

1. Hasil Analisis Aktivitas Antioksidan.

Hasil analisis aktivitas antioksidan dan total fenol dijadikan acuan untuk menentukan perlakuan minuman seduhan sebagai sampel yang akan diberikan kepada tikus percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

aktivitas antioksidan untuk air seduhan daun kumis kucing segar pada saat 0 jam sebesar 2198.533 mM/g b.k sampel, sedangkan aktivitas antioksidan air seduhan bubuk daun kumis kucing kering oven sebesar 470.448 mM/g b.k sampel dan air seduhan bubuk daun kumis kucing kering matahari adalah 1354.76 mM/g b.k sampel.

Minuman seduhan kumis kucing disimpan pada suhu ruang selama 24 jam untuk melihat stabilitas aktivitas antioksidan. Hal ini dikarenakan minuman seduhan diberikan kepada tikus percobaan secara ad libitum selama 24 jam dan diganti dengan minuman seduhan yang baru.

Setelah 24 jam penyimpanan pada suhu ruang dapat dilihat bahwa aktivitas antioksidan pada semua perlakuan relatif stabil. Nilai aktivitas antioksidan setelah penyimpanan 24 jam suhu ruang pada air seduhan daun kumis kucing segar, kering matahari dan kering oven berturut-turut adalah 2339.822 mM/g b.k sampel, 1346.528 mM/g b.k sampel dan 406.356 mM/g b.k sampel.

Gambar 10. Grafik akivitas antioksidan air seduhan daun kumis kucing segar, bubuk daun kumis kucing kering kering matahari dan kering oven

Menurut Bauzaite at al. (2003), beberapa senyawa yang terkandung dalam suatu ekstrak dapat bersifat tidak stabil pada suhu tinggi dan proses pemanasan dapat menurunkan aktivitas antioksidan. Hal ini dapat dilihat

2198.533 1354.76 470.448 2339.822 1346.528 406.356 0 500 1000 1500 2000 2500 K K S K K M K K O A k ti v it a s a n ti o k s id (m M /g bk s a m p e l 0 Jam 24 Jam

pada hasil penelitian, nilai aktivitas antioksidan minuman seduhan bubuk daun kumis kucing kering matahari dan oven memiliki aktivitas antioksidan lebih rendah dibandingkan dengan nilai aktivitas antioksidan minuman seduhan daun kumis kucing segar.

Nilai aktivitas antioksidan tertinggi pada perlakuan pengeringan diperoleh dari minuman seduhan bubuk daun kumis kucing kering matahari, yaitu sebesar 1346.528 mM/g bk sampel. Sedangkan nilai aktivitas antioksidan minuman seduhan dari bubuk daun kumis kucing kering oven memiliki nilai sebesar 406.356 mM/g bk sampel. Sehingga pada penelitian ini selanjutnya digunakan sampel bubuk daun yang berasal dari daun kumis kucing kering matahari.

2. Hasil Analisis Total Fenol

Pengujian total fenol bertujuan untuk menentukan total senyawa fenolik yang terkandung di dalam sampel, sehingga diduga bila kandungan senyawa fenolik di dalam sampel tinggi maka aktivitas antioksidan akan tinggi (Marinova dan Yanishlieva, 2003). Keefektifan fenol sebagai antioksidan memiliki rentang tertentu sehingga dapat terjadi pada konsenterasi rendah fenol menjadi kurang efektif berperan sebagai antioksidan dan pada konsenterasi tinggi fenol dapat bersifat sebagai prooksidan (Fardiaz, 1996).

Total fenol tertinggi yang diperoleh pada penelitian ini adalah minuman seduhan bubuk daun kumis kucing kering matahari. Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan nilai total fenol minuman seduhan daun kumis kucing segar. Berbeda halnya dengan aktivitas antioksidan yang didapat pada hasil penelitian, yaitu aktivitas pada minuman seduhan daun kumis kucing segar lebih tinggi dibandingan dengan minuman seduhan bubuk daun kumis kucing kering matahari.

Dapat dilihat bahwa nilai aktivitas antioksidan yang tinggi pada suatu bahan pangan tidak selalu diindikasikan bahwa bahan pangan tersebut memiliki nilai total fenol yang tinggi. Telah diketahui bahwa banyak senyawa lain yang dapat bersifat antioksidan selain fenol, seperti asam askorbat, asam sitrat, tokoferol, dan lain-lain (Halliwell, 2002). Pada

minuman seduhan daun kumis kucing segar memiliki nilai total fenol yang rendah, hal ini menunjukkan bahwa senyawa yang berperan sebagai antioksidan pada minuman seduhan daun kumis kucing segar adalah senyawa lain selain fenol yang terkandung di dalam sampel tersebut.

