• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterangan : area tumpang tindih; encounter

5.2 Kepadatan Populas

6.1.2 Distribusi Ungko dan Siamang di Area Penelitian

Tiga spesies Hylobatidae tinggal di hutan hujan tropis Sumatera: siamang (Symphalangus syndactylus), owa tangan putih (H. lar), dan ungko (H. agilis): Groves 1972; Wilson dan Wilson 1976; Rijksen 1978). Owa tangan putih hidup simpatrik dengan siamang di Sumatera bagian ujung utara, sedangkan ungko simpatrik dengan siamang di Sumatera bagian utara hingga selatan. Distribusi ungko dan owa tangan putih dipisahkan oleh Danau Toba di Sumatera Utara, sehingga kawasan Hutan Batang Toru merupakan wilayah distribusi simpatrik ungko dan siamang paling utara.

Ungko dan Siamang tersebar hampir di seluruh area Stasiun Penelitian YEL-SOCP. Keduanya hidup dalam kelompok keluarga monogami dan termasuk satwa teritorial (Chivers 1974; Bartlett 2003) dan memanfaatkan habitat yang relatif sama. Aktivitas hidup keduanya dilakukan di tajuk-tajuk pohon. Mereka merupakan satwa frugivorous, namun juga memakan daun, bunga dan serangga (Chivers 1974; Palombit 1997). Peta distribusi menunjukan di seluruh kawasan mampu menampung ruang dan sumberdaya bagi mereka (Gambar 7; Gambar 8).

Penggunaan metode untuk mengetahui distribusi ungko dan siamang dilakukan dengan cara VES dan survei suara (triangle count). VES dapat menunjukkan posisi serta komposisi satwa secara langsung sehingga informasi yang didapat lebih lengkap dan akurat. Namun metode ini memiliki keterbatasan dalam area jangkauanya. Berbeda dengan triangle count, jangkauan untuk mengetahui posisi dan keberadaan lebih luas karena suara keduanya dapat terdengar hingga lebih dari 1 km. Kedua metode ini dapat saling melengkapi data yang didapat, selain itu juga menjadi perbandingan dalam mengoreksi agar data lebih mendekati kondisi sesungguhnya.

Perjumpaan dan tanda keberadaan ungko dan siamang dapat mengambarkan besar populasi relatif mereka. Kelompok ungko lebih sering dijumpai di bukit

hutan dipterocarpaceae daripada hutan dataran rendah (Yanuar 2009). Wilson et al. (1976) melaporkan ungko biasanya tinggal di ketinggian yang lebih tinggi dan jarang terlihat di hutan dataran rendah di sebelah barat Pegunungan Barisan, sedangkan di bagian timur Sumatera mereka yang umum di dataran rendah. Sementara siamang di Sumatera lebih melimpah di hutan dataran rendah.

6.1.1 Distribusi Intra dan Interspesifik

Home range menjadi wilayah yang ditempati dan dimanfaatkan selama masa sepanjang hidup dewasanya. Terjadi tumpang tindih wilayah antar kelompok. Sebagian wilayah di dalamnya merupakan teritori, di mana teritori pada ungko merupakan wilayah yang dipertahankan dan kelompok dapat mengusir kelompok lain yang akan masuk (Burt 1943 dalam Gittins 1980). Ellefson (1974) melaporkan ada 25-75 m diluar teritori H. lar menjadi wilayah yang dapat tumpang tindih dengan kelompok tetangga. Sementara pada siamang, Chivers (1974) melaporkan 50-100 m di luar teritori.