Gambar 11. Grafik total fenol air seduhan daun kumis kucing segar, bubuk daunkumis kucing kering kering matahari dan kering oven. Total fenol untuk air seduhan daun kumis kucing segar pada 0 jam sebesar 47.202 µg fenol/g b.k sampel, sedangkan nilai total fenol air seduhan bubuk daun kumis kucing kering matahari dan oven berturut-turut adalah 61.61 µg fenol/g b.k sampel dan 16.918 µg fenol/g b.k sampel. Setelah pengamatan selama 24 jam, untuk total fenol air seduhan daun kumis kucing segar, bubuk daun kumis kucing kering matahari dan kering oven berturut-turut adalah 41.319, 87.62 dan 14.085 µg fenol/g bk sampel.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan tertinggi dalam minuman seduhan diperoleh dari bubuk daun kumis kucing kering matahari, dengan demikian sampel minuman seduhan yang digunakan sebagai perlakuan kepada tikus percobaan adalah minuman seduhan dari bubuk daun kumis kucing kering matahari.

Minuman yang diberikan pada tikus percobaan dibedakan atas tiga macam minuman sesuai dengan perlakuan yang diberikan, yaitu kontrol (air putih), Kk 1 (0.3 g bubuk/hari/200 g berat tikus atau 0.012 g/ml) dan Kk 2

47.202 61.61 16.918 41.319 87.62 14.085

0

20

40

60

80

100

KKS

KKM

KKO

T

ot

al f

en

ol

(u

g f

en

ol/

g b

.k s

am

pe

l)

0 Jam

24 Jam

(0.6 g bubuk/hari/200 g berat tikus atau 0.024 g/ml). Minuman seduhan dibuat sesuai dengan Lampiran 6., perbedaan antara kelompok Kk 1 dan Kk 2 adalah konsenterasi yang diberikan, sedangkan untuk kontrol hanya diberi perlakuan minuman air putih setiap hari.

Gambar 12. Perbandingan minuman seduhan bubuk daun kumis kucing konsenterasi rendah (Kk 1) dan konsenterasi tinggi (Kk 2) Dari hasil pengamatan setiap hari selama perlakuan (28 hari), diketahui bahwa rata-rata minum tikus kelompok kontrol adalah sebesar 21.17 ml/hari, untuk kelompok Kk1 dan Kk2 berturut-turut sebesar 24.64 ml/hari dan 25.48 ml/hari (Lampiran 8). Hasil yang didapatkan dapat digunakan untuk mengetahui jumlah ekstrak bubuk daun kumis kucing yang terminum oleh tikus percobaan.

Berdasarkan konversi pada Lampiran 6, maka diketahui untuk kelompok Kk1 dengan meminum seduhan bubuk daun kumis kucing rata-rata sebanyak 24.64 ml/hari sebanding dengan 0.275 g/hari bubuk daun kumis kucing. Sedangkan untuk kelompok Kk2 yang memiliki rata-rata minum sebesar 25.48 ml/hari sebanding dengan 0.595 g/hari bubuk daun kumis kucing.

C. PENGARUH PEMBERIAN MINUMAN SEDUHAN BUBUK DAUN KUMIS KUCING TERHADAP TIKUS PERCOBAAN

Tikus percobaan yang digunakan adalah jenis tikus Sprague Dowley berkelamin jantan. Tikus ini dibeli dari PUSLIT (Pusat Penelitian) GIZI Bogor. Umur tikus percobaan adalah 1.5 bulan. Sebelum tikus percobaan dikelompokkan, terlebih dahulu dilakukan seleksi berdasarkan berat badan, sehingga rata-rata variasi berat badan didapat antar kelompok 5 gram dan variasi berat antar tikus dalam satu kelompok adalah 10 gram.

Tikus-tikus percobaan dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, yaitu kelompok kontrol, Kk 1 dan Kk 2, dengan jumlah per kelompok masing- masing adalah 7 ekor. Tikus percobaan dikandangkan secara individu dengan ukuran kandang 34 x 26 x 12 cm. Bagian atas kandang ditutup dengan menggunakan kawat penutup. Dua minggu pertama dilakukan adaptasi terhadap tikus percobaan, adaptasi dilakukan dengan pemberian ransum standar dan minuman kontrol (air putih). Masa adaptasi ini dimaksudkan agar tikus terbiasa dengan ransum dan minuman perlakuan yang akan diberikan selama masa perlakuan.

Tikus percobaan diberikan ransum dan minum secara ad libitum. Ransum standar yang diberikan kepada tikus sebanyak 19.5 gram pada masa adaptasi. Tetapi selama masa adapatasi ada beberapa tikus yang menghabiskan ransum 19.5 gram, selanjutnya untuk masa perlakuan diberikan ransum standar sebanyak 21 gram. Sedangkan minuman yang diberikan kepada tikus selama masa adaptasi adalah 50 ml air. Karena minum tikus per hari rata-rata sebanyak 20-25 ml, maka pada masa perlakuan minuman hanya diberikan sebanyak 40 ml.

Ransum dan minuman diganti/diberikan setiap hari. Tempat ransum dan botol minuman harus bersih. Meskipun tikus percobaan diberi perlakuan dari minuman, tetapi pemberian makanan juga akan berpengaruh pada kesehatan tikus. Menurut Malole dan Pramono (1989), hewan percobaan yang tidak dipergunakan untuk penelitian tentang makanan harus diberikan makanan yang kualitasnya baik untuk menjamin tingkat pertumbuhan dan pembiakan yang normal dan dapat membantu menjaga keseimbangan gizi dalam tubuh tikus.

Selain dari makanan dan minuman, kondisi tikus juga dapat ditentukan dari kandang yang digunakan. Kandang harus dibersihkan setiap 2-3 hari sekali, hal ini bertujuan untuk menjaga kelembaban lingkungan tikus percobaan. Penempatan tikus percobaan pada rak-rak kayu harus dirotasi agar udara panas pada siang hari dan udara malam dapat dirasakan tikus percobaan secara merata. Udara yang tidak mendukung seperti kelembaban dapat menyebabkan tikus terserang kutu/penyakit atau mengalami stres. Hal ini dapat mempengaruhi pola makan atau minum tikus.

Gambar 13. Tikus galur Sprague Dowley 1. Berat Tikus Percobaan

Berat tikus percobaan diukur setiap dua hari sekali, penimbangan dilakukan sejak tikus berada pada masa adaptasi sampai masa perlakuan sebelum dilakukan terminasi. Penimbangan berat tikus dilakukan untuk mengetahui peningkatan berat selama masa perlakuan dan untuk perhitungan berat relatif organ, yaitu hati dan ginjal.

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, diketahui adanya penambahan berat tikus selama masa perlakuan (dihitung dari akhir masa adaptasi), peningkatan dapat dilihat pada Gambar 14.

Perubahan berat badan selama 28 hari pada kelompok tikus yang diberi perlakuan memiliki nilai peningkatan lebih kecil dibandingkan

dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan minuman seduhan bubuk kumis kucing dapat mempengaruhi pola makan atau minum dari tikus percobaan. Berdasarkan data pada Lampiran 7 (dilihat dari berat awal dan berat akhir sebelum terminasi), delta (∆) berat tikus kontrol selama 28 hari adalah sebesar 42.2 gram. Sedangkan untuk kelompok tikus KK1 dan KK2 berturut-turut delta berat tikus hanya sebesar 27.2 gram dan 29.8 gram.

Gambar 14. Kurva peningkatan berat tikus selama perlakuan pada kelompok kontrol, kelompok konsenterasi rendah dan kelompok konsenterasi tinggi

Delta berat badan pada kelompok tikus kontrol jauh lebih besar jika dibandingkan dengan delta berat badan kelompok tikus perlakuan. Hal ini disebabkan karena daun kumis kucing (daun segar/kering) bersifat diuretik (Dalimartha, 2000). Selama perlakuan dengan pemberian minuman seduhan bubuk daun kumis kucing, kemungkinan besar telah terjadi efek diuretik pada tikus percobaan. Sehingga penambahan berat badan tikus pada kelompok perlakuan lebih kecil dibanding dengan kelompok kontrol.