Sebagai satwa teritorial, ada daerah kekuasaan yang dipertahankan masing- masing kelompok. Tiap spesies memiliki mekanisme tersendiri dalam mempertahankan teritori (intraspesifik). Interaksi perselisihan antar kelompok menunjukan perilaku teritorial. Pembagian wilayah antar kelompok dilakukan menggunakan suara keras sebagai tanda keberadaan kelompok. Meskipun demikian perselisihan dapat terjadi untuk memperebutkan wilayah atau ada penyusupan dari kelompok lain. Terlebih lagi dengan adanya kelompok baru yang belum memiliki wilayah. Perselisian banyak ditemukan di pinggiran home range karena di wilayah ini memiliki peluang besar terjadinya encounter antar kelompok. Kemungkinan terjadinya encounter diantaranya karena pertemuan yang tidak disengaja antar kelompok, kelompok mendeteksi keberadaan kelompok lain di dekat wilayahnya dari suara, dan perilaku patroli yang dilakukan. Namun sampai saat ini belum diketahui penyebab utama dan membutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini, sementara ini yang paling mungkin adalah pertemuan yang terjadi tidak disengaja (Gittins 1980).

Perselisihan akan lebih banyak terjadi pada saat terbentuknya kelompok baru. Individu jantan pra dewasa akan keluar dari kelompoknya untuk mendapatkan pasangan dan mencari wilayah kekuasaan sendiri. Awalnya pejantan

keluar dari kelompok namun masih dalam wilayah induknya dan biasanya di tepian perbatasan. Setelah kelompok baru terbentuk maka mereka harus berjuang untuk mendapatkan teritorinya dengan ancaman dari kelompok lain. Wilayah yang mungkin ditempati mereka diantaranya sebagian wilayah kelompok induknya, wilayah yang belum ada pemiliknya dan berjuang mendapatkan wilayah kelompok lain. Saat kelompok baru mampu mengusir kelompok lain di wilayah ini maka kelompok ini telah mendapatkan tempat untuk hidup (MacKinnon et al.1977). Pertahanan wilayah selanjutnya dilakukan seperti kelompok lain dengan melakukan vokalisasi keras untuk menunjukan kepemilikan wilayahnya.

Konflik pada kelompok ungko lebih sering terjadi daripada kelompok siamang. Hal ini di karenakan kepadatan ungko lebih besar. Hutan pegunungan bawah dan Dipterocarpaceae atas diketahui merupakan habitat baik untuk ungko, dan ungko lebih banyak ditemukan di habitat ini (Yanuar 2009). Selain itu ungko juga memiliki mobilisasi lebih aktif dan acak. Perilaku bersuara ungko sebagai penanda wilayah dilakukan secara bebas dan spontan serta dilakukan cenderung bukan sebagai respon atas kelompok tetangganya (Brockelman et al. 1987). Siamang menunjukan pembagian wilayah yang lebih teratur, jarang dijumpai perselisihan antar kelompok pada siamang. Sepertinya suara keras siamang efektif sebagai komunikasi pembagian wilayah antar kelompok. Siamang bersuara keras sebagai respon atas kelompok tetangganya (Bates 1970).

Terdapat sebagian wilayah di Stasiun Penelitian tidak dijumpai siamang baik secara langsung maupun tanda keberadaan berdasarkan suara. Lokasi ini diantara kelompok siamang SA, SB, SD, SF, dan SJ (Gambar 9) tidak dimiliki kelompok manapun. Hal yang paling mungkin adalah wilayah tersebut di tinggal pemiliknya atau mati, selain itu mungkin juga memang belum ada kelompok yang masuk kedalamnya. Kemungkinan lain adalah pengaruh dari kelompok ungko GA dengan 4 individu hitam yang hidup di wilayah tersebut. Namun belum jelas diketahui penyebabnya dan masih perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut.

Hal yang menarik adalah terjadinya tumpang tindih yang sangat besar antara wilayah kelompok pada siamang dan ungko. Kondisi simpatrik membuat keduanya memiliki mekanisme hidup masing-masing agar tetap dapat hidup

bersama. Mereka memiliki mekanisme pemanfaatan ruang dan sumberdaya sangat erat, namun tidak berada pada relung ekologi yang sama sehingga dapat hidup simpatrik (interspesifik) (Raemaker 1984).