2. Berat Relatif Organ

Berat relatif organ adalah berat organ tikus per berat tikus percobaan yang bersangkutan. Pengujian berat relatif organ pada tikus percobaan untuk

100 120 140 160 180 200 220 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29

Hari selama perlakuan (hari ke-)

Berat tikus (gram)

mengetahui adanya kelainan pada organ-organ tubuh tikus tersebut akibat pemberian minuman seduhan dari bubuk daun kumis kucing baik pemberian konsenterasi rendah maupun konsenterasi tinggi.

Gambar 15. Berat relatif organ hati dan ginjal pada kelompok Kontrol, kelompok konsenterasi rendah dan kelompok konsenterasi

tinggi

Organ ginjal yang ditimbang dari kelompok kontrol, Kk1 dan Kk2 memiliki nilai rata-rata berat relatif organ yang sama, yaitu 0.006 gram, sedangkan untuk organ hati pada kelompok kontrol, Kk1 dan Kk2 berturut- turut sebesar 0.029 gram, 0.028 gram dan 0.028 gram. Data yang dihasilkan dapat mendukung bahwa pemberian minuman seduhan bubuk daun kumis kucing tidak menimbulkan kelainan pada organ-organ tikus percobaan. Grafik berat relatif organ tikus dapat dilihat pada Gambar 15.

3. Kadar Protein Hati Tikus Percobaan

Menurut Donatus (2001), hati merupakan gudang penyimpanan racun/toksikan yanng poten, karena organ tersebut memiliki kapasitas yang tinggi untuk mengikat zat-zat kimia. Hasil fraksinasi sel hati tikus didapat dua fraksi, yaitu fraksi sitosol dan fraksi mikrosomal. Pada tahap awal hati dihancurkan bersama sukrosa-buffer kemudian disentrifus agar tercampur rata/homogen dan didapat supernatan (Opdycke et al., 1982). Supernatan

0.029 0.028 0.028 0.006 0.006 0.006 0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0.035

Kontrol konsenterasi rendah Konsenterasi tinggi Kelompok tikus B e ra t r e la ti f ( g )

disentrifus kembali dengan kecepatan yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama, tahap ini bertujuan untuk mendapatkan supernatan (fraksi sitosol) dan endapan (akan menjadi fraksi mikrosomal).

Tahap akhir untuk mendapatkan fraksi mikrosomal adalah penambahan larutan sukrosa-buffer tris-buffer EDTA pada endapan. Setelah proses fraksinasi sel kemudian dilakukan pengukuran kadar protein (metode Lowry), pengukuran kadar sitokrom dan pengukuran aktivitas GSH.

Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap kadar protein hati tikus untuk mengetahui jumlah/kadar protein yang berasal dari fraksi sitosol dan mikrosomal. Kadar protein dari fraksi sitosol memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan kadar protein dari fraksi mikrosomal baik dari kelompok tikus kontrol maupun kelompok perlakuan. Kandungan protein dari fraksi sitosol tikus kelompok kontrol, Kk 1 dan Kk 2 berturut-turut adalah 62.221 mg/ml, 81.311 mg/ml dan 75.096 mg/ml sedangkan dari fraksi mikrosomal berturut-turut dari kelompok kontrol, Kk1 dan Kk2 adalah 2.272 mg/ml, 0.974 mg/ml dan 1.447 mg/ml.

4. Kadar Sitokrom P-420

Penentuan kadar sitokrom pertama-tama dilakukan persiapan sampel hati dari fraksi mikrosomal. Disiapkan 2 tabung reaksi untuk penempatan baseline dan sampel (baseline berfungsi sebagai blanko). Setelah tabung baseline dan tabung sampel ditambahkan fraksi mikrosomal, kemudian kedua tabung tersebut ditambahkan larutan buffer fosfat pH 7.6. Tabung sampel kemudian dialirkan gas CO untuk mengetahui seberapa besar sampel tersebut tereduksi.

Menurut Donatus (2001), Reaksi reduksi pada fase I dikatalisir oleh sitokrom P-450 mikrosomal, berlangsung dengan efektif dalam kondisi tegangan oksigen yang rendah. Bila tidak demikian, tentunya oksigen molekuler akan bersaing dengan substrat senyawa asing dalam proses perpindahan elektron yang dikatalisir oleh sistem enzim tersebut. Pada proses reaksi ini, senyawa-senyawa yang berada dalam minuman seduhan

perlakuan dapat tereduksi menjadi anion radikal yang kemudian terbentuk radikal bebas karena pecahnya suatu ikatan.

Setelah dialirkan gas CO, kemudian sampel dan baseline ditambahkan sodium dithionit. Menurut Schenkman (1991), mikrosomal hati terdiri dari pigmen heme protein yang memiliki kemampuan untuk berkombinasi dengan CO untuk memberikan serapan absorbansi pada panjang gelombang 450 nm. Mikrosomal akan tereduksi oleh penambahan sodium dithionit dan kemudian terkomplek dengan CO dan akan memperlihatkan puncak yang khas pada panjang gelombang 450 nm.

Telah diketahui bahwa sitokrom P450 merupakan sistem enzim yang terikat pada membran fosfolipid, apabila ikatan dengan membran itu terlepas maka sistem P450 akan berubah menjadi bentuk yang tidak aktif yaitu sitokrom P420.Bentuk sitokrom P420 lebih mudah larut dibandingkan dengan sitokrom P450.

Metabolit yang terbentuk pada fase I pada umumnya lebih polar daripada senyawa induknya atau berupa gugus yang reaktif bagi reaksi fase II. Ada kalanya metabolit yang terbentuk bersifat kurang polar daripada senyawa induknya atau lebih toksik (Donatus, 2001).

Pada penelitian tidak didapat absorbansi maksimum pada panjang gelombang 450 nm tetapi didapat absorbansi maksimum pada panjang gelombang 420 nm. Substrat yang berikatan dengan grup heme pada enzim maka substrat tersebut akan menyebabkan panjang gelobang maksimum terdapat pada 420 nm dan disebut sebagai substrat tipe II.

Menurut Schenkman (1991), hemeprotein pada sitokrom P450 mempunyai sisi aktif pada putaran rendah dan putaran tinggi. Hemeprotein dengan putaran tinggi biasanya mempunyai absorbansi maksimum 390 nm sedangkan hemeprotein dengan putaran rendah mempunyai absorbansi maksimum 420 nm. Molekul yang berinteraksi dengan sitokrom dalam bentuk teroksidasi akan membentuk komplek enzim substrat dengan absorbansi 390 nm dan disebut tipe I.

Jadi sitokrom yang terdeteksi pada penelitian ini adalah yang bertipe II, yaitu yang berikatan dengan hemeprotein. Hal ini menunjukkan bahwa

komponen bioaktif pada minuman seduhan bubuk kumis kucing berinteraksi dengan hemeprotein dari enzim sitokrom P450.

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa pemberian perlakuan pada tikus percobaan dengan sampel minuman seduhan bubuk daun kumis kucing dapat mempengaruhi kerja hati atau menginduksi pada sistem enzim sitokrom P-450. Menurut Murray et al (1999), sitokrom P-450 bersifat dapat terinduksi dan menyebabkan hipertrofi retikulum endoplasma halus, kemudian menimbulkan kenaikan jumlah sitokrom

Gambar 16. Grafik peningkatan kadar sitokrom P420 pada kelompok Kontrol, kelompok konsenterasi rendah dan kelompok konsenterasi tinggi

Hal ini terlihat dari data yang didapatkan bahwa rata-rata kadar sitokrom kontrol (0.759 nmol/mg protein) lebih kecil dibandingkan rata- rata kadar sitokrom dari hati tikus yang diberi perlakuan, yaitu sebesar 0.954 nmol/mg protein untuk Kk1 dan 1.207 nmol/mg protein untuk Kk2. Jika dibandingkan antara kelompok kumis kucing perlakuan konsenterasi rendah dan konsenterasi tinggi, terlihat bahwa kelompok Kk2 lebih menginduksi enzim sitokrom dari kelompok Kk1. Semakin tinggi konsenterasi minuman seduhan bubuk kumis kucing yang dikonsumsi oleh

0.759

0.954

1.207

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

kontrol Konsenterasi rendah Konsenterasi tinggi

K

ad

ar s

it

ok

ro

m

(n

m

ol/m

g p

ro

te

in

)

tikus percobaan maka dapat mempengaruhi kerja hati dengan cara menginduksi enzim sitokrom dalam hati.