Siamang yang memiliki ukuran tubuh hingga dua kali lipat daripada ungko memiliki keunggulan kompetitif dalam persaingan. Berdasarkan perilaku bersuara, ungko yang lebih pagi melakukan vokalisasi menunjukan aktivitas yang lebih awal daripada siamang. Saat vokalisasi siamang mulai terdengar dan mencapai puncaknya, vokalisasi ungko semakin menurun dan kemudian menghilang. Meskipun keduanya merupakan satwa diurnal serta memanfaatkan sumberdaya dan ruang yang hampir sama, namun waktu beraktifitasnya berbeda sehingga keduanya dapat hidup simpatrik.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa keduanya memiliki perbedaan dalam proporsi pakan dan perilaku yang lebih spesifik. Secara umum, Hylobates adalah spesialis buah masak yang menggunakan buah ficus sebagai sumber makanan utama (Polomnit 1997; Chivers 2001). Meskipun banyak asumsi bahwa siamang adalah folivorous benar di beberapa lokasi, namun gagasan bahwa siamang bergantung pada buah ficus ke tingkat yang sama seperti Hylobates banyak ditemukan dalam berbagai penelitian (Palombit 1997; Chivers 2000; Elder 2009).

Kesamaan ekologi keduanya dan hidup pada lokasi yang sama memberikan pertanyaan mekanisme mereka sehingga dapat hidup berdampingan. Berdasarkan ukuran tubuh, siamang diperkirakan memiliki keunggulan dalam persaingannya dengan ungko (Raemakers 1978). Ukuran tubuh yang besar memberikan peningkatan kekuatan dalam mendapatkan sumberdaya. Hal ini menunjukan penguasaan yang lebih dominan oleh siamang dalam persaingannya dengan ungko menguasai wilayah beserta sumberdaya di dalamnya.

Kondisi dominan pada siamang bukan berarti dapat menempati semua ruang dan kesempatan setiap saat, sehingga ungko dapat memanfaatkannya dan dapat hidup walaupun terjadi tumpang tindih wilayah dengan membagi posisi dan waktu. Dominasi siamang dalam menguasai wilayah dapat diatasi ungko dengan kecepatan dan kemampuan pergerakan serta jangkauan yang lebih baik. Bahkan, usaha dan energi siamang untuk bergerak lebih besar karena tubuh mereka lebih

besar namun panjang tungkai yang hampir sama dengan ungko sehingga langkah/jangkauannya lebih pendek (Raemaekers 1979 dalam Raemaekers 1984). Siamang mungkin memiliki jelajah harian yang sedikit lebih pendek dan pergerakan lebih lambat daripada ungko. Ukuran tubuh ungko yang kecil membuatnya lebih mudah mengekplorasi tajuk baik dalam perjalananya maupun mendapatkan makanan di ujung-ujung tajuk di mana cabang dan ranting yang kecil. Kondisi ini tidak memungkinkan bagi siamang karena siamang lebih terbatas untuk bergerak pada cabang-cabang pohon kecil. Jadi kedua jenis dapat hidup simpatrik dengan membagi ruang dan menyiasati persaingan agar lebih damai menggunakan strategi beraktivitas seperti mencari makan yang berbeda menyesuaikan kelebihan masing-masing. Kondisi yang membedakan antara siamang dan ungko juga dapat menargetkan makanan yang berbeda baik dari proporsi, distribusi ataupun keduanya (Elder 2009).

6.2 Ukuran dan Komposisi Kelompok

6.2.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok Ungko

Ungko merupakan primata yang hidup dalam kelompok monogami. Induk jantan dan betina dewasa akan melahirkan anak sebagai bagian anggota kelompok hingga fase anak menjadi dewasa untuk kemudian keluar dari kelompok membentuk kelompok baru. Ungko memasuki fase dewasa setelah berumur 8 tahun. Mitani (1990) menyebutkan interval minimal kelahiran ungko adalah 3,2 tahun, sehingga secara umum satu kelompok ungko dapat mencapai 5 individu. Bahkan dapat dijumpai juga kelompok dengan 6 individu (Duma 2007). Fenomena kelompok dengan >4 individu dikarenakan adanya anakan dewasa belum mendapatkan pasangan atau betina dewasa maupun jantan dewasa memiliki pasangan lebih dari satu.

Ukuran kelompok ungko di area penelitian menunjukan ukuran yang umum. Beberapa hasil penelitian di lokasi berbeda menunjukan kelompok ungko dengan 3 individu paling banyak dijumpai (Bangun 2007; Sultan 2009). Begitu juga dengan Hylobates agilis albibarbis di Pulau Kalimantan (Suyanti 2007; Duma 2007).

Belum jelas diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi pewarisan warna rambut pada ungko termasuk dominasi serta kecenderungan pewarisan

warna rambut pada kelompok dengan induk yang berbeda warna rambut. Kelompok campuran hitam dan kuning menghasilkan keturunan dengan peluang yang sama mengenai pewarisan warna rambut. Ada yang menghasilkan anak dengan warna rambut hitam dan ada juga yang menghasilkan anak berambut kuning.

Berdasarkan warna rambut, ungko dapat memilih pasangannya secara acak, tidak terlihat adanya kecenderungan memilih pasangan dengan warna rambut yang sama. Walaupun sebagian besar kelompok ungko yang ditemukan memiliki semua anggota berwarna hitam (43%) seperti disajikan paga Gambar 12. namun banyak juga kelompok dengan anggota campuran antara ungko berambut hitam dan kuning (36%). Hal ini menarik untuk diteliti lebih lanjut mengenai warna rambut baik dari segi genetik maupun perilaku sosialnya untuk menunjukan seberapa jauh pengaruh warna rambut dalam kehidupan ungko.

Beberapa peneliti berpendapat perbedaan/pewarisan warna rambut pada ungko dipengaruhi adanya faktor genetik dan/atau adanya persilangan atar sub- spesies bahkan antar spesies. Berdasarkan distribusi beberapa spesis dan sub spesies dintaranya H. lar dan 2 sub-spesies H. agilis, Bangun (2007) menjelaskan adanya kemungkinan persilangan antar ketiganya sehingga mempengaruhi pewarisan warna rambut. Geismann (2006) menunjukan adanya persilangan antara H. lar dan H. agilis ungko di Thailand dan Semenanjung Malaysia yang menghasilkan anak dengan variasi warna rambut hitam, kuning dan coklat.

6.2.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok Siamang

Siamang memiliki pola hidup berkelompok mirip dengan ungko. Ukuran kelompok di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT termasuk kecil bila

dibandingkan dengan ukuran kelompok di beberapa lokasi berbeda. O‟brian et al.

(2004) melaporkan ukuran kelompok siamang sebesar 3,75 dan 3,9 individu/kelompok pada 2 lokasi berbeda di TN Bukit Barisan Selatan, Bashari (1999) melaporkan 2,9 individu/kelompok di kawasan hutan Sumatera Selatan, Chivers et al.(1978) menunjukan ukuran kelompok sebesar 3,5 individu/ kelompok, Rinaldi (1992) sebesar 3,29 individu/kelompok di TN Way Kambas, serta MacKinnon (1976) di Ranun; Rijksen (1976) di Ketambe; Wilson et al.

(1977) dalam Chivers (1977) berturut-turut sebesar 3,3;4,1;3,8 individu/ kelompok.

Ukuran kelompok yang termasuk kecil disebabkan banyaknya kelompok- kelompok yang baru terbentuk sehingga belum melahirkan banyak anak. Angka ini juga dipengaruhi adanya 1 betina soliter yang dianggap kelompok. Betina ini memang hidup sendiri tanpa pasangan namun terlihat memiliki hubungan dekat dengan satu kelompok beranggotakan 3 individu karena memiliki tumpang tindih home range cukup besar dan beberapa kali dijumpai melakukan vokalisasi bersama-sama di lokasi yang berdekatan.

6.3 Kepadatan Populasi

Area dengar efektif antar kedua spesies menunjukan angka berbeda. Siamang memiliki kemampuan bersuara lebih keras dibandingkan ungko, sehingga jangkaun luasan survei suara pada siamang lebih luas. Penelitian ini menggunakan estimasi area dengar dengan radius 1 km dari masing masing pos pendengaran (Brockelman et al. 1993; Buckley et al. 2006; Cheyne et al. 2008 ). Radius 1 km diambil dengan pertimbangan suara keras kedua spesies dapat terdengar efektif, meskipun vokalisasi keras kedua spesies mampu terdengar lebih dari 1km bahkan hingga mencapai 2 km di hutan dengan kondisi tertentu (O‟Brien et al. 2004).

Penelitian ini yang dilakukan di habitat hutan Dipterocarpaceae dan hutan pegunungan bawah. Hasil penelitian ini menunjukan kepadatan yang lebih tinggi ungko (5,13 kelompok/km2) daripada siamang (3,37 kelompok/km2). Yanuar (2009) melaporkan kepadatan tertinggi di Taman Nasional Kerinci Sebelat siamang mencapai 5,4 kelompok/km2 di hutan pegunungan atas dan 5,0 kelompok/km2 di hutan dataran rendah. Sementara, ungko kepadatan tinggi di hutan Dipterocarpaceae sebesar 3,8 kelompok/km2 dan hutan pegunungan bawah 3,6 kelompok/km2. Sama halnya dengan hasil O‟Brien et al. (2004) di Taman Nasional Buki Barisan Selatan namun kepadatan siamang dan ungko lebih kecil di setiap tipe habitat. Hasil penelitian diatas menunjukan hutan Dipterocarpaceae dan hutan pegunungan bawah seperti di Stasiun Penelitian YEL-SOCP menjadi habitat terbaik bagi ungko di Sumatera.

Kepadatan kelompok ungko cenderung meningkat dari selatan ke utara di Sumatera. Sebaliknya, siamang menunjukan penurunan kepadatan dan ukuran kelompok dari selatan ke utara. Sehingga posisi KHBT yang berada di ujung utara distribusi ungko di Sumatera memungkinkan kepadatan ungko lebih besar dari dan kepadatan siamang lebih kecil di bagian selatan Sumatera seperti dilaporkan

O‟Brien et al. (2004) dan Yanuar (2009)

Secara umum bila dibandingkan dengan populasi di beberapa daerah berbeda, baik ungko maupun siamang di area penelitian termasuk tinggi di Sumatera. Mitani (1990) melaporkan H. albibarbis di Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat. Ada kondisi berbeda antar kedua tempat yang mungkin mempengaruhi kepadatan ungko cenderung lebih rendah di Sumatera yaitu adanya siamang yang menjadi kompetitor.

Banyak kesamaan dalam pemanfaataan habitat antara ungko dan siamang. Kondisi simpatrik membuat peranan keduanya cenderung tumpang tindih. Populasi kedua jenis yang hidup simpatrik memiliki kedekatan menjadi satu kesatuan. Hal ini mungkin mempengaruhi kepadatan yang lebih rendah dibandingkan dengan jenis Hylobates lain yang hidup sendiri tanpa adanya simpatrik dengan siamang.

Hasil pengamatan menggunakan triangle count menunjukan populasi yang sehat. Ukuran populasi yang tinggi masing-masing spesies dapat bertahan dalam jangka panjang jika kondisi habitat bertahan seperti saat ini. Gangguan terhadap populasi kedua spesies relatif kecil di area penelitian, namun tidak untuk beberapa wilayah disekitarnya. Stasiun penelitian dikelilingi kawasan hutan produksi, hutan produksi terbatas dan berbatasan langsung dengan aktivitas masyarakat seperi perkebunan. Bila kawasan disekitarnya tidak disikapi dengan baik maka akan mengancam keberlangsungan hidup kedua spesies.

Dokumen terkait