5. Aktivitas Glutation S-Transferase (GST)

Selain pengukuran kadar sitokrom hati dari fraksi mikrosomal, dilakukan juga pengukuran aktivitas glutation S-transferase hati dari fraksi sitosol. Pengukuran ini menggunakan substrat CDNB (1-chloro-2,4- dinitrobenzene) dan glutation dalam bentuk tereduksi (GSH). Pertama-tama dilakukan pengisian buffer fosfat pH 6.5 ke dalam kuvet sampel dan blanko, setelah itu dimasukkan sampel dan akuades untuk blanko. Berikutnya berturut-turut dimasukkan GSH dan CDNB. Perlakuan tersebut dilakukan didalam kuvet sehingga langsung dibaca pada panjang gelombang yang ditentukan.

Metabolisme fase II yang sangat penting adalah reaksi konjugasi glutation. Reaksi ini terlibat dalam penghilangan zat atau metabolit perantara yang reaktif, yaitu yang bersifat elektrofil. Berlangsungnya reaksi ini dikatalisir oleh enzim glutation S-transferase. Jika konsentrasi elektrofil tinggi maka dapat menghancurkan/menghabiskan sel dari glutation dan menyebabkan sel mati (Jones, 2002).

Menurut Jones (2002), penambahan GSH akan menstimulasi reaksi konjugasi. Kemudian dengan adanya penambahan elektrofil model CDNB dapat diketahui seberapa besar aktivitas enzim glutation S-transferase (GST) dalam menghilangkan senyawa reaktif dari minuman seduhan bubuk daun kumis kucing. Semakin tinggi aktivitas GST, menunjukkan bahwa komponen bioaktif pada minuman seduhan bubuk daun kumis kucing mudah terkonjugasi pada sistem kerja reaksi fase II.

CDNB bereaksi sangat cepat dengan sampel, sehingga setelah penambahannya tidak boleh menunggu terlalu lama. Waktu yang digunakan untuk mengukur nilai absorbansi adalah selama 3 menit, jika sampel tidak langsung diukur nilai absorbansinya dalam waktu 3 menit, maka pembacaan absorbansi sampel akan sama. Hal ini diakibatkan reaksi yang berlangsung sudah stabil dan berhenti pada suatu titik nilai absorbansi tertentu.

0.0491 0.0627 0.053 0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07

Kontrol konsenterasi rendah Konsenterasi tinggi

A k ti v it a s G S T ( n m o l/m in /m g p ro te in )

Dari pembacaan kecepatan selama 3 menit tersebut maka dapat diketahui nilai koefisien ekstinsi molar pada sampel (ε). Nilai ekstinsi yang telah didapat maka dihitung per kandungan protein hati dari fraksi sitosol.

Pada Gambar 17 dapat dilihat bahwa penambahan minuman seduhan dari bubuk daun kumis kucing konsenterasi rendah (Kk1) lebih meningkatkan aktivitas enzim glutation S-transferase jika dibandingkan dengan kelompok Kk2. Semakin tinggi konsenterasi minuman seduhan yang diberikan maka akan menurunkan aktivitas GST. Jika aktivitas GST menurun, menunjukkan bahwa senyawa yang terkonjugasi sedikit dan kemungkinan dapat menyebabkan kerusakan pada hati karena metabolit hasil reaksi fase I membentuk suatu ikatan kovalen antara senyawa bebas yang tidak terkonjugasi seperti RNA, DNA atau protein sel.

Gambar 17. Grafik aktivitas GST (Glutation S-Transferase) pada kelompok Kontrol, kelompok konsenterasi rendah dan kelompok

konsenterasi tinggi

Pada penelitian nilai GST pada KK2 lebih rendah dari nilai GST KK1, tetapi hal ini tidak berarti penambahan minuman seduhan bubuk daun kumis kucing dapat menimbulkan kerusakan hati sebab nilai GST pada KK2 masih relatif tidak berbeda dengan nilai GST kontrol. Dapat dikatakan bahwa penambahan minuman seduhan dapat meningkatkan aktivitas GST pada konsenterasi rendah.

Menurut Oesch et al (1991), enzim glutation S-transferase (GST) pada tikus terdiri dari tiga kelas, yaitu Alpha, Mu dan Pi. Jika ditambahkan dengan substrat CDNB maka GST akan memiliki nilai aktivitas antara 0.01 nmol/min/mg protein sampai 0.1 nmol/min/mg protein. Pada penelitian ini diketahui nilai aktivitas GST kelompok kontrol (hanya diberi minum air putih), Kk1 dan Kk2 berada pada rentang nilai tersebut, yaitu berturut-turut sebesar 0.0491 nmol /min/mg protein, 0.0627 nmol/min/mg protein, dan 0.0530 nmol/min/mg protein.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